Tuesday, April 6, 2010

Cerita Seram (atau apalah, terserah sebutannya, pokoknya melanjutkan yang kemaren-bagian 4)

Cucol dikit ah. Internet di kostan saya mati lagi. Seharusnya sekarang tugas saya adalah bikin proposal, meriksa hasil praktikum anak semester IV yang mau responsi sebentar lagi atau nyicil njawab query. Atau bikinin draft untuk minta rekomendasi. Atau kasih makan kura-kura saya. Atau minimal gosok gigi. Tapi saya benar-benar kecanduan internet! *saya nggak bisa sehari saja nggak buka internet, kecuali lagi bepergian. Speedy oh speedy, mengapa engkau meninggalkan daku??* BeTeWe, sampai dimana saya kemaren?
Ringkasan cerita sebelumnya : Arum mendapatkan mimpi buruk. Setelah mimpi itu, kejadian-kejadian aneh mulai mengikutinya.

=====================================================================================
Kali ini, saya mulai curiga bahwa ada sesuatu yang salah. Layaknya tokoh utama cerita seram, saya tidak lari tunggang langgang sambil teriak "Aaaaa.......uouo" melainkan saya tetap berada di sana sambil kebingungan, tujuannya sih untuk membuat pembaca jadi ikut merasa tegang (apanya coba?). Pokoknya saya penasaran, saya ingin tahu. Namun perasaan saya kacau. Pikiran saya kalut. Saya lari ke kamar. Duduk di pinggir dipan, saya merenung dan berpikir: apa yang terjadi? Saya menekuri lantai. Mata saya terpaku menangkap sesuatu di atasnya. Gundukan debu hitam itu bergerak pelan seperti tertiup angin ke segala arah. Abu. Abu dimana-mana. Saya terperanjat dan langsung bangkit berdiri. Saya harus pergi. Perasaan saya mengisyaratkan bahaya. Ada yang tidak beres. Ada yang sangat tidak benar!

Secepat kilat saya berbenah dan siap pergi. Tiba-tiba seseorang berdiri di pintu. Bidan Danuri!
"Mau kemana?" tanyanya heran melihat saya sudah siap jalan. Muka saya pucat pasi seperti anak anjing yang ekornya kejepit pintu (ada perumpamaan lebih bagus nggak sih?)
"Saya..." belum sempat saya menjawab, saya melihat seorang anak berdiri di belakangnya, mengintip dengan matanya yang lebar. Mulanya saya tidak mengenalinya. Tapi perlahan-lahan saya ingat wajah itu. Wajah yang sudah pernah saya lihat sebelumnya, namun versi yang berbeda. Wajah yang pernah saya lihat berkeropeng, namun kini tampak licin layaknya anak perempuan biasa. Saya jatuh terduduk, tak bisa berkata-kata. Tapi Bidan Danuri seperti tak melihat apa-apa. Keramahannya tetap sama seperti ketika menyambut saya datang.
"Jangan pergi terlalu cepat. Mari bergabung bersama keluarga kami, sarapan pagi sedang disiapkan," sambil membuka pintu lebar-lebar, Bidan Danuri menyilahkan saya ke ruang makan. Saya melihat tangannya. Kemarin masih mulus, kini tampak luka bakar yang sudah menjadi parut. Begitu ia berbalik dan menghilang ke ruangan lain, saya segera kabur. Saya harus bertemu Arya! Dia mungkin punya penjelasan untuk ini. Kalaupun tidak, setidaknya dia bisa bawa saya ke dukun pelet, paranormal, nujum atau apalah yang bisa menolong saya (halah memangnya ini adu ilmu sihir?). Saya bergegas ke kamarnya. Saya ketok pintunya, tak ada jawaban. Pagi hari di kampung seperti ini, orang-orang sudah berangkat ke sawah sejak subuh. Atau mencari ilalang untuk makan ternak. Atau mengumpulkan kayu bakar. Atau menebas tebu. Atau membawa bebek ke sungai. Mungkin Arya ada di pancuran, sedang mandi.

Pintu terbuka sedikit. Saya mengintip. Kosong. Sarungnya terlipat rapi di ujung dipan. Saya sudah hendak beranjak keluar ketika saya melihat buku sampul kulit cokelatnya di meja. Dengan agak tertegun, saya memberanikan diri masuk dan meraihnya. Rasa ingin tahu menguasai begitu cepat hingga tanpa sadar saya sudah membolak balik halamannya. Tulisannya rapi dan skematis. Mirip alur tulisan buku teks dengan diagram dan gambar, layaknya ilmuwan di buku Da Vinci Code. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak mengaguminya. Tertulis di sana sejarah desa Kerompeng sejak jaman perang dunia kedua.

"Pada waktu itu, industri gula sangat berjaya. Gula dijual oleh Belanda untuk menutup biaya perang dunia ke satu. Pejabat gula sangat kaya raya. Namun selesai agresi militer Belanda ke dua, perusahaan tebu jatuh ke tangan pejabat pribumi. Kerompeng adalah desa petani tebu; desa ini dulunya ada, hidup dan berkembang karena perkebunan tebu. Sedikit demi sedikit, di kalangan pejabat sendiri timbul perebutan kekuasaan untuk mengusai produksi gula. Fitnah, pemalsuan dan pertengkaran timbul di antara pejabat, sehingga mereka melakukan apa saja untuk menjegal lawan politik mereka, termasuk pembunuhan," Lalu saya melihat beberapa guntingan koran yang ditempel. Halamannya sudah menguning karena usia. Beberapa ditulis dalam bahasa Belanda. Beberapa terbaca, namun sulit karena ejaan lama dan tintanya luntur. Saya melewati beberapa coretan dan gambar yang kurang jelas. Lalu melanjutkan halaman selanjutnya.

"Banyak korban yang jatuh dari pihak penguasa dan terutama, rakyat. Kerompeng mulai ricuh, tapi karena mereka rakyat jelata yang miskin, tak ada yang bisa mereka lakukan. Puncaknya tahun 1966. Isu partai komunis indonesia berhembus dimana-mana,"

Guntingan koran lagi. Foto-foto lama. Surat yang tak terbaca. Gambar-gambar tak jelas dengan tinta merah yang sudah melebar ke kanan kiri. Saya terus membaca.

"Kerompeng menjadi kambing hitam karena perselisihan penggusaha gula. Hari itu, bulan September yang kering dan ketika tebu masih muda daunnya, desa Kerompeng terbakar. Para penyidik yakin ada dalang di balik kejadian ini. Namun tidak pernah ketahuan. Pejabat saling menutupi, polisi menghilangkan jejak. Desa Kerompeng terbakar dalam sunyi, tak ada yang menggugat keadilan. Tak ada yang tersisa. Rumah, anak, ternak, wanita, ladang terbakar. Tinggal abu," Lalu ada foto-foto lagi yang tak saya kenali. Banyak jumlahnya, dan tiba-tiba saya mendengar sesuatu di belakang. Saya tersentak. Sontak semua foto itu terjatuh di lantai. Saya tergeragap memungutnya. Tunggu, saya melihat wajah yang saya kenal. Bidan Danuri! Pak TMK! Anak perempuan itu! Dan Arya!

Saya melihat catatan kecil ditulis dengan sangat kasar, seolah-olah menyuarakan kemarahan penulisnya, "Tiap dua belas purnama, seseorang akan masuk ke dusun ini dan merasakan penderitaannya. Tiap dua belas purnama, pintu antara dusun ini dan dunia luar akan terbuka. Tak akan tertutup sampai seseorang menutupnya,"

"Kenapa kamu melihat buku pribadi orang lain?" hardik seseorang di punggung saya. Arya. Tinggi dan tegap menjulang di belakang, saya merasa kedua matanya menyiratkan sesuatu yang mengerikan. Tapi menarik saya ke dalam. Persis mata dalam mimpi. Tiba-tiba dia memalingkan mukanya dan berbalik keluar. Saya mengikutinya untuk meminta maaf, tapi ia tak ada di sana. Lenyap. Kenapa ia jalan cepat sekali? Saya mencari Arya kemana-mana. Saya butuh segala penjelasannya. Saya lari ke kebun belakang, ke kandang ayam, ke kali kecil belakang rumah. Ia tak ada. Tiba-tiba seluruh tubuh saya terasa panas. Seperti ada api menjalar dari telapak kaki ke kepala. Di sana,di ujung kali saya melihat seseorang. Bukan Arya, karena dia perempuan. Tatapan matanya sangat sedih memilukan, tapi sekaligus menarik saya. Ia melihat ke arah saya dan bicara!
"Kalau panas terbakar, mari ikut berendam..."

BERSAMBUNG...

4 comments:

alice in wonderland said...

hoho... agak berasa ni seremnya.... ditunggu lanjutannya^^

Sri Riyati said...

Akhirnya! ada yang baca juga tho (dan nggak ngeledek) hehe. Salam kenal! xxx

wongmuntilan said...

wah, udah mulai merinding baca bagian yang ini, maju terus Ria...!!! ^^

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

sebenernya mulai serem seandainya dirimu membuat perumpamaan yang tepat jangan kaya ekor anjing terjepit pintu...mungkin lebih tepat kalo ekor anjing yang dipotong pake golok hihihihi

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p