Tuesday, May 31, 2011

Lanjutan cerita "Kejadian Aneh"


Ini adalah sequel dari kisah saya kemarin2 yang mungkin sudah kedaluarsa saking lamanya. Singkat cerita saya memutuskan untuk ikut kursus untuk mendapatkan Certificate III Aged Care supaya saya bisa kerja di panti jompo atau bahasa kerennya nursing home untuk merawat manula. Untuk mengikuti kursus ini saya harus membayar AUD 750 yang dicicil 3 kali serta mengikuti 80 jam kerja jadi relawan di nursing home tanpa dibayar. Tujuan dari kursus ini adalah untuk mendapatkan pekerjaan di tempat kita menjadi relawan itu. Kalau kerjanya bagus bisa ditawari menjadi karyawan, tapi kalau kita tidak sreg kerja di situ juga bisa mencari pekerjaan di tempat lain.

Pertama kali saya menghadiri kursus adalah Sabtu tanggal 28 Mei kemarin. Kursusnya setiap hari Sabtu selama 6 minggu kemudian dilanjutkan dengan 80 jam kerja sukarela, serta tes lisan dan tertulis. Pada waktu saya datang, pesertanya sebagian besar wanita. Ada 2 kelas yang ada pelajaran hari itu. Aged care dan child care. Saya sempat mikir kenapa saya tidak ambil child care aja karena sepertinya lebih "tidak bikin jijik". Mendingan mandiin bayi daripada kakek nenek menurut saya. Tapi karena sudah terlanjur ya sudahlah. Belakangan saya tidak menyesal juga karena kata teman sekelas saya, child care weekend tutup jadi ga bisa kerja weekend. Karena saya tujuannya untuk mencari uang jadi saya pikir aged care ini bisa menghasilkan banyak uang dengan kerja di weekend dan di Melbourne ini memang banyak sekali manula.

Kursus saya dimulai jam 10 pagi sampai 3.45 sore. Satu kelas isinya 11 orang semuanya wanita dan kebanyakan orang India. Teman sebangku saya orang Somalia yang baru saja mendapatkan Refugee visa. Banyak sekali orang2 yang mendapatkan refugee visa di sini. Refugee visa diberikan kepada orang2 dari negara yang sedang konflik...dulu misalnya Vietnam..karena banyak banget orang Vietnam di sini. Kata teman saya dari Somalia itu, Australia memberikan kesempatan bagi orang Somalia untuk mendapatkan refugee visa dan menjadi warga negara Australia. Habobo (nama teman saya ini kalau tidak salah) baru berusia 20 tahun dan dia meninggalkan suami serta orang tuanya di Somalia untuk migrasi ke Oz. Untuk mengajukan refugee visa, dia harus tinggal di luar Somalia dan menunggu sampai dia mendapatkan visa itu baru dia bisa datang ke Oz. Dan tempat Habobo tinggal selama 2 tahun menunggu refugee visanya adalah...jreng12234x...Jakarta. Dia tinggal di Petamburan dan tahu beberapa kata2 bahasa Indonesia.

Kembali ke kursus, pelajaran hari pertama adalah pengenalan tentang Aged Care. Beberapa poin penting yang saya ingat adalah:
  1. Di Oz banyak manula karena setelah World War II banyak orang yang migrasi ke Oz dan sekarang sudah menginjak usia manula.
  2. Kebanyakan anak2 para manula itu tidak bisa merawat mereka sehingga mereka terpaksa tinggal di panti jompo, bukan karena tidak berbakti tapi memang tidak mampu merawat orang tua mereka apalagi yang sudah mengalami dementia alias pikun alias menjelang Alzheimer.
  3. Ada 2 macam panti jompo di sini yaitu Low Care (alias hostel untuk manula yang masih bisa mengurus dirinya sendiri sedikit2) dan High Care (nursing home, untuk manula yang cuma bisa tiduran saja di tempat tidur dan harus dilayani 100%). Untuk para carer di high care ini ada yang namanya "Nausea money" untuk kompensasi kita merawat orang2 yang maaf "boker dan pipis di kasur" dan kita harus membersihkan. Intinya uang bayaran kita mual2 deh....
  4. Untuk tinggal di panti jompo ini tidak gratis, para manula harus membayar deposit minimal AUD 300,000 dan biaya bulanan diambil dari 85% uang pensiun mereka. Makanya untuk tinggal di panti jompo biasanya manula itu jual rumah dulu. Saya kira gratis lho tinggal di panti jompo ini, ternyata tidak.
  5. Para perawat (selanjutnya disebut Carer) dianjurkan untuk mengikuti kode etik dalam merawat para manula, misal tidak boleh meremehkan para manula yang dirawatnya. Kalau manula itu masih bisa cuci muka sendiri, biar cuci muka sendiri, para carer bisa membantu melakukan hal lain karena kalau dilayani 100%, manula bisa kehilangan kemampuan mereka untuk mandiri sama sekali.
  6. Banyak manula yang mengalami dementia (pikun) yang tingkat keparahannya berbeda2. Dementia sepertinya disebabkan karena rusaknya beberapa sel otak (kalau saya tidak salah tangkap) dan penyebab asalnya belum diketahui. Orang yang jarang berpikir bisa kena risiko dementia lebih besar kata pengajar kursus saya. Ibunya mengalami dementia karena jarang bekerja sementara ayahnya yang hobi mengutak atik komputer, masih baik2 saja sampai sekarang.
Masih banyak lagi yang saya pelajari di hari pertama kursus, mulai dari dikenalkan pada macam2 popok untuk manula, cara memandikan manula, mengganti kantong kencing bagi manula yang kencing harus dipasang selang (kateter) sampai diajari cara mengganti kantong coleostomi. Itu lho kantong buat menampung kotoran pada orang2 yang ususnya dipotong jadi perutnya harus dilubangi untuk mengeluarkan kotoran. Saya sekarang cuma bisa membayangkan...apakah saya bisa melakukan hal itu. Apalagi kalau saya ditempatkan di nursing home yang orangnya sudah tidak bisa apa2...harus dimandiin, diganti popoknya, disuapin...apakah saya bisa? Semoga bisa dan harus bisa....kalau orang lain bisa kenapa saya tidak?



Monday, May 16, 2011

Berlibur ala Ninja Hattori

"Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudra. Bersama teman, bertualang!" ost. Ninja Hattori.

Seminggu yang lalu saya mendapat telepon dari temen yang doyan kelayapan.
"Ayo naik gunung Merbabu! Sabtu malam kita berangkat dari Magelang,"
Saya langsung membayangkan kegiatan kami selama ini: naik jeep, masak indomie, bakar ketela, kentang ato singkong dan minum teh manis hangat di tempat terbuka sambil nyanyi tembang kenangan diiringi gitar pinjeman. Waktu itu kami sempet bingung mo masak pake apa (secara perlengkapan outdoor kami setara ama bakul mie jowo) jadi kami sibuk bawa arang, minyak tanah, anglo dan korek gas. Ternyata jreng jreng 654325x...seratus meter dari tempat kita kemah ada yang jual gorengan anget ama kopi tubruk. Males deh. Kalo begini bagaimana saya bisa pamer kemampuan bertahan di alam liar? *halah*
"Asyik tuh. Menu barbecue kita kali ini apa?" jawab saya sambil nelen liur.
"Ria, kali ini kita naik gunung beneran. Bukan cuman bikin tenda sambil makan-makan di bukit Ungaran. Kita akan jalan, mendaki, bikin tenda cuman untuk istirahat sebentar trus lihat matahari terbit dari puncak Sarip,"
"Hah? Kita nggak rock climbing sekalian?" canda saya sambil tertawa garing. Inget punya inget, olah raga saya yang terakhir adalah lari-lari waktu dikejar ayam jago tetangga selama kurang dari satu menit (saya nggak becanda. Ayam jago tetangga saya hobinya nothol orang lewat).
"Nggak, kita cuman hiking selama 6 jam," jawab temen saya dengan polos, jelas nggak nangkep lelucon saya yang jayus, "Jadi kamu ikut?"
Saya mikir bahwa sekali-sekali saya harus naik gunung sebelum keburu osteoporosis (lagian pilihan saya yang lain adalah belajar untuk ujian bahasa Perancis tgl 8 Juni, atau nguras akuarium, ngepel kamar dan bikin proposal studi. Kayaknya bukan pilihan sulit sama sekali).
"OK. Sampai ketemu hari Sabtu," jawab saya sambil mencoba push up dan lompat kodok *lumayan untuk pemanasan*

Perjalanan ke Magelang berlangsung lama berhubung jalanan macet berat akibat long weekend. Kami naik bus ekonomi dimana tas ransel saya diletakkan bersama karung, kardus, ayam dan benda-benda lain yang tidak dapat didefinisikan apakah itu luggage, pakan ternak, barang dagangan atau binatang peliharaan. Dua teman saya berdiri selama lebih dari 2 jam, sementara saya yang sempet misuh-misuh karena nggak tidur siang, terlelap dengan mulut terbuka di tengah bau ketek, tembakau, bau jalanan, parfum dan minyak angin. Mempraktekkan jurus ninja #1: bisa tidur kapan saja dimana saja.

Merbabu konon dapat didaki melalui 3 rute: Selo/Boyolali, Tekelan/Kopeng dan Wekas. Kami diberi tahu kalau Merbabu adalah "gunung untuk pemula" jadi kami merasa pede dan memilih rute yang terakhir karena katanya bisa nyampe puncak lebih cepat. Baru satu jam mendaki gunung yang tingginya 3.142 m dpl. ini, kami menyadari ada kesalahan: seharusnya jangan naik "gunung untuk pemula" tapi yang lebih cocok adalah "gunung untuk manula". Soalnya kami berhenti tiap beberapa langkah dengan napas Selasa Jumat (temennya Senin Kamis) dan kaki yang buyutan. Pasalnya selain rute yang curam kami juga kehujanan dan kekabutan. Senter yang saya bawa memberi efek cahaya yang persis lampu di panggung penyanyi dangdut akibat asap kabut. Oya peringatan: bagi yang mau mendaki gunung jangan pake ponco yang berkibar2 kaya betmen. Lebih baik pake jas hujan yang setelan baju/celana. Soalnya ponco yang panjang bersayap ini kalo dipake naik ke tanjakan bisa keinjek dan malah bikin jatuh yang pake. Ato keinjek temen yang jalan dibelakang kita. Atao kesangkut di semak-semak. Ato dikira 13 kuntilanak kesurupan goyang pinggul. Pokoknya tidak disarankan. Kami mulai mendaki sekitar pukul 00.30 dan dengan ambisius berencana nyampe di pos III (ketinggian sekitar 2.400 m dpl.) jam 5 subuh. Ini tidak mustahil untuk para pendaki yang masih abegeh dan tenaganya masih tenaga kuda. Kami ini usianya kepala 3 jadi tenaganya tenaga kuda nil. Walhasil kami sudah cukup puas mencapai setengah jalan (bukan setengah jalan ke puncak tapi setengah jalan jalan dari base camp ke pos I. He-he), trus mendirikan tenda, trus bikin kopi 3in1 dan makan biskuit Monde (tetep dong). Karena kenyang dan kecapean, tidur pulaslah kita pas matahari terbit diiringi kicauan burung menyambut pagi (haduh).

Hal yang saya pelajari dari Merbabu adalah: di sana pipis kita bisa berasap.  Fakta tidak penting blas ini terjadi karena di gunung, toilet is everywhere (seperti kata Kristina). Jurus ninja #2: jagoan pipis di semak-semak tanpa takut digigit semut. Tips: jagalah jarak pantat dengan tanah supaya nggak nempel-nempel banget dengan posisi agak nungging :-). Karena udara yang sangat dingin, matahari yang muncul jarang-jarang di balik kabut terasa sangat menyenangkan. Sarapan bersama dengan roti bakar dan telur goreng di sini, dikelilingi pohon, tebing, jurang dan rerumputan adalah kemewahan yang indah. Bahkan burung hutan pun masih belum berhenti membikin suara untuk mengiringi kita minum kopi!





Sekarang saya mengerti kenapa orang mau repot2 manjat gunung dengan nggendong2 tas ransel. Kalau pada saat perjalanan naik malam hari kita dimanjakan dengan pemandangan kelap-kelip lampu di kaki gunung, pas turun kita melihat desa-desa, kebun dan gunung-gunung lain di kejauhan. Dalam perjalanan pulang kami mendapat bonus seekor elang yang terbang rendah, matahari yang menyeruak dari awan ke kabut tebal di pucuk-pucuk pinus dan mata air yang bening dan dingin. Semua itu sebanding dengan acara kepleset dan merambat dan gelantungan dan ngesot yang telah kami lakukan selama perjalanan. Kami tetap bahagia walopun kehujanan, belepotan, keringetan dan terbakar matahari (betewe, terimakasih pada tukang cuci di kost. Andalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam kasus ini. Kaos kaki saya baunya bisa bikin tikus got mati). Akhirnya saya bisa memejamkan mata sambil mengingat birunya langit, dinginnya kabut, merahnya langit di ufuk timur, bayangan pepohonan, kicauan burung dan segarnya air. Masalahnya cuman satu: habis itu saya jadi susah jongkok. Kaki saya pegel berat dan punggung juga linu-linu. Jurus ninja #3: panggil tukang pijit buat kerokan. Cito!

Friday, May 13, 2011

Kejadian Aneh

Sebelum lupa..mendingan saya tulis sekarang deh. Kemarin saya seperti biasa berangkat kerja naik train jam 6.56. Saya kerja di Shangrilla Chinese Restaurant di kota Frankston. Dari tempat tinggal saya di St. Albans saya harus naik train dua kali. Pertama dari rumah ke Melbourne City setelah itu baru naik lagi train jurusan Frankston. Perjalanan naik keretanya sih 30 menit dan 1 jam. Tapi ditotal bisa 2 jam karena plus nunggu transitnya. Gpp sih karena saya dulu sudah terbiasa kerja jauh2 misal dulu waktu di Sari Roti berangkat naik bis 1 jam lebih, pulang minimal 2 jam karena macet Cikarang-Jakarta. Waktu kantor di Kuningan juga kalau naik busway minimal 1 jam lebih karena ganti busway 2 kali dan ngantrinya itu lho panjang banget udah gitu jarang dapet tempat duduk dan seringnya buswaynya bau ketek. Jadi ini naik train walaupun 2 jam tetap aja bisa tidur dengan nyaman.


O iya...saya mau cerita dulu kerjaan saya di sini adalah kitchen hand yang tugasnya masak mie, motong sayur, cuci piring dan serabutan. Pemilik restorannya suami istri Jo dan P asalnya dari Singapura tapi sudah jadi warga negara sini. Mereka baik banget makanya walaupun kerjanya capek tapi saya ga stres. Lalu ada lagi yang tugasnya melayani pelanggan 2 orang namanya C dan Ja, keduanya Chinese Malay dan Hongkong. Yang terakhir adalah koki dari India namanya Je yang anehnya dia vegetarian tapi di sini tugasnya masak Chinese food yang pakai daging2. 


tempat saya kerja yang selalu laris
Saya kerja seminggu 5 hari. Liburnya Rabu dan Sabtu. Saya cukup terjamin kesejahteraannya di sini karena diberi makan sekali kalau pulang jam 5, kalau pulang jam 9 malam 2 kali makan dan kalau Jo yang masak pasti enak. 




Nah kembali ke laptop, kemarin saya berangkat seperti biasa dan tidak ada firasat apa2. Train yang saya naikin tiba2 berhenti lama banget di salah satu stasiun sehingga sampai ke stasiun Flinder Street tempat saya harus ganti train terlambat. Seharusnya saya naik kereta ke Frankston jam 7.34 tapi pas banget saya nyampe di peron nya, keretanya berangkat. Terpaksalah naik kereta berikutnya jam 7.46, masih belum telat sih karena saya mulai kerja jam 9. Datanglah keretanya tepat waktu dan ternyata keretanya bukan kereta yang baru, tapi kereta model lama yang ga ada speaker pemberitahuan sudah sampai stasiun mana. Biasanya kan tiap stasiun ada suara bilang sudah sampai stasiun apa sama kaya busway itu lho.


Saya seperti biasa juga tidur karena ngantuk harus bangun pagi2. Biasanya saya sampai Frankston selalu bangun karena ada suara bilang sudah sampai Frankston. Nah saya sempat bangun trus liat...ooo baru sampai Carrum ( sekitar 4 stasiun sebelum Frankston) lalu saya tidur lagi...lalu bangun lagi..sambil heran kok di depan saya tiba2 ada orang, tadinya ga ada. Saya mikir kok ga nyampai2....pas itu kretanya berhenti di stasiun Mordialoc....baru saya nyadar...jreng 1234455x ternyata kretanya sudah balik lagi ke Melbourne City. Saya tidak terbangun di Frankston sampai kretanya jalan lagi. Waktu sudah menunjukkan jam 9.16. Saya turun di stasiun berikutnya lalu saya mau sms Jo bos saya ternyata hp saya lowbat trus mati sebelum waktunya. Saya berusaha telp dari telepon umum ternyata eror. Tiba2 datanglah kereta ke Frankston lagi dan saya naik deh. Di jalan saya bingung gimana caranya ngabarin Jo. Saya memutuskan turun lagi di Mordialoc cari telp umum tapi pas saya mo turun kretanya keburu jalan. Akhirnya saya turun di stasiun Aspendale, satu stasiun setelah Mordialoc.


Saya mencari telepon umum dan baru mau telepon Jo ketika saya melihat sesosok orang yang familiar. Aneh banget kan kenapa bisa ketemu orang yang saya kenal di sini dimana orang2 yang saya kenal di sini jumlahnya tidak lebih banyak dari 10 jari tangan. Siapakah orang yang tidak disangka2 itu? Jreng 12345x lagi deh....dia adalah Suman, istri Je..koki tempat saya kerja. Untuk lebih jelas tentang Suman bisa dibaca di sini.


Saya langsung berbinar2 melihat ada pertolongan datang. Suman langsung telpon Je untuk menjelaskan kepada Jo kenapa saya terlambat. Saya naik kereta bersama Suman ke Frankston dan di jalan dia cerita kalau dia kerja mengurus anak2 cacat mental dengan bayaran minimal AUD 20 per jam. Sementara saya kerja di restoran cuma 10 AUD per jam. Besar banget yaaa....dia bilang harus punya certificate III Aged Care untuk bisa kerja seperti dia. Suman bilang kalau sudah dapat sertifikat itu, banyak agensi yang bisa menyalurkan kerja. Saya baru tahu informasi ini dan saya berencana untuk mengambil sertifikat itu demi pekerjaan yang gajinya lebih baik. 


Saya akan update lagi seandainya di masa depan ternyata saya bisa mendapatkan pekerjaan seperti Suman itu..berarti Tuhan benar2 bekerja dengan cara yang Aneh.


Sekali lagi mengutip kata2 Albert Einstein :


"Coincidence is God's way of remaining anonymous."

Monday, May 9, 2011

Menjadi 30

Menjadi 30 itu rasanya menyenangkan.

Kecuali fakta bahwa kalau dulu itu saya bisa naik gunung berlari, sekarang jalan pelan-pelan pun harus berhenti minimal dua puluh kali (kalah deh jalan salib. Perhentiannya cuman ada 14). Usia belasan dan tigapuluhan bukan cuman beda generasi, nyaris beda spesies deh kayaknya. Kalau dulu ikut senam aerobic high impact, sekarang saya diam-diam menyusup ke kelas yoga meditasi, demi keselamatan tulang belakang. Oya, ingetkan saya untuk join senam jantung sehat di kelurahan Gergaji tiap hari Rabu pagi. Biasanya saya ngomel2 begitu bangun kepagian gara2 poco2nya si oma2, tapi kali ini saya kayaknya harus telan gengsi bulat2 demi selembar kertas membership. Aku mau hidup seribu tahun lagi, Oma!

Perbedaan yang nyata dari usia 17 dan 30 bukanlah cara pandang, melainkan arah pandang. Kalo pas sweet seventeen kita biasanya memandang ke depan: apa yang akan kita pelajari sehabis lulus SMU, mau kemana, ngapain, mau belajar nyetir mobil, mau pake high heels, mau kencan sama Ari Wibowo, mau nyoba eye liner warna ungu, nyoba ikut kelas drama, nyoba panjat tebing dan nyoba kirim surat cinta anonim ke guru musik yang ganteng. Saat usia 30 kita justru melihat ke belakang: apakah masih kuat hiking di pegunungan jayawijaya, apakah ada temen sekelas yang belom punya anak, apakah rok jeans mini masih pantas dipakainya, apa mantan pacar udah menikah dan apakah masih muat pake celana ukuran S bukannya XL. Saat usia belasan pertambahan usia adalah teman, karena itu berarti kita bisa tanda tangan rekening bank sendiri, nggak perlu bohong2 umur buat bikin/perpanjang SIM, punya hak pilih saat pemilu dan bisa masuk bar/pub dengan tenang tanpa diberhentiin satpam. Saat usia 30an pertambahan usia jadi menakutkan karena saya mulai ditawari krim anti kerut dan selulit, serum anti oksidan dan krim anti flek, pil vitamin E, susu anti osteoporosis dan push-up bra. Hanya menghitung hari sampai saya ditawari cat rambut warna hitam dan tongkat jalan! Catatan pribadi: kayaknya saya harus mulai bayar premi asuransi kesehatan mulai bulan ini. Statistik bilang sebaiknya general check up dimulai dari umur 30, tahu kan, ini hanya untuk antisipasi kalo nanti mulai butuh kacamata baca dan terapi hormon pengganti saat pre-menopause. Dan astaga, dimana terakhir saya taroh gigi palsu tadi pagi?

Tapi eniwei, tidak semuanya segitu menakutkan kok. Bertambah umur bikin kita jadi senior dan itu berarti kita punya privilege! Adek-adek yunior saya biasanya ngambilin kursi, ngambilin teh anget dan membiarkan saya parkir motor melintang di depan pintu masuk. Yes. Sebentar lagi saya bisa dapat tempat duduk prioritas untuk orang tua, cacat, hamil dan anak-anak. Nggak terlalu buruk kan?

Kecuali bahwa temen saya kemping mulai memanggil saya tante. Bukan cuman balita anak temen2 seangkatan, tapi anak2 ABeGeh yang mulai sadar kalo saya sudah kuliah ilmu pediatri waktu mereka baru belajar nyanyi Garuda Pancasila dan bikin kapal-kapalan dari kertas lipat. Itu sebenernya wajar tapi kenyataan yang susah diterima. Tante bagi saya adalah seseorang yang menasehati keponakan ceweknya yang baru akil balik tentang cara pake pembalut yang benar, trus yang melaporkan apa saja tentang cowok SMU sebelah rumah yang ganteng dan suka telanjang dada. Tapi saya nggak kayak gitu kan? Yah, diluar fakta bahwa saya mulai ikut arisan sama ibu-ibu RT, jualan tas, parfum dan tupperware, ngerumpi sambil ngegosip. Oya, tidak ketinggalan percakapan seperti, "Bulan depan jangan lupa giliran tempatnya di rumah saya lho Jeung, saya bakal masak risoles bikinan sendiri. Pembantu lagi pulkam soalnya," Omigod.

Saya punya beberapa tips supaya umur 30 tidak terlalu berpengaruh.
  1. Selalu bohong tentang umur. Lagipula umur itu cuman angka. Di pedalaman dan orang2 jaman dulu, ultah dan tahun lahir cuman Tuhan yang tahu. Patokan hari lahir "Pas gunung Krakatau meletus" atau "Pas Belanda masih menjalankan tanam paksa" cuma manjur buat mahasiswa jurusan geologi dan sejarah. Kecuali pada petugas sensus dan imigrasi, katakan bahwa umur adalah cerminan jiwa seseorang. Orang yang berjiwa muda akan selalu muda walopun umurnya antara 30 sampai 100 tahun.
  2. Selalu apdet tentang lagu dan band. Lupakan Farid Harja dan Ace of Base. Sekarang jamannya Justin Beiber dan 7 (Seven) Icons. Pilih lagu mereka saat karaoke niscaya kita bakal langsung klik sama konco2 ababil. Jangan sekali-kali milih "I started a Joke"nya Bee Gees meskipun kita hapal tiap kata liriknya, karena ketauan lagu itu populer awal tahun 60an.
  3. Sembunyikan poster David Hasselhoff, Richard Dean Anderson, Patrick Swayze atau Shahrukh Khan. Ganti dengan Kim Hyun Joong atau Jang Geun Suk. Peringatan: itu bukan nama menu sushi.
  4. Belajar bahasa gaul kalo perlu bahasa alay. Jangan malah belajar bahasa Perancis. Rasanya bahasa itu sudah punah sejak perang dunia kedua. Le français est donc vingtième siècle!
  5. Setiap berangkat kerja, pakailah parfum dan jangan malah oles-oles minyak angin. (catatan untuk diri sendiri: cari parfum diskon dan jauhkan minyak kayu putih dari meja rias malem ini juga)
Di luar itu semua, saya tetap menyelamati diri sendiri karena survive menembus angka 30. Menjadi tua itu prestasi lho, setidaknya lolos seleksi alam (mulae lebay). Tapi jujur nih, saya lebih pemberani sekarang dibanding, katakanlah, 13 tahun yang lalu. Pasalnya, banyak yang sudah dilewati. Kalau dulu sering takut gagal, sekarang saya tahu bahwa kegagalan itu tidak membunuh lebih banyak orang ketimbang malaria falciparum. Saya tidak takut patah hati, karena bahkan putus cinta yang berat nggak bikin saya mati (bahkan jutru resisten kayak bakteri yang diberi antibiotik setengah dosis lazim). Kalau pernah takut menjelajah tempat baru, sekarang sudah pernah mengalami nyaris dideportasi, ketinggalan pesawat, salah naik kereta atau kehabisan uang di jalan. Tersesat, IP satu koma, nggak lulus ujian coass, telat ujian, ditolak lamarannya, berhenti kerja di hari pertama karena nggak dapet jatah makan siang. Ditinggalin, diselingkuhin, dikejar-kejar tukang kuntit (bukan tukang kredit) dan dijodo2in ama bujang lapuk botak. Jadi, apa untungnya menjadi 30? Menurut saya, jadi tidak banyak lagi yang ditakuti, seperti saya bilang tadi, what the hell happens, I've been there before!

Saya tidak bohong. Menjadi 30 itu rasanya menyenangkan. Hanya perlu sedikit sentuhan krim age miracle. Selanjutnya, bring it on, tante!

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p