Tuesday, September 29, 2009

Pe eN eS

Konon kabarnya sekarang lagi dibuka pendaftaran CPNS Jawa Tengah. Kata rumput yang bergoyang, peminatnya banyak sekali sampai ribuan. Saya mikir, gaji PNS yang cuma 1 juta lebih sedikit kok direbutin banyak orang sih? (yang rata-rata sarjana atau bahkan pasca sarjana?)*katroknya keliatan*. Menurut seorang rekan blogger sih sabab-musababnya antara lain sebagai berikut:

1. Mendapatkan penghasilan tetap

2. Mendapatkan Pensiun Seumur Hidup (gosipnya sih ini akan segera dihapuskan dan akan diganti berupa pesangon saja, tapi entah sampai sekarang masih belum ada berita lebih lanjut dari pemerintah)

3. Mendapatkan jaminan kesehatan sekeluarga (Jamsostek)

4. Banyak waktu luang untuk melakukan usaha sambilan/ sendiri

5. Tidak harus disiplin, jam kerja sampai jam 15 bisa pulang jam 13, bisa izin sewaktu-waktu ada keperluan

6. Pekerjaannya santai (kalau sedang tidak ada kerjaan bisa ngerumpi), alias tidak banyak tekanan seperti di perusahaan swasta

7. Jika beruntung ditempatkan di “lahan basah” bisa punya penghasilan tambahan lumayan

8. Punya status sosial di mata masyarakat

9. Punya status pekerjaan jelas dan lebih mudah mencari calon mertua

10. Hari libur nasional bisa ikut libur. (apalagi tenaga pengajar seperti Guru/Dosen bisa libur panjang kalau siswanya sedang liburan)

11. Dapet Gaji ke-tiga belas

12. Dapet THR

13. Struk Gaji dapat dijadikan jaminan guna kredit barang, or peminjaman di bank


Kalau ditulis dalam bahasa saya, mungkin jadi seperti ini:

  1. Kerja nggak kerja tetap dibayar
  2. Kalau sudah nggak kerja pun masih dibayar
  3. Ke dokternya bisa gratisan
  4. Masih digaji, meskipun cuman sibuk urus bengkel sendiri
  5. Bisa ngabur-ngabur asal ijin ato nggak ketahuan
  6. Performa kerja nggak dinilai, toh onlen nggak onlen gajinya sama saja
  7. Bisa korupsi kecil-kecilan
  8. Bisa bilang ke tetangga, "Saya pegawai negara lho," sambil pake baju Korpri, siap upacara bendera
  9. Kalo maju ke camer bilang, "Saya PNS" dia bakal mikir "Wah dia 'Punya Nasib Subur""
  10. Bisa sering-sering libur (sibuk ngitungin tanggal merah)
  11. Setahun kerja bisa digaji setahun sebulan.
  12. Kalo lebaran bisa ikut-ikutan nodong *jadi inget blog temen saya si Vicky*
  13. Pekerjaan ini bisa dibuat jaminan kredit, karena kemungkinan dipecat kecil, paling banter makan gaji buta.
Kenapa saya berani bilang yang segitu negatipnya tentang PNS? Kan ada juga ya PNS yang baik, yang benar-benar pahlawan tanpa tanda gaji yang layak? Karena...jreng2345x*Kristina banget sih*: saya juga terancam PNS. Teman-teman saya pada ngeliat saya seolah-olah saya anak kambing berkaki lima yang baru dilahirkan. "Kamu??? Pe eN eS??!!". Alasan teman-teman saya, katanya sih saya dan PNS bagai karedok dan hotdog alias kagak nyambung banget. Konon mereka bilang sih saya sangat aneh binti ajaib, nggak bisa dibarengin ama orang kantoran normal yang waras dan saya anti inggih-inggih tanpa tahu maksudnya pada atasan, plus saya paling takut ama birokrasi. (I love duck tape but I loathe red tape). Suatu hari saya melihat ibuk-ibuk berbaju Korpri makan siang di mall, dan yang terbayang dalam pikiran saya adalah: *bukan gambar sebenarnya, ini cuman khayalan saya. Kan gak etis ya orang masih makan dipoto-poto*

dari sini menjadi










Nah, sampai mengorbankan petualangan saya di dunia persilatan, alasan saya sendiri jadi PNS apa? Biar saya daftar disini:
  1. Kabur dari perumahan orang tua indah
  2. Melepaskan jabatan tetap saya sebagai parasit lajang (parasitnya, bukan lajangnya*takut gak laku banget sih*) dan sebagai penganggur penuh waktu
  3. Cari kerjaan apa aja asal nggak di Jakarta *merujuk postingan kemaren*
  4. Sekedar bisa kasih makan diri sendiri jadi bisa ngasih pendapat sama orang tua, kalo ngga saya tetap dijatah kaya waktu SMU dulu *susah, dianggap dewasa cuman kalo sudah kawin*
  5. Saya ingin melakukan sesuatu yang berguna di negara saya sendiri (hadirin dimohon berdiri sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan kusyuk). Ini rada-rada semi agak-agak serius lho^_^. Seperti saya pernah tulis, meskipun kesejahteraan di negara ini tidak ditanggung, setidaknya makan tetap ditanggung karena dapet beras jatah. Hidup joko sembung!
Intinya sih, saya merasa ada kebutuhan lebih mendesak untuk berada di sini. Pikiran saya masih melanglang buana, tapi setidaknya ada hati di tempat ini. Saya cuma berharap, waktu pake baju Korpri nanti, saya masih bisa jadi diri saya sendiri. Semoga.


Sunday, September 27, 2009

Jakarta, dari mata saya

Lebaran kali ini keluarga saya mengunjungi Jakarta. Hanya karena mitos bahwa Jakarta sepi kalau lagi lebaran. Benar juga sih, tidak semacet biasanya. Tapi jangan coba-coba mampir di restoran terkenal. Ngantrinya bisa bikin nyamuk kenyang duluan. Sementara kita menunggu sambil kelaparan sampai ada meja kosong (dengan pemandangan orang mengganyang kepiting saus tiram dan gurame bakar, benar-benar siksaan!). Bagi saya pribadi, Jakarta adalah kota yang paling tidak nyaman untuk ditinggali. Tapi apa lacur, perputaran uang di Jakarta adalah yang terbesar di Indonesia, sehingga orang berlomba-lomba mengais nafkah di kota ini. Jadi apa yang terlintas dalam benak saya tentang Jakarta?
  1. Kota besar yang mirip hutan belantara. Dengan segala keramaian, gedung-gedung bertingkat, jalan-jalan kecil yang rumit, alat transportasi yang bersliweran tak keruan dan orang yang berteriak-teriak (dari calo, pengamen, sampai pedagang asongan), sangatlah mudah untuk "tersesat" di Jakarta. Jakarta selalu membuat orang berpacu dengan pekerjaan dan aktivitas, dari kernet angkot dan pedagang kaki lima sampai eksekutif dan ekspatriat semua kelihatan sibuk. Kalau saya duduk di pinggir jalan, saya bisa melihat semua kendaraan melaju dan berkejaran. Kalau saya duduk di mall saya akan melihat semua orang berseliweran dan eskalator yang naik turun penuh orang. Jakarta juga sangat besar, seperti semua kampung di Indonesia berkumpul menjadi satu. *Di Jakarta, berlaku hukum rimba. Siapa kuat dia berkuasa. Siapa lemah dia haruslah main keroyokan untuk menghalangi yang kuat supaya tidak semena-mena. Ada yang hidup dari pohon ke pohon, ada juga yang merayap di tanah.* Maksud saya, saya pernah dari bandara naik mobil pribadi ke hotel. Hasilnya tidak keringetan sama sekali. Tapi dari kereta ekonomi turun stasiun Jatinegara naik angkot lalu bis kota lalu nginep di klinik 24 jam. Hasilnya harus mandi saat itu juga agar bau saya agak manusiawi.
  2. Transjakarta busway. Saya yang tidak bisa bedakan utara dengan barat (kalau selatan gampang: lawannya utara) sangat terbantu dengan adanya busway. Pernah naik bis ekonomi jurusan blok M malah harus naik ojek puter balik gara-gara kelewat jalan. Jadi satu tiket ke segala koridor adalah cara terbaik kalau untuk pasang GPRS di HaPe dianggap terlalu keren. Busway bagi saya punya romantika tersendiri. Dari ngantri berjam-jam dengan bau ketek campur deodoran, kedorong orang sampai bisa masuk ke bus tanpa harus jalan sendiri, kebelet pipis tapi udah terlanjur kegencet di tengah antrian, dan bingung apakah mau keluar dari koridor buat ngejar angkot karena udah telat atau hemat dua ribu perak tapi nunggu bis yang lewat sejam sekali dan ditolak kalau udah kepenuhan.
  3. Ojek sepeda. Alat transportasi romantis ala tahun 60an ini punya cerita tersendiri bagi saya. Waktu itu mau mengunjungi si Kristina, petunjuk jalannya adalah "naik angkot nomor sekian, berhenti di depan toko anu dan ke sini naik ojek sepeda". Wow, ini keren sekali karena saya dan Kristina sama-sama makhluk bersepeda waktu jaman SMA dulu (gak nyambung sih sebenernya). Tapi saya sunggu senang bisa mbonceng sepeda, karena dari dulu selalu nggenjot sepeda sendiri. Menurut Kristina (pakar ojek sepeda) untuk mendapatkan hasil maksimal dari numpang sepeda orang antara lain: jangan tukang ojek yang tua, karena kasihan. Apalagi kalau saya tidak selangsing Kate Moss. Jangan yang kelihatan keringetan banget, karena kalau numpang ojek sepeda anginnya bertiup ke belakang. Jangan pelit-pelit amat, kan kita tahu sendiri rasanya nggenjot sepeda, apalagi kalau ada yang mbonceng dan jalannya nanjak. Jangan kaget kalau tukang ojek sepedanya masuk jalan satu arah dan menentang arus, karena rambu-rambu lalu lintas tidak berlaku untuk sepeda. Terakhir, meskipun kita ketakutan karena sepedanya menentang arus, jangan salah pegangan!
  4. Mall of Indonesia. Grand Indonesia. Pokoknya mall kalau udah pake nama Indonesia artinya: besar, mewah dan baru ^_^ (ndesonya kumat). Pokoknya mall di sini mah seh tarada lawan. Sayangnya budget saya cuma cukup untuk melihat-lihat dan mengagumi musical fountain yang gratis (kagum karena gratis). Sayangnya tempat yang memungkinkan untuk keluarga jalan-jalan ya cuma mall. Di luar terlalu panas dan terlalu berpolusi. Mau duduk-duduk di warung pinggir jalan malah dikira sales minuman berkhasiat. Kalau duduk di Starbucks enak tapi cepat miskin. Kata orang sih hidup di Jakarta bagai buah simalakama.
  5. Klinik 24 jam. Ini tempat cari duit yang jelas-jelas eksploitasi tenaga dokter. Puskesmas aja nggak jaga 24 jam. Kalaupun 24 jam tetap gantian. Tapi berhubung di Jakarta kemana-mana susah dan mahal diongkos, belum lagi para perantau yang tidak punya tempat menginap, klinik 24 jam jadi tempat tinggal sekaligus kerja. Tempat ini juga menjual jasa dokter sekaligus obat, mirip tempat prakteknya mantri-mantri di desa saya.
  6. Polisi Lalu Lintas yang suka memeras. Polisi ini kerjaannya mencari mobil yang salah belok atau salah jalur. Biasanya sih mobil-mobil tersebut berasal dari luar kota atau pengemudinya bukan orang Jakarta dan cuma lagi libur lebaran *pengalaman pribadi sekalee* Jadi ceritanya saya tidak hafal jalur di Jakarta. Berbekal peta yang susah dibaca (atau memang saya susah bacanya) kami pun nekat menjelajahi Jakarta. Nah tiba-tiba waktu belok diberhentiin polisi dan diminta SIM/STNK. Saya sih tidak keberatan kalau memang salah ya ditilang. Tapi yang paling bikin sebel adalah dimintai duit Rp. 150.000,00. Usut punya usut kalau ditilang di Jakarta seharusnya cuma didenda 50 ribu rupiah. Saya paling sedih sama polisi yang menggunakan wewenang buat memeras, kalau mau minta duit ya bilang aja "kasihani saya mbak, saya juga pingin beli baju baru buat anak saya pas lebaran ini," kan saya ngasihnya lebih ikhlas daripada pura-pura menahan SIM/STNK saya. Saya kasihan sama orang-orang yang lebih miskin dari pengemis ini. Pengemis kurangnya cuma limaratus atau seribu perak, si polisi pemeras kurangnya seratus ribu rupiah. Lebih miskin akhlak. Miskin harga diri.
  7. DVD palsu. Saya hobi sekali nonton film (opera sabun?) serial TV seperti CSI, Monk, Southpark, The Simpsons, Scrubs dan Grey's Anatomy. Dulu sih saya sibuk pinjam di persewaan DVD. Tapi berkat menjamurnya DVD palsu, harga DVD jadi semangkin terjangkau (meskipun kualitasnya semangkin hancur). Di Semarang DVD bajakan ini harganya delapan ribu per keping, di Jakarta cuma lima ribu dan kalau beli sepuluh gratis satu. Sifat jelek dari penggemar serial adalah kecanduan, jadi saya terpaksa beli DVD palsu ini apalagi kalo digratisin satu per sepuluh biji*mupeng mode on*.
  8. Ojheck. Ini ojek motor biasa, bukan ojek sepeda. Terus terang saja, saya lebih suka naik ojek daripada naik taksi, karena anginnya yang semilir dan lajunya yang lincah lewat pasar-pasar dan kampung-kampung itu rasanya lebih mantap daripada duduk dengan kaca tertutup di dalam mobil. Saya suka naik ojek karena kalaupun menyasar-nyasar ria tidak harus nambah bayar argo. Kalaupun brenti-brenti sepuluh kali untuk nanya jalan sama penjual rokok asongan bayarnya ya tetap segitu. Pernah saya naik taksi, memang sih argonya terpercaya, tapi sopirnya nggak tahu jalan jadi pake muter-muter dan kena lampu merah segala sampai bayarnya mahal. Heran deh, sopirnya yang nyasar, sayanya yang telat kok masih disuruh bayar lebih?
  9. Kampus UI. Tempat nebeng terpercaya. Walaupun saya nggak pernah kuliah di sini, tapi teman-teman saya pada ambil spesialis di sini. Jadi kalau mau nebeng kos-kosan mereka ya di sekitar sini. Saya jadi hapal masakan yang enak di sekitar sini sampe jalur-jalur angkutan umumnya.
  10. Kopaja, Metro Mini, Damri, dan para pengamennya. Saya bangga akan pengetahuan saya terhadap rute bis-bis kota ini. Sayangnya saya cuma tahu ikut bis saja tapi tidak tahu ada dimana. Jadi pengetahuan ini tidak membantu kalau pas bawa mobil sendiri. Masa petunjuknya "ikuti kopaja nomer 97"? Alhasil saya tetap nyasar jaya dan dipalak polisi. *Aduh*. Saya juga suka memperhatikan pengamen. Banyak pengamen yang pinter nyiptain lagu sendiri dari yang berima menggelitik sampai nge-rap. Misalnya, "jangan hina pengamen cilik, biar miskin tapi banyak dilirik, sama cewek-cewek cantik, karena goyangan kita menarik, lagu kita juga lagu baik-baik, kalo kasih uang kita tabiiik," ada juga syair yang agak-agak saru alias porno tapi saya pura-pura nggak hafal saja daripada blog saya diblokir karena melanggar larangan MUI.
  11. Kristina Melani Budiman. Orang inilah yang akan saya cari kalau saya mengunjungi Jakarta. Bukan karena dia teroris apalagi narapidana jebolan Cipinang, tapi sekedar untuk menumpang mandi alias ketemuan. (kaya pantun itu lho, kalau ada sumur di ladang...). Ketemu Kristina membuat Jakarta yang sumpek, panas, kotor, macet dan memalak jadi terasa meriah dan menyenangkan. Pokoknya kalaupun saya malas lihat hiruk pikuknya Jakarta beserta segala kesibukannya, saya akan menoleh ke Kristina dan dunia saya pun berubah jadi dunia yang saya kenal.
    Ketemu Kristina membuat baso tahu terasa lebih enak karena ngeliatin dia makan mie tarik *joko sembung mode on*.
Saya akhirnya pulang kembali ke kampung (ketika sedang sibuk-sibuknya arus balik ke ibukota) dan saya merasa lega. Sepertinya tempat saya memang di sini. Karena bagi saya untuk tinggal di Jakarta rasanya seperti mobil yang salah jalur. Irama hidup di Jakarta keras dan menuntut karena persaingan untuk bertahan hidup yang ketat. Tidak ada pilihan untuk hidup sederhana. Rasanya yang ada cuma pilihan untuk jadi kuli atau...bosnya kuli. Tidak ada tempat untuk jadi orang biasa yang bisa juga ikut menikmati.

Omong-omong kosong nih, saya menikmati sekali melihat bebek melintas di kali kecil belakang rumah.

Friday, September 18, 2009

Destination: Indonesia

My mate is going to visit me this October. This is his first visit to South East Asia. He asked, why Indonesia? Right, good question. There are pristine beaches in Thailand, huge majestic limestone in Vietnam, grandiose Angkor Wat in Cambodia, "gaudy-asian-package" in Malaysia and compact, reliable, mini USA in Singapore. What is so special about Indonesia? I have some reasons. I made a list of it and hopefully I can get some more from my patriotic, imaginative and intrepid traveling friends in here (get you fingers ready for adding the list please =D)

1. Indonesia is a place where the less money you have, the tanner you will be. Don't bother lying inside that hideous Victoria-Beckham-style tanning capsule device. Simply rent a rickshaw for a day, go around the city and enjoy. No, I don't mean to sit inside the rickshaw. To get the best result, drive the rickshaw on your own. If you're lucky enough, you might get some passengers and money. And muscle too! (attention: it is very healthy for professionals. For beginners, I encourage you to consult your gym trainer in advance).

2. Indonesia is an adventurous place. Seriously. The limitation of possible amazing holiday story in a lifetime
is just your imagination. For example, two guys got to know each other in Wamena because they both jumped from their room's window during the fire due to Papua sepation's riots in 2001. Note: there was no appropriate fire exit in poxy inns in Indonesia. The fire instruction apparently read: "jump from any possible exits in case of fire". Since then they became very close traveling buddies (and are still happily alive, FYI).

3. Indonesia has three different time zones, thousands of inhabited islands, Asian and Australasian fauna (including komodo dragon, orang utan and birds of paradise), about 700 (seven-hundreds) local languages. Why those things matter? The first one is important for making a phone call. Once I spent all my phone credit because I forgot I was in the different time zone. My mobile provider had "after 5 o'clock rate" discount scheme. But I called from Bali without considering that my mobile's number had been registered in Java, so Java's time was applied. Always considering your time zone, otherwise you may make call at 6 in the morning instead of 8 (so fun!). Secondly, there is still possibility you can buy an island here. I once went to Flores and I saw an island surrounded by high fence like a castle. Some said it belonged to a filthy rich English man. Well, perhaps it is true, an Englishman's island is his castle. Thirdly, you can track back your ancestor's trait from the high level of biodiversity. Take an example of orang utan. It might reflect our natural forces in general ^_^. Lastly, the local language is fantastic. If I go further afield, to more dense part of Indonesia outside my own island, I can pretend I am abroad e.g. in Amazon or Tuvalu. Even if you speak impeccable Indonesian, you're quite hopeless here. That's why people need a local travel guide to trek to villages in some deserted part of Indonesia.

4. Indonesia is a perfect place for shopping trip. Before you argue that other places might be better, cool yourself down because I will explain why. Shopping experience is different here. You have to practise to haggle like a pro. You might not want to sweat for a few rupiah less. Let me tell you, it's not about the money. It's about winning and conquering. My mom is a tough buyer and she thinks that supermarket with its fixed price is so boring. Open-traditional market is her battle field. She can debate, argue, disprove, reason, agitate and oppose on a pair of slipper's price. For her, everything she wants should be a bargain. You are also trained to be very assertive because street hawkers and touts can be very rude and persuasive. Whatever you buy, you have to use all your tricks, tactics, cunning, proficiency and expertise to be "a smart buyer". Then you can shop till your account balance drops.

5. If Malaysia claims itself as a "handy-asia" you might find Indonesia as a complicated version of Asia. To travel from one place to another can be tricky, because we are a vast archipelago. So how c
an this be a reason? Because you will see reality. If Malaysia is just a garish display of culture and stuffs, we have the real things that you have to dig in and not served in a silver plate. Malaysia is like a zoo when we are the wildlife (David Attenborough will agree with me). As a wildlife, our culture lives on its own, in its own habitat. Some of them survive and some become half-extinct or get bombed. That is real life (life is hard, man!)

6. If you hate your neighbour, you can tell the police that they are terrorists. They will kill them for free (and check their identity later).


7. If you forget the rule, just keep money or cigarette handy. It's a justification to let you free.

8. Indonesia is the best place to make friends. Most of us are over familiar and just extremely friendly that you may find a lot of people asking you personal questions as if they know you for ages. My friend used to get greeting addressed to his family back home from passers by.

9. Indonesia is the best place to know about new gadgets available in the market. Forget Japan. This is t
he place. (P.S. you should see my brother's).

10.
Indonesia is the best place if you wonder whether you are allergic to certain food or not. We put many kind of spices in our food. And we cook all ingredients imaginable such as buffalo's skin, dog's meat, cow's blood, cow's intestine, cow's brain, cow's liver (in short, nothing left from dead cow, poor girl!), snake, king cobra's meat, chicken's feet, chicken's intestine, bekicot, duren, pete, jack fruit, frogs, and many mollusk in the ocean. If you a true food adventurer, here is your challenge to go!

11. I dare you to start your toilet training once again! Our squatting toilet is not just to squat on, but also
to practise cleaning your bottom with a bucket of water. Without wetting your T-shirt or trouser! Mostly the toilet has no hose, toilet paper will be a wishful thinking. Just a bucket of water and a small bucket to get the water from the bigger one. We call the later ciduk. With this wonderful device, you splash water to clean yourself after urinating or defecating. The trick is, don't wet your clothes because they will get wet anyway when you put them back on. ^_^

Anyway, I have to admit that I (painfully) love my country. With all its flaws and weaknesses, it's still a beautiful place to where I come home. I don't need any reason for this. My home is where my heart is.

Wednesday, September 16, 2009

Pilihan





Yang namanya memilih, menurut saya tugas yang berat. Sebenarnya setiap saat kita membuat pilihan. Dari yang gampang seperti: makan di warteg bu Dewi atau di restoran Padang, pesen es teh manis atau es cendol atau air putih saja, masak ayam atau ikan, mau tidur sekarang apa nanti. Maksud saya, keputusan-keputusan yang tidak terlalu besar efeknya dan tidak menyangkut hajat hidup orang banyak. Tapi akan susah kalau pilihan itu sifatnya penting dan permanen. Misalnya: memilih calon presiden, memilih pasangan hidup, memilih profesi, memilih tempat menetap, memilih kepercayaan, memilih cara hidup. Atau yang menyangkut hidup orang lain seperti memilih terapi yang diberikan kepada pasien. Kata yang pernah main saham atau future, dalam beberapa detik keputusan tahan atau lepas/jual bisa mengakibatkan untung atau rugi sampai jutaan. Ada juga yang bilang pada saya, pilihan yang benar pada waktu yang salah adalah salah. Nah, berarti kita masih harus memilih waktu yang tepat (keluh).

Ada lagi pilihan yang tampaknya tidak kelihatan tapi berpengaruh besar: memilih apa yang kita pikirkan. Cara pandang terhadap sesuatu. Misalnya memilih untuk memaafkan ketimbang menyimpan dendam, memilih untuk memikirkan yang baik ketimbang memikirkan yang jahat, memilih untuk tidak mengumbar nafsu (bukan cuma bulan puasa saja yaaa). Apapun pilihan kita, kita dibentuk olehnya. Ini seperti bau badan kita ditentukan oleh sabun mandi dan deodoran yang kita pakai (ini perbandingan yang kurang pas sebenarnya). Saya bilang sih, kemampuan membuat pilihan inilah yang membedakan antara satu pribadi dengan yang lain. Nah orang yang cuma bisa ikut-ikutan dan tidak memilih sendiri inilah yang dibilang tidak berkepribadian. Kenapa? Karena setiap pilihan membawa konsekuensi. Kita bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri. Baik atau buruk hasilnya kita petik sendiri. Pengecut lebih suka tidak memilih, atau istilahnya 'cari aman'. Padahal dengan begini dia kehilangan hak istimewa, yaitu menjadi orang yang bebas. Hanya budak yang tidak punya pilihan. Orang yang merdeka itu bebas memilih.

Pilihan itu kemewahan. Banyak orang tidak punya pilihan karena keterbatasan keadaan. Tapi kadang, harus diakui kita begitu takut memilih. Hal ini karena banyak pilihan yang kita buat mengarah ke tempat yang kita tidak tahu rimbanya. Sebagai orang yang penuh pertimbangan, kita ingin tahu semua kemungkinannya. Tapi kadang kemungkinan itu ada tidak terhingga. Dan ketika kita memutuskan ntuk menunda atau tidak memilih pun, kita tetap memilih juga. Yaitu memilih untuk menunda dan tidak memilih dari pilihan yang ada. Kata orang sih, beranilah memilih atau orang lain yang akan memilih untuk kita. Dunia ini bukanlah tempat yang sabar untuk menanti kita membuat keputusan. Kalau pekerjaan tidak dipilih ya akan disambar orang, begitu praktisnya. Kenapa saya bicara ngelantur tentang pilihan? Tidak ada intinya juga sih. Saya cuma sadar baru-baru ini saya bikin banyak pilihan, tanpa sadar penting atau tidaknya pilihan itu. Kadang efeknya langsung terasa, kadang dalam jangka panjang. Biar saya tulis beberapa.
1. Kalau ngantuk berat, saya sering memilih langsung molor dan tidak gosok gigi. Sekarang gigi saya lubang-lubang kaya jalur pantura waktu musim hujan.
2. Saya memilih masuk FK jaman lulus SMU dulu, sebenarnya karena cuma itu yang saya tahu kerjaannya apa (sampai sekarang tidak tahu orang yang belajar di fakultas tehnik industri itu kerjaannya apa? Sama tidak dengan Sipil?) dan juga pengaruh lingkungan. Tapi saya tidak pernah bertanya sungguh-sungguh saya minatnya apa. Sekarang jadi bingung mau mengarah ke mana dan bagian apa yang ingin saya tekuni.
3. Saya memilih tempat yang saya tuju di dunia dengan cara nusuk peta pake jarum dengan mata tertutup. Dua kali saya menusuk Laut Cina Selatan.
4. Saya cuma berkencan dengan orang yang menurut saya beda dari yang lain. Jadi kalau saya hidup di lingkungan yang semua prianya baik kemungkinan besar saya pilih yang jahat :-D
5. Saya selalu pilih makanan yang warna-warni, karena berdasar pengalaman saya makanan yang satu warna itu tidak enak. Misalnya: nasi jagung itu seret jadi kalau makan harus sambil minum air terus.
6. Saya pilih kerja di lingkuangan yang berbeda-beda karena dengan begini pilihan yang saya buat lebih mencerminkan diri saya sendiri dibanding di lingkungan yang familiar. Orang-orang yang mengenal kita punya pengaruh lebih besar terhadap pilihan-pilihan kita.
7. Saya milih makan pake tangan tadi pagi karena sendoknya belum dicuci (walah ini mah terpaksa namanya).

Intinya sih, pilihan itu memang tidak objektif. Kita selalu dipengarui pengalaman masa lalu, pembanding yang ada, kebutuhan-kebutuhan kita dan pengetahuan kita. Pokoknya sih kita tahu memilih butuh keberanian. Dan saya salut pada orang yang berani memilih.

Tuesday, September 15, 2009

Teriakan Hati Rakyat


Apa yang paling diharapkan saat-saat menjelang lebaran begini? Lontong ketupat? Liburan? Mudik? Silaturahmi? Atau tiga huruf ini: THR?

Sebagai orang yang berwiraswasta, lebaran juga merupakan momen dimana kami menghargai para rekan kerja dengan memberi uang lebih saat hari raya. Istilah umumnya TeHaeR. Beberapa tahun lalu, karena keluarga saya punya usaha di desa, 'hadiah' ini berupa satu kaleng besar biskuit Khong Guan, untuk tamu dan anak-anak di hari raya. Hadiah ini disambut lebih antusias daripada uang, karena untuk beli cemilan sendiri ke kota ongkosnya jauh lebih mahal. Sekarang setelah desa saya menjadi kota kecamatan, uang jadi pilihan hadiah terbaik saat hari raya (selain sarung, kain batik dan gula+teh). Saya merasa saat ini termasuk saat yang ditunggu-tunggu, bukan cuma oleh penerimanya tapi juga oleh keluarga kami. Wajah yang bersinar-sinar, jabat tangan yang erat dan pemberian ucapan, "Sugeng Riyadi. Selamat libur. Mohon maaf lahir batin, sampai ketemu habis syawalan," ini benar-benar menyenangkan. Pasti dibalas dengan lontong opor, ketupat, buah-buahan, dan jajanan pasar yang melimpah ruah. Nggak bakal kelaparan meskipun seminggu tidak masak dan tidak belanja deh pokoknya.

Yang saya sesalkan, banyak orang minta THR yang bukan haknya. Salah satunya adalah aparat kepolisian (dalam kasus saya, koramil). Mereka minta sumbangan tiap Agustusan, tiap ulang tahun kepolisian dan juga hari lebaran! Logika saya sih, kalau kita iklas ingin menyumbang ya boleh-boleh saja. Tapi kalau wajib menyumbang itu namanya pungli. Orang kita punya NPWP dan jujur bayar pajak, kita juga masih harus memberi "uang lelah" (sejak rokok dianggap membahayakan kesehatan katanya) kalau kita memperpanjang STNK, BPKB, SIM dan lain sebagainya. THR menurut saya adalah uang tambahan yang diberikan untuk orang yang kerja bersama kita sepanjang tahun. Jadi bonus ada kalau kita sudah sama-sama berjuang di perusahaan yang sama, sehingga nanti hasilnya dinikmati sama-sama di waktu istimewa seperti hari raya. Kalau polisi yang katanya menjaga keamanan? Saya bukannya bilang mereka tidak kerja, tapi mereka tidak ada hubungannya dengan pemberian THR. Jatuh atau bangunnya perusahaan kan tidak berpengaruh pada aparat. Kita menerima jasa aparat dengan biaya membayar pajak. Jadi apa artinya minta THR seperti para karyawan perusahaan yang memang bekerja pada kita? Kalau mau minta-minta sumbangan tidak perlu dibungkus momen idul fitri segala. Pakai proposal saja, nanti kita bisa menilai apakah kita mau menyumbang atau tidak.

Susahnya, kita semua saling kenal. Kalau saya bilang sih, seharusnya ini justru membuat orang yang tidak berhak merasa lebih malu. Tapi malah tidak tahu malu tuh. Saya selalu bertanya mengapa "merasa tidak mampu" malah jadi alasan untuk meminta, bukannya merasa rendah dan berusaha untuk mampu. Bukannya kemandirian itu membuat bebas, ketergantungan itu membuat kita berhutang dan terikat? Lagipula aparat itu orang kuat, kok malah menodong sama rakyat sih? Ini bukannya jadi jeruk minum jeruk eh maksud saya pagar makan tanaman?

Perusahaan keluarga seperti milik kami ini bukanlah bisnis yang beromset besar. Kami menyerap tenaga kerja, membuat orang-orang jadi tidak kurang kerjaan (dan jadi sibuk ngeblog doang seperti saya, hehe) dan menghidupkan usaha lokal. Saya pikir, pemerintah seharusnya mendukung dan mendorong orang di desa saya untuk berwiraswasta. Tidak perlu memberi uang bantuan. Tapi, (aduh nyomot bahasanya koran nih) dengan menciptakan lingkungan yang kondusif (huakakaka, obsesi: jurnalis). Tidak dibebani pungli, tidak dipersulit. Yang mau mandiri kok malah digantungi. Yang gantung itu seharusnya sadar mereka juga punya kaki sendiri. Kalau nggak dipakai nanti bisa atropi (mengecil).

Jadi, sebelum lebaran ini selain bagi-bagi tunjangan hari raya, saya juga pingin bagi-bagi teriakan hati rakyat. Saya sedih orang masih main pungli. Orang disini mengepak barang sampai pagi. Bukannya duduk-duduk ngerokok minum kopi. Cobalah usaha sendiri, buka toko sendiri atau apalah yang bisa bikin orang lain dan diri sendiri tambah makmur. Orang dagang itu berisiko rugi kalau PNS masih tidak terlalu takut pailit. Asal waktu tetap berganti gaji tetap menanti (makanya saya lagi mempertimbangkan jadi PNS nih=p). Kata orang jawa sih sikap satria itu adi luhung dan tidak meminta-minta. Bagaimana dengan sikap para satria kita? Tidak perlu angkat senjata karena musuhnya bukan lagi Belanda. Tapi moral dan mental saja. Itupun masih kalah sebelum bergerilya. Apa kata dunia?

Thursday, September 10, 2009

Pre Wed Aneh

Dari dulu selera saya aneh dan saya suka hal2 yang aneh2 dan teman yang aneh...seperti salah taunya adalah Mbak Sri dari desa Limpung. Jadi waktu saya mau foto pre wedding, saya ingin foto saya tidak ada yang menyamai. Tadinya saya sempat desperate dan saya pikir..ah yang penting foto murah aja daripada tidak sama sekali. Sampai akhirnya saya teringat teman saya di masa yang lampau pernah memotret saya dan pacar saya yang hasilnya cukup memuaskan. Alhasil saya menghubungi teman saya tersebut untuk memotret foto pre wed saya. Karena dia orang cirebon maka saya memutuskan untuk pergi ke Cirebon. Banyak yang bilang saya kurang kerjaan, untungnya calon suami saya itu orangnya juga suka yang aneh2 jadilah kami pergi dari Jakarta ke Cirebon hanya untuk foto pre wed.

Pada Jumat pagi minggu kemarin Petter (calon saya) dan saya berangkat dari Jakarta ke Tangerang jam setengah 5 pagi untuk make up di salon. Setelah selesai di make up, kami cepat2 naik taksi ke Stasiun Gambir untuk mengejar kereta ke Cirebon jam 9.35. Membutuhkan waktu 3,5 jam naik kereta dari Jakarta ke Cirebon. Lihatlah tante bridal salon sangat pengertian karena perjalanan jauh maka make up saya dibuat menor.
Ini foto yang diambil di kereta...saya mayuuu...karena sepanjang jalan di stasiun banyak yang menatap saya dengan sembunyi2 maupun terang2an...mungkin mereka pikir ada artis dari mana gitu.

<

Petter dan saya sampai di Cirebon pukul 1 siang dan langsung dijemput oleh sang fotografer bernama Jemmy Mandolang naik mobil pick up (untuk menghemat sewa mobil). Usaha Jemmy yang sebenarnya adalah Toko Bina Harapan A&G (bukan art and glamour tapi Alumunium and Glass). Pekerjaan dia adalah membuat etalase. Kalau teman2 bertanya saya foto di mana..pasti saya akan menjawab "O..saya foto di studio toko etalase". Pasti tidak ada yang akan mengembari kan?




Setelah makan di restoran Olla Olla, maka Petter dan saya pun berganti baju pengantin untuk memulai sesi pemotretan pertama yang berlokasi di hutan pinus. Tentu saja kami berangkat naik mobil pick up nya Jemmy beserta asisten nya bernama Mas Tar. Mas Tar ini profesi sehari2 adalah tukang buat etalase. Namun untuk dua hari kemarin dia bisa menambahkan profesi asisten fotografer di CV nya.

Foto pertama diambil di hutan pinus dengan ditonton banyak orang. Bagi yang ingin melihat Mas Tar sang asisten fotografer bisa melihat di foto pojok kanan atas ada tangan memegang blitz. Mas Tar maafkan saya, saya tidak bisa menampilkan foto Mas Tar dengan anggota badan lengkap. Sehabis di hutan pinus, kami pergi ke tempat penambangan batu di dekat situ. Saya terobsesi sebuah foto yang diambil dari reality show We Got Married yaitu serial korea dimana beberapa artis dipasangkan untuk berpura2 menjadi suami istri. Pasangan favorit saya adalah pasangan yang ceweknya lebih tua 6 tahun yaitu Hwang Bo dan Kim Hyun Joong (Hwa Ce Lei nya korea). Saya sendiri lebih tua 2 tahun dari Petter jadi saya merasa sehati dengan pasangan Joong Bo itu. Ini adalah foto 100 hari pernikahan Joong Bo yang saya ingin tiru.

Dan inilah hasil foto Petter dan saya, mirip tidak? Karena Petter sudah menggendut jadi dia tidak bisa meloncat setinggi Hyun Joong. Tapi lumayanlah obsesi saya bisa tercapai.



Setelah sesi pemotretan di gunung batu, kami mengejar foto siluet di kuburan yang menyeramkan. Tidak usah saya pasang di sini karena nanti para pembaca merasakan keseraman foto itu. Karena saya tidak biasa difoto seharian, akhirnya saya lapar. Sebenarnya saya ingin makan kerang karena Cirebon adalah kota udang. Namun kata Jemmy bagaimana saya bisa makan kerang dengan baju pengantin. Tempat yang paling cocok untuk makan dengan baju pengantin tentu saja di KFC, jadi kami berempat makan di KFC. Benar2 pengalaman tidak terlupakan dimana semua pengunjung KFC melihat dengan pandangan mata kagum (atau heran ya?) ke arah kami.

Setelah selesai makan, masih ada satu sesi pemotretan lagi yaitu di balai kota Kuningan yang letaknya 1 jam naik mobil dari Cirebon. Dingin sekali di sana. Benar2 penuh perjuangan dan ini adalah hari yang sangat berkesan buat saya. Jadi melalui tulisan ini saya sangat berterima kasih kepada Jemmy sang fotografer dan Mas Tar sang asisten fotografer teladan. Pada penasaran ga liat mukanya sang fotografer? Silakan liat foto di bawah ini ya.



Tuesday, September 8, 2009

Nikah Ngirit

Selama ini tulisan saya sepertinya tidak ada manfaatnya bagi pembaca...paling2 hanya membuat pembaca geleng2 kepala dan memikirkan..kok ada ya yang mau menulis kaya gini. Jadi hari ini mumpung daya ingat saya masih fresh..saya ingin membagi tips2 buat yang mau nikah dengan dana terbatas dan bahkan ga punya dana. FYI, saya rencananya akan menikah tahun ini dan karena saya dan pacar saya dananya terbatas maka kami menikah dengan pengiritan besar2an...tapi tidak berarti para tamu nanti akan diberi makan seadanya misal nasi tempe dengan sambal terasi beserta emping gratisan (minta sumbangan ama ria). Jadi inilah tips2 buat nikah gratis eh nikah ngirit:
  1. Belilah cincin kawin sesegera mungkin karena harga emas kemungkinan besar akan naik dalam sepuluh tahun mendatang. Selain itu seperti cerita yang saya baca di Chicken Soup, ada seorang wanita yang mendambakan pasangan hidup namun tak kunjung datang. Jadi suatu hari dia membeli celana jeans pria ukuran 34 or 43 (lupa saya) dan dipajang di dalam kamarnya. Setiap hari dia memandangi celana itu sambil berdoa supaya Tuhan mengirimkan jodoh yang tepat buat dia. Singkat cerita (kalo panjang ntar judulnya bukan nikah ngirit..tapi celana jeans pencari jodoh), akhirnya suatu hari ada cowok mengetuk pintu kamarnya...dan mereka ternyata berjodoh..dan ukuran celana cowok itu pas banget dengan celana yang dipajang di kamar cewek itu. Intinya yang saya mau bilang..belilah cincin supaya kita tersugesti untuk segera menikah. Saya membeli cincin tidak di mall karena pasti mahal. Saya beli di pasar Cikini yang terkenal lumayan murah. Dan tokonya juga jangan yang bagus2 karena pasti sewanya mahal sehingga harga barang2nya yang dijual pun akan mahal buat nutupin biaya sewa biar ga tekor.
  2. Dalam mencari gereja untuk pemberkatan janganlah gereja ber AC dan gereja2 gede karena pasti biayanya mahal. Tadinya saya mau menikah di salah satu gereja X (jangan disebut namanya) di Jakarta. Namun biayanya mahal banget. Untuk sumbangan listrik 250rb, uang AC 500rb, buat pastor minimal 750rb, dll. Waduh...bisa bokek saya. Akhirnya saya memutuskan pemberkatan di Tangerang saja yang ga berAC..walaupun nanti make up saya luntur paling tidak saya sudah hemat banyak uang bisa buat yang lain. Di greja Tangerang itu tidak perlu bayar uang AC...paling2 sumbangan sekedarnya buat tukang sapu (kata teman saya). Jadi yang terpenting adalah lokasi. Menikah di desa biaya lebih murah tapi mungkin teman2 saya tidak ada yang datang. Makanya saya memilih Tangerang, masih lumayan dekat dari Jakarta selain itu biaya juga jauh lebih murah.
  3. Mendingan menikah di restoran atau di hotel daripada di gedung. Kenapa? Karena biasanya gedung itu kita bayar sewa gedung dan bayar harga makanan. Sedangkan kalau menikah di restoran biasanya kita cuma bayar makanan, sewa gedung gratis. Begitu juga kalau di hotel, cuma bayar makanan juga dan biasanya dapat jatah kamar hotel. Lumayan kan? Nah...kalau mau lebih murah lagi, menikah di depan rumah saja sambil mendirikan tenda. Cukup bayar setoran ke pak RT terdekat. Namun cara ini berisiko karena saya pernah datang ke pernikahan seorang teman dari teman saya, dia menikah di depan rumah tapi banyak lalat2 jadi terpaksa pasang obat nyamuk buat mengusir lalat....akibatnya....saya sakit perut habis kondangan.
  4. Mendingan kita susah sedikit daripada mengambil paket sekaligus dari restoran atau hotel atau gedung yang sudah include semua...mulai dari bridal, makanan, mobil, dll. Karena kalau mengambil paket pasti kita dapatnya yang pas2 an. Misal salon dapat jatah yang biasa2 aja atau fotonya biasa2 aja. Karena paket itu kan mereka saling bekerja sama..semakin banyak pihak2 yang bekerja sama...semakin banyak bagi hasilnya..jadi mungkin kita tidak akan mendapat yang maksimal. Seperti di salon saya sekarang, saya tidak ambil paket dari restoran jadi saya bebas memilih gaun yang saya mau. Tapi orang2 yang mengambil paket dari restoran pilihan gaunnya terbatas (yang modelnya rada kuno2).
  5. Carilah koneksi sebanyak2nya....misal saya beli undangan di tempat teman. Foto pre wed juga sama teman. Nanti beli souvenir di tempat kenalan pacar saya. Foto dan liputan hari H juga di tempat teman saya. Yang bukan teman saya cuma tante restoran. Harusnya saya punya kenalan orang pemilik restoran jadi semuanya lebih murah lagi. Kalau kita menggunakan jasa teman, selain menolong teman, biasanya teman tidak menipu. Teman yang baik tentunya...kalau teman yang buruk ya sama aja.
  6. Harus tebal muka alias ga tau malu dan gengsinya harus ditaruh di pantat. Jika kita ingin mengirit tentu saja kita akan mencari yang harganya semurah mungkin dan itu butuh pengorbanan. Seperti minggu kemarin saya foto pre wed di Cirebon. Fotografernya adalah teman saya. Karena saya dan pacar saya budgetnya juga ngepas maka kami juga harus terima kalau kunjungan ke lokasi2 menggunakan mobil pick up (losbak) sang fotografer biar hemat sewa mobil. Waktu itu banyak mata memandang karena saya yang pake baju pengantin nan cantik ini kok naik mobil losbak...tapi itulah pengalaman berharga yang bakalan saya ingat seumur hidup.
  7. Yang terakhir....berdoalah supaya Tuhan memberi jalan. Saya mempersiapkan pernikahan ini kurang dari setahun. Dan saya sendiri heran kenapa begitu banyak jalan mendekati hari pernikahan. Tiba2 ada teman yang menawarkan foto, dll. Begitulah.....semoga tips2 dari saya ini berguna ya....

Monday, September 7, 2009

Gigiku Sayang


Tahun lalu pekerjaan saya mengajar. Anak-anak suka tanya segala hal. Dari apa warna kesukaan saya sampai apa rasa kue favorit. Waktu ditanya peri apa yang paling saya sukai, saya bilang, "Peri gigi. Karena mereka ngasih duit," Teman saya ketawa. Setelah saya pikir-pikir lagi sekarang, it was a briliant answer! Karena, (sedihnya) gigi selalu berhubungan dengan duit.

Saya (sialnya) selalu punya masalah dengan gigi. Dari konstruksi gigi yang awut-awutan, lubang, lubang parah, gigi patah, pemasangan gigi prostetik (crown/jaket, bukan gigi palsu yang memungkinkan saya bersiul waktu sikat gigi), kondisi mulut yang asam jadi gigi mudah berlubang sampe gusi yang radang karena karang gigi. Kalau saya ingin cerita tentang masalah gigi dan mulut saya, pasti si pendengar bakal merasa jadi setengah dokter gigi. Karena mulut saya mirip ensiklopedia masalah gigi.

Empat tahun lalu, saya menghabiskan waktu saya tiap bulan untuk sakit gigi karena gigi saya dikawat. Dulu kawat-mengkawat dianggap tren, tapi percayalah untuk saya dikawat ini punya indikasi yang jelas. Pertama, gigi saya saling tumpuk dan saling sikut dan hampir semuanya miring-miring. Ada yang bilang ke saya, orang kok isinya cuman gigi sih. Teman saya bilang, gigi saya sudah tidak tertolong lagi kecuali dibawa ke tukang kenteng mobil (tahu kan, itu lho yang memperbaiki mobil penyok). Jadi gigi saya, diluar alasan keindahan, memang benar-benar parah. Banyak lubang di sembarang tempat karena gigi yang bertumpuk susah untuk dibersihkan. Baru SMP saja saya pernah menderita infeksi gigi, karena lubang yang ditambal bocor dan menginfeksi akar gigi. Gigi saya juga pernah patah karena lubang di dalam yang tidak kelihatan dari luar (dan dulu saya tidak rutin mengunjungi dokter gigi, masih belum sadar pentingnya kesehatan gigi). Sayang saya tidak menyimpan foto rontgen saya sebelum dikawat. Kalau ada, seharusnya bisa jadi specimen: 'jangan ikuti jejak saya' kaya peringatan polisi di pinggir jalan yang naruh mobil ringsek untuk memperingatkan pengemudi itu lho. Jadi, mengawat gigi bagi saya hukumnya wajib, bukannya latah atau obsesi selebriti. Nah, berapa biaya untuk pasang kawat gigi? Dulu sampai nyicil karena untungnya yang ngawat itu dosen saya. Tapi saya bayangkan, kalau orang yang bermasalah seperti saya tapi tidak punya dosen ortodontis (dan tidak punya jaminan kesehatan), apa iya sanggup bayar kawat gigi?

Gigi meskipun bukan organ vital, kalau sudah sakit, benar-benar mempengaruhi kualitas hidup. Memangnya apa coba alasannya Bang Meggi Z bilang, "lebih baik sakit gigi..."? Karena yang bisa mengalahkan sakit gigi cuma sakit hati. Saya pernah minta ujian ulang karena tidak sanggup belajar sesudah kontrol kawat gigi! Belakangan ini saya jarang sekali sakit gigi (sentuh kayu, amit-amit, nggak lagi-lagi deh) tapi masalah gigi saya masih ada juga. Ada lubang yang menyerang ruang akar gigi saya sehingga harus disterilkan dan dipasang crown. Untuk merawat gigi saya ini, satu gigi diperlukan paling tidak tiga kali kunjungan ke dokter gigi. Satu gigi menghabiskan biaya beberapa juta (iya, tidak salah tulis, j-u-t-a). Saya tahu biaya perawatan gigi itu mahal, yang saya sayangkan adalah, tidak adanya jaminan di tempat kerja untuk membayar biaya gigi saya. Alhasil, gaji saya tiga bulan habis untuk bayar tiga gigi saya. Jadi tidak ada sisa uang untuk nonton film atau makan di luar (lupakan beli baju baru). Di instansi asing, semua biaya kesehatan saya ditanggung. Jadi meskipun gaji saya tidak besar, saya bebas menggunakan uang itu untuk apa yang saya inginkan, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar saya seperti makan, tempat tinggal dan kesehatan. Mungkin inilah pentingnya ada jaminan kesehatan. Saya tidak tahu bagaimana cara kerja Jamsostek atau Askes, tapi saya tidak bisa membayangkan kalau ada orang yang punya masalah gigi seperti saya dan harus menutup biaya perawatan giginya dengan gaji PNS.

Selewat masa taman kanak-kanak, tentunya saya tidak mengharap sang peri gigi mampir untuk membayar tagihan dokter gigi saya. Tapi mengingat biaya pengobatan gigi yang mahal, tindakan pencegahan tentu lebih murah. Kayaknya saya tidak perlu mengutip artikel tentang "cara gosok gigi yang benar". Tapi saya setuju kalau kita harus mengunjungi dokter gigi tiap enam bulan sekali untuk kontrol dan membersihkan karang gigi, kalau ada. Kalau ada lubang kecil, segera ditambal. Kalau geraham bungsunya miring, konsultasikan. Gigi yang gingsul itu memang manis, tapi gigi miring dan bertumpuk riskan berlubang. Banyak orang tidak bermasalah dengan gigi, tidak pernah sakit gigi. Untuk orang-orang ini saya bilang, don't take it for granted. You're born lucky!

Wednesday, September 2, 2009

Mak Comblang oh Mak Comblang

Di era fesbuk dan twitter begini, urusan comblang-mencomblang dianggap ketinggalan jaman. Benarkah?

Di kota-kota besar dimana para lajangnya sangat sibuk bekerja sehingga tidak sempat bersosialisasi apalagi mencari jodoh, cara lain pun ditempuh untuk mencari kesempatan bertemu sesama lajang. Kencan buta sudah dianggap tidak efektif lagi, sebab memerlukan banyak waktu untuk berkenalan dengan satu orang saja. Belum kalau orang yang dikencan-butai ini ternyata belum bicara saja sudah bau jengkol. Atau kasus yang itu tuh: baju biru celana kotak-kotak. Jadi buang-buang waktu. Bergabung dengan jaringan untuk cari pasangan, misalnya matchmakers.com, dianggap tidak hemat karena harus bayar biaya keanggotaan. Iklan cari jodoh di surat kabar dianggap kurang menjaga prestise karena seolah woro-woro bahwa dirinya kurang laku diajang TePe-TePe. Jadi?

Ada yang namanya eye-gazing parties. Kalau sudah pernah nonton Sex and the City pasti tahu ada kencan buta masal yang memungkinkan kita bertemu dengan orang asing selama dua menit dan bicara tentang hal-hal kecil seperti pekerjaan, umur, hobi, dan apakah dia suka anjing atau kucing, teh atau kopi. Tapi dengan cara baru ini, masing-masing orang tidak perlu bicara. Hanya duduk diam selama masing-masing 3 menit dan menilai calon pasangan dari bahasa tubuh, postur dan ekspresi wajah. Atau merasa pintar? Para lajang bisa membuktikan keahlian dalam mengeja untuk berkompetisi (dari film dokumenter Spellbound) dan memenangkan hati lajang lain. Ada lagi yang menggunakan kode warna untuk menyampaikan pesan: hijau-OK, kuning-mungkin, merah-jangan harap (kaya lampu lalu lintas, mungkin yang salah pesan boleh ditilang). Atau lagi ikutan acara Take me out atau Take him out. Intinya sih bukan karena tidak laku tapi cari kesempatan untuk bertemu, karena kadang-kadang ada orang yang cocok tapi tidak bersimpangan jalan. Di sinilah peran mak comblang diperlukan.

Saya terpesona dengan sistem networking di keluarga saya. Tidak ada yang bicara satu sama lain, tidak ada yang nelpon kecuali kalo butuh sesuatu, tidak ada yang gape facebook, tapi bisa-bisanya sanak saudara yang nun jauh di kalbu menelpon untuk dikenalkan. Teman dari ayah atau saudara sepupu dari paman yang punya keponakan/saudara anak menantu/kerabat/kenalan mengajak bertemu dengan alasan silaturahmi. Sebel? Tidak sama sekali. Ini lebih seru daripada kunjungan sanak keluarga ke kerabat yang lebih tua setiap hari raya. Acara itu isinya cuma beramah-tamah dengan kerabat seusia kakek/nenek sambil menghitung berapa tahun baru lain yang masih tersisa buat mereka. Kalau acara yang baru ini isinya mengunjungi kenalan dari saudara saya yang biasanya masih muda, ganteng, minimal punya pekerjaan tetap (atau katanya sih begitu) dan malu-malu kucing. Saya betul-betul memilih ini dibanding eye-gazing ataupun traffic-lights parties. Dan berakhir dengan bertukar email (berhubung saya tidak jodoh dengan HaPe, betapapun hebatnya mak comblang mengusahakan HP yang cocok dengan saya). Jadi tidak ada efek samping menunggu telepon berdering. Kalo cek email tiap dua menit? Tidak masalah, toh saya sekalian ngeblog.

Saya masih percaya bahwa pertemuan itu nasib. Kalau tidak bertemu berarti tidak berjodoh. Kalau dipertemukan mak comblang (atau pak comblang, Om comblang, dan paman adek mertua comblang, dalam kasus saya) artinya? Saya bilang sih nasib juga, karena toh ujung-ujungnya bertemu juga. Jadi saya setuju pada sistem percomblangan? Saya tidak bilang begitu. Saya cuma menikmati acara bertemu sanak saudara ini, karena dulu waktu kecil saya semangat dapet duit. Sekarang, sejak saya dianggap mampu bekerja, saya jadi tidak punya motivasi lain. Kalau ada acara comblang-mencomblang, saya pun jadi semangat (apalagi selalu diikuti acara makan bersama). Kalau sang kenalan sendiri? Saya kira mereka juga korban keluarga yang suka main mak comblang parties. Tapi mereka juga tidak keberatan makan-makan sambil dipromosikan. Kami cuma menikmati dilelang gratis. Bagaimana kalau kita harus memamerkan kelebihan? Saya selalu usul kita lomba mengeja saja. Bagaimana mengeja "kepiting lemburi masak saus asam manis" atau "burung dara bakar ala hongkong"? Buntut-buntutnya sih acara makan keluarga selalu tetap asyik, entah kami mengeja dengan benar atau tidak, entah kami jadi dipasangkan atau tidak.

Saya bilang sih, ini pengalaman yang menyenangkan. Silakan coba sendiri, kalau bisa tambahi dengan aktifitas yang kreatif. Misalnya mendaki gunung, jalan sehat, main karambol atau mancing bersama. Hitung-hitung menambah networking (bagaimana saya bisa kenal seorang yang kerja di tangsi minyak di kepulauan Maluku atau di bagian marketing di Gaborone atau insinyur dari Edmonton?). Saya suka bertemu orang, hal ini juga yang mendorong saya untuk bepergian. Ternyata sekarang, saya tidak perlu susah-susah mikul tas ransel, the world is just a makcomblang away!

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p