Monday, February 8, 2010

Menurut saya, berkelana adalah...

Apa yang terlintas di kepala kalau saya sebut kata traveling? Tempat-tempat indah yang tak terbayangkan? Petualangan? Gurun? Salju? Laut? Kebudayaan baru? Orang-orang mancanegara? Suku-suku terasing? Bahasa yang hampir punah? Cara hidup yang tidak pernah kita tahu sebelumnya?

Untung saja kita tidak sedang dalam acara "Super Family" karena semua jawaban itu cuma bernilai satu atau dua (atau malah tidak ada menjawab sama sekali). Sembilan puluh persen survey di lingkungan tempat saya hidup, tumbuh dan bermetabolisme (sayang belum berkembang biak) menjawab dengan satu kata saja: uang.

Ketika saya masih anak-anak, saya berkhayal pergi ke bulan dan bintang, bertemu bajak laut atau masuk ke lubang kelinci. Waktu saya kecil, saya terbuai dengan petualangan Robinson Crusoe dan berpikir kalau saya sudah dewasa, saya pasti bisa pergi sendiri. Tapi seiring dengan waktu (yang berefek amnesia) saya melupakan semua mimpi saya yang konyol dan memulai sesuatu yang jelas-jelas lebih berguna: dari belajar cebok sendiri, nyiapin makan sendiri, potong kuku sendiri sampai belajar limit fungsi dan logaritma, anatomi dan ujian kompetensi dokter indonesia. Saya belajar bagaimana cari nafkah setelah saya dewasa, bagaimana cari pasangan, bagaimana menjadi orang sukses dan bagaimana mempunyai hidup yang nyaman. Saya lupa tentang melihat tempat-tempat baru atau menginjakkan kaki di belahan dunia lain (bukan dunia hantu-nya Hari Pantja. Meskipun sebetulnya kalo memungkinkan dikunjungi dan kembali, kenapa tidak ya?).

Sampai suatu saat, impian itu kembali. Tanda-tandanya jelas sekali, antara lain (1) saya harus menghadapi ujian semester. (2) saya baru saja ditinggal pacar. (3) orang tua dan adik2 saya sibuk bertengkar. (4) saya harus pindah dari kontrakan. (5) saya harus bayar dan cari kontrakan yang baru. (6) saya kehilangan anjing kesayangan. Saat itulah, dunia saya terasa sangat sempit dan klaustrofobik. Saya keluar dari bis jurusan Limpung-Semarang di suatu tempat antah-berantah dan berjalan tak tentu arah. Ke suatu tempat yang tidak pernah saya kunjungi dan tidak ada yang mengenal saya. Tanpa tujuan. Kemudian saya kembali ke rumah yang sepertinya terasa penuh sesak dan panas. Kali ini hati saya lebih tenang. Ada sesuatu yang mengingatkan saya dari dalam. Saya ingin bepergian sendiri. Berkelana tanpa tujuan. Bukan berwisata. Bukan berbelanja. Bukan mencari pemenuhan akan gengsi karena melihat tempat-tempat eksotis. Bukan memburu foto yang spektakuler. Saya bahkan tidak tahu namanya apa. Tapi saya tahu apa yang saya lakukan.

Sulit menjelaskan sesuatu pada orang lain yang paradigmanya berbeda sama sekali. Sama seperti kalau kita berusaha menjelaskan harumnya mawar pada orang tuna grahita. Intinya, kalau saya ingin kesenangan dan kenyamanan, saya akan tinggal di rumah dan pergi ke mall sekali-sekali. Berkelana sendiri artinya menempatkan diri saya pada posisi yang rentan dan tidak aman. Saya kedinginan, kepanasan dan kelaparan. Dan saya sendirian di tempat asing. Saya kadang tersesat dan kebingungan. Tidak mengherankan kalau saya ditanya: apa untungnya? Saya tidak bisa menjawab tanpa berkesan masokis =). Maksud saya, tanpa tahu alasan pribadi saya, orang tidak bisa melihat mengapa saya berkelana sendirian tanpa tujuan. Apalagi tanpa alasan ekonomi ^_^.

Saya mengerti sekali, bahwa berkelana adalah hak istimewa segelintir orang yang cukup beruntung untuk punya kesempatan. Hanya saja, saya ingin bilang bahwa pada suatu titik, berkelana bukanlah sesuatu yang hedonis. Sama seperti cita-cita yang lain; menjadi pilot, menjadi guru atau menjadi dokter, berkelana juga adalah suatu cita-cita yang baik. Jadi kenapa traveling selalu berkonotasi dengan kemewahan? Karena tidak seperti profesi yang menghasilkan uang, traveling menghabiskan uang. Bagi sebagian orang (yang mungkin tidak punya kebutuhan finansial mendesak dan hanya perlu mencukupi dirinya sendiri) uang ini dihabiskan untuk hal yang berguna sepanjang hayat seperti: membentuk karakter, membuka pikiran, memberi pilihan, menemukan diri sendiri atau membangkitkan keberanian dan kemandirian. Hal-hal tersebut tidak bisa dilihat dari luar apalagi dibungkus dengan kemasan buat oleh-oleh, tidak juga bisa dijual lagi ataupun dipakai untuk cari uang. Bagi saya pribadi, berkelana tidak ternilai harganya, karena telah membawa saya keluar dari kubangan lumpur masa lalu (sekali lagi, ini bukan adegan film kuntilanak 'bangkit dari kubur' tapi jujur nih, dulu saya patah hati dan tidak bisa melepaskan ego yang terluka, taelah!) dan memulai sesuatu yang baru. Ini juga membuat saya tahu siapa saya, bukan apa yang saya punya. Membuat saya berani memiliki pendapat sendiri dan tidak cuma ikut omongan orang lain.

Saya sangat mendukung orang-orang yang berani keluar dari zona aman mereka. Seperti Kristina yang ingin melihat kambing gunung, misalnya. Berkelana bukanlah sekedar memanjakan diri dengan makanan a la carte dan penginapan berbintang. Tidak percaya? Cobalah baca The Dharma Bums oleh Jack Kerouac, Into The Wild oleh John Krakauer, Holy Cow: an Indian Aventurer oleh Sarah MacDonald, The Lost Continent oleh Bill Bryson, atau Through Painted Deserts oleh Donald Miller (ada lebih banyak lagi kalau mau disebutkan satu-satu). Buku-buku mencengangkan tersebut tak lain adalah jurnal perjalanan. Saya juga pernah membaca beberapa jurnal dari orang Indonesia. Menurut saya berkelana sama seperti belajar. Belajar di jalan. Sama seperti sekolah yang lain, kita membayar untuk mendapatkan pendidikan, untuk memperluas pandangan hidup kita yang semula terbatas.

Saya menulis ini karena dari dulu, orang tua saya menentang keinginan saya untuk traveling. Karena mereka tidak mengerti apa yang dihasilkan, tapi mereka tahu persis apa yang dibuang. Saya tidak bisa berdebat soal uang. Apalagi peraturan visa yang selalu meminta bukti rekening koran. Lagipula, akhirnya saya menyerah juga dengan kebenaran pola pikir yang ekonomis, praktis dan memang diperlukan saat krisis. Bayar saja iuran speedy seratus ribu perbulan dan lihat google earth. Aman, murah dan nyaman, bisa diakses dari rumah. Jangan lupa sesekali jalan ke mall. Akan jadi perjalanan yang sangat tidak berbahaya (apalagi banyak pesawat jatuh dan kapal karam sekarang).

9 comments:

wongmuntilan said...

Semoga krisis ekonomi cepat berlalu dan Ria bisa jalan-jalan menjelajah dunia lagi... amen.

Sri Riyati said...

Hahahahahaha. Santi! Lama gak muncul di sini jadi ngangeni =)

Iya, aku bukannya ngeluh gak bisa keliling dunia di kala orang lain susah beli obat/susu buat anaknya. Aku cuma curhat soalnya dituduh ortu suka berfoya-foya, nggak mikir masa depan, aneh, gak jelas, pointless, dsb. Padahal ya kalo didukung secara mental, aku kan jadi semangat cari duit hahaha. Aku tahu kok, dari dulu Bokap idupnya susah dan dia pekerja keras. Dia takut kalo anaknya gak nabung nanti idupnya susah kaya Bokap dulu karena nggak punya modal.

Nah disini kita jadi beda pandangan. Aku merasa bokap terlalu materialistis, bokap ngerasa aku boros. Yah, semoga kami lebih saling ngerti dan mencapai keseimbangan nantinya. Makasih doanya. Aku aminin juga dengan sepenuh hati!

Fanda said...

Aku setuju bahwa paling tidak, berkelana sekali dalam hidup itu perlu. 10 tahun lalu aku ke Eropa dengan menghabiskan hampir seluruh tabunganku. Hanya seminggu memang, dan hanya 2 negara yg aku kunjungi, tp ada hal2 yg menarik selama itu yg ga bakal aku dapet meski aku mantengin Google Earth sepanjang hari.

Pengalaman. Termasuk pengalaman nyasar, pengalaman ngajak ngomong org asing, pengalaman tiba di hotel tp ternyata bookingan atas namaku ga ada disitu sedang hari sudah mulai malam, dan pengalaman melihat dan mengalami sendiri kebudayaan di luar tempat tinggal kita.

Semuanya itu membantuku buat semakin mandiri dan berani. Memang kalo aku bilang ke ortu, mereka pasti ga setuju. makanya aku blg kalo aku kesana bareng rombongan (memang betul), tapi disananya aku jalan sendiri. I trust in God, that He will take care of me. Selama kita punya otak, bisa ngomong at least English, pasti akan ada org yg bantu kita meski kita ga kenal siapa2 di sana.

Eh pikir2...mestinya tadi aku bikin posting di blog sendiri ya daripada ngetik panjang2 disini. kan kamu seneng jg kalo namamu aku sebut2 lg...

Sri Riyati said...

Hahhahaha. Setuju Mbak. Ayo posting pengalaman travelingnya Mbak Fanda. (Cari pendukung banget sih) Oya, jangan lupa sebut, garis bawahi dan tebelin namaku tiga kali. Barangkali aku bisa "traveling" langsung ke tempat mbak Fanda kaya jin iprit. Huhuhu. Aku lagi berusaha mengatasi kecewa sbnrnya karena untuk sementara ini, aku cuma pergi sejauh google earth membawaku...

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

Menurutku travelling itu sebenernya hobi semua orang termasuk aku tapi ga semua orang bisa travelling. Karena travelling butuh uang. kaya aku misalnya pengen travelling tapi ga bisa karena harus mikirin uang kuliah adekku. Jadi orang yang bisa travelling seperti ria sangatlah beruntung. Bisa melihat hal2 baru dan ga seperti katak dalam tempurung or kucing dalam karung. kalaupun sekarang belum bisa travelling lagi..yang penting kan pengalamannya udah dapet. masih banyak orang yang buat travelling ke mall juga ga bisa...misal ada pemulung yang di deket roxy itu...dia sering bawa gerobak tulisannya "ndasku mumet"..aku ga yakin dia pernah ngeliat air mancur menari di grand indonesia...melaske ya.

Fanda said...

Ria, lupa ngasih tau. Aku tulis lagi namamu di postingku tuh... Ttg acara jalan2ku, tinggal klik aja label 'jalan-jalan' di blogku. Yg di Paris ada di paling bawah (4 seri, hihihi...)

Sri Riyati said...

Oiiii. Lop you pull Mbak Fanda (parah. Narsis dan ngarep selebritis banget). Tapi aku bnr senang. Jujur gapapa kan? Iya nanti aku kunjungi!!! xox

Kris, aku tahu. Memang kita nggak bisa ngelawan soal uang itu. Sayang kita bukan orang Jerman yang bisa nerima tunjangan dari pemerintah selama 36 tahun. Aku juga nggak mau jadi orang 'don't know dilucky' (opo jal) alias nggak tahu diuntung. Aku juga tahu orang yang jualan ikan kliling seharga seribu per biji, orang yang jualan wedang ronde di gang trus tukang mulung kardus. Aku nggak yakin juga mereka pernah ke Limpung (ya iyalah ngapain gitu lho) maksudku pasti mereka buat ke mall simpang lima aja buat liat2 pasti "ndase mumet". Aku tahu, aku tahu persis. Tapi aku nggak mau dibilang dangkal atau hedonis, itu yang pingin aku tulis di sini. Karena itu yang ada di benak ortuku "Ni anak kok pirannya jalan2 aja. Kapan kerja dan nikahnya?" kalo sudah gitu ndasku yang mumet. ^_^ Hidup google earth betewe!

jc said...

Kris.. aku..aku..aku juga blom pernah lihat air mancur menari di Grand Indonesia, Kriss.. hueee.. apik banget pok? Waduh.. gawat ini, ini gawat, masa aku blom pernah liat air mancur menari sih???? Huhuhu.. melaske yo aku? Loh aku kok jadi melaske diri sendiri? Weleh-weleh.. Tapi, i hate to say this, bahkan mau backpacking mengunjungi tempat2 yang jarang dikunjungi turis pun butuh duit.. kecuali emang mo nekad hidup ala Christopher McCandless di Into The Wild itu (btw, itu termasuk film favoritku, grade-nya A). Huhuhuhu... Kalau sudah ngomong soal duit nah itu.. kayak kata Voltaire, semua sama agamanya! (tambah nggak nyambung!)

Sri Riyati said...

Iya Jess, komenmu lucu banget sih. Kris, kae Jessi mbok di terke meng GI koyo aku mbiyen (aku dulu yang nunjukin Kristina Jess). Kamu dan Voltaire bener Jess, semangatku yang berkobar2 kaya bung Tomo pun gak berdaya di depan duit. Itu si MacCandless duitnya malah dibakar. Jadi kalo mnrtmu, dia agamanya apa ya?

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p