Limpung-kamarku
Selama ini aku tinggal menebeng di kost-kostan adek kelasku di Gergaji, Semarang, dan aku bener-bener senang karena nggak pernah kesepian di sana. Tapi aku pulang kampung untuk ngemas barang terlalu mepet, cuma sehari semalam sebelum berangkat ke Jakarta. Berbenah itu nggak susah, tapi setelah lama ninggalin kamar, barang-barang kita jadi susah ditemukan dan bahkan merasa asing di kamar sendiri. Aku bukan orang yang rapi dan sialnya, aku pelupa banget. Kalo orang-orang nggak sering manggil namaku mungkin aja aku lupa namaku sendiri. Mamaku bilang untung banget idungku nempel kalo nggak pasti aku bingung mau napas pake apa kalo hidungku ketinggalan. Trus aku bilang kita nggak bernapas pake idung tapi pake lubangnya jadi kalopun ketinggalan gapapa. Paling cuma serem aja karena idungku bolong di depan mirip babi. Udah kok jadi mbahas idung sih. Intinya mamaku udah menyerah dengan keteledoranku. Oya, aku itu orang yang selalu nggak rela untuk beli barang baru kalau aku ngerasa sudah punya barang itu. Tapi menurut hitungan ekonomis, waktu dan tenaga yang aku pake untuk nyari barang itu sebetulnya bisa untuk beli 2 barang baru. Belum ditambah setresnya kalau barang yang dicari nggak ketemu-ketemu.
Ada satu tas koper yang aku pakai kali ini disamping tas ransel yang selalu setia menemaniku kemana-mana. Tas ini pernah dipinjem adekku Anik sebelum dia beli yang baru. Alkisah, tas ini udah aku isi dan aku kunci resletingnya. Pas tahu bahwa bagasiku keberatan, aku berusaha mbuka tas koper itu lagi. Tidak bisa! Padahal udah aku coba tanggal lahirku berikut kombinasinya. Tidak bergerak! Terus aku coba tanggal lahir Anik berikut kombinasinya. Tidak berhasil! Masa tas koper yang mau dipakai harus dibandrek dulu? Iseng-iseng aku coba suatu angka dan eureka! Terbukalah! Mau tahu apa angkanya? Ulang tahun pacarnya adekku. Sangat tidak sopan! Untung aku tahu ya, tapi omong-omong kosong nih, karena aku nggak tahu gimana cara ngganti kombinasinya, sampai sekarang sandinya tetap ulang tahun pacarnya adekku. Betapa tidak elitnya koperku!
Ada satu tas koper yang aku pakai kali ini disamping tas ransel yang selalu setia menemaniku kemana-mana. Tas ini pernah dipinjem adekku Anik sebelum dia beli yang baru. Alkisah, tas ini udah aku isi dan aku kunci resletingnya. Pas tahu bahwa bagasiku keberatan, aku berusaha mbuka tas koper itu lagi. Tidak bisa! Padahal udah aku coba tanggal lahirku berikut kombinasinya. Tidak bergerak! Terus aku coba tanggal lahir Anik berikut kombinasinya. Tidak berhasil! Masa tas koper yang mau dipakai harus dibandrek dulu? Iseng-iseng aku coba suatu angka dan eureka! Terbukalah! Mau tahu apa angkanya? Ulang tahun pacarnya adekku. Sangat tidak sopan! Untung aku tahu ya, tapi omong-omong kosong nih, karena aku nggak tahu gimana cara ngganti kombinasinya, sampai sekarang sandinya tetap ulang tahun pacarnya adekku. Betapa tidak elitnya koperku!
Pekalongan-Stasiun kereta
Aku selalu berusaha supaya bagasiku itu aku bisa bawa sendiri karena toh nantinya juga akan aku bawa sendiri. Sebab kalau aku bergantung pada pertolongan orang buat ngangkat bagasi, mampuslah aku kalau sudah nyampe di tempat tujuan nanti. Tapi di stasiun kereta ternyata susah sekali buat ngangkat tas yang begitu besar. Biasanya orang cuman bawa plastik atau karton isi oleh-oleh dan satu tas tangan. Aku bawa ransel dan koper, ditambah 1 hand luggage (akibat batasan bagasi pesawat yang gak manusiawi, 20 kg untuk setahun?) yang bentuknya mirip ransel itu sendiri (saking besarnya, gak mau rugi banget mentang2 badanku kecil). Untunglah ada Sarwono adekku yang badannya besar dan bisa ngangkat koperku dengan satu tangan ke bagasi di atas tempat duduk. Sekarang tinggal mikir gimana nuruninnya tanpa jatuhin kepala orang...
Untung aku dianterin walopun sampe pekalongan aja, kata Ko Ay, tanteku, "kalo dianter tuh membesarkan hati meskipun nggak dikasih uang saku," Mungkin maksudnya adalah: antarkan Ria supaya dia tetap PeDe walaupun miskin, ough...
Jakarta
Aku menumpag taxi orang yang kebetulan ke grogol. Ini adalah cara berhemat a la tarzan kota. Sebetulnya aku bermaksud patungan tapi lha wong dibayari ya kamsia aja lah. Lagian seumur-umur juga ini pertamanya aku ke Jakarta dan naik taxi soalnya biasanya aku apal banget jalur angkot dan bus way, jadi kalau naik taxi malah bingung ditanyai mau lewat mana. Masa aku jawab: ikuti saja kopaja nomer 18! Akhirnya adalah malam bersama Kristina. Kayane nggak usah diceritain nanti Kristina bosen, ketiduran, dan ngilerin keyboard komputer kantor. Kan mahal kalo disuruh ngganti.
Abu Dhabi
Untung aku dianterin walopun sampe pekalongan aja, kata Ko Ay, tanteku, "kalo dianter tuh membesarkan hati meskipun nggak dikasih uang saku," Mungkin maksudnya adalah: antarkan Ria supaya dia tetap PeDe walaupun miskin, ough...
Jakarta
Aku menumpag taxi orang yang kebetulan ke grogol. Ini adalah cara berhemat a la tarzan kota. Sebetulnya aku bermaksud patungan tapi lha wong dibayari ya kamsia aja lah. Lagian seumur-umur juga ini pertamanya aku ke Jakarta dan naik taxi soalnya biasanya aku apal banget jalur angkot dan bus way, jadi kalau naik taxi malah bingung ditanyai mau lewat mana. Masa aku jawab: ikuti saja kopaja nomer 18! Akhirnya adalah malam bersama Kristina. Kayane nggak usah diceritain nanti Kristina bosen, ketiduran, dan ngilerin keyboard komputer kantor. Kan mahal kalo disuruh ngganti.
Abu Dhabi
Aku naik pesawat UEA yang namanya Etihad. Pesawatnya akan transit dalam batas waktu yang kurang berperikemanusiaan di Abu Dhabi, ibu kota Arab Saudi. Pesawat ini menggunakan bahasa Inggris, Indonesia dan Arab. Yang paling katrok saat naik pesawat ini adalah waktu aku mengambil posisi mengheningkan cipta karena corong pesawat melantunkan doa. Ternyata mereka cuma ngasih pengumuman dalam bahasa Arab. Yah, bagi telingaku yang Limpung asli, semua bahasa Arab terdengar seperti doa. Untung aja aku nggak teriak amiiin keras-keras. Di bandara Abu Dhabi, ada inernet gratis. Mataku langsung hijau kemerahan (perpaduan money eye dan kurang tidur). Lucunya, sebelum aku ada orang Arab yang mengubah keyboardnya jadi hurup Arab gundul. Lhah gimana caranya aku nulis ya? Celingak-celinguk nggak mau ngakuin gaptek, akhirnya aku tinggalin internet yang aku sudah antrin setengah jam. Trus aku tidur di depan boarding gate sekitar 30 menit, diusir, trus aku haus dan air minum cuma ada di toilet laki-laki. Aku mengendap-endap masuk. Pas minum, aku diliatin satpam tapi aku cuek bebek dan minum juga kaya bebek. Alhasil, aku berusaha bobok dengan punggung pegel pantat peyot penghasilan pas-pasan di bangku ruang tunggu yang lebih mirip pagar penghalang anti terorisme daripada bangku. Pas naik pesawat lagi aku mirip kain pel yang direndam dalam air bekas nyuci batik selama seminggu.
London
Wakefield
Tiga hari itu kita melakukan 'bar hopping' alias dari satu bar ke yang lain (sampe radang tenggorokan). Entah kenapa tidak ada yang lebih menarik dari London kecuali kehidupan malamnya. Tiap hari di tempat-tempat wisata cuma penuh dengan antrian panjang turis yang tidak menarik sama sekali. Untunglah di hari ke tiga yang cerah, aku udah beli tiket ke Wakefield. Di stasiun kereta aku berusaha keras mbaca buku sambil nunggu kereta dateng, tapi setelah berdebat keras dengan dompetku, akhirnya perutku menang dan aku beli kacang pistachios buat makan siang. What a lunch. Nyeliliti thok nggak bikin kenyang. Inilah nasib imigran dari negara dunia ketiga (harusnya sangu telo bakar). Di kereta aku sebangku dengan orang-orang asli Inggris yang memperlakukan aku seperti imigran baru tiba gedebuk dari kepulauan Fiji. Mereka bicara pelan sekali dan senyam-senyum seolah aku gangguan pendengaran. Setelah beberapa percakapan pendek yang lumayan seru untuk ukuran orang udik, mereka lantas mulai benar-benar ngobrol. Bapak-bapak ganteng di depanku ternyata pengacara dan orang tua di sebelahku adalah bekas tentara. Mereka ngajarin aku tentang cryptic password dan taruhan Sudoku advanced level. Si pengacara menang (kurang dari 15 menit. Sial. Asem). Aku masih gak suka pengacara meskipun ganteng. Huh. Sampai di Wakefield baru aja mau nelpon ternyata sudah dijemput naik van. Jadi terbukti orang-orang disini menanggapi email dengan serius (aku bilang tentang jadwal kedatanganku sebulan sebelumnya). Wakefield suasananya bagus, kota kecil yang cantik tapi agak terlalu sepi. Tempat tinggalku sendiri di Chapelthorpe, lingkungan peternakan dengan berhektar-hektar ladang kacang, gandum, peternakan babi dan kuda (buat dinaikin, bukan dimakan). Aku berharap ada Clark Kent yang masih remaja di sini terus Lana Lang nya udah mati ketiban meteor. Tapi sayang dia nggak ada. Aku akan menulis tentang cowok-cowo di sini nanti. Ya jadi begitulah. Hidupku sederhana tapi cukup bagus, secara selama ini aku hidup di jalan dan makan seadanya (kecuali pas sama Kristina, aku minum starbucks, jarang2 juga lho ya). Semua sayur, telur, madu, daging adalah organik dan lingkunganku dijaga supaya tetap menyenangkan sekaligus indah (untuk menyokong kehidupan orang-orang cacat mental). Aku sendirian dan miskin sekarang, tapi kehidupanku secara umum menyenangkan.
Gitu dulu de Kris. Nanti aku tulis lagi tentang cowok-cowok di sini. Ciao!
3 comments:
ceritamu lucu banget hehehe terutama pas kowe ngelantur soal lubang idung babi. btw pengacara itu emang nyebelin sih soale mereka pengangguran banyak acara. oo..aku baru tau jebule ada temen sekamar to? lha hostel kuwi bayar dewe?
thanks yo sudah bikin surat yang lengkap jadi aku bisa membayangkan kowe lagi ngapain persis nek aku ndelok dewe dhek satelit google earth.
Heh jane aku pingin nfe'i foto cowok2 disini tapi sayang ada 'privacy policy' alias kalo mau mempublikasikan foto harus bilang. Hik hik. Padahal pgn cerita mbek kowe...
o gitu po?jadi rak entuk yo masang2 fotone wong?yo wes kirim neng emailku wae..iki aku penasaran wes ono perkembangan neng blogE dewe ora..mugakno aku bela2in neng warnet ke..kowe terharu kan.tapi aku ora iso nulis sek asale mengko warnetE bayare larang
Post a Comment