Sunday, December 27, 2009

Natalan 2009

Sori ya Kris. Numpang iklan bentar, sekilas info diantara laporan honeymoonmu yang part 2 dan 3 (aku tunggu-tunggu, beneran, tapi aku tahu kamu sekarang lagi sibuk Pekalongan-Jakarta PP, sambil nyari-nyari bis yang gak ada kecoanya. Semoga sukses!). Aku cuman pingin nulis tentang Natalanku tahun ini. Pinginnya sih, sumprit, ini betul-betul yang aku pinginin sejak awal: menulis tentang hal-hal yang aku syukuri karena aku bisa natalan bareng keluargaku di desa Limpung yang tercinta, semua sehat-walafiat, tidak kekurangan apapun, kami kumpul bareng dan ngerayain Natal dengan sederhana tapi penuh damai sukacita di hati. Tapi, versi jujurnya bukan seperti itu.

Bokapku masih sibuk cari duit seperti biasa. Mungkin berharap kali ini lebih banyak duit yang tercecer di jalan jadi bisa diambilin. Aku ditanya sama teman sekerja sebelum pulang kampung, "Kalau Natalan di rumah acaranya apa?" Aku diam sebentar, mikir acara macam apa yang aku harapkan. "Biasanya kumpul aja sekeluarga, adik-adik datang dari luar kota, trus kita makan bersama. Paling ada kue-kue bikinan ibu," Harapanku memang terlalu tinggi. Seumur hidup, nyokapku belum pernah bikin kue (tapi aku sangat optimis barangkali suatu saat nyokap tergerak ikut kursus bikin kue). Sudah syukur alhamdulilah kalau saja nyokap berhenti mengeluh tentang hal-hal yang menyebalkan menyangkut bokap. Dua adek cowokku dateng terlambat sehari dan dua hari setelah Natal, tapi mereka tidak kelewatan acara apa-apa karena hari Natal itu di rumah tetap hari kerja seperti biasa (kalau lebaran baru libur, karena pasarnya tutup). Pas adek cowokku datang, adek cewekku malah nginep 2 hari di Semarang karena reunian ama temen-temen SMUnya. Praktis, tidak ada acara kumpul bareng yang sesungguhnya. Tapi yang paling mengganggu sebetulnya adalah karena tidak ada seorang pun yang merasa terganggu. Sepertinya wajar-wajar saja kalau semua pada dateng dan pergi trus sibuk sendiri-sendiri. Jadi ngapain aku pulang dong?

Untungnya ada reunian SMUku juga di Pekalongan. Meskipun sebentar, aku lumayan terhibur karena setidaknya ada gunanya gak tinggal di kost-kostan sendiri dan merawat tanaman-tanamanku saja. Di reunian ini ada beberapa temenku yang datang sama pasangannya, yang adalah juga pacar mereka di SMU. Istilahnya pacar veteran. Aku kagum pada orang-orang ini, yang pacaran ampe belasan tahun dan menikah dengan orang yang sama. Pasalnya, dulu sekolah kita itu terkenal dengan anak-anak bermasalah; yang suka pacaran seenaknya, putus sambung, gonta-ganti pasangan, putus sekolah, kabur, kecelakaan dan seribu satu kenakalan remaja yang lain (pokoknya mirip banget ama pilem Dangerous Mind-nya Michelle Pfeiffer). Tapi setelah melihat temen-temen kita sekarang, kelihatannya....beda. Saking bedanya sampai jadi gak kenal=). Rasanya seperti di hot seat who wants to be millionaire waktu ditanya, "Masih inget dia?". Kristina yang baru aja nikah sama Piter diusulin kalo anaknya nanti dikasih nama Krispi (Kristina-Piter) dan meskipun nama ini kedengaran garing dan tidak keren babar blas, tetap saja idenya lumayan bagus. Kristina bilang temen kami yang namanya Hepi klihatan sangat kebapakan waktu sama anaknya, padahal dulu waktu SMU kayaknya susah membayangkan dia adalah pria yang bertanggung jawab (peace!). Istri Hepi yang juga temen SMU kita (mereka termasuk pasangan veteran) bilang Piter juga bakalan kebapakan kalo sudah punya anak nanti. Aku langsung membayangkan Piter menggendong Krispi dengan penuh kasih sayang. Kok susah ya? Lagian si Krispi ini cowok atau cewek sih? Trus alisnya lancip tidak? Aku kan perlu banyak informasi untuk bisa membayangkan secara nyata...Intinya sih, aku bahagia bisa ketemuan lagi sama mereka. Beberapa diantaranya sudah gak pernah ketemu selama sepuluh tahunan.

Kembali ke masalah Natalanku. Memang sih, menarik atau tidak menarik aku tetap berusaha menyempatkan waktu bersama keluargaku. Tapi bukankah kita tidak bisa memaksakan pikiran ke orang lain? Aku kan nggak bisa bilang, "Bapak, sekali saja dalam setahun, berhentilah sejenak mikirin duit. Taruh makanan di meja, siapkan kasur tambahan di kamar, duduk dan bicara sama anak-anak,". Soalnya, berkebalikan dengan khayalanku di atas, di rumahku nggak ada makanan, karena biasanya cuman ada Bonyok doang dan ibuku tidak pernah masak (inilah kenapa aku tergila-gila pada Martha Stewart). Trus cuma ada 2 kamar selain kamar mereka. Tiga kasur. Sementara anaknya empat. Kalau semua di rumah bakalan bingung tidur dimana salah satunya. Kalau selesai makan, Bokap tidak akan duduk-duduk untuk ngobrol. Langsung bubar jalan entah kemana. Sementara Nyokap akan tinggal lama untuk bercurhat ala ibu-ibu dan adek-adek akan stay tune di HP mereka masing-masing karna udah bosen ndengerin keluhan tentang Bokap. Oh sudahlah, aku juga jadi nyinyir curhat tentang Natalanku yang tidak sesuai impian. Memangnya kenapa? Hidup toh tidak sempurna. Mungkin tahun baru nanti aku tidak akan di rumah, mau kumpul-kumpul temen aja dan makan-makan bersama. Sambil berdoa, semoga tahun depan Nyokap belajar bikin kue. Dan Bokap belajar untuk menikmati liburan, bersama anak-anaknya. Amin ya Robbal Alamin...

Wednesday, December 23, 2009

Hanimun Part 2





Hari Selasa malam kami berangkat ke kota kedua yaitu Nha Trang. Sebuah kota pantai di atas Saigon. Kami naik bis sleeper dimana kami bisa tidur2 an selama perjalanan. Beda banget dengan bis Jakarta Pekalongan yang tempat duduknya seukuran orang mini jadi kaki ga bisa selonjor. Kami berangkat jam 9 malam, sampai di Nha Trang jam 7 pagi. Waktu kami sampai, kesan pertama adalah..pantai kok dingin? Dalam perjalanan menuju ke hotel, kami berhenti dulu untuk sarapan di pinggir jalan. Menu makanannya mirip ketan bumbu. Kami makan dengan ditemani oleh tetangga penjual ketan yang meng"kutex"-i anjingnya. Dari tetangga itu kami mempelajari kalau terima kasih dalam bahasa Vietnam adalah Cam On (baca: kam en).



Kami berjalan selama 15 menit sampai ke hotel. Kali ini hotel termurah di antara yang lain2 13,5 USD per hari untuk 2 orang tapi tidak pakai sarapan. Kami lagi2 disambut oleh karyawan bernama Thao, btw lagi karyawan yang malam juga bernama Thao. Jadi ada 3 Thao yang kami kenal. Hotelnya bernama Son and Daughter. Hotel yang lumayan, cuma pintu kamarnya dari kaca buram yang rada tembus pandang kalau di dalam kamar terang, di luar kamar gelap. Pas malam2 kami merasa ada bayangan orang mengintip. Tidak apalah yang penting beramal.


Di hari pertama di Nha Trang ini kami menyewa motor yang sudah bobrok karena kalau masuk gigi bunyi klonteng2 seharga 25rb rupiah sehari. Kami berjalan2 keliling kota mulai dari tepi pantai, kuil Budha sampai pasar tradisionalnya.





Keesokan harinya kami ikut Boat Trip dari tour Mama Hanh. Papa Hanh juga ada. Bis yang kami naiki malamnya itu bernama Hanh Cafe. Mungkin pemiliknya itu satu orang bernama Tuan Hanh
Boat Trip seharga 60rb per orang itu isinya naik kapal menuju ke akuarium, setelah itu berkeliling ke pulau2 di sekitar Nha Trang, makan siang dan yang paling menyenangkan adalah snorkeling dan floating bar.



Pagi2 kami dijemput oleh orang dari Mama Hanh naik mobil menuju ke pelabuhan. Lagi2 turis dari Indonesia cuma kami. Yang lain ada turis dari Inggris, Belanda dan turis lokal. Omong2, kami sering dikira orang Korea or Singapura or Hongkong bahkan orang lokal. Turis dari Indonesia jarang ditemui mungkin karena orang Indo lebih memilih ke Thailand ya. Saya aja kalau bukan karena tiket murah juga tidak ada kepikiran pergi ke Vietnam.



Pemberhentian pertama adalah Akuarium ikan2 laut yang sangat menarik secara saya belum pernah ke Sea World. Di sana ada banyak ikan2 yang unik2 karena saya belum pernah liat sebelumnya. Akuarium itu bangunannya berbentuk kapal bajak laut besar dari batu.



Kami hanya diberi waktu sebentar di akuarium karena masih banyak acara selanjutnya yaitu snorkeling, makan siang dan floating bar. Sayangnya karena cuaca terlalu berangin, snorkeling pun tidak mendapat apa2 karena kami tidak bisa berenang2 ke tepian. Jadi langsung lanjut ke acara selanjutnya yaitu makan siang bersama. Kursi2 di kapal diubah menjadi meja dan banyak makanan dihidangkan. Sayangnya di sebelah2 kami orangnya gede2 jadi makanan di sekitar meja kami langsung habis ludes padahal masih lapar. Sementara di ujung satunya orangnya kecil2 dan pemalu jadi makanannya sisa banyak.



Makan siang berlalu dengan cepat karena orang2 kelaparan. Dilanjutkan dengan karaoke dadakan. Ternyata dua orang cowok yang merupakan koki itu bisa beralih profesi menjadi pemain gitar dan drum sementara om tour guide beralih menjadi wedding singer. Dia memanggil semua orang dari berbagai negara untuk menyanyikan lagu dari negaranya. Ada yang dari Korea diajak menyanyi lagu "Arirang", dari Cina menyanyikan lagu Teresa Teng yang Ni wen wo ai...lalalalala. Tentu saja saya dipanggil dan dia kebingungan sendiri karena dia tidak tahu lagu dari Indonesia sama sekali. Akhirnya saya bilang kalau saya mau menyanyikan lagu Happy Birthday to you dalam bahasa Indonesia.









Setelah semua orang kenyang dan gembira, acara floating bar pun dimulai. Om tour guide menceburkan diri ke laut disertai sekeranjang red wine di atas gabus. Semua orang ikut menceburkan diri untuk menikmati red wine sambil berenang2. Benar2 pengalaman mengesankan. Petter minum bersloki2 sampai akhirnya dia mabuk.






















Hari yang menyenangkan pun ditutup oleh om tour guide dengan manyanyikan lagu Happy Birthday dan kata2 andalannya "Happy Christmas, Happy new year, happy birthday...happy everything"......See you again om tour guide. Saya memikirkan untuk membuka boat tour di Kali Loji karena terinspirasi oleh Anda.


Bersambung ke kota ke-3 (harus pulang cepat karena nanti malam mau pulang kampung)

Tuesday, December 22, 2009

Hanimun Part 1

Setelah ditunda selama hampir sebulan setelah peristiwanya terjadi akhirnya saya menyempatkan diri untuk menulis kisah hanimun saya ke negeri yang aneh. Ceritanya dimulai pada bulan September saya berpikir mau bulan madu kemana ya. Untuk mendapatkan inspirasi, saya membuka website salah satu maskapai penerbangan murah meriah happy. Ternyata hanya ada 2 penerbangan promo waktu saya hanimun nanti yaitu ke Surabaya dan ke Ho Chi Minh city (dulu namanya Saigon). Saya tanya dulu sama Petter mau ga hanimun ke Vietnam dan dia pertama2 juga bingung kenapa hanimun kok ke Vietnam, ada apa di sana? Saya jawab, "Ga tau di sana ada apa yang penting tiket murahnya cuma ke Vietnam dan Surabaya". Untungnya Petter lagi pusing soal kerjaan jadi dia bilang terserah saya deh.

Langkah2 persiapan berangkat yang saya lakukan adalah sebagai berikut:
  1. Booking tiket Jakarta-Saigon berangkat Senin 30 November, pulang Senin 7 Desember karena kalau pulangnya minggu lebih mahal. Total tiket beserta bagasi untuk pulang pergi berdua adalah 1,7 juta.

  2. Menghubungi teman kantor saya yang orang Vietnam lewat YM untuk menanyakan apa saja tempat wisata yang ada di dekat Saigon. Setelah mengobrol ngalor ngidul, saya mendapatkan 2 tempat referensi dari Miss Q yaitu Na Thrang dan Da Lat. Na Thrang adalah kota pantai, jaraknya kira2 10-12 jam naik bus dari Saigon. Da Lat adalah kota yang cantik dan banyak bunga2 di atas gunung...julukannya sih Little Paris (belakangan saya tau kalau bangunan yang rada mirip Menara Eiffel itu adalah tiang listrik PLN), jaraknya sekitar 6 jam dari Na Thrang. Jadi rute perjalanan saya Saigon-Na Thrang-Da Lat-Saigon.

  3. Menghubungi Ria bagaimana booking hotel yang murah. Sementara itu Petter juga menghubungi sepupunya yang hobi travelling. Dari mereka berdua, saya mendapatkan informasi beberapa website tentang travelling dan booking hotel.

  4. Booking hotel lewat hostelbookers.com. Sebelumnya saya buka dulu www.tripadvisor.com untuk mencari nama2 hotel yang direkomendasikan oleh para traveller. Setelah itu saya masuk ke hostelbookers. Total saya bayar DP 140rb rupiah untuk 4 hotel yang saya booking. Saya booking 2 hari di Saigon, 2 hari di Na Thrang, 2 hari di Da Lat dan 1 hari lagi di Saigon di hari terakhir. Harga hotelnya berkisar dari 130rb-260rb per malam untuk berdua.

    30 Nov-1 Dec 2009 (Saigon)

    Hari yang dinanti2 pun tiba. Setelah pesawat sempat didelay satu jam lebih akhirnya kami berangkat juga. Di ruang tunggu kami bertemu dengan om2 yang anaknya sudah mapan dan kerjanya hanya jalan2 keliling dunia namanya Om Indra. Lama perjalanan sekitar 3 jam dari Jakarta ke Saigon. Kami sampai di Saigon jam 11 malam. Untuk mengirit maka kami menerima tawaran Om Indra untuk naik taksi bareng karena kebetulan hotel kami berdekatan.


    Kami sampai di hotel pertama kami yaitu Luan Vu guest house dan disambut oleh karyawan hotel yang sangat ramah bernama Thao. Dengan harga USD 20 per malam kami mendapatkan kamar yang kasurnya 2, air panas, AC dan sarapan. Ya ampun...padahal di Tangerang kemarin2 saya sempet nanya hotel esek2 aja yang AC nya kuno dan tempatnya mengenaskan, semalam 200rb an. Besoknya kami memutuskan untuk ikut tour seharian ke Chu Chi Tunnel dengan harga 5 USD per orang. Kami berangkat satu rombongan 8 orang ditemani 1 tour guide namanya Thou.

    Sebelum ke Chu Chi Tunnel, kami mengunjungi tempat kerajinan khas Vietnam yang dibuat dari kayu, kulit kerang dll. Yang membuat saya melongo adalah semua pekerja di situ adalah orang cacat. Ya ampun..salut banget deh. Orang cacat bisa membuat hasil karya yang indah banget, bahkan saya pun jahit baju sering mencong2.

    Chu Chi Tunnel merupakan terowongan bawah tanah tempat tentara Saigon bersembunyi waktu Perang Vietnam. Terowongannya sangat kecil dan banyak jebakan yang mengerikan. Saya mencoba masuk ke dalam terowongan untuk berfoto. Petter berani memasuki terowongan yang sebenarnya tapi karena saya takut yang sempit2 jadi saya berfoto saja. Di Chu Chi Tunnel selain kami bisa mencoba masuk ke terowongan sempit, juga ada pertunjukan di layar tancep, melihat jebakan2 perang, foto di atas tank, praktek menembak tapi pelurunya bayar dan last but not least makan siang. Thou sudah heboh bilang kalau makan siangnya unik yang ternyata jreng 1 juta kali : Tapioka alias singkong rebus. Satu rombongan kami ada turis Australia yang sangat lahap makan singkong karena konon di sana ga ada singkong. Saya bilang..di negara saya banyak singkong, saya sudah sering makan singkong (waktu ada yang nanya kok saya cuma makan sepotong).

    Saya membeli oleh2 unik dari Chu Chi Tunnel yaitu snake wine buat adik saya tapi sampai sekarang mereka ga berani minum..padahal itu bermanfaat buat obat kuat (kata penjualnya). Btw 30.000 Vietnam dong kira2 15rb rupiah.


    Pulang dari Chu Chi Tunnel, kami jalan2 di sekitar hotel sambil foto2. Saigon kurang lebih sama dengan Jakarta tapi Jakarta lebih modern. Di Saigon banyak sekali motor dan herannya tidak ada polisi lalu lintas. Malah motor bisa disewa oleh turis dengan harga sekitar 100rb dong sehari. Ga perlu STNK or SIM sudah bisa keliling kota naik motor. Di bawah ini hal2 yang sering dijumpai di Saigon:

  1. Warung makan yang jualan mie khas Vietnam (Pho). Pho biasanya ada daging tidak halalnya disertai lalapan yang aneh2 dan yang bisa dimakan cuma selada. Karena yang lainnya tidak jelas daun apa.

  2. Kopi Vietnam. Kopinya item banget dan bikinnya pake saringan aneh. Yang bikin heran, walaupun kopinya pahit tapi rasanya enak. Dan ga bikin sesak napas. Biasanya saya kalau minum kopi abang2 langsung deg2an gitu.

  3. Cewek yang kerja sampe malem2 dan bapak2 yang suka kongkow2 di depan rumah sambil ngopi. Ini cewek jualan cumi2 kering dan sampe jam 11 malem masih juga jualan. Kasian juga ya.


  4. Jangan jadi petugas PLN di Vietnam karena kabel2nya sangat ruwet. Bisa2 nyawa terancam deh. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami kalau mau nyari kabel mana yang rusak. Tebak2 buah manggis sampe menangis deh.


  5. Gua Maria di gereja Katolik ga pakai lilin tapi pake dupa...jreng2 deh. Biasanya dupa buat ngedoain arwah nenek moyang..di Vietnam malah buat berdoa di depan Gua Maria.


  6. Bersambung ke tulisan berikutnya....(soalnya sudah tinggal 3 orang di kantor..serem).

    Thursday, December 17, 2009

    Pembaca Yang Budiman

    "I write because I couldn't help it" - Frank McCourt.

    Saya yakin banyak teman saya yang mengerti tentang perasaan ini: puas, utuh, lebih lega, lebih terkendali, lebih jadi diri sendiri, bebas, nyaman atau sekedar perasaan yang terlampiaskan, setelah selesai menulis. Seperti habis buang air besar setelah seharian sembelit. Seperti pelangi sehabis hujan *asyik joko sembung*. Jujur sajalah, karena itu juga yang terjadi pada saya. Saya menulis bukan karena kewajiban, bukan karena numpang beken, bukan untuk unjuk diri, bukan juga kurang kerjaan *meskipun banyaknya pekerjaan berbanding terbalik dengan banyaknya tulisan^_^*. Saya menulis karena saya ingin, saya mau dan saya butuh. Menulis membuat dunia lebih mudah dipahami bagi saya. Menulis membuat perasaan saya lebih tenang. Menulis membuat ide-ide saya nyata dan pikiran saya -meskipun omong kosong- jadi menemukan wadahnya. Menulis membuat saya berani bicara. Menulis, langsung atau tidak, telah membentuk saya sebagai pribadi. Saya tidak bisa mencegahnya.

    Saya tumbuh dalam keluarga yang berpikiran praktis. Dengan kata lain, mereka lebih mengerti angka ketimbang kata-kata. Saat saudara-saudari saya terobsesi dengan Tamiya dan Barbie, saya justru terhanyut dalam dongeng-dongeng Perrault dan buku-buku cerita rakyat dari perpustakaan sekolah dasar. Saya menulis ulang dongeng itu dengan kalimat saya sendiri, sejauh ingatan membawa saya. Saya mendongeng untuk anak-anak yang lain, berpura-pura mendengar cerita itu dari orang lain. Cerita itu gubahan saya, ada di kepala saya dan ingin mendobrak keluar. Saya harus menceritakannya. Saya menghidupkan imajinasi saya dengan berbicara pada tanaman, yang saya andaikan rumah makhluk-makhluk kecil yang tidak kasat mata. Saya juga menyimpan makanan dan pakaian ganti di tempat tidur, kalau-kalau nanti malam kasur saya melayang-layang ke angkasa luar. Ibu saya sering marah-marah dan menganggap saya aneh (btw, ini masih berlangsung sampai sekarang. Dianggap anehnya, bukan nyimpen makanannya=p). Saya satu-satunya orang dalam keluarga yang menyimpan buku lebih banyak dari benda apapun, termasuk pakaian/sepatu, di kamar saya.

    Saya mulai menulis sejak saya tahu bagaimana menggoreskan huruf di kertas. Mulai dari menulis kisah "Kupit Abu" maksudnya Upik Abu, alias Cinderella, tapi waktu itu saya salah dengar. Kemudian "Raden Kumbokarno" yang saya dengar dari pelajaran Bahasa Daerah. Saya selalu suka tokoh raksasa dan monster ketimbang pangeran dan kesatria. Entah kenapa. Jadi saya suka sekali cerita 'The Selfish Giant'nya Oscar Wilde dan 'Big Friendly Giant'nya Roald Dahl, sampai kadang kedua cerita itu ketuker-tuker. Padahal yang satunya selfish yang lain friendly. Singkat cerita, saya menulis ketika apa yang ada di kepala saya harus disalurkan keluar tetapi tidak ada kesempatan untuk bercerita muka dengan muka. Menulis adalah jalan keluar saya.

    Waktu saya ABeGe, menulis buku harian atau diari kesannya agak katrok. Itu karena semua orang mengawali tulisannya dengan, "Dear Diary," kemudian diikuti dengan cerita tentang naksir seseorang, puisi cinta tentang orang yang sama, lagu bikinan sendiri juga untuk orang yang sama dan ditutup dengan gambar daun waru ditusuk panah lengkap beserta inisial nama orang yang sama itu pula. Saya jadi malu kalau ketahuan menulis diari. Tapi masalahnya, saya selalu menulis diari. Saya harus mengeluarkan perasaan, pikiran dan kekacauan hormon pubertas saya lewat tulisan. Berkat tidak adanya privasi, buku harian saya jadi olok-olok dan dibaca orang sembunyi-sembunyi, dengan harapan menemukan nama orang yang saya taksir. Betapa terkejutnya mereka menemukan tulisan saya berbunyi, 'Aku takut mama dilukai. Tadi malam mama minta aku menyingkirkan semua benda tajam dari ruang tidur. Takut kalap, katanya. Kalau mereka bertengkar malam-malam aku jadi kuatir sekali. Aku kira lebih aman kalau mama minta dicerai saja,'

    Pernikahan orang tua saya mulai berada di tengah krisis waktu usia saya 11 tahun. Inilah cara saya mengatasi masa-masa sulit, di samping berdoa. Saya juga menuliskan doa saya dalam buku harian. Jadi tidak pernah saya berpikir menulis diari itu cupu. Sebaliknya, menulis itu berefek terapetik. Saya merasa keputusan saya lebih masuk akal ketika keluhan dan perasaan saya yang membabi buta sudah tertuliskan. Saya bisa berpikir jernih. Dan ketika saya melihat kembali tulisan itu, saya bisa mengerti diri saya sendiri. Menulis juga bukti kejujuran. Bukan apa yang ingin didengar orang lain. Apa yang ditulis adalah cerminan karakter yang tidak dibuat-buat. Di bangku universitas saya membaca buku harian Anne Frank, orang yahudi belanda yang sempat bersembunyi bersama keluarganya saat jerman memberlakukan kamp konsentrasi. Saat itu saya tahu saya tidak sendiri. Di mana-mana, bahkan di belahan dunia lain pun, banyak orang seperti saya, yang menuangkan segala sesuatu lewat tulisan (Ok, saya memang tidak menuliskan tentang sejarah perang dunia atau meninggal karena pneumonia, tapi idenya ada mirip-miripnya kan?).

    Terakhir, apalah gunanya menulis tanpa pembaca? Itu bagikan celana tanpa kolornya. Oleh sebab itu Pembaca yang Budiman, saya ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya. Dari hati saya yang terdalam. Menulis di blog sangat menyenangkan. Kita bahkan bisa berinteraksi langsung dengan pembaca. Kita bisa dapat banyak teman baru yang kita kenal lebih dalam karena kita tahu buah penanya, pendapat-pendapatnya, sifat-sifatnya dan apa kesukaannya. Di atas itu semua, biarlah kita tetap menulis. Sebab menulis bisa mengobati, menghibur dan membagi rasa. Kata orang sih, menulis membuat kita abadi.

    Friday, December 11, 2009

    The so-called Technology

    It was Saturday morning. The sun was shining, birds were twittering, a cockerel was crowing, the sky was bright blue and my alarm clock went off at a convenient 9 o'clock. "I am not going anywhere", I thought to myself. I reached out to my alarm cum mobile phone and saw two messages (it was strange. I've never got messages very often. Especially in the morning). It was written: 'Attached are the queries that have been outstanding for more than 6 months. Please answer these queries and fax. Let me know if you have any problem in answering them. Thank you for your cooperation' (I copied and pasted them verbatim. It sounds quite serious but, believe me, it only looks like that because it was written in English. It is similar when you think the food is better if it is written in French). I hesitantly got up and after a minute or so haggling with myself over responsibility versus comfortability, I was on my way to my workplace. Oh, and the other message was an advert about a musical concert taking place on that day. I've told you, nobody texts me that often.

    To be perfectly honest, I don't think my deed would do anything good. Firstly, I've just started working a month ago. My knowledge on answering queries is the same with my knowledge on North Korean nuclear policy. Secondly, nobody really works on Saturday. I had nobody to consult. My bosses went for oncology update something in the city. Well, they are pretty busy people who don't really have time to answer queries in six months. I only saw an immensely nice cleaning lady who always gives me leftover snack smiled at me when I entered the front door. So why I decided to come instead of enjoying my alluring bed in Saturday morning? Actually, my workplace is slightly more comfortable than my room. It is more spacious, has tea/coffee maker just around the corner, has well-functioned air conditioning, internet connection, telephone, fax machine, copier, printer and stationery. It's a perfect place when you are busy writing christmas cards and new year greetings. Double tape, check. Glue, check. Envelope, check. All size of paper, check. And on Saturdays, I have the whole room all for myself. No kidding. All I need to do is to fax some documents and then I can use all my spare time scribbling my glittering christmas cards. That was my perfect plan. Little did I know that some plan is just not as simple as it sounds.

    To begin with, the copier refused my original document. It said: incorrect alignment. Please wait for adjustment ( I have no idea what it meant, I was feeding the very same size of paper for the whole month). Only later than a few relentless attempts (including hit and kick the backside of the machine, put the ink inside hot water and cut the paper into halves) to fix it, it worked again. Then the printer produced blank paper. I opened its case to find the cartridge was empty. I am certainly not the best person to deal with machines. The secretary lady who at normal day would sit in the next room doing paperwork was surely busy enjoying her weekend. I ran to front desk where I found a man (I guess he is the receptionist, I am not sure because I am a brand new employee) and asked for assistance. He kindly helped me refill the cartridge, but when we put it back, the printer somehow wasn't connected properly to the computer. We repaired the connection, restarted the computer. But it took a couple times of test-printing before it managed to print a line of letters. And again, the printer did not work for documents such 25 pages long. I gave up and start writing with hand. When I tried to fax, not to my surprise, it was also failed. I was thinking to go to post office (It happened that I also had a few christmas cards to send. What a coincidence!) when I found out that post office was closed on Saturday. So that day, namely this morning, all I had done is fixing the so-called technology. When did people stop using carrier pigeons or running messengers? This is what happens if I pay too much attention to my mobile.

    I should have stayed in bed. Happy saturday, by the way.

    Thursday, December 10, 2009

    Hitam di Atas Putih

    Pekerjaan apa yang mudah dan bisa dapet duit banyak? Menurut saya, membikin surat-surat. Entah itu sertifikat, ijasah, tanda lulus, surat keterangan, transkrip, legalisiran, surat pengantar, surat sehat, akte, dan sebangsanya. Gimana tidak, surat-surat ini dianggap amat penting sekali banget abis. Padahal modalnya cuman selembar kertas. Print-print-an yang sudah di-template, cap stempel dan tanda tangan. Untungnya bisa lebih dari seribu prosen. Modal cepek yang dipalak ditodong seratus ribu rupiah. Bahkan lebih (surat keterangan saya bisa naik motor dijual seratus empat puluh ribu rupiah, padahal saya udah gape naek motor sejak sepuluh tahun yang lalu. Cuman gara-gara SIM lama saya ilang=<). Minta keterangan mau nikah ke lurah ato RT/RW aja bisa sampe 250 ribu rupiah lho. Jadi, bukannya jualan surat itu bisa cepet kaya?

    Saya mengerti kalau ijasah, sertifikat dan surat keterangan itu penting. Darimana kita tahu seseorang itu memenuhi kualifikasi tertentu atau punya keahlian tertentu atau sudah melewati suatu ujian atau dinyatakan berkelakuan baik atau bebas narkoba atau sehat jasmani dan rohani kalau cuma modal omongan mulut saja? Surat-surat itu adalah bukti hitam di atas putih. Sedihnya adalah kalau surat ini sudah jadi patokan harga mati, yang kurang lebih dianggap tolok ukur untuk menentukan kualitas seseorang yang melamar suatu pekerjaan/ jabatan/ kesempatan belajar. Soalnya ya itu tadi, surat-surat ini lantas jadi tujuan akhir. Bahkan ada yang mengumpulkan ijasah seperti filatelis ternama ngumpulin perangko dari jaman perang dunia. Saya punya sertifikat yang menyatakan kalau saya bisa menangani keadaan gawat-darurat. Tapi sejak surat itu dibuat saya sama sekali tidak bersentuhan dengan tolong-menolong kecelakaan selama dua tahun. Surat itu masih valid, tapi tidak menggambarkan kemampuan saya yang sebenarnya. Soalnya waktu latihan yang dipakai kambing dan kelinci. Padahal manusia kan beda, soalnya kambing dan kelinci keteknya empat. Saya tidak bicara tentang surat yang palsu atau ijasah yang dibeli. Saya cuma ingin menggarisbawahi bahwa pengalaman seseorang yang berkecimpung di suatu bidang terkadang lebih penting daripada surat-surat yang dimilikinya.

    Teman dekat saya sekolahnya hanya sampai bangku SMU karena keterbatasan biaya. Sejak itu dia bekerja di pabrik tekstil sebagai penanggung jawab gudang. Dia menjalani pekerjaannya selama delapan tahun untuk menangani muatan, barang masuk-keluar sampai membuat laporan. Ketika dia pindah ke perusahaan lain karena alasan keluarga, dia digaji sama persis ketika dia baru mulai kerja delapan tahun yang lalu. Sebabnya? Ijasahnya tamatan SMU. Saya berani bertaruh sarjana S1 pertekstilan (ada nggak ya?) tidak sepintar dia dalam menangani urusan gudang. Perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya adalah perusahaan besar. Dia terbiasa menangani tekstil berton-ton dalam sehari. Dia sudah tahu bagaimana berdebat, bernegosiasi, tawar-menawar sampai arisan atau main gaple dengan supir truk barang, pembawa surat jalan, pengecek muatan, sampai kuli angkut. Tidak adil rasanya kalau kemampuan dia cuma disamakan dengan ijasah yang didapatkannya sepuluh tahun yang lalu, waktu dia cuma baru keluar dari kelas III IPA.

    Baru-baru ini saya melamar pekerjaan jadi guru bahasa Inggris, alasannya saya ingin berbagi pengetahuan di samping menjaga supaya ingatan saya tidak luntur bersama waktu. Mulanya saya juga tidak yakin bisa (meskipun saya memang suka mengajar). Untunglah saya diberi kesempatan belajar mengajar dulu selama sebulan sebelum benar-benar punya kelas sendiri. Percaya atau tidak, tak ada selembar ijasah pun terlibat dalam proses pendaftaran ini. Karena tidak diminta. Saya sudah mengobrak-abrik lemari saya yang lebih mirip tempat daur ulang kertas dibanding tempat arsip buat mencari selembar sertifikat IELTS dua tahun (atau lebih ya?) lalu. Maksudnya sekedar untuk bukti bahwa saya ngerti dikit tentang bahasanya Pak William Wordsworth. Apa lacur, sertifikat ini ketinggalan di toilet rumah sakit (saya agak grogi mau daftar profesi lain, jujur!). Saya pun datang cuma berbekal satu surat lamaran yang ditulis tangan. Saya disodori selembar kertas ujian. Lalu si perekrut, guru asal Amerika yang agak botak *semoga dia nggak buka blog ini, amin* meminta saya mengikuti dia ke ruang wawancara. Saya dinyatakan lulus ujian tertulis, tapi dia ingin tahu motivasi terdalam saya untuk mengajar bahasa. Hanya pengisi waktu luang atau sekedar uang saku tambahan? Saya bilang bahwa saya sungguh-sungguh hobi mengajar dan tertarik pada bahasa, tapi tidak semudah itu meyakinkan orang botak, karena biasanya mereka punya indra keenam sehubungan dengan bagian kepala yang terbuka lebih lebar *sungguh-sungguh beharap dia tidak pernah buka blog, amin2x*. Kami bicara kira-kira selama empat puluh lima menit sebelum dia memutuskan saya harus demo mengajar. Singkat cerita, dia bilang saya tidak punya ide apapun tentang mengajar, tapi saya punya selera humor dan kesungguhan yang menarik perhatiannya. Saya masuk training mengajar dan diperbolehkan jadi staf guru setelah saya berhasil mempelajari cara bicara di depan kelas. Intinya, dia bahkan tidak bertanya berapa skor TOEFL atau IELTS atau CAE atau ABCDE atau sertifikat apapun. Dia bisa melihat dari seberapa ekspresif surat lamaran saya, seberapa lancar wawancara dengan saya, dan bagaimana saya menerangkan di depan papan tulis. Itulah yang dibutuhkan saat saya mengajar nanti. Bukan nilai yang tertera di sertifikat saya berpuluh tahun yang lalu itu.

    Nilai yang tertera di atas kertas tidak selalu mencerminkan kualitas yang sebenarnya. Memang pertanyaan selanjutnya: lalu apa yang dijadikan patokan? Saya suka dengan evaluasi hasil kerja atau hasil belajar. Jadi yang prestasinya bagus yang direkrut. Dengan melihat langsung pekerjaannya, bukan dokumen-dokumennya. Karena, seperti kata pepatah, jangan menilai buku dari filmnya eh sampulnya. Jangan menilai orang dari surat-suratnya.

    Monday, December 7, 2009

    Nomadic vs Settled


    When I signed this 10 years employment contract, I felt like being in an arranged marriage. As a bit short-sighted person, I could not tell my plan further than three days. Planning for ten years is slightly too ambitious for me, if not suicidal. But I look at the bright side: I'm not going to be unemployed in at least another ten years time.

    To settle down is indeed quite daunting. I can't, for example, wear the same clothes for work three days in a row because people will notice that I don't change my outfit. Although it's possible and in fact entirely normal when I am on the go. Because then I met different, new people every day that it didn't matter what I wore on the other day. My travel buddies might pay attention, but they would think I was just waiting for a perfect timing to visit the laundry. It becomes a problem only when I have a job for ten years. All of a sudden, what I look like is significant because I will meet the same person for at least three hundred days per year, times ten. I don't want these people think I am an unfashionable sloven who pretend to work at hospital. I might endanger physicians' reputation in general. When we start living permanently, rapport is utterly important. It wasn't like when I was busy wandering around. I could be my alter ego and act like a teenage cheerleader anytime.

    I sense the distinction the most at church. I used to visit foreign church just to hear how 'The Lord's Prayer' were spoken in their language. And enjoyed saying "Amen!" loudly to a prayer I had no idea about. I knew I definitely settled down when I was in a church where I recognised all congregations as my neighbours. I saw my primary school teacher sat next to my pew, and gosh, he looked...aged. He wasn't that old when he taught me at primary school. I couldn't help myself imagining that those little girls will think the same as me at that moment when they see me again in the next ten years.

    My close friend told me that settling down won't be too scary if I never travel. Moreover, most of us have never been anywhere since the very beginning, which means in general we are always settled (thanks to immigration office and border agency who always assume that the most common occupations in Indonesia are terrorist and suicidal bomber). It's perhaps true (that we're always settled, not that we're mostly terrorists). But I never regret spending a few years traveling. I have a friend who never go further than a couple miles from where he lives (and was born). But he lives in the centre of universe. And I live at the edge. If I never travel, how would I know that some people can defecate without wetting their bums? How would I know that not everybody eats rice every day? (I still believe that rice is the real staple food, by the way). How would I know there are good devices such like tea cosy or electric blanket that can help us to survive cruel winter? How would I know that not all indigenous tribal people are naked? No travel is a problem when your country only got things brought by colonizer.

    If we used to be nomadic there is also one little problem when we start to settle down. It's easy to catch up with latest gossips and popular TV shows, but it's difficult to mingle or to think alike. Traveling somehow make us different person. We suddenly forget how to argue with local policeman over a ticket, how to take advantage of person-to-person information that spread more quickly than google, how to be overfamiliar (like I used to be). It's a bit like becoming a foreigner to our own homeland. I also find it hard to keep my imagination going when I go to the same local restaurant to have dinner, same supermarket to shop, same parking lot to put my motorbike, same people to judge what clothes I wear everyday. I don't complain. It is always good to know where to sleep tonight or tomorrow or ten years from now. It is called guarantee.

    Thursday, December 3, 2009

    28 November 2009


    Thanks to Ria yang sudah memberikan sepatah dua patah kata untuk menceritakan pernikahanku dari sudut pandangnya dia. Sekarang aku mau menulis dari sudut pandangku sendiri. Pengalaman menikah ini merupakan pengalaman yang penuh dengan naik turun dan lika liku kehidupan (halah). Benar2 membuat kapok tapi untungnya happy ending dan aku menulis di blog ini untuk mengingatkan aku dan suamiku (halah...sekarang suamiku) jika suatu saat sudah peyot, keriput, gendut dan ga ceria lagi. Jangan sampai pengorbanan waktu menikah menjadi sia2.

    Petter dan aku menyiapkan pernikahan sendiri, bukan berarti tidak ada peran dari keluarga atau teman2. Tapi sebagian besar kami pikirkan sendiri. Kami sudah pacaran sejak 19 Juni 2002 dan belum ada rencana untuk menikah (waduh panjang dan lama nih ceritanya). Nah baru pada Januari 2009 kami ada sedikit uang untuk membeli cincin kawin. Belum ada rencana untuk menikah tapi ga tau dapat pikiran dari mana, kami memutuskan untuk pergi ke Cikini membeli cincin kawin yang murah meriah hepi. Dengan harga kurang dari 3 juta dapat sepasang cincin kawin seberat 10 gram total (harga asli rahasia ya).

    Sejak membeli cincin itu kami juga mendoakan rencana masa depan kami (tumben religius). Akhirnya kami bisa lamaran tgl 30 Mei 2009. Itupun dengan tetesan air mata (gara2 spasmofili ni) karena tiba2 mama Petter ga bisa ikut ke Pekalongan (kota kelahiranku) sehingga yang berangkat dengan alasan yang menurut kami kurang masuk akal. Acara lamaranku pun sederhana hanya dihadiri Petter, papanya, papi mamiku, adek2ku minus si Budi (katanya ga bisa cuti) dan tanteku. Itupun kurang begitu lancar karena salah satu dari kue yang dibeli buat seserahan ternyata jamuran padahal katanya tahan sampai 2 minggu.

    Setelah lamaran itu kami berdua berusaha mengumpulkan uang dengan cara yang halal dan pengiritan yang amat sangat sampai kami bawa nasi sendiri kalau makan di KFC. Kami mulai ikut kursus perkawinan di bulan Juli. Tadinya kami mau menikah di Jakarta tapi karena apa2 mahal apalagi sembako naik, kami memutuskan untuk menikah di Tangerang. Nah untuk menikah ini kami harus mengalami banyak hal seperti di artikel sebelumnya (http://sugiartobudiman.blogspot.com/2009/11/kenapa-saya-hanya-mau-menikah-sekali.html). Kami mengira kesulitan kami sudah berakhir dan seharusnya hari H berjalan dengan lancar.

    H-2: (Kamis 26 November 2009)
    Keluarga saya datang dari Pekalongan. Seharusnya mereka menginap di apartemen temannya teman saya dan sepulang kerja Petter harus mengambil kunci di kantor pemilik apartemen. Namun apa daya hari itu saya dan Petter malah masih sibuk lembur di kantor supaya bisa cuti untuk hanimun. Akibatnya kunci tidak jadi diambil dan keluarga saya menunggu sampai malam baru akhirnya bisa ke apartemen tempat mereka menginap.

    H-1: (Jumat 27 November 2009)
    Ria datang naik pesawat pagi jam 6. Sehari sebelumnya saya bertanya kepada Ria kenapa dia datang pagi2 padahal saya paling males bangun pagi nanti siapa yang menjemput dia, dll. Walaupun dia waktu di negara kambing gunung ga pernah nyasar, tapi saya kawatir dia di Jakarta akan nyasar karena di Jakarta banyak orang jahat. Singkat cerita (kalau panjang2 nanti yang baca bosen), akhirnya ketemu penyelesaiannya dan Ria nebeng teman (heran kenapa Ria sering ketemu orang untuk ditebengi) sampai ke kost saya. Kemudian saya dan Petter beserta Ria dan adik saya (Andy) naik motor ke Tangerang. Rencana hari itu adalah fitting baju saya dan keluarga saya setelah itu Petter dan saya pulang ke Jakarta mengambil barang2 yang belum diangkut (sepatu Petter, baju, dll). Ria tetap di Tangerang bersama keluarga saya. Setelah seharian sibuk tiba2 Petter bilang kalau dia harus pulang ke rumah karena ada Thaiku Singapore yang datang ke rumah dan kalau dia tidak tidur di rumah kesannya tidak menghargai. Padahal kami sudah punya rencana sendiri untuk pulang ke Jakarta dan datang ke Tangerang keesokan harinya sambil membawa barang2 yang tertinggal.

    Pertama2 saya pikir saya bisa menangani semuanya dan Petter pulang ke rumah untuk menemani keluarganya termasuk Thaiku Singapore itu. Namun malam hari saya mulai panik karena sudah jam 10 malam ketika semua urusan baru beres dan saya harus kembali ke Jakarta. Bayangkan.....waktunya sudah mepet dan besok adalah hari pernikahan saya tapi malam hari jam 10 saya masih harus mengurus barang2 yang masih ketinggalan di Jakarta. Dan waktu saya minta adik saya mengantarkan saya ke Jakarta naik motor jreng 123456789x helmnya kurang satu karena Petter membawa helm saya pulang ke rumahnya. Saya mencoba mengetuk pintu kamar teman saya yang tinggal di situ namun tidak ada jawaban. Satpam apartemen juga hanya bisa meminjamkan helm sampai jam 8 pagi. Akhirnya saya mulai stres dan menangis tersedu2....sampai si Ria heran kenapa saya menangis cuma gara2 helm. Jadi inilah kisah sebenarnya.

    Karena tidak tahu apa yang harus saya lakukan, saya menelepon Petter. Saya bilang kalau saya sudah stress mengatur semuanya sendiri. Dan kenapa keluarganya dia harus ikut campur rencana kami padahal dari awal mereka tidak membantu apa2 (sombong banget saya..tapi itulah pikiran saya saat itu). Akhirnya Petter memutuskan untuk menjemput saya dan kami pun pulang ke Jakarta seperti rencana semula. Kami sampai ke Jakarta jam 12 malam dan masih harus menyiapkan barang2 untuk dibawa ke Tangerang.

    Hari H (Sabtu, 28 November 2009)
    07.00: Berangkat ke Tangerang naik bus sementara Petter menjemput sepupu saya yang akan menjadi penerima tamu.
    09.00: Berangkat ke salon bersama Ria, mami dan adik saya (Lita yang menjadi pengapit saya) untuk mulai dimake up. Ria menjadi tukang foto amatiran...dan benar2 thanks to Ria yang sudah membantu menceRIAkan hari H saya. Sementara saya di make up, Petter bersama Fiyan (pacar adik saya) pulang ke rumahnya untuk menjemput mamanya dan Thaiku Singapore untuk dibawa ke salon. FYI, Fiyan satu2nya orang yang bisa diandalkan untuk mengantar jemput karena adik saya yang lain tidak bisa (or tidak lancar) menyetir mobil. Petter juga harus memfoto kopi buku untuk pemberkatan karena baru seminggu yang lalu disetujui oleh Romo.
    10.30: Mulai cemas karena Petter belum juga sampai. Waktu saya telp, dia bilang sedang menyeteples buku misa...bayangkan..pemberkatan jam 1 namun jam 10.30 mamanya belum dimake up dan buku misa belum jadi.
    11.00: Pengantin pria belum juga datang dan saya sempat menangis sampai make up saya luntur sedikit. Untung ada Ria yang bisa menjaga kewarasan otak saya.
    11.30: Petter baru datang beserta mamanya dan karena Petter satu2nya orang yang tahu jalan dari salon ke apartemen, Petter harus menjemput papi saya dan adik2 saya untuk ganti jas di salon.
    12.30: Pengantin pria baru datang...modar rak ke (sori pake bahasa Jawa) dan belum diapa2in. Akhirnya saya pasrah saja deh. Semua dilakukan buru2 dan kami terlambat sampai di greja sampai Romonya bilang jangan2 ga jadi merit.
    01.05: Pemberkatan nikah dimulai namun orang tua kami belum sampai, baru dijemput dari salon. Saya dan Petter hanya bisa pasrah di depan altar sambil sekali2 celingukan mencari orang tua kami yang belum datang.

    Setelah orang tua kami datang, barulah kami merasa lega dan bisa menikmati acara pemberkatan. Walaupun ada yang sedikit menyebalkan karena Romo melewati lagu yang seharusnya saya nyanyikan berdua dengan Petter, kan saya jadi tidak bisa nampang. Petter bahkan menangis tersedu2 pada waktu sujud kepada orang tua sampai ingusnya dilap oleh Thaiku Singapore. Saya menangis juga tapi tidak sampai tersedu2 karena takut make up saya luntur.

    Alkisah, akhirnya kami resmi menjadi suami istri. Tamu2 yang datang di pemberkatan hanya keluarga kami dan beberapa teman kami. Malah ada yang baru datang setelah selesai misa karena nyasar.






    15.00-17.00: Pergi ke salon untuk retouch make up. Yang ke salon hanya saya, Petter, Lita (pengapit) dan Tika (adik saya). Sebelumnya kami berpesan pada keluarga kami untuk datang jam 5 ke tempat resepsi karena akan ada foto bersama keluarga. Mobil Mercy pengantin saya suruh pulang tanpa pikir panjang.

    17.00 lebih sedikit: Petter dan saya sudah sampai di restoran Kelapa Kuning namun keluarga kami yang janjinya datang jam 5 belum juga ada yang datang (jam karet sudah membudaya). Pesta akan dimulai jam 18.30.

    18.00: Keluarga Petter sudah ada beberapa yang datang dan tamu2 juga sudah ada yang datang, namun penerima tamu dan buku tamunya belum datang juga. Waktu saya telpon mereka bilang lagi on the way karena macet. Matilah...(dalam hati) dan saya mulai panik.

    18.15: Orang tua kami sudah lengkap namun sekali lagi jreng 1000000x buku tamu ketinggalan. Saya sudah tidak mau tau lagi jadi saya ngumpet di mobil Carry sewaan keluarga saya karena mobil Mercy sudah saya suruh pulang dengan tidak pikir panjang. Tamu2 sudah banyak yang datang dan tidak ada buku tamu, mendingan saya ngumpet aja. Kabarnya tante restauran memberikan buku tulis sebagai buku tamu sebelum Leo (adik Petter) memutuskan untuk membeli buku tamu di supermarket di dekat situ.

    18.30: Di dalam mobil saya ditemani Fiyan (pengapit pria saya) karena dia yang nantinya mendampingi saya masuk ke ruang resepsi. Kan rencananya saya masuk bersama Fiyan supaya tamu2 mencari2 Petter ada dimana. Supaya surprise ceritanya...jadi nanti Petter muncul dari balik korden bersama pengapit wanita (Lita) sambil menyanyikan lagu "Selalu Mencintaimu" lalu duet bersama saya di bawah wedding bell. Itu semua berantakan jadinya dan saya telat masuk. Akhirnya Petter duluan yang masuk lalu saya masuk dan sudah mulai reffrain. Jadi saya cuma nyanyi sepotong.

    Acara yang dimulai dengan susah payah dan penuh perjuangan dan air mataku ini akhirnya berlangsung dengan lancar (Thanks God). Makanan tidak kurang, juga tidak lebih terlalu banyak. Saudara2 banyak yang datang, teman2 dekat kami juga banyak yang datang padahal ada beberapa yang hamil besar, nyasar 2 jam, naik becak (heheheh), naik kursi roda, naik angkot, naik busway, naek motor maupun yang naek bus dari Pekalongan ke Jakarta. Dan hampir semua orang bisa ikut difoto. Karena menurut Petter dan saya, yang penting dari acara resepsi adalah foto2 sebagai kenangan kami.

    Alhasil (ga usah menceritakan lagi acara menghitung angpao), kami mau berterima kasih kepada pihak2 yang sudah membantu mensukseskan acara pernikahan kami ini. Thanks all....terutama buat Ria yang sudah datang dari luar kota dan menjadi reporter serta pahlawan tanpa tanda jasa selain Uling.

    Mohon doanya supaya kami selalu berbahagia dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, sehat maupun sakit.

    NB: foto paling atas adalah karikatur hasil karya Erwin teman SMA yang begitu berbakat seperti Affandi. Thanks ya Erwin untuk kadonya yang berkesan banget...

    Wednesday, December 2, 2009

    Nikahannya Kristina

    Benar. Benar. Sudah lama sekali nggak nulis blog. Bukan karena sibuk. Saya kehilangan gairah menulis *ada viagra buat menulis?*

    Kristina nikah tanggal 28 November lalu, nulisnya juga baru sekarang. Kalo saya penulis tabloid gosip pasti udah dipecat dengan tidak terlalu hormat dan tanpa uang pesangon apalagi THR. Makanya kalau saya mau nulis, saya pikir lebih baik jadi penulis obituari saja, nggak buru-buru. Nunggu sampai keluarganya kumpul semua untuk tahu siapa yang dapet warisan.

    Kristina menyiapkan pernikahan dengan antusias sekali, karena dari jaman SMU dulu memang dia yang paling kebelet kawin (disamping saya tentunya). Gedung dan gerejanya dipilih yang dekat dengan kampung halaman Petter-suami Kristina-, di Tangerang (yang konon agak lebih murah dikit dibanding Jakarta). Hari H-1 suasananya sudah terasa agak emosional (maksudnya mengharukan). Biasanya tuh orang emosinya labil kalo lagi hamil tua, tapi Kristina sering jadi sangat emosional meskipun belom hamil. Ini karena dia itu mengidap (yaelah kata-katanya) penyakit spasmofili ringan. Bukan sejenis HIV. Ini penyakit yang kata Kristina, kalo kita pukul-pukul muka pake palu yang buat ngetok dengkul itu, mulutnya bisa bergetar-getar. Terus kalo kita ketok-ketok tulang pipi, matanya bisa berjengit-jengit. Saya tidak bercanda. Dan Kristina (sayangnya) bukan Dakocan. Kristina bilang, "Ria inget-inget ya, kalau ada pasien sesak yang diperiksa dada dan parunya gak ada apa-apa, tapi dia kelihatan setres atau panik itu mungkin saja sakit spasmofili. Jangan bilang cairan lambung naik, maag atau pneumonia seperti dulu aku diperiksa dokter-dokter yang sebelumnya," Spasmofili memang bukan penyakit yang populer diajarkan di fakultas kedokteran (atau waktu itu saya lagi bolos kuliah). Katanya sih itu termasuk gangguan cemas, seperti perasaan takut/panik yang berakibat sesak napas bahkan bisa sampai perasaan lumpuh, pandangan kabur, berdebar-debar seperti kalau mau serangan jantung. Tapi penyakit ini tidak mematikan, karena Kristina sudah tanya ke dokter ahli saraf yang pinter tapi agak bences di Jakarta dan dia sudah memastikan bahwa Kristina tidak usah khawatir. Masih banyak waktu untuk mengunjungi kambing gunung, kecuali kalau tahun 2012 bener-bener kiamat (dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan spasmofili). Dan entah kenapa, si Kristina dikasih obat buat skizofrenia (penyakit gila). Saya mikir ini pengobatan yang tepat sekali meskipun efeknya sampai sekarang belum kerasa. Seharusnya saya nggak nulis riwayat penyakit Kristina di blog ini, tapi berhubung si Kristina sudah nikah saya rasa nggak papa (kan udah laku gitu lho). Lagipula dia juga sempat berpesan, "Mari kita perkenalkan penyakit ini ke masyarakat. Kasihan penderitanya sering disangka pura-pura sakit atau gangguan psikosomatik belaka," Kalau dia masih merasa dicemarkan nama baik, saya juga akan mengumbar penyakit yang saya derita, yaitu budug. Kalo tidak salah nama lainnya eczema, yang selalu kambuh kalo saya lagi tertekan; misalnya tanggal-tanggal harus bayar kos-kosan atau dokter gigi, pas ulang tahun *bukannya takut tua tapi takut ditodong traktiran* atau kalo pas liat tagihan. Untungnya penyakit saya tidak separah sakit sarapnya si Kristina. Paling-paling ya kumat budug bulanan lah.

    Tadi saya bicara apa? Oya, nikahan Kristina. Tanggal 27 November malam si Kristina sudah pake acara nangis-nangis karena mau pulang ke kostnya di Jakarta nggak ada helm. *tuh kan?* Sebetulnya ada latar belakangnya, tentu saja. H-1 adalah hari yang penuh ketegangan, terutama karena Kristina dan Petter nyiapin nikahan ini sambil sibuk kerja. Ada beberapa rencana yang tiba-tiba diubah tanpa peringatan apalagi tanda-tanda gaib. Kristina sebenernya orang yang cukup fleksibel, tapi mengurus pernikahan memang melibatkan banyak gangguan perasaan (baca: makan ati). Misalnya menyatukan dua keluarga yang beda temperamennya. Atau melayani kerabat keluarga senior yang bela-belain datang dari jauh tapi pelit senyumnya. Atau sanak-keluarga yang ngambek karena merasa tidak diperhatikan. Atau pacar saudara kandung yang hiper-sensitif dan ngerasa mengganggu acara keluarga. Dan sebagainya. *Untungnya, sekali lagi, nikah itu cuma sekali saja* Tapi singkat kata, semua itu berhasil dilewati dengan sukses. Maksudnya dicuekin aja, gitu lho. Toh acara nikahan tetap jalan terus, karena sudah bayar di muka =).

    Hari H, acara jemput-menjemput dan ke salon juga bikin setres karena yang tahu jalan cuman segelintir orang (salah satunya mempelai pria sendiri) dan berakibat jadwal ke gerejanya molor. Romonya bilang (katanya sih bercanda. Tapi Kristina benar, dia memang mukanya asem banget. Harusnya dikasih jajan yang manis-manis biar dia gak sepet-sepet amat kali ya, misalnya jenang gulo, dodol, harum manis, gulali dan permen jahe), "Wah dari tadi saya tunggu-tunggu. Saya pikir, jadi menikah tidak ya?" *Ya jadilah. Kan udah terlanjur ambil cuti!*

    Oya, Kristina bilang, dia ambil suvenir dari ibu-ibu yang baru diberhentikan kerja dan anaknya banyak. Kasihan katanya. Terus Kristina juga pesen empek-empek dari orang yang suaminya baru di PHK. Makaroni goreng dari tetangga kenalannya. Nah, saya jadi mikir, salon tempat dia rias itu siapanya yang di PHK? Nggak ada, kata Kristina, tapi mantunya yang punya salon itu temen gerejanya Petter. Yah memang beginilah nikahan yang penuh KKN. Apa lacur, "harga teman" memang membantu untuk menghemat budget. Saking hematnya, tuh mobil pengantin (si Mercedes) sampe langsung disuruh pulang begitu nyampe di depan gedung acara. Pasalnya, si Mercedes men-charge beberapa puluh ribu rupiah untuk kelebihan jam nunggunya. Kristina yang enggak suka dipalak dngan alasan time is money langsung nyuruh si Mercedes pulang begitu jam sewanya habis, persis Cinderella. Padahal penerima tamu belom datang. Buku tamunya ketinggalan di rumah susun. Alhasil Kristina ngumpet di mobil carry yang bawa keluarga, karena nggak mau ketahuan kalau pengantinnya sudah datang lebih dulu daripada buku tamu. Tapi sambil ngumpet ini Kristina nangis lagi karena kepanasan. Padahal saya bilang, jangan nangis sampai saya nyumbang lagu atau puisi, biar dramatis.

    Nikahan kali ini (emang ada lain kali) meskipun sederhana dan jauh di Tangerang, ternyata banyak yang datang. Teman-teman SMU. Orang-orang yang datang jauh dari Pekalongan. Kerabat. Kenalan. Thaiku Singapore (hi-hi). Kristina sampe terharu karena dibela-belain sampai pada kesasar jalan. Atas nama Petter dan Kristina, saya mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya buat teman-teman yang meluangkan waktu, tenaga, bensin dan mulut yang berbusa-busa karena sibuk nanya jalan untuk hadir. Terutama banget yang nyumbang. Ha-ha. Ini saya yang bilang lho, bukan atas nama keluarga. Oya Kristina bilang dia merasa sangat beruntung semua pada dateng sehingga dia bisa foto-foto buat anak-cucu nanti. Itulah sebabnya dia nekad merebut mikrofon dari MC dan dengan suara cempreng-cempreng basah memanggil semua orang buat naik ke panggung untuk foto. Pastinya semua pada naik karena suara Kristina yang susah dibedakan antara manggil temen atau teriak maling. Malu gitu.

    Malamnya setelah pada masup angin karena klewatan makan siang (menu dari gereja cuma sepotong roti dan aqua. Mending kalo lima roti dan dua ikan!), kami pun melakukan kegiatan yang paling disenangi pasangan yang baru menikah yaitu...jreng23456789x...(bukan adegan ranjang. Astaga. Tadi kan kata gantinya "kami" bukan "mereka") membuka kado dan menghitung uang sumbangan! Karena semua orang pada baik hati, dermawan, panjang sabar dan penuh tanggung jawab (lebay ah), konon pasangan ini sangat puas pada perolehan sumbangan mereka. Sampai-sampai Petter yang dulu hobi MLM kepikiran untuk nikah ulang barangkali bisa buat mulai nyicil mobil. Hi-hi. Peace Kris!

    Selesai semua acara, saya pun pulang. Kristina menikmati sehari bebas dengan berenang-renang di tepian kolam renang, sebelum honeymoon di Vietnam. Saya sempet mikir, honeymoon apa yang lebih aneh daripada di Vietnam. Mungkin Kamboja, negara yang penduduknya paling banyak jadi korban ranjau darat waktu perang dunia kedua. Atau di Afganistan. Atau di jalur Gaza. Tapi bukan Kristina namanya kalau nggak punya alasan tepat memilih Vietnam. Katanya, "Pesawat air asia promo yang paling murah waktu aku booking itu Jakarta-Hanoi,"

    Yah, memang nggak ada yang ngalahin pentingnya prinsip ekonomi!

    P.S. Untuk honeymoon ini, Uling dengan sangat heroik menggantikan tugas-tugas Kristina di kantor. Terimakasih banyak buat Uling. Saya bilang, kalau di jalan nanti Kristina ada yang malak atau rencana honeymoonnya tidak berjalan sesuai rencana, ingatlah pengorbanan Uling memeriksa laporan pajak di balik kubikel demi menggantikan Kristina. Pasti Vietnam terasa seperti Switzerland atau Disneyland. Sekali lagi Uling, engkau pahlawan tanpa tanda jasa...

    Tuesday, November 17, 2009

    Balada Kos-kosan

    Berhubung ortu saya tinggal di desa Limpung yang sangat tercinta (ah, jangan terlalu percaya sama google map), saya akhirnya nge-kos untuk cari pekerjaan di kota terdekat. Soalnya di kampung pilihan kerjaannya seputar jadi bakul emping, juragan lele dumbo atau guru SD inpres terpadu. Berhubung pilihan-pilihan tersebut tidak sesuai dengan bakat/minat saya (saya nggak berjiwa dagang, takut sama lele dumbo kecuali udah dibikin pecel dan nggak hobi upacara bendera atau ngatur jadwal piket mingguan), saya pun berurbanisasilah.

    Cari kos di Semarang sama sekali gak susah, karena dulu saya kuliah juga di Semarang, jadi cepet banget dapet info tentang mana kos-kosan yang kosong dari adek-adek kelas. Istilahnya banyak koneksi gitu (iya, nge-kos pun harus pake koneksi dong biar terjamin, nggak cuman kerjaan). Singkat cerita, saya pun kembali ke kos-kosan saya jaman kuliah dulu karena temen-temen kosnya asyik-asyik. Dulu, kita hobi berat traktiran makan tiap kali ada yang ultah *setelah malem sebelumnya si ultah dilemparin telur ama makanan basi dari kulkas, norak banget deh kelakuan ABGnya*. Atau karaoke bareng. Atau patungan keanggotaan berenang bareng, keanggotaan sewa DVD bareng, atau sewa komik juga bareng-bareng. Jadi nggak aneh kalo kartu anggotanya satu tapi yang berenang tampangnya ganti-ganti, pasangannya juga ganti-ganti (omong-omong tentang berganti-ganti pasangan nih). Soalnya keanggotaannya buat 2 orang. Trus setelah setahun ada gratis nginep di hotel 1 malem, kita santronin tuh kamar hotel rame-rame bersebelas (sarapan paginya diundi). Trus kalo ada yang nagih DVD ato komik yang belom dibalikin, pasti bakal terjadi saling tuduh dan saling periksa kamar. Soalnya yang pinjem siapa, yang baca/nonton siapa kadang bisa bervariasi. Setres deh mas tukang rentalnya. Jangan tanya juga siapa suara paling cempreng waktu karaoke. Waktu nunggu giliran kamar mandi aja kita bisa mendadak mules kalo cewek yang satu ini nyanyi sambil mandi.*Demi kesetiakawanan, nama oknum tidak saya sebut.* Tapi kita tetep nggak kapok karaokean bareng, karena cewek cempreng (CC) ini bikin kita semua serasa biduanita. Begitulah gambaran singkat kos-kosan saya jaman dahulu kala.

    Tapi sekarang jaman sudah berubah *buset dah, gaya omongan udah kaya kakek-kakek pejuang kemerdekaan*. Adek-adek kos sudah pada jadi koass atau dokter, jadi kegiatannya sendiri-sendiri. Kos yang biasanya rame kaya pasar kaget tiba-tiba sunyi senyap kaya
    Chernobyl waktu reaktor nuklirnya meledak. Belum lagi yang pada sudah punya pacar *sumprit, nggak sirik, cuman kesepian aja. Kapan waktu nongkrong bareng temennya?*. Mau ngajakin makan juga pada sibuk jaga atau pada belajar buat ujian. Salah saya sendiri juga. Saya satu-satunya orang di kos yang semi pengangguran. Nggak sekolah, cuman kerja paro waktu sambil nungguin pengumuman dan pelatihan. Jadi saya cuman kerja dari jam 10 pagi sampai jam 1 siang. Sisanya? Ya pengennya sih ngerumpi ama teman-teman lama, jalan-jalan ke mall ama temen kost, makan-makan ato karaokean. Tapi kenapa ya semua orang sibuk? Jangan-jangan cuman saya yang kurang kerjaan...

    Saya pun jadi agak sebel sama kos-kosan. Pertama, ya masalah sepi tadi. Kedua, waktu pindah kos pun, kamarnya belum diberesin karena yang punya dulu lagi stase Bedah ("Aduh maap Mbak, lagi sibuk banget, minta tolong pembantu kos aja buat bersihin,"). Tapi saya butuh kamar sekarang. Walhasil saya pindahin barang-barang temen dengan paksa dan dengan tidak hormat (hehe) lalu saya bersihkan kamar itu supaya barang-barang saya bisa masuk malam itu juga. Karena kamar itu sudah dibiarkan kosong selama berbulan-bulan, debu menumpuk sampai bisa ditanami kacang panjang. Saya pun membersihkan semua sudutnya, menyapu dan pel semua permukaan yang rata-rata berdebu tiga sentian (buset ini kamar apa bekas ledakan gunung berapi sih?). Setelah berhasil mendiami kamar tersebut, masalah lain muncul: mobilitas. Saya sempet naik sepeda, tapi beneran deh, Semarang jadi sepanas gurun Arab (sebenarnya sih, saya belom pernah benar2 ke sana) sehingga nggenjot sepeda bisa bikin pingsan mendadak karena hipertermia-kepanasan. Kadang saya pikir kita bisa bikin mi kuah cuma dengan merendam indomi dalam air taruh di jalan.

    Saya adalah penunggang motor Kymco matic sejak sepuluh tahun yang lalu. Jadi, saya jelas nggak hafal jalur angkot dan bis kota di Semarang. Hidup saya terasa belum lengkap tanpa motor. Emang bisa saja sih ke RS jalan kaki. Tapi kalo pingin keluar makan, ke dokter gigi, ke bioskop, mall ato ambil ATM kan susah kalo nggak ada motor. Masa mau beli aqua aja harus naik taksi? Makanya waktu saya ada waktu hari Sabtu kemarin saya buru-buru bikin SIM C (SIM C saya kedaluwarsa 2 tahun yang lalu) dan dengan semangat reformasi menggotong Kymco saya ke Semarang. Tapi sampainya di Semarang, jreng2345x...garasi kos-kosan dihuni mobil salah satu temen kos dan kuncinya dibawa! Jadi muncullah masalah ketiga, tidak ada tempat untuk motor Kymco saya tercinta! Motor temen lain dimasukin ke ruang tamu pake ramp dari kayu yang di pasang di deket pintu depan. Tapi cara ini nggak mempan untuk Kymco. Desainnya yang pendek bikin waktu dinaikin malah nyangkut sehingga motor saya nggak bisa naik nggak bisa turun. Padahal waktu itu sudah malem (saya sudah mikir bakal susah jadi rencana semula mau saya parkir di depan kos saja. Tapi temen saya bilang kalau cara itu sama sekali gak aman). Jadi malam itu saya dibantu temen ngangkat-ngangkat pantat motor yang segede gaban bak maling yang tidak profesional. Saran temen kos sih, ramp-nya dipindahin ke tempat yang lebih luas supaya lebih gampang. Saya pikir sarannya masuk akal. Paginya, motor itu mau saya turunin dan ramp-nya sudah saya pindahin. Tapi apa daya, waktu turun pun: jeglek, gruk gruuk gruuuk. Nyangkut juga. Sekarang motor saya kembali pada posisi semalam, bedanya sekarang hadap ke bawah. Saya sampe telat datang ke tempat kerja karena alhasil saya terpaksa jalan kaki, setelah susah payah ngangkat kepala motor untuk dibalikin ke posisi semula di ruang tamu. Sekali lagi saja saya begini, pasti saya udah kekar banget otot deltoidnya. Lupakan barbel.

    Jadilah saya berangkat kerja hari itu dengan misuh-misuh. Telat ngantor, nggak sarapan malah keringetan. Saya sampe mikir mau pindah kos. Untungnya temen yang punya mobil sudah mau pindah karena lulus (bukan karena saya usir kok). Masalah keempat, nggak ada tanaman sedaunpun. Berhubung nggak ada yang ngerawat halaman, semua tanaman mati dan akhirnya halaman itu ditegel semua. Panasnya minta ampun. Yang lain pada nggak peduli dan tinggal pasang AC. Nah rencana saya sih mo nanem pohon mangga ato lamtoro gung, suapaya kita bisa duduk-duduk di depan rumah tanpa jadi mie rebus. Itung-itung penghijauan. Semoga aja nggak ditegur pak RT (harusnya malah jadi contoh ya).

    Sekarang saya mulai menjalankan rencana pemecahan masalah *walah, pake diagnosis banding segala gak nih?*. Pertama, duplikat kunci garasi, biar bisa nyelipin motor di belakang mobil. Kedua, beli tanaman dalam pot (OK, bukan lamtoro gung). Ketiga, bikin janji ama temen seminggu sebelumnya, dengan teman yang berbeda-beda (disesuaikan sama jadwal jaga mereka) sehingga tiap saat saya punya temen jalan. Keempat, mungkin sudah saatnya saya kerja beneran!

    Saturday, November 14, 2009

    Keluarga oh Keluarga

    "Meet my family, you'll understand," - Anonymous.

    Kadang-kadang saya mikir, bisa gak sih kita jadi orang 'normal' kalau kita berasal dari lingkungan (baca: keluarga) yang 'tidak terlalu normal'? Barangkali banyak yang balas bilang, memang apa sih normal itu? Saya juga nggak tahu batasan normal, tapi saya tahu apa yang termasuk 'enggak banget'. Kata peribahasa, menepuk air didulang, terpercik muka sendiri (kalo nggak salah) artinya jangan pernah bicara tentang kejelekan keluarga. Saya bukan bicara kejelekan kok, cuma cari pembelaan saja kalau saya dibilang aneh ^_^. *Bukan. Keluarga saya bukan mafia. Bokap bukan anggota KPK, juga bukan sebangsa MIB atau vampir*

    Sebenarnya kalau saya mulai berpikir bahwa keluarga saya kok begini, saya selalu mengingatkan diri sendiri kalau ini bisa lebih buruk. Banyak orang yang terbelit utang, putus sekolah, terpaksa jadi TKW, nikah muda, bercerai, masuk bui atau masuk RSJ karena keluarga. Dibanding ini, keluarga saya pasti kliatan oke berat seperti model iklan KB/NKKBS. Pasti banyak yang berkilah juga, kan nggak ada keluarga yang sempurna. Betul, tapi saya tidak minta sempurna. Saya cuman bilang sedikit tidak terlalu aneh kenapa sih? Soalnya keluarga saya tingkat keanehannya cuman setengah level di bawah keluarga Simpsons.

    Pertama, mereka semua obsesif kompulsif soal uang. Tidak peduli apa pencapaian seseorang secara pribadi, level kesuksesan selalu diukur dengan uang. Jadi, bokap akan bangga kalau penghasilan saya menembus angka 8 digit. Mungkin ini normal-normal saja. Biar saya ceritakan rincinya. Bokap saya pengusaha sejati. Segala sesuatu ditimbang dari neraca rugi-laba. Jangan salah, dia juga sangat konsisten. Kalau bilang utang pasti dibayar beserta bunga, kalau bilang deal ya dipenuhi. Sesuai hukum dagang. Tapi jangan harap bicara dari hati ke hati tentang binatang piaraan, kebun di belakang rumah, foto-foto masa kecil atau cita-cita jadi sukarelawan. Jangan harap dapat tanggapan positif (masih untung kalau dia mendengarkan). Sialnya, dia juga ngirit (baca: ekonomis) banget. Pengeluaran sampai parkir dan ngasih recehan ke pengemis itu dicatet. Rekening telepon diperiksa. Tagihan kartu direview. Tarikan dari ATM dijumlah. Kalau pengeluaran banyak, dia akan ngomel-ngomel sambil bilang, berapa kilo emping yang harus dijual untuk menutup tagihan bulan itu. Kata-kata yang populer dari bokap:
    "Rak mberasi" - tidak menghasilkan beras alias tidak mengasilkan uang.
    "Ora ilang tapi susut," - tidak hilang tapi mengalami penyusutan (buat barang yang dipake, misal AC, mobil, motor atau komputer. Katanya kalo dijual lagi kan jadi lebih murah).
    "Ngakeh-ngakehi berkoteng thok," - menambah beban (pengeluaran) saja.
    "Ojo tuku sing rak kanggo nggawe," - jangan beli barang yang tidak berguna (bagi bokap contohnya baju baru, sepatu baru; sebelum yang lama sobek, rusak dan nggak bisa dibetulin lagi. Atau hiburan. Dalam kamus bokap, pengiritan=keuntungan=hiburan)
    "Ojo nambahi pajek," - jangan menambah biaya pajak (contohnya beli motor baru, mobil, tanah atau rumah).

    "Iki 5 dino kerjo lho" - ini lima hari kerja lho (biasa bervariasi. Bisa seminggu, sebulan, setahun, dst). Ini diucapkan kalau kita liburan atau makan di luar atau pengeluaran apapun yang jumlahnya lumayan besar, konon supaya kita sadar bahwa tiap rupiah dihasilkan dengan kerja keras dan cucuran keringat sampe bedak pun luntur (kaya kata Kristina).

    Karena prinsip ekonomi bokap yang lebih dahsyat dari Adam Smith, saya jadi terbiasa hidup sederhana. Misalnya ngekost di kamar berangin tapi nebeng tidur di kamar temen yang sering jaga malem tapi kamarnya berAC, atau suka pulang kerja agak telat tiap kali di RS ada acara makan-makan, atau selalu minjem DVD bajakan dari temen kost, atau naik sepeda ke tempat kerja, dan kesanggupan saya berdiri berjam-jam di Gramedia buat baca buku yang plastiknya dibuka. Berkat latihan bertahun-tahun! Yang paling mengesankan, kemampuan keluarga kami untuk menahan lapar. Coba buka kulkas di rumah keluarga saya, tidak ada makanan sebiji pun! Dalam hukum rumah tangga bokap semua makanan harus dihabiskan saat itu juga, nggak boleh beli tapi disisakan. Dan sesuatu yang berlebihan itu tidak pernah baik. Alhasil tidak ada cemilan, kalau tamu bertandang paling banter dikasih aqua. *ada yang protes kenapa saya nggak pernah kasih oleh2. Asal tahu saja, tiap saya beli oleh2 buat keluarga, bokap malah bilang "ngeceh-ngeceh duit thok" alias buang-buang duit aja. Nah lho!*

    Hal lain yang paling aneh dari keluarga saya adalah kekhawatirannya akan pencuri. Di rumah ada banyak sekali gembok dan anak kunci dan rantai-rantainya sampai kadang ruang penyimpanannya dikira ruang koleksi kunci. Rumah saya dinding pagarnyanya tinggi dan masih ada kawat berdurinya. Saya pernah baru pulang dan kekuncian di luar karena rumah dikunci berlapis-lapis dari luar sampai dalam, yang punya aja sampai susah masuk. Lalu soal listrik. Saya kebiasaan matiin lampu karena selalu diteriakin bokap kalo lampu dibiarkan nyala. Ini tentu saja kebiasaan baik. Tapi kalau lampu jalan dimatiin dengan alasan kita ada di dalam rumah semua, lha yang mau masuk dari luar jadi gelagapan. Untung ini sudah agak berubah sekarang. Yang lain, entah kenapa semua kabel di rumah saya selalu dicopot dari stop kontaknya (mungkin untuk memastikan alat benar2 mati dan nggak makan listrik). Jadi tiap kali mau menyalakan sesuatu yang kompleks, misalnya komputer, internet dan nge-charge HP secara bersamaan, kita jadi harus merekonstruksi ulang kabel-kabelnya. Hal-hal diatas kedengerannya sepele. Tapi coba bayangkan kalau kita mau cek sesuatu di internet, kabelnya dicopot semua dan pintunya dikunci, lalu lampunya padam jadi susah masukin kuncinya?

    Kedua, bonyok tidak pernah tahu kalau anaknya sudah gede. Mereka selalu kasih nasehat (baca: perintah) kapan makan kapan tidur kapan mandi kapan cebok. Biarpun saya dipanggil De-eR tapi nyokap masih hobi maksa-maksa saya minum jamu dan diawasi sampe gelasnya kosong. Tiap minggu pagi, mereka bakalan tendang-tendang selimut saya supaya saya ke gereja. Gak peduli kalopun malemnya saya begadang nyelesaiin tugas (dan ini kan hari Minggu!) Tidak ada yang namanya ruang pribadi. Kamar saya selalu bisa dimasukin kapan aja, diubah, dipindah, atau dibongkar (temboknya atau atapnya! bukan sekedar barang-barangnya). Pernah pas saya pulang, barang-barang saya semua di garasi, tembok kamar tinggal separo dan atap kamar saya hilang! Usut-punya usut, bokap lagi melebarkan gudang emping. Pernah saya lagi belajar, tiba-tiba nyokap masuk buat curhat tentang bokap. Atau teriak-teriak, "Ini sandal yang satu ilang kemana?" waktu saya lagi ditelpon dosen soal kerjaan. Saya pernah bercanda, "Tahu nggak kenapa saya ngekost? Di rumah sering diganggu orang tua,"

    Ketiga, saat-saat sulit mereka nggak tahu menahu, tapi begitu saya bikin pilihan, langsung campur tangan. Misalnya pas sekolah dulu, saking sibuknya kerja, ortu saya nggak pernah tahu anak-anaknya kelas berapa aja. Tapi begitu mau masuk universitas, orang tua langsung nyuruh semua anak untuk nyoba UMPTN (padahal saya udah masuk tanpa tes di perguruan tinggi swasta di Jakarta dan saya sudah puas). Alasannya? "Perguruan tinggi negri kan murah," Pas saya patah hati atau bingung soal pacar, mereka boro-boro mau dicurhatin, tahu aja enggak. Tapi begitu saya mutusin untuk single dulu, mereka langsung ngenal-ngenalin saya sama anak tetangga ato sodara jauh. Di universitas dulu saya sering merasa tidak cocok dengan ilmu klinis. Tanpa sadar perjuangan saya untuk tahu bidang apa yang saya minati, ortu langsung nyarikan saya kenalan dokter spesialis buat rekomendasi untuk masuk penyakit dalam. Walah!

    Keempat, pendapat saya tidak lebih penting dari kentut gajah. Waktu mutusin untuk traveling, saya mengumpulkan duit dengan penuh semangat. Pas udah hari H, bokap memblokir buku tabungan saya (ya itu mungkin, karena bokap saya masih mengatur keuangan saya dan petugas banknya dibawah pengaruh bokap). Alasannya? Uang itu buat modal bukan buat dihambur-hamburkan. Jadi kalau ada yang berpikir saya sangat beruntung bisa berkelana karena bokap saya dibilang berada, itu separuh benar separuh tai kucing. Separuh benar karena untuk bikin visa bokap saya harus tanda tangan sebagai pemberi ijin dan penanggung jawab. Separuhnya lagi, justru bokaplah yang membikin pergi lebih jauh dari kota Semarang adalah mustahil. Kekhawatirannya, penghematannya, dan cara pikir keluarga saya membuat mobilitas saya lebih rendah dari pohon beringin. Lebih mudah belajar hidup mandiri, belajar kerja jadi tukang cuci piring dan tukang pel, belajar jadi dokter daripada menentang prinsip keluarga saya: menghabiskan uang bukan untuk mendapat keuntungan berupa duit hukumnya haram. Pendapat saya tentang "mencari jati diri" kedengeran kaya bualan manis tukang jual obat kuat. Cuma karena kemauan keraslah saya bisa memenangkan pendapat sendiri.

    Terakhir, keluarga saya tidak tahu menahu urusan pribadi saya. Jadi, kalau ada lelucon tentang biji yang ditanam, disiram dan plop! Tumbuh jadi orang, mungkin itu gambaran anak-anak di keluarga saya. Semuanya tumbuh sendiri-sendiri. Adalah mustahil untuk minta tolong dikirimi barang-barang saya dari rumah via telepon, karena tidak ada yang tahu dimana barang2 itu berada dan bentuknya kaya apa. Pernah waktu kerja di Papua saya minta tolong dikirimi majalah, karena merasa terisolir dari dunia luar. Kiriman yang saya tunggu-tunggu itu akhirnya datang juga, tapi yang mereka kirim adalah majalah dari kamar saya (alias majalah lama yang saya sudah baca). Kartu-kartu pos yang pernah saya kirim terkubur dalam surat-surat tagihan. Kalau saya minta kirim ijasah atau semacamnya dari rumah, mereka akan bilang, "Belajarlah menyelesaikan urusanmu sendiri, orang tua kan banyak pikiran," Sementara kalau saya lama tidak kasih kabar mereka bakal protes, "Kenapa nggak pernah telpon ke rumah? Lagi ngapain? Sama siapa? Dimana?" Memang aneh logika mereka!

    Jadi, saya selalu super kuatir kalau harus memperkenalkan keluarga. Ada rasa gamang setiap kali harus ikut kegiatan bertitel 'acara keluarga'. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan rasa cinta. Tentu saja saya sayang keluarga saya. Cuma, kayaknya saya perlu belajar banyak tentang menangani orang-orang aneh (sekaligus belajar untuk mengurangi keanehan saya sendiri!)

    Jam

    Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

    Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

    Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

    About Us

    My photo
    pindah2..tergantung mood, Indonesia
    Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p