Anti sinetron? Cobalah dipikir ulang dulu...
Sama seperti kebanyakan rekan-rekan, dulu saya juga mikir sinetron itu jayus, lebay, jijay dan nggak mutu banget (tapi entah kenapa ditonton juga, buktinya sampai tahu kalo itu jayus, lebay, jijay dan nggak mutu, hehe). Tapi sekarang, saya berubah pikiran. Tenang, tidak sampai taraf kecanduan sinetron sampai nggak sempet updet blog (percayalah, saya punya alasan lain yang lebih nggak mutu untuk nggak sempet ngupdet blog, misalnya karena saya sibuk ngupil pake jempol kaki, trus mikir kenapa susah ya? Apa saya kurang latihan yoga? Semacam itulah). Tapi saya sudah memikirkan (taelah, sejak kapan ya saya mau repot-repot mikir) alasan kenapa sinetron itu bentuknya semacam itu.
Mulanya gara-gara saya cari tanaman untuk kost-kostan saya yang gersang. Di Limpung, tukang jual tanaman jual apa saja, mulai dari biji jagung hibrida sampai segala jenis bibit sengon. Kalo mau nengok sawahnya sekalian di belakang kios si tukang jual tanaman, kita juga bisa mborong beli benih padi yang baru disemai. Di Semarang, betapa terkejutnya saya, tukang jual tanaman cuman jual...tanaman hias (ya iyalah Ria, emang seharusnya gitu kaleee). Mulai dari tanaman yang saya kira rumput liar sampai pohon palem yang besar dan bercabang-cabang serta pakis kecil berbatang besar nan eksotis seharga jutaan rupiah. Apa pasal? Di Semarang sebagian besar orang tidak punya sawah di belakang rumah (tidak mengejutkan?). Jadi bibit lamtoro gung, duren sawit dan nangka tidak dijual, sebab tidak sesuai permintaan pembeli. (Mungkin pembaca nggak sabar nyaranin saya harus nyari di departemen pertanian). Oh ya akhir cerita saya beli banyak tanaman yang murah-murah saja seperti....mmm, saya tidak tahu namanya. Soalnya saya tetep mengira itu sejenis rumput.
Kali lain saya sedang menginap di rumah teman yang pekerjaannya buruh pabrik tekstil. Waktu dia sibuk kerja, saya bosan. Saya lantas berjalan-jalan dan melihat ada: toko buku! Saya senang sekali, berharap minimal ada komik. Tapi jreng2345x, yang dijual ternyata cuma novel-novel stensilan, misalnya yang dikarang Freddy S itu lho. Sama buku TTS bergambar cewek-cewek seksi. Untung saya suka juga ngisi TTS (dan baca novel stensilan-lho?!?) Jadi sodara-sodara, intinya bukan novelnya Freddy S itu bagus apa enggak tapi bahwasanya ketersediaan suatu barang/jasa adalah karena permintaan konsumen. Setuju?
Kembali ke masalah apa tadi (sudah lupa karena kebanyakan ngelantur), oya, sinetron. Kenapa Raam Punjabi dan kroninya bikin cerita semacam itu? Menurut hemat saya, karena cerita semacam itulah yang diminati sebagian besar pemirsa televisi. Cerita yang semacam itu yang bisa menawarkan mimpi. Memang tidak masuk akal, berlebihan, didramatisir dengan segala haru-biru yang nggak realistis kalau tidak bisa dibilang wagu. Tapi memang perlu. Saya sering dengar, kenapa tidak bisa bikin opera sabun yang agak betul, misalnya pasien yang meninggal itu di-CPR, bukan cuma dilihat, lalu dengan wajah sendu bilang ke keluarganya, "Maaf, ibu sudah meninggal," lalu diikuti derai isak tangis anak-anaknya yang malang. Tapi memang cuma adegan itu yang perlu: kesedihan yang diperlihatkan ke keluarganya. Soal bagaimana menyelamatkan pasien yang meninggal itu bukan urusan pemirsa televisi. Kalo saya editor, justru adegan CPR akan saya potong karena menghabiskan waktu untuk detil-detil yang tidak penting, tidak menguras emosi dan mengurangi slot iklan.
Banyak yang bilang, kenapa sinetron tidak bisa seperti ER, CSI atau opera sabun amerika yang lain. Atau minimal yang realistis, menyunting hidup kebanyakan orang Indonesia. OK. Pertama, siapa sih sebagian besar penonton TV Indonesia? Ibu-ibu dan pembantu rumah tangga. Coba tebak, apa mereka memilih "Cinta Fitri" atau "CSI Miami: Appendicitement"? Saya pikir, orang-orang televisi itu sudah mensurvei pasaran mereka. Kalau kita sebel dengan alur sinetron Tersanjung 212 (eh itu Wiro Sableng ya?) kita masih bisa nonton DVD, bikin blog, ngisi TTS atau baca stensilan, hihi. Lagipula, kan masih ada youtube (Hore!). Tapi mereka kan cuma punya televisi. Halo masyarakat minoritas Indonesia, ngalah dong sama ibu-ibu RT dan PRT. Kedua, mengapa sinetron tidak bikin sesuatu yang lebih nyata? Karena, sodara-sodara pendengar dan pemirsa, kenyataan itu menyakitkan. Lagipula, kalau mereka ingin melihat kenyataan, mereka tinggal melongok ke kehidupan masing-masing atau ke luar jendela. Kemiskinan, kemelaratan, kehidupan di desa dan segala intrik-intriknya, kita semua berada di dalamnya. Kalau namanya hiburan ya mereka butuh sesuatu yang lain untuk dilihat, sesuatu yang menawarkan mimpi. Misalnya anak-anak SMU yang belum genap 17 tahun sudah kebut-kebutan di jalan naik mobil mewah mengejar cewek cantik yang masih ingusan. Inilah sesuatu yang jarang dilihat. Inilah yang ingin dicapai: punya mobil, rumah mewah, suami yang ganteng dan direktur. Kalau tentang kehidupan petani dan buruh yang diperas lintah darat? Wah, itu mah pemirsa TV lebih tahu daripada pembuat sinetronnya.
Negara maju bisa bikin opera sabun tentang hidup yang miskin, penyakit dan kerja keras yang kelihatan nyata (lalu menyebutnya film independen) karena mereka sudah tidak lagi berkubang di dalamnya. Jadi saya mendukung sinetron Indonesia, karena mengibur dan memberikan mimpi-mimpi. Tentang mobil dan rumah, sebab kenyataannya mereka numpang di rumah orang dan cuman pulang kampung kalau lebaran. Tentang cewek-cewek yang manja yang menangis-nangis, karena kenyataannya mereka adalah perempuan yang sangat kuat, yang menjadi tulang punggung keluarga, pencari nafkah, ibu bagi anak-anaknya sekaligus melawan kanker yang dideritanya sendiri (ini kisah nyata: sebagian pasien kanker leher rahim stadium akhir di RS Kariadi adalah ibu rumah tangga yang bekerja dan suami pengangguran). Biarlah bermimpi. Sampai nanti kalau kita udah mencapai semua mimpi itu, kita boleh bikin sinetron tentang kemiskinan yang nyata, yang dialami oleh negara lain. Bukan kita.
Sama seperti kebanyakan rekan-rekan, dulu saya juga mikir sinetron itu jayus, lebay, jijay dan nggak mutu banget (tapi entah kenapa ditonton juga, buktinya sampai tahu kalo itu jayus, lebay, jijay dan nggak mutu, hehe). Tapi sekarang, saya berubah pikiran. Tenang, tidak sampai taraf kecanduan sinetron sampai nggak sempet updet blog (percayalah, saya punya alasan lain yang lebih nggak mutu untuk nggak sempet ngupdet blog, misalnya karena saya sibuk ngupil pake jempol kaki, trus mikir kenapa susah ya? Apa saya kurang latihan yoga? Semacam itulah). Tapi saya sudah memikirkan (taelah, sejak kapan ya saya mau repot-repot mikir) alasan kenapa sinetron itu bentuknya semacam itu.
Mulanya gara-gara saya cari tanaman untuk kost-kostan saya yang gersang. Di Limpung, tukang jual tanaman jual apa saja, mulai dari biji jagung hibrida sampai segala jenis bibit sengon. Kalo mau nengok sawahnya sekalian di belakang kios si tukang jual tanaman, kita juga bisa mborong beli benih padi yang baru disemai. Di Semarang, betapa terkejutnya saya, tukang jual tanaman cuman jual...tanaman hias (ya iyalah Ria, emang seharusnya gitu kaleee). Mulai dari tanaman yang saya kira rumput liar sampai pohon palem yang besar dan bercabang-cabang serta pakis kecil berbatang besar nan eksotis seharga jutaan rupiah. Apa pasal? Di Semarang sebagian besar orang tidak punya sawah di belakang rumah (tidak mengejutkan?). Jadi bibit lamtoro gung, duren sawit dan nangka tidak dijual, sebab tidak sesuai permintaan pembeli. (Mungkin pembaca nggak sabar nyaranin saya harus nyari di departemen pertanian). Oh ya akhir cerita saya beli banyak tanaman yang murah-murah saja seperti....mmm, saya tidak tahu namanya. Soalnya saya tetep mengira itu sejenis rumput.
Kali lain saya sedang menginap di rumah teman yang pekerjaannya buruh pabrik tekstil. Waktu dia sibuk kerja, saya bosan. Saya lantas berjalan-jalan dan melihat ada: toko buku! Saya senang sekali, berharap minimal ada komik. Tapi jreng2345x, yang dijual ternyata cuma novel-novel stensilan, misalnya yang dikarang Freddy S itu lho. Sama buku TTS bergambar cewek-cewek seksi. Untung saya suka juga ngisi TTS (dan baca novel stensilan-lho?!?) Jadi sodara-sodara, intinya bukan novelnya Freddy S itu bagus apa enggak tapi bahwasanya ketersediaan suatu barang/jasa adalah karena permintaan konsumen. Setuju?
Kembali ke masalah apa tadi (sudah lupa karena kebanyakan ngelantur), oya, sinetron. Kenapa Raam Punjabi dan kroninya bikin cerita semacam itu? Menurut hemat saya, karena cerita semacam itulah yang diminati sebagian besar pemirsa televisi. Cerita yang semacam itu yang bisa menawarkan mimpi. Memang tidak masuk akal, berlebihan, didramatisir dengan segala haru-biru yang nggak realistis kalau tidak bisa dibilang wagu. Tapi memang perlu. Saya sering dengar, kenapa tidak bisa bikin opera sabun yang agak betul, misalnya pasien yang meninggal itu di-CPR, bukan cuma dilihat, lalu dengan wajah sendu bilang ke keluarganya, "Maaf, ibu sudah meninggal," lalu diikuti derai isak tangis anak-anaknya yang malang. Tapi memang cuma adegan itu yang perlu: kesedihan yang diperlihatkan ke keluarganya. Soal bagaimana menyelamatkan pasien yang meninggal itu bukan urusan pemirsa televisi. Kalo saya editor, justru adegan CPR akan saya potong karena menghabiskan waktu untuk detil-detil yang tidak penting, tidak menguras emosi dan mengurangi slot iklan.
Banyak yang bilang, kenapa sinetron tidak bisa seperti ER, CSI atau opera sabun amerika yang lain. Atau minimal yang realistis, menyunting hidup kebanyakan orang Indonesia. OK. Pertama, siapa sih sebagian besar penonton TV Indonesia? Ibu-ibu dan pembantu rumah tangga. Coba tebak, apa mereka memilih "Cinta Fitri" atau "CSI Miami: Appendicitement"? Saya pikir, orang-orang televisi itu sudah mensurvei pasaran mereka. Kalau kita sebel dengan alur sinetron Tersanjung 212 (eh itu Wiro Sableng ya?) kita masih bisa nonton DVD, bikin blog, ngisi TTS atau baca stensilan, hihi. Lagipula, kan masih ada youtube (Hore!). Tapi mereka kan cuma punya televisi. Halo masyarakat minoritas Indonesia, ngalah dong sama ibu-ibu RT dan PRT. Kedua, mengapa sinetron tidak bikin sesuatu yang lebih nyata? Karena, sodara-sodara pendengar dan pemirsa, kenyataan itu menyakitkan. Lagipula, kalau mereka ingin melihat kenyataan, mereka tinggal melongok ke kehidupan masing-masing atau ke luar jendela. Kemiskinan, kemelaratan, kehidupan di desa dan segala intrik-intriknya, kita semua berada di dalamnya. Kalau namanya hiburan ya mereka butuh sesuatu yang lain untuk dilihat, sesuatu yang menawarkan mimpi. Misalnya anak-anak SMU yang belum genap 17 tahun sudah kebut-kebutan di jalan naik mobil mewah mengejar cewek cantik yang masih ingusan. Inilah sesuatu yang jarang dilihat. Inilah yang ingin dicapai: punya mobil, rumah mewah, suami yang ganteng dan direktur. Kalau tentang kehidupan petani dan buruh yang diperas lintah darat? Wah, itu mah pemirsa TV lebih tahu daripada pembuat sinetronnya.
Negara maju bisa bikin opera sabun tentang hidup yang miskin, penyakit dan kerja keras yang kelihatan nyata (lalu menyebutnya film independen) karena mereka sudah tidak lagi berkubang di dalamnya. Jadi saya mendukung sinetron Indonesia, karena mengibur dan memberikan mimpi-mimpi. Tentang mobil dan rumah, sebab kenyataannya mereka numpang di rumah orang dan cuman pulang kampung kalau lebaran. Tentang cewek-cewek yang manja yang menangis-nangis, karena kenyataannya mereka adalah perempuan yang sangat kuat, yang menjadi tulang punggung keluarga, pencari nafkah, ibu bagi anak-anaknya sekaligus melawan kanker yang dideritanya sendiri (ini kisah nyata: sebagian pasien kanker leher rahim stadium akhir di RS Kariadi adalah ibu rumah tangga yang bekerja dan suami pengangguran). Biarlah bermimpi. Sampai nanti kalau kita udah mencapai semua mimpi itu, kita boleh bikin sinetron tentang kemiskinan yang nyata, yang dialami oleh negara lain. Bukan kita.
9 comments:
Kayaknya bener deh. Karena kalo kita2 para wanita karier (cieh..) mana sempat nonton TV? Eh tp banyak jg loh para wanita kantoran yg demen nonton sinetron/reality show/infotainment. Aku aja kali yg kuper. Buktinya, kapan hari ada customer (cewek) telp ke kantor: mbak, sampeyan yg main di Termehek-mehek ya? Busyet...nonton aja kagak pernah!
Ternyata di reality show itu ada yg namanya mirip2 Fanda deh. Trs lain kali dia telp lagi: Mbak, kok udah ga pernah nongol lagi sih? Terakhir dia telp: Mbak, ternyata sekrg udah pindah ke Ceriwis ya? hehehe... (eh kok jd ga nyambung komentarnya yah?)
Pokoke yg jelas aku mendukung blogger indonesia aja deh!! Say 'no' to sinetron!!!
Kok aku nggak pernah ya dituduh kaya siapa gitu yang main di tipi? Paling banter dibilang kaya Agnes Monica. Halah (ngarep.co.id). Wah ada ya yang namanya juga mirip selain mukanya mirip? Bisa dicuri tuh identitasnya Mbak kalo dia beken, hehe. Say No? Brarti kita nggak sependapat dunk hahaha...
Ria, cara bw pulang award? ya tinggal download gambarnya di blog pemberi itu, trs kamu bikin posting dgn pasang gambar award itu dan link ke si pemberi. Klo mau bagi ke teman2 lain, sebutin aja namanya dan linknya.
Klo bikin award, pake software grafis aja kayak Photoshop. Tp klo aku sih cari gambar di fotosearch.com dulu, trs aku edit pake Paintbrush. Klo udah ya tinggal posting dan sebutin + link para penerima.
Karena aku baik, tutorialnya gratis, hanya namaku jgn lupa disebutin sebagai penerima award yaa... (maksa.co.id)
hahaha...aku moco 2 kali nembe mudeng tulisanmu iki. aku seng pertama moco cepet2 jadi bingung opo hubungane sinetron karo penjual tanaman hias..jebule prinsip ekonomi..dimana ada permintaan pasti ada penawaran. misalnya di pekalongan kalo jual pizza hut kayanya ga laku soale di sana mendingan makan kenyang bukan makan enak. makanya di mega center ada paparonz yang menyediakan paket murah. paket murah pun jarang laku apalagi paket ga murah. mamiku sendiri mengalaminya...dia jualan mie ayam tapi karena konsumennya kebanyakan karyawan yang mengutamakan kenyang...maka jualan mie terpaksa dibarengi jualan nasi ayam buat memenuhi permintaan pasar. orang2 pasti lebih milih nasi ayam 5rb (plus embel2...nasinya yang banyak..sambelnya yang banyak..ayamnya kecil gpp) daripada semangkok mie ayam yang menggiurkan.
jadi kembali ke sinetron yang ceritanya lolok itu terutama tersanjung 8 dan cinta fitri (ini aku sebel juga karena alasan lain) yang ceritanya dipanjang2in...dan akting pemainnya sebatas melotot2 dan air mata buatan. walaupun begitu..tetep aja peminatnya lebih banyak daripada greys anatomy. btw dari temen2ku yang ngikutin greys anatomy bisa diitung dengan jari...tapi kalo cinta fitri...jreng jreng....tak terhitung wes
Kalo dibilang cerita di sinetron itu sebuah mimpi rasanya sih enggak juga, Ya, soale kejadian kayak selingkuh, rebutan pacar dan ditinggal suami yang suka mukul itu juga terjadi di dunia nyata.
Eh, jangan salah, banyak ibu-ibu rumah tangga juga ga nonton sinetron yoo.. aku contone, soale sejak di depan rumahku dibangun jalan tol, tiviku jadi burem, lek digawe nonton tivi lokal bisa bikin minus tambah, jadi alhasil aku pinjam vcd. Kan ga ada tu sinetron dibikin film seri kayak 24 atau CSI atau Grey's Anatomy, jadi yo akhire aku masuk kelompok minoritas, nontone 24 (saiki), mengko lek 24 kelar, aku meh ngelanjutke Legend of the Seeker, Ya, terus lek kuwi wes kelar maneh, aku meh ngelanjutke CSI maneh, terus lek kelar maneh, aku meh protes karo sing nggawe film seri nang Hollywood kono soale nggawe film seri kok ora entek2 dan nyandu. Mengko biso ditangkep karena nyandu (eh iku ngedrugs yo?).
Mbak Fanda: OK deh, aku coba bikin award yang pertama buat yang ngajarin (hasil akhir nggak dijamin tapi ya Mbak!). Btw makasih atas award2nya selama ini. Aku nggak menanggapi karena gaptek, bukannya sombong bukannya congkak yang disayangi handai dan taulan...
Kristina: pancen paling pas nek diterapke nggo dodolan mie. Kamu yang paling tahu apa yang aku maksud Kris
Jessie: Bener banget Jess. Nggak semua ibu rumah tangga nonton sinetron, terutama ibu rumah tangga yang tipine burem gara2 dibangun jalan tol ^_^. Memang kalo dilihat dari sudut manapun (terutama dari sudut belakang jalan tol) sinetron itu nggak ada isinya babar blas. Ngabis2in listrik doang. Tapi ya gimana lagi, banyak orang perlu dipuaskan hasratnya liat adegan percintaan yang jayus, karena hidup mereka sendiri luar biasa monoton. Akibatnya juga, 24, Grey's anatomy, Legend of the seeker dan CSI gak nyampai ke imajinasi mereka. Bagaimana mo mbayangin masa depan, ilmu bedah, ilmu forensik atau mesin waktu kalo hidup kita berkutar masalah jemuran dan dapur? Bukannya jemuran dan dapur itu buruk, tapi kalo itu satu2nya pilihan, apa iya kita bisa berkhayal yang lebih tinggi daripada tiang penyangga jalan tol? (eh itu tinggi ya. Ok daripada pohon cabe?)
Tadinya saya termasuk manusia anti sinetron, tapi setelah membaa tulisan ini, jadi agak berkurang rasa antipatinya, meskipun saya sendiri ndak bakalan nonton sinetron dalam waktu dekat ini, hehe... ^^
Sinetron bisa dianggap hiburan yang mudah dicerna karena memang ndak usah mikir selagi nonton. Beda dengan CSI atau film-film sejenis yang penontonnya juga musti mikir.
Lagian, produksi sinetron juga menyerap banyak tenaga kerja kok, misalnya pencatat adegan, figuran, camera-person dll, meskipun mereka-mereka ini penghasilannya tidak sebesar bintang sinetron...
Oiya San, kamu kan orang televisi. Poin yang bagus. Sebenernya aku gak bnr2 mendukung kong. Cuman berusaha kontradiktif. Yang menghina sinetron kan udah banyak...hehe
Betul..betul.. Jangan dibenci, harusnya kita kasihan pada mereka.. :P
Saya gak suka sinetron. Ceritanya jelek, konfliknya ketebak, castingnya sering gak cocok, akting dan dialog yang kaku, musik latarnya membosankan dan ceritanya gak bagus. (eh, tadi udah ya?)
Seandainya gak diselipi komedi, mungkin Angel's Diary bisa jadi satu2nya sinetron yang layak saya tonton...
Yang IMO recommended diikuti adalah FTV yang suka tayang siang2 itu. Ada banyak sinetron yang mestinya 2-4 kali FTV aja dah bisa habis, gak perlu bertele2. :(
Post a Comment