Showing posts with label traveling. Show all posts
Showing posts with label traveling. Show all posts

Wednesday, December 10, 2014

Tentang Makassar

Makassar cukup bersejarah buat saya, karena ini kota yang pertama kali saya datangi naik kapal Pelni Tilongkabila dari Labuan Bajo (kapal yang asyik, kita bisa nonton pilm layar tancep sambil makan pop mie). Tahun 2008 saya mengunjungi Makassar dalam perjalanan ke Tana Toraja, jadi nggak banyak yang saya inget dari kota ini kecuali coto-nya. Klise memang, tapi untuk benar-benar merasa di Makassar kita harus tahu bedanya soto dengan coto (kalo ada yang bilang soto pake daging sapi dan coto pake daging capi, mohon maap jawaban anda SALAH ya). Intinya sih, kalo di Makassar pesan saja coto, soalnya kalau pesannya soto, bikin kita pingin naik pesawat PP ke Semarang, beli soto semangkok dan dibawa untuk ditunjukin ke penjualnya gimana yang namanya soto itu seharusnya dibikin. Soto di Makassar adalah semacam coto tapi kayaknya dibikin waktu mati lampu.
 
 
Kedua kali ke Makassar adalah untuk datang ke nikahan sohib saya waktu coass dulu. Di sini cerita saya panjang karena melibatkan perjalanan ke pulau Lae-lae, yang bukan pulau liburan romantis babar blas tapi kampung halaman buat sekumpulan orang yang meninggali rumah tanpa sertifikat. Kenapa saya bisa terdampar di sini? Karena saya terlalu pelit buat bayar carter perahu ke Samalona, dan lebih suka ikut perahu anak sekolah ke desa nelayan yang nggak ada turisnya sama sekali. Semula perjalanan saya berlangsung lancar sampai saya memutuskan buat pergi cari kerang sama anak-anak nelayan. Perahu yang kami tumpangi itu kecil dan berlengan satu (semacam katinting, lihat gambar, dengan lengan kayu untuk keseimbangan). Di tengah laut anak-anak ini main-main dengan pura-pura ninggalin temennya yang lagi nyelam cari kerang. Akibatnya anak-anak ini sempat bergelantungan di sisi perahu karena temannya mendayung terlalu cepat. Saat itulah, tiba-tiba ada ombak yang lumayan besar. Perahu kami terbalik dengan sukses. Enggak ada yang pake jaket pengaman. Sepersekian detik dan tiba-tiba jatuh ke laut bikin kita mikir tentang perasaan korban tsunami. Oke, ini cuman air tapi di tengah laut. Untungnya semua orang pada dasarnya bisa berenang, cuman karena tidak siap nyebur kulit kami tergores-gores entah apa waktu berusaha naik lagi ke perahu. Plus buat saya, waktu jatuh ke air perahunya persis ada di atas jadi harus berenang memutar biar bisa naik. Perahu ini akhirnya berhasil dinaiki dalam posisi terbalik, persis wadah klepon yang jatuh dari meja, perahu ini timbul tenggelam di laut. Anak-anak laki-laki berhasil membawa perahu menepi, di pantai yang karangnya licin dan nggak ada pasir, yang jelas nggak pernah dikunjungi orang karena kami susah mencari sampah seperti bekas botol air mineral, bungkus indomie, softex, pampers etc. Bukannya kami bermaksud cari sampah juga sih, tapi setelah perahu berhasil dibalik ke posisi semula kami harus mengosongkan bagian dalam yang penuh berisi air. Jadi di sini, botol aqua sangat membantu. Sayangnya kami cuman nemu tempurung kelapa. Jadi inilah alat buat ngosongin air di dalam perahu.
 

 

Sejak peristiwa itu tiap kali saya naik perahu kecil yang diombang-ambingkan ombak, saya enggak cengengesan kayak anjing rabies lagi, tapi berdoa litani sampai katam 10x.
 
Ke Makassar yang ketiga (mohon maaf kalo postingan ini akhirnya jadi novel ya) adalah untuk acara Open Science Meeting (yang artinya ketemuan sambil makan2). Yang asik dari perjalanan kali ini adalah pesawat saya didelay selama 4 jam (haduuuh). Usut punya usut, ini bukanlah sembarang delay tapi sebenernya ini adalah pembatalan penerbangan karena kurang penumpang. Jadi karena penerbangan pukul 4 cuman dibooking setengah maka penerbangannya digabung sama yang pukul 8 yang juga dibooking setengah. Iya, saya juga mikir: ini pesawat apa angkot nomer 44 jurusan Senen-Kampung Melayu yak. Akibatnya, saya nyampe di bandara Sultan Hassanuddin jam 12 malam wita. Kejadian ini tepatnya di awal tahun 2014 dan waktu itu belum ada aturan untuk penertiban calo taksi. Jadilah saya menjadi mangsa empuk para calo taksi yang melihat seorang cewek jalan sendirian ibarat lalat liat manga busuk jatuh di jalan. No offence pada mangga busuk, tapi para calo taxi ini memang rada2 mirip lalat karena meskipun sudah dibilang "maaf, saya sudah dijemput," dan bergaya se-cool es gosrok tetap saja saya dikerubuti dan dibuntuti abang-abang calo taksi. Saya enggak takut tapi ya gerah lah ya, apalagi kemana pun saya pergi ada aja yang komentar dari mau dianter kemana sampai embaknya udah dari tadi mana jemputannya. Masalahnya, saya emang enggak ada yang jemput, tapi saya jelas enggak percaya sama calo taxi yang langsung nodong dan enggak ada nama perusahaaannya. Saya berdiri beberapa saat di area penjemputan karena menurut pengalaman saya, selalu ada mobil jemputan yang sisa tempat duduknya sehingga saya bisa nebeng sampai di luar area bandara dan kemudian naik taxi biasa ke hotel. Tapi kali ini mas2 calo taxi betul2 beringas dan gigih sehingga orang yang saya dekati malah takut dan menghindar sebelum saya bahkan menyelesaikan pertanyaan basa-basi seperti, "ibu mau jemput siapa?". Si ibu buru2 kabur gara2 saya digelayuti 10 orang calo kelaparan. Saya mulai geram. Saya berusaha masuk kembali ke ruang kedatangan pesawat tapi satpam tidak membolehkan saya masuk tanpa ada tiket pesawat. Saya disuruh duduk di depan. Lalu  segerombolan lalat2 haus darah pun ikut duduk dan berdiri di kanan-kiri-depan-belakang (kalo bisa juga atas-bawah andaikan mungkin kali ya). Ada ibuk2 yang bukan calo juga duduk tapi dia tidak membantu. Si satpam juga enggak, mungkin dia adik misan sepupu paman satu kali dari seorang bos calo taxi. Entahlah. Akhirnya, karena saya betul2 terganggu, saya pun masuk ke café deket pintu keluar. Mungkin café ini enggak sodaraan ama bos calo taxi jadi para calo ini enggak berani masuk. Kopinya jelas2 kemahalan karena itu warung kopi bandara tapi saya beruntung karena setidaknya terbebas dari lalat untuk sementara. Jadi saya ada waktu untuk basa-basi dengan 3 orang yang juga sedang minum kopi di sana dan, seperti yang sudah sering terjadi, saya pun dapat tebengan ke kota.


Sebagai informasi saja, sekarang bandara Makassar sudah jauh lebih baik karena sudah ada aturan bagi taxi untuk menunggu penumpang menghampiri booth mereka dan memesan sendiri, tidak boleh ada calo yang nyerobot apalagi sambil langsung bawain tas kayak di terminal bis Bungurasih Surabaya. Taxi yang saya rekomendasikan adalah Bosowa, Putra atau Lima Muda. Tapi jika bepergian sendiri dan dalam rentang waktu antara jam 7 pagi sampai jam 8 malam, naiklah DAMRI. Harganya Rp. 29ribu sudah sampai tengah kota (depan RRI, jalan Ribura'ne) dengan aman dan nyaman. (Hidup DAMRI!!!)


 
Saat ini, setelah bermangkok-mangkok coto, konro, sop saudara (yang enggak gratis meskipun sodara), pisang epe, pisang ijo, barongko dan pallubutung,  saya resmi tinggal di Makassar. Saya suka Makassar karena kalau kita ke warteg (atau warmak, tepatnya) selalu dikasih nasi yang banyak dan lauk yang sedikit. Jadi persis banget sama komposisi nasi megono di rumah, kecuali kalau di rumah nasinya juga lebih sedikit, hihi. Mereka juga selalu menyediakan sambel dan jeruk nipis, apapun makanannya. Sambel favorit saya yang selalu oke dimakan pake ikan jenis apapun (di Makassar umumnya orang 'makang ikang' setiap hari) adalah sambel dabu-dabu, yang adalah sambel dicapur irisan tomat yang besar2. Makassar cukup strategis sebagai kota karena enggak jauh dari pulau-pulau berpasir putih dan tempat-tempat menyelam. Kota yang enggak pernah sepi (kata orang, 'Jakarta'nya Indonesia timur) ini juga penuh dengan pusat kebudayaan asing, seperti komunitas Perancis, Cina, Belanda dsb, selain sebagai pusat ekonomi di Sulawesi. Yang saya nikmati setiap hari di Makassar adalah menyebrangi kota Makassar setiap pagi: melihat toko-toko mulai buka, orang-orang menggelar lapak di pasar, nelayan baru pulang dari melaut, orang-orang berseragam sibuk pergi ke kantor. Saya akan duduk dan menikmati hari yang baru mulai di Makassar di dalam pete-pete yang entah kenapa selalu menyetel lagu Malaysia jaman dulu, Isabella. Tiap sore saya akan menyambangi warung makan baru, barangkali sambelnya beda. Dan kalau akhir pekan tiba, saatnya mengenakan masker dan melihat ikan di laut. Saya belum tahu kapan kita boleh pakai kata 'mi', 'ki', 'maki' tapi saya sudah bisa bilang 'tabek' dan 'cotonya nambah semangkok pake buras' he-he.

Kalau ada sumur di ladang, boleh mi kita datang berkunjung! :-)
 

Monday, May 16, 2011

Berlibur ala Ninja Hattori

"Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudra. Bersama teman, bertualang!" ost. Ninja Hattori.

Seminggu yang lalu saya mendapat telepon dari temen yang doyan kelayapan.
"Ayo naik gunung Merbabu! Sabtu malam kita berangkat dari Magelang,"
Saya langsung membayangkan kegiatan kami selama ini: naik jeep, masak indomie, bakar ketela, kentang ato singkong dan minum teh manis hangat di tempat terbuka sambil nyanyi tembang kenangan diiringi gitar pinjeman. Waktu itu kami sempet bingung mo masak pake apa (secara perlengkapan outdoor kami setara ama bakul mie jowo) jadi kami sibuk bawa arang, minyak tanah, anglo dan korek gas. Ternyata jreng jreng 654325x...seratus meter dari tempat kita kemah ada yang jual gorengan anget ama kopi tubruk. Males deh. Kalo begini bagaimana saya bisa pamer kemampuan bertahan di alam liar? *halah*
"Asyik tuh. Menu barbecue kita kali ini apa?" jawab saya sambil nelen liur.
"Ria, kali ini kita naik gunung beneran. Bukan cuman bikin tenda sambil makan-makan di bukit Ungaran. Kita akan jalan, mendaki, bikin tenda cuman untuk istirahat sebentar trus lihat matahari terbit dari puncak Sarip,"
"Hah? Kita nggak rock climbing sekalian?" canda saya sambil tertawa garing. Inget punya inget, olah raga saya yang terakhir adalah lari-lari waktu dikejar ayam jago tetangga selama kurang dari satu menit (saya nggak becanda. Ayam jago tetangga saya hobinya nothol orang lewat).
"Nggak, kita cuman hiking selama 6 jam," jawab temen saya dengan polos, jelas nggak nangkep lelucon saya yang jayus, "Jadi kamu ikut?"
Saya mikir bahwa sekali-sekali saya harus naik gunung sebelum keburu osteoporosis (lagian pilihan saya yang lain adalah belajar untuk ujian bahasa Perancis tgl 8 Juni, atau nguras akuarium, ngepel kamar dan bikin proposal studi. Kayaknya bukan pilihan sulit sama sekali).
"OK. Sampai ketemu hari Sabtu," jawab saya sambil mencoba push up dan lompat kodok *lumayan untuk pemanasan*

Perjalanan ke Magelang berlangsung lama berhubung jalanan macet berat akibat long weekend. Kami naik bus ekonomi dimana tas ransel saya diletakkan bersama karung, kardus, ayam dan benda-benda lain yang tidak dapat didefinisikan apakah itu luggage, pakan ternak, barang dagangan atau binatang peliharaan. Dua teman saya berdiri selama lebih dari 2 jam, sementara saya yang sempet misuh-misuh karena nggak tidur siang, terlelap dengan mulut terbuka di tengah bau ketek, tembakau, bau jalanan, parfum dan minyak angin. Mempraktekkan jurus ninja #1: bisa tidur kapan saja dimana saja.

Merbabu konon dapat didaki melalui 3 rute: Selo/Boyolali, Tekelan/Kopeng dan Wekas. Kami diberi tahu kalau Merbabu adalah "gunung untuk pemula" jadi kami merasa pede dan memilih rute yang terakhir karena katanya bisa nyampe puncak lebih cepat. Baru satu jam mendaki gunung yang tingginya 3.142 m dpl. ini, kami menyadari ada kesalahan: seharusnya jangan naik "gunung untuk pemula" tapi yang lebih cocok adalah "gunung untuk manula". Soalnya kami berhenti tiap beberapa langkah dengan napas Selasa Jumat (temennya Senin Kamis) dan kaki yang buyutan. Pasalnya selain rute yang curam kami juga kehujanan dan kekabutan. Senter yang saya bawa memberi efek cahaya yang persis lampu di panggung penyanyi dangdut akibat asap kabut. Oya peringatan: bagi yang mau mendaki gunung jangan pake ponco yang berkibar2 kaya betmen. Lebih baik pake jas hujan yang setelan baju/celana. Soalnya ponco yang panjang bersayap ini kalo dipake naik ke tanjakan bisa keinjek dan malah bikin jatuh yang pake. Ato keinjek temen yang jalan dibelakang kita. Atao kesangkut di semak-semak. Ato dikira 13 kuntilanak kesurupan goyang pinggul. Pokoknya tidak disarankan. Kami mulai mendaki sekitar pukul 00.30 dan dengan ambisius berencana nyampe di pos III (ketinggian sekitar 2.400 m dpl.) jam 5 subuh. Ini tidak mustahil untuk para pendaki yang masih abegeh dan tenaganya masih tenaga kuda. Kami ini usianya kepala 3 jadi tenaganya tenaga kuda nil. Walhasil kami sudah cukup puas mencapai setengah jalan (bukan setengah jalan ke puncak tapi setengah jalan jalan dari base camp ke pos I. He-he), trus mendirikan tenda, trus bikin kopi 3in1 dan makan biskuit Monde (tetep dong). Karena kenyang dan kecapean, tidur pulaslah kita pas matahari terbit diiringi kicauan burung menyambut pagi (haduh).

Hal yang saya pelajari dari Merbabu adalah: di sana pipis kita bisa berasap.  Fakta tidak penting blas ini terjadi karena di gunung, toilet is everywhere (seperti kata Kristina). Jurus ninja #2: jagoan pipis di semak-semak tanpa takut digigit semut. Tips: jagalah jarak pantat dengan tanah supaya nggak nempel-nempel banget dengan posisi agak nungging :-). Karena udara yang sangat dingin, matahari yang muncul jarang-jarang di balik kabut terasa sangat menyenangkan. Sarapan bersama dengan roti bakar dan telur goreng di sini, dikelilingi pohon, tebing, jurang dan rerumputan adalah kemewahan yang indah. Bahkan burung hutan pun masih belum berhenti membikin suara untuk mengiringi kita minum kopi!





Sekarang saya mengerti kenapa orang mau repot2 manjat gunung dengan nggendong2 tas ransel. Kalau pada saat perjalanan naik malam hari kita dimanjakan dengan pemandangan kelap-kelip lampu di kaki gunung, pas turun kita melihat desa-desa, kebun dan gunung-gunung lain di kejauhan. Dalam perjalanan pulang kami mendapat bonus seekor elang yang terbang rendah, matahari yang menyeruak dari awan ke kabut tebal di pucuk-pucuk pinus dan mata air yang bening dan dingin. Semua itu sebanding dengan acara kepleset dan merambat dan gelantungan dan ngesot yang telah kami lakukan selama perjalanan. Kami tetap bahagia walopun kehujanan, belepotan, keringetan dan terbakar matahari (betewe, terimakasih pada tukang cuci di kost. Andalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam kasus ini. Kaos kaki saya baunya bisa bikin tikus got mati). Akhirnya saya bisa memejamkan mata sambil mengingat birunya langit, dinginnya kabut, merahnya langit di ufuk timur, bayangan pepohonan, kicauan burung dan segarnya air. Masalahnya cuman satu: habis itu saya jadi susah jongkok. Kaki saya pegel berat dan punggung juga linu-linu. Jurus ninja #3: panggil tukang pijit buat kerokan. Cito!

Friday, April 1, 2011

Ada apa ya?

Seminggu yang lalu, saya dan suami minta saran dari host tempat kami nebeng saat ini (sebut saja namanya R) enaknya jalan2 kemana ya yang dekat, murah meriah hepi. Kami beli tiket yang bisa dipakai 5 kali weekend seharga 15 AUD dan bisa dipakai kemana saja naik train, trem maupun bus. Murah ya..jadi seharian cuma bayar 3 AUD (sekitar 25rb an rupiah lah) sudah bisa kemana2. Kata R ada suatu kota yang bagus..kota kuno gitu namanya Belgrave. Di sana bisa naik kereta namanya Puffing Billy, itu kereta kuno yang berjalan sekitar 25 kilometer mengitari bukit dan lembah..masuk ke hutan2 juga.
Gambar diambil dari sini. Asik ya kelihatannya. Kami memutuskan untuk pergi ke sana hari Sabtu waktu saya libur walaupun cuma tahu di sana ada Puffing Billy doang. Jadi teringat pengalaman masa lalu bersama Ria yang kita pergi ke Katong dan jadi terkatong2.

Dari kota Frankston tempat kami tinggal sekarang, perjalanan ke Belgrave memakan waktu sekitar 2 jam dan kami harus ganti kereta 2 kali. Perjalanan naik keretanya terasa lamaaa banget apalagi waktu hampir sampai kok lewatnya hutan2 gitu...trus melewati kota2 yang temboknya banyak coret2nya kaya film Rumble in the Bronx. Sempat mikir kok serem juga ya..

Kesan pertama sewaktu menginjakkan kaki di Stasiun Belgrave adalah..."Lho kok sepi....ada apa ya di sini?".
Belgrave train station
Kami sampai di Belgrave sekitar jam 3 sore dan ternyata sudah terlambat untuk naik Puffing Billy. Lagian ternyata mahal juga tiketnya sekitar 30 AUD. Secara kami baru bekerja belum ada sebulan jadi uang segitu worth it banget. Kami memutuskan tidak jadi naik Puffing Billy padahal sudah mupeng. Cuma terlaksana foto di depan papan Puffing Billy.
Seharusnya naik Puffing Billy sangat romantis
 Kota Belgrave ternyata sangat mencengangkan karena kelihatannya hiburan satu2nya adalah Puffing Billy itu. Kotanya berbukit2, jalannya naik turun seperti di Semarang bagian Jatingaleh itu lho. Jalan utamanya tidak begitu besar tapi saya senang karena saya teringat masa kecil di Pekalongan waktu masih sepi dan saya sering main di sawah. Di tengah bunderan, kami melihat ada papan penunjuk jalan menuju gereja Katolik jadi kami memutuskan pergi ke gereja karena sudah 3 minggu tidak pergi ke gereja. 


pusat kota yang sepi

belokan dari stasiun


gereja Katolik yang sepi

ternyata..hari Sabtu tak ada misa..kenapa oh kenapa..
 Sampai di gereja kok tidak ada orang di hari Sabtu padahal gereja saya dulu di Kristoforus Grogol selalu ada orang dan anjing gereja. Pastornya pun tinggal di situ. Tapi ini gereja kok sunyi sepi sendiri, sudah gitu hari Sabtu tidak ada misa, misa cuma hari Jumat dan Minggu. Sebagai perbandingan, gereja Kristo misa Sabtu sore 2 kali, minggu 5 kali. Gereja Pekalongan pun misa Sabtu sekali, Minggu 2 kali (kalau salah tolong dibenarkan). Saya dan suami pun terheran2..bahkan anjing gereja pun tak ada. Biasanya di gereja selalu ada anjing buat penjaga. Mungkin Belgrave sangat aman tentram gemah ripah loh jinawi ya jadi ga perlu ada anjing herder buat penjaga.
Bunderan kota yang mirip Simpang Lima
 Kami memutari daerah sekitar kota cuma makan waktu 1 jam setelah itu kami bingung mau ngapain. Rasanya kok sayang...perjalanan 2 jam masa cuma 1 jam di situ. Akhirnya kami pun mencari tempat makan yang enak, banyak dan murah..apakah ada? Setelah berjalan bolak balik kami menemukan tempat makan idaman yaitu...jreng 8 kali saja....pizza murah..yang cuma bisa take away..ga bisa makan di situ. Mungkin untuk efisiensi biaya. Ga perlu sewa tempat lebih gede, ga perlu cleaning service juga.


chef dari Italia asli
 Mula2 kami ragu2 mau beli karena sepertinya muka chefnya serem tapi ternyata dia sangat ramah. Sepertinya dia asli dari Italia karena saya dipanggil "senorita" (kalo ga salah denger). Senorita itu bahasa Italia bukan ya?
Katanya gelatto asli Italia tapi ternyata made in Australia
 Saya tadinya membayangkan gelatto asli itu bentuknya tidak dalam cup seperti di atas..tapi pakai cone dan melingkar2 seperti es krim KFC yang harganya goceng. Ternyata tidak sesuai bayangan saya. Tapi tak apalah namanya juga usaha.
Ini baru pizza

Menikmati pizza di kereta bersama Gilbert
Pizzanya seharga 6.9 AUD atau sekitar 60 ribuan ini enak banget. Rotinya tipis dan isinya banyak. Kebalikan dari pizza yang itu itu lho yang rotinya tebel banget tapi toppingnya sedikit sampai kalau beli pizza seafood belum tentu setiap orang dapat udangnya. 


Perjalanan ke Belgrave ini akhirnya diakhiri dengan makan pizza di dalam kereta.


The End

Monday, August 23, 2010

Paranoia

Kayanya memang batasan antara cari petualangan dan cari maksiat itu tipis.

Saya sudah sering dengar tentang nasehat-nasehat seperti:
  1. Jangan bicara sama orang asing, nanti dihipnotis.
  2. Jangan pergi kemana-mana sendiri, nanti bisa diculik alien kolor ijo.
  3. Pastikan kalo pergi jauh ada yang menjaga kita, kalo nggak bisa bawa suami ya minimal bawa temen satu RT (jangan bawa suami orang lain. Pamali!)
  4. Selalu kasih kabar ke orang di rumah. Jadi kalo ilang bisa cepet ketauan.
  5. Pastikan segalanya aman-terkendali, nyaman, jelas, rapi dan terencana dengan baik kayak Orde Baru.
Tapi gaya emak-emak osteoporosis kayak gini bikin saya pengin cepet-cepet bikin surat wasiat. Dalam hal bepergian, model armchair traveler menurut saya tak ubahnya dari duduk di ruang tamu dan nonton DVD Bollywood. Tolonglah, kerjaan saya sudah kelewat aman dan tenteram. Saya perlu sedikit kejutan. Maksiat? Beda tipis sih. Temen saya bilang kalo saya suka cari bahaya. Tapi coba aja dipikir, memangnya tinggal di rumah itu aman? Setiap saat bisa terjadi kebakaran, kekuncian, gas meledak, kebajiran, gempa bumi dan kemalingan (pembicaraan saya udah cocok buat nawarin jasa asuransi). Kalo kita jalan dari rumah ke tempat kerja aja, kita bisa: kesandung, digigit anjing, dikejar-kejar orang gila, kejatuhan pot tanaman, nabrak tiang listrik, nyebur got, kesrempet becak/bajaj or kesenggol angkot Tlogosari-Banyumanik. Apa bedanya coba?

Sayangnya, cara berpikir "Biar aman asal selamat," dan "Alon-alon angger manggon,"*ngasal deh* ini sudah mendarah daging sampai-sampai bikin orang jadi paranoid. Kalo ada orang tak dikenal yang mbaikin, malah dikira bermaksud jahat. Diajakin ngobrol bareng, dikira mo nawarin kartu kredit (susah hidup di jaman sekarang). Mencurigakan dikit, dikira copet. Ngelirik dikit, dikira nyontek. Bau dikit, dikira ketek. Gembel dikit, dikira bokek. Belang dikit, dikira tokek. Intinya sih, karena cari aman, kita sering jadi berprasangka yang berlebihan.

Saya bilang paranoid karena saya pernah mendapati orang ketakutan cuman karena saya ngajak bicara. Saya pernah mendekati cowok umur 30an dan tantenya, "Hai! Tadi saya liat kalo kita bakal naik angkutan yang sama. Sambil nunggu, kita ngopi yuk, sendirian kan nggak enak," Mereka berdua menatap saya bingung, lalu curiga, lalu dengan gugup menjawab, "Enggak, kita mau belanja dulu. Ayo Tante. Sudah ya!" Saya langsung ditinggalkan dengan kecepatan kernet kopaja yang supirnya mulai tancap gas. Saya jadi pingin ke toilet, barangkali tanpa sadar pas tidur tadi malem muka saya tumbuh jenggot dan cambang jadi rada mirip sama Rhoma Irama eh maksud saya Osama.

Pernah saya ke Toraja sendirian. Di terminal, ada ibu-ibu sekluarga mewanti-wanti saya supaya ikut mereka ke rumahnya. Saya pikir ini tawaran bagus karena saya dapet akomodasi gratis=p. Mereka begitu khawatir karena saya nggak ada saudara di seluruh penjuru Tana Toraja eh Sulawesi tepatnya, meskipun berulang kali saya bilang kalo saya bakal baik-baik saja. Saya padahal cuman numpang tanya jalur angkutan di Rantepao. Begitu sampai di rumahnya, saya dijamu makan bakso, ikan bakar, diajak jalan ke pasar kebo, dsb. Saya senang sekali. Lalu saya telpon ke teman di Makassar, bilang kalau sepulang dari Toraja saya akan mampir. Dia tanya, "Kamu di rumah siapa?" Saya jawab,"Ibu X yang kenalan di terminal," Giliran teman saya yang mewanti-wanti, "Hati-hati lho. Jangan-jangan mereka punya maksud tersembunyi," Mungkin yang bikin saya jarang khawatir adalah, karena saya nggak punya Blekberi.

Dua tahun yang lalu saya masuk keanggotaan klub hospitality yang memungkinkan saya untuk ketemu orang dari banyak tempat dan nebeng di rumah mereka gratis. Jaringan sosial ini fungsinya adalah untuk menambah pengalaman bepergian sekaligus menjadikan dunia tempat yang lebih ramah untuk dijelajahi. Juga untuk lebih mengenal banyak orang beserta keunikan mereka! Saya mendapati pengalaman ini sangat menarik karena kadang kita mendapat kejutan: kita tidak tahu seperti apa tempatnya, berapa banyak orang di sana, seperti apa keadaan nantinya. Amankah? Yah, setidaknya saya masih hidup dan ngetik blog sekarang. Kalau bicara soal keselamatan, temen saya ditabrak lari orang di depan warung pengkolan gang kost-kostan. Mungkin ini contoh yang gak nyambung. Tapi entah kenapa saya percaya psikopat itu biasanya justru orang yang kliatan baik-baik saja: tukang kebun, tetangga sebelah, juru kunci rumah tua, tukang gali sumur, psikiater, dokter atau dosen (hihi). Saya selalu membayangkan kalau orang yang paling menyeramkan justru orang yang kita percaya. Tentu saja tidak menutup kemungkinan ada tempat-tempat dimana orang diberi obat tidur lalu ginjalnya dicuri kayak di film Hostel. Untunglah, ginjal saya masih dua biji (tadinya tiga, ahaha).

Supaya tulisan ini jadi nggak nyambung seperti biasa, saya mau curcol. Ternyata nggak mudah menjalani kehidupan ganda: seumpama Clark Kent dan Superman. Tahu kan, Clark Kent yang culun dengan kaca mata dan baju rapinya bisa berubah jadi cowok kekar yang pake baju ngejreng, pake sayap (seperti pembalut wanita) dan selalu pamer celana dalam? Dalam hidup saya, rasanya saya harus berganti sikap setiap kali saya di tempat kerja dan ketika saya melanglang buana. Pertama, saya tidak boleh terlalu ramah, nanti dikira gatel. Banyak orang jadi salah paham karena saya tidak segan bicara pada orang tak dikenal. Kedua, jangan terlalu gaul, nanti dikira anak band yang baru di-DO dari ajang Indonesia Mencari Bakat. Saya pernah nyapa kolega dengan mengayunkan tangan saya seperti toss. Bagai bertepuk sebelah tangan, saya pun menampar udara. Teman saya tidak membalas! Saya baru ingat, teman saya pake jas lengkap dengan blazer dan tas tangan. Bergaya hip-hop pasti dikira rapper panuan mabok tape. Jadi saya harusnya sungkem kali ya. Ketiga, saya harus terkesan normal, jangan bernampilan ngasal seperti mahasiswa jurusan seni yang lagi bintitan dan kesiangan. Oh, susahnya menjaga image profesi Hipocrates! (butuh Pi-aR segera)

Nah pertanyaannya, sebetulnya Superman yang nyamar jadi Clark Kent atau Clark Kent yang nyamar jadi Superman? Menurut saya seharusnya yang asli adalah Clark Kent karena Superman pasti menghabiskan waktunya sehari-hari sebagai Clark karena dia harus keliatan normal. Nggak mungkin kan Superman beli bakso pake baju merah birunya yang berkibar-kibar? Tapi dalam diri Clark adalah Superman. Demikian, dalam diri pengembara tetaplah ada kebebasan, meskipun dalam profesinya dia harus bersikap formal, harus menjaga penampilan ataupun harus kelihatan seperti orang waras yang normal. Tapi setidaknya, saya nggak paranoid.

Sunday, May 9, 2010

Traveling yang pertama dan semoga bukan yang terakhir

lihatlah kura2 yang romantis itu
baileys beli 2 gratis 1 yang kecil lho




merlion ungu yang aneh



daripada terkatong2 mendingan meramal tangan di katong



makanan porsi kingkong




timer yang ga sukses



Saya dan Ria dari dulu punya impian untuk travelling bareng tapi belum tercapai juga. Thanks to Air Asia yang mengobral tiketnya sehingga terjangkau oleh calon pns seperti Ria dan karyawan seperti saya yang biasanya gajinya cuma cukup buat hidup plus bersenang2 sedikit (misalnya makan enak, beli buku, beli dvd bajakan), akhirnya kami bisa juga berangkat ke Singapura selama 3 hari tanggal 27-29 April. Kenapa ke Singapura dan kenapa berangkat di tanggal itu (hari Selasa, Rabu, Kamis) adalah karena itu adalah tiket termurah yang bisa saya temukan dalam waktu dekat. Jadi waktu dan tujuan kami travelling ditentukan oleh Air Asia. Seandainya kemarin tiket termurah adalah ke Palestina, pasti kami akan ke sana dan pasti Ria akan senang sekali karena ada 2 impian dia yang terkabul.


Hari2 sebelum berangkat sempat membuat saya stres karena saya takut cuti saya tidak disetujui. Secara saya punya posisi yang sangat penting di kantor ( i wish), saya susah sekali ambil cuti apalagi di tengah2 minggu dan akhir bulan pula. Biasanya saya akhir bulan harus lembur2 untuk closing. Selain itu saya juga harus siap sedia jika sewaktu2 ada pekerjaan yang urgent. Sambil berdoa saya bilang ke bos saya kalau saya ada perlu dan sudah beli tiket. Apapun yang terjadi, saya harus berangkat kecuali uang tiket diganti 2x lipat termasuk tiket Ria dari Semarang ke Jakarta.


Setelah berdoa dan berpuasa akhirnya datanglah hari yang dinanti2 dan kami dengan lancar bisa berangkat ke bandara. Namun cobaan ternyata belum berakhir. Waktu kami ke counter Air Asia untuk check in, tiba2 petugasnya bilang "Mbak, ini ga bisa lho?" sambil menunjukkan paspor Ria. Kami pun kaget dan kompak bertanya, "Kenapa mas?". Kata mas2 nya, "Ini paspornya kurang dari 6 bulan lagi expired." Kami baru tahu kalau paspor harus diperpanjang 6 bulan sebelum expired supaya kami masih bisa melanglang buana. Trus saya tanya, "Masa mas? Coba dihitung lagi." Paspor Ria expired bulan Oktober 2010. Setelah mas nya menghitung dengan jari, dia bilang, "Oh iya..pas 6 bulan. Kali ini boleh tapi harus segera diperpanjang ya paspornya." Untung banget....coba kami pesan tiketnya bulan Mei, pasti tidak bisa berangkat.


Perjalanan kami termasuk lancar2 saja walaupun kami kelaparan dan kehausan secara tiket murah ga dapet makan. Sampai di Bandara Changi kami rada kebingungan mau naik apa dan kemana karena belum ada kabar dari orang tempat kami nebeng. Jadi kami memutuskan naik bis ke Orchard. Bis di Spore ternyata beda jauh dari Jakarta. Bisnya bersih, sopirnya ga bau dan pake baju rapi. Bisnya juga ga bau dan asapnya ga item. Saya yang baru pertama kali ke Spore jadi ternganga2.


Kami berkeliling kota sekitar 1 jam lebih sebelum akhirnya sampai di Orchard. Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari makan karena perut kami sudah klungse (laper banget). Makanan pertama yang kami makan adalah nasi ayam hainam seharga 3 SGD di food court yang tersembunyi di dalam tanah. Sebelumnya kami sempat berdoa semoga ketemu tempat makan yang murah. Setelah kenyang baru kami punya energi untuk berpikir. Kami mencari telepon umum koin dan menelepon tuan rumah kami Mr THT (nama samaran). Dia seorang fotografer yang Ria kenal di Couchsurfing.com dan kelihatannya lumayan cute menurut Ria. Agenda kami di hari pertama datang adalah hang out bersama teman Ria bernama SL (cewek Spore yang Ria ketemu di Jepang dulu) dan teman2 Ria yang lain yaitu si A (orang India) dan AL (orang Brazil).


Hari pertama sangat berkesan buat saya karena kami hang out di New Asia Bar. Sebuah bar yang berada di lantai 70 sehingga pemandangan kota bisa terlihat. Selain itu saya juga pertama kali minum minuman beralkohol setelah bertahun2 yang lalu saya mabuk gara2 minum arak buatan mama mertua. Minuman yang namanya keren itu Chocolate Vanilla Martini yang dipilihkan oleh SL. Saya membayangkan minuman yang berwarna coklat seperti es krim dan ada hiasan astornya. Ternyata jreng 1000x yang datang adalah minuman bening. Saya tanya...mana coklatnya? mana vanillanya.....SL bilang itu cuma rasa. Saya jadi teringat ada iklan minuman penambah stamina yang rasa anggur. Bintang iklannya bilang.,.."ini anggur asli?". Lalu yang satunya menjawab, "Bukan....cuma rasa."


Minuman martini itu rasa alkoholnya kuat sekali..sampai saya tidak habis. Karena mahal (19 SGD) Ria membantu menghabiskannya. Tapi dia sebenarnya sangat suka minum Martini dan margareta dan minuman favoritnya adalah Baileys (ga ada hubungannya). Malam itu juga bergabung bersama kami si A orang India dan Si AL. Mereka bicara bahasa Inggris cepat sekali sehingga saya cuma menangkap sepotong2. Cukup membantu saya dalam mempersiapkan ujian IELTS saya nanti.


Kami keluar dari New Asia Bar jam 11 lebih dan kami langsung naik taksi ke rumah Mr THT di dekat Bugis. Di sana kami sempat mengetuk2 pintu beberapa saat sebelum si empunya rumah datang dan jreng....122345x. Saya pun terkejut karena MR THT tidak secute fotonya. Di foto Mr THT berambut cepak, kelihatan imut gitu deh. Ternyata aslinya sangat tinggi, rambut gondrong dan berjenggot. Untungnya jangan melihat buku dari kopernya....THT sangat baik dan ramah dan tidak terlihat ada maksud jahat.



Flat termpat tinggal THT seperti layaknya flat cowok2 pada umumnya. Tempatnya lumayan berantakan dan kami diberi tempat di ruang tamu. Dia dengan murah hati sudah menyiapkan 2 kasur untuk kami. THT seorang fotografer yang sedang menulis buku tentang kebudayaan dan kopi. Untungnya Ria memilih oleh2 yang tepat yaitu sekantong kecil biji kopi. Tadinya mau dibeliin baju batik tapi takut ukurannya kebesaran. Mo beli patung2 yang artistik harganya kemahalan.


Paragraf ini ditulis pada tanggal 16 Agustus...jadi 3 bulan setelah tulisan di atas dibuat. Karena satu dan lain hal tulisan ini sudah terpending lama, ingatan saya tentang jalan2 bersama Ria sudah lumayan samar2. Tapi demi untuk mengenang acara jalan2 kami yang pertama dan semoga tidak menjadi yang terakhir, saya memutuskan untuk meneruskan tulisan ini dengan susah payah. Hari kedua dan ketiga kami dihabiskan dengan menelusuri kota Singapura naik MRT. Kami pergi ke Chinatown untuk mencari restoran Korea bernama Togi atas rekomendasti dari SL. Karena saya sangat ingin makan jajangmyeon (mie item khas Korea) setelah satu2nya restoran yang jualan jajangmyeon di Jakarta sudah tutup mungkin karena bangkrut gara2 dia terlalu banyak memberi gratisan kimchi.

Restoran Togi sangat menyenangkan karena porsi makanannya besar dan gratisannya banyak. Saya pesan jajangmyeon dan Ria pesan ramen yang disajikan di dalam panci persis seperti di film2 drama Korea. Saya juga pesan rice cake pedas alis tokboki (ga tau ejaan tepatnya bagaimana) karena di film drama Korea yang terakhir saya tonton, tokoh utama wanitanya membeli tokboki untuk dimakan bersama teman2nya namun tokboki itu jatuh sebelum berkembang gara2 tokoh utama wanitanya diputusin teman prianya. Jadi tokboki itu terlunta2 setelah terjatuh di jalan.


Malam sebelumnya THT menyarankan kami untuk mengunjungi tempat yang namanya Katong. Dengan bodohnya kami tidak mengetahui ada apa sebenarnya di Katong itu karena tempat itu tidak terkenal seperti tempat2 lain seperti Merlion, Sentosa Island, dll. Kami bertanya2 kepada orang2 bagaimana caranya pergi ke Katong. Kami naik MRT lalu disambung dengan bis. Waktu kami tanya ke sopir bis ada apa di Katong, dia malah bilang kalau tidak ada yang istimewa di Katong. Dia malah heran kenapa kami mau ke sana. Terkatong-katonglah kami di Katong. Kami turun dari bis dan tidak melihat ada yang istimewa. Kami cuma melihat ada mall dan tempat makan yang biasa aja malah yang paling terlihat di situ adalah es teler 77. Malamnya kami tanya ke THT ada apakah di Katong sampai dia menyarankan kami pergi ke sana. THT bilang, di Katong ada laksa yang enak. Ya ampun...bilang kek dari tadi. Bahkan saya juga ga suka laksa.


Untuk memperingati kami jalan2 bareng, kami memutuskan untuk membeli barang yang sama. Sewaktu kami mengunjungi Little India, kami mendapatkan ilham untuk membeli sari, pakaian khas India. Kami memilih yang harganya paling murah. Kira2 150rb rupiah per sari sudah termasuk ongkos mengecilkan supaya sesuai untuk badan kami. Kami dengan bangga memakai sari pada waktu menemui teman Ria sampai dia dan ceweknya tidak mengenali kami. Untuk menghindari teman Ria malu maka kami berganti baju sebelum hang out bersama mereka.


Kami pergi ke Sentosa Island naik taksi walaupun sampai di sana sudah sepi karena sudah jam 10 malam. Kami cuma foto2 di logo Universal Studio buat pamer dan di merlion yang aneh karena warnanya ungu. Sebenarnya karena hari itu ladies night, kami ingin dugem gitu tapi yang ngantri ramai banget. Akhirnya kami terdampar di sebuah pub yang sepi dengan dekorasi patung2 jaman raja Kubilai Khan. Yang penting buy one get one free minumannya.


Hari terakhir di Spore kami habiskan untuk cari kaos yang dipesan oleh papi saya T-T (untung saya belikan karena di bulan Juni papi saya meninggal) dan ke Chinese garden. Itu pun dengan terburu2 karena saya salah lihat jadwal pesawat 1 jam lebih cepat. Di hari kemarin seharusnya kami mengunjungi Chinese Garden tapi sudah jauh2 naik MRT ke sana ternyata hujan deras dan tidak ada ojek payung. Jadi di hari terakhir kami sempatkan ke Chinese Garden. Kesan saya mengenai Chinese Garden sangat takjub karena Singapura bisa membuat taman buatan tapi sangat indah. Bayangkan dengan taman buatan di jalan2 di Jakarta yang seringkali jadi berantakan karena rumputnya jarang dicukur. Di sana ada taman nuansa Cina dan Jepang. Kami belum sempat mengelilingi seluruh kompleks karena terbatasnya waktu. Yang paling berkesan adalah ada jembatan seperti di Cina dan bahkan ada sepasang kura2 sedang menyeberangi sungai yang sangat romantis.


Setelah berlari2 di MRT sampai distop oleh satpam karena saya lari2 dan membawa tas ransel gede dikira teroris. Lain dengan di busway yang untuk lari2 pun tidak bisa karena antriannya sampai memenuhi halte. Kami pun pulang dengan selamat dengan memakai sari sampai digodain mas2 di ruang tunggu dan membawa baileys minuman kesukaan Ria dan saya tentunya.

Liburan yang menyenangkan karena bersama orang yang menyenangkan. Impian kami suatu saat bisa menulis buku (walaupun ga diterbitkan) traveling bersama ke tempat yang aneh misalnya Rumania atau Botswana.


Monday, February 8, 2010

Menurut saya, berkelana adalah...

Apa yang terlintas di kepala kalau saya sebut kata traveling? Tempat-tempat indah yang tak terbayangkan? Petualangan? Gurun? Salju? Laut? Kebudayaan baru? Orang-orang mancanegara? Suku-suku terasing? Bahasa yang hampir punah? Cara hidup yang tidak pernah kita tahu sebelumnya?

Untung saja kita tidak sedang dalam acara "Super Family" karena semua jawaban itu cuma bernilai satu atau dua (atau malah tidak ada menjawab sama sekali). Sembilan puluh persen survey di lingkungan tempat saya hidup, tumbuh dan bermetabolisme (sayang belum berkembang biak) menjawab dengan satu kata saja: uang.

Ketika saya masih anak-anak, saya berkhayal pergi ke bulan dan bintang, bertemu bajak laut atau masuk ke lubang kelinci. Waktu saya kecil, saya terbuai dengan petualangan Robinson Crusoe dan berpikir kalau saya sudah dewasa, saya pasti bisa pergi sendiri. Tapi seiring dengan waktu (yang berefek amnesia) saya melupakan semua mimpi saya yang konyol dan memulai sesuatu yang jelas-jelas lebih berguna: dari belajar cebok sendiri, nyiapin makan sendiri, potong kuku sendiri sampai belajar limit fungsi dan logaritma, anatomi dan ujian kompetensi dokter indonesia. Saya belajar bagaimana cari nafkah setelah saya dewasa, bagaimana cari pasangan, bagaimana menjadi orang sukses dan bagaimana mempunyai hidup yang nyaman. Saya lupa tentang melihat tempat-tempat baru atau menginjakkan kaki di belahan dunia lain (bukan dunia hantu-nya Hari Pantja. Meskipun sebetulnya kalo memungkinkan dikunjungi dan kembali, kenapa tidak ya?).

Sampai suatu saat, impian itu kembali. Tanda-tandanya jelas sekali, antara lain (1) saya harus menghadapi ujian semester. (2) saya baru saja ditinggal pacar. (3) orang tua dan adik2 saya sibuk bertengkar. (4) saya harus pindah dari kontrakan. (5) saya harus bayar dan cari kontrakan yang baru. (6) saya kehilangan anjing kesayangan. Saat itulah, dunia saya terasa sangat sempit dan klaustrofobik. Saya keluar dari bis jurusan Limpung-Semarang di suatu tempat antah-berantah dan berjalan tak tentu arah. Ke suatu tempat yang tidak pernah saya kunjungi dan tidak ada yang mengenal saya. Tanpa tujuan. Kemudian saya kembali ke rumah yang sepertinya terasa penuh sesak dan panas. Kali ini hati saya lebih tenang. Ada sesuatu yang mengingatkan saya dari dalam. Saya ingin bepergian sendiri. Berkelana tanpa tujuan. Bukan berwisata. Bukan berbelanja. Bukan mencari pemenuhan akan gengsi karena melihat tempat-tempat eksotis. Bukan memburu foto yang spektakuler. Saya bahkan tidak tahu namanya apa. Tapi saya tahu apa yang saya lakukan.

Sulit menjelaskan sesuatu pada orang lain yang paradigmanya berbeda sama sekali. Sama seperti kalau kita berusaha menjelaskan harumnya mawar pada orang tuna grahita. Intinya, kalau saya ingin kesenangan dan kenyamanan, saya akan tinggal di rumah dan pergi ke mall sekali-sekali. Berkelana sendiri artinya menempatkan diri saya pada posisi yang rentan dan tidak aman. Saya kedinginan, kepanasan dan kelaparan. Dan saya sendirian di tempat asing. Saya kadang tersesat dan kebingungan. Tidak mengherankan kalau saya ditanya: apa untungnya? Saya tidak bisa menjawab tanpa berkesan masokis =). Maksud saya, tanpa tahu alasan pribadi saya, orang tidak bisa melihat mengapa saya berkelana sendirian tanpa tujuan. Apalagi tanpa alasan ekonomi ^_^.

Saya mengerti sekali, bahwa berkelana adalah hak istimewa segelintir orang yang cukup beruntung untuk punya kesempatan. Hanya saja, saya ingin bilang bahwa pada suatu titik, berkelana bukanlah sesuatu yang hedonis. Sama seperti cita-cita yang lain; menjadi pilot, menjadi guru atau menjadi dokter, berkelana juga adalah suatu cita-cita yang baik. Jadi kenapa traveling selalu berkonotasi dengan kemewahan? Karena tidak seperti profesi yang menghasilkan uang, traveling menghabiskan uang. Bagi sebagian orang (yang mungkin tidak punya kebutuhan finansial mendesak dan hanya perlu mencukupi dirinya sendiri) uang ini dihabiskan untuk hal yang berguna sepanjang hayat seperti: membentuk karakter, membuka pikiran, memberi pilihan, menemukan diri sendiri atau membangkitkan keberanian dan kemandirian. Hal-hal tersebut tidak bisa dilihat dari luar apalagi dibungkus dengan kemasan buat oleh-oleh, tidak juga bisa dijual lagi ataupun dipakai untuk cari uang. Bagi saya pribadi, berkelana tidak ternilai harganya, karena telah membawa saya keluar dari kubangan lumpur masa lalu (sekali lagi, ini bukan adegan film kuntilanak 'bangkit dari kubur' tapi jujur nih, dulu saya patah hati dan tidak bisa melepaskan ego yang terluka, taelah!) dan memulai sesuatu yang baru. Ini juga membuat saya tahu siapa saya, bukan apa yang saya punya. Membuat saya berani memiliki pendapat sendiri dan tidak cuma ikut omongan orang lain.

Saya sangat mendukung orang-orang yang berani keluar dari zona aman mereka. Seperti Kristina yang ingin melihat kambing gunung, misalnya. Berkelana bukanlah sekedar memanjakan diri dengan makanan a la carte dan penginapan berbintang. Tidak percaya? Cobalah baca The Dharma Bums oleh Jack Kerouac, Into The Wild oleh John Krakauer, Holy Cow: an Indian Aventurer oleh Sarah MacDonald, The Lost Continent oleh Bill Bryson, atau Through Painted Deserts oleh Donald Miller (ada lebih banyak lagi kalau mau disebutkan satu-satu). Buku-buku mencengangkan tersebut tak lain adalah jurnal perjalanan. Saya juga pernah membaca beberapa jurnal dari orang Indonesia. Menurut saya berkelana sama seperti belajar. Belajar di jalan. Sama seperti sekolah yang lain, kita membayar untuk mendapatkan pendidikan, untuk memperluas pandangan hidup kita yang semula terbatas.

Saya menulis ini karena dari dulu, orang tua saya menentang keinginan saya untuk traveling. Karena mereka tidak mengerti apa yang dihasilkan, tapi mereka tahu persis apa yang dibuang. Saya tidak bisa berdebat soal uang. Apalagi peraturan visa yang selalu meminta bukti rekening koran. Lagipula, akhirnya saya menyerah juga dengan kebenaran pola pikir yang ekonomis, praktis dan memang diperlukan saat krisis. Bayar saja iuran speedy seratus ribu perbulan dan lihat google earth. Aman, murah dan nyaman, bisa diakses dari rumah. Jangan lupa sesekali jalan ke mall. Akan jadi perjalanan yang sangat tidak berbahaya (apalagi banyak pesawat jatuh dan kapal karam sekarang).

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p