Di kota-kota besar dimana para lajangnya sangat sibuk bekerja sehingga tidak sempat bersosialisasi apalagi mencari jodoh, cara lain pun ditempuh untuk mencari kesempatan bertemu sesama lajang. Kencan buta sudah dianggap tidak efektif lagi, sebab memerlukan banyak waktu untuk berkenalan dengan satu orang saja. Belum kalau orang yang dikencan-butai ini ternyata belum bicara saja sudah bau jengkol. Atau kasus yang itu tuh: baju biru celana kotak-kotak. Jadi buang-buang waktu. Bergabung dengan jaringan untuk cari pasangan, misalnya matchmakers.com, dianggap tidak hemat karena harus bayar biaya keanggotaan. Iklan cari jodoh di surat kabar dianggap kurang menjaga prestise karena seolah woro-woro bahwa dirinya kurang laku diajang TePe-TePe. Jadi?
Ada yang namanya eye-gazing parties. Kalau sudah pernah nonton Sex and the City pasti tahu ada kencan buta masal yang memungkinkan kita bertemu dengan orang asing selama dua menit dan bicara tentang hal-hal kecil seperti pekerjaan, umur, hobi, dan apakah dia suka anjing atau kucing, teh atau kopi. Tapi dengan cara baru ini, masing-masing orang tidak perlu bicara. Hanya duduk diam selama masing-masing 3 menit dan menilai calon pasangan dari bahasa tubuh, postur dan ekspresi wajah. Atau merasa pintar? Para lajang bisa membuktikan keahlian dalam mengeja untuk berkompetisi (dari film dokumenter Spellbound) dan memenangkan hati lajang lain. Ada lagi yang menggunakan kode warna untuk menyampaikan pesan: hijau-OK, kuning-mungkin, merah-jangan harap (kaya lampu lalu lintas, mungkin yang salah pesan boleh ditilang). Atau lagi ikutan acara Take me out atau Take him out. Intinya sih bukan karena tidak laku tapi cari kesempatan untuk bertemu, karena kadang-kadang ada orang yang cocok tapi tidak bersimpangan jalan. Di sinilah peran mak comblang diperlukan.
Saya terpesona dengan sistem networking di keluarga saya. Tidak ada yang bicara satu sama lain, tidak ada yang nelpon kecuali kalo butuh sesuatu, tidak ada yang gape facebook, tapi bisa-bisanya sanak saudara yang nun jauh di kalbu menelpon untuk dikenalkan. Teman dari ayah atau saudara sepupu dari paman yang punya keponakan/saudara anak menantu/kerabat/kenalan mengajak bertemu dengan alasan silaturahmi. Sebel? Tidak sama sekali. Ini lebih seru daripada kunjungan sanak keluarga ke kerabat yang lebih tua setiap hari raya. Acara itu isinya cuma beramah-tamah dengan kerabat seusia kakek/nenek sambil menghitung berapa tahun baru lain yang masih tersisa buat mereka. Kalau acara yang baru ini isinya mengunjungi kenalan dari saudara saya yang biasanya masih muda, ganteng, minimal punya pekerjaan tetap (atau katanya sih begitu) dan malu-malu kucing. Saya betul-betul memilih ini dibanding eye-gazing ataupun traffic-lights parties. Dan berakhir dengan bertukar email (berhubung saya tidak jodoh dengan HaPe, betapapun hebatnya mak comblang mengusahakan HP yang cocok dengan saya). Jadi tidak ada efek samping menunggu telepon berdering. Kalo cek email tiap dua menit? Tidak masalah, toh saya sekalian ngeblog.
Saya masih percaya bahwa pertemuan itu nasib. Kalau tidak bertemu berarti tidak berjodoh. Kalau dipertemukan mak comblang (atau pak comblang, Om comblang, dan paman adek mertua comblang, dalam kasus saya) artinya? Saya bilang sih nasib juga, karena toh ujung-ujungnya bertemu juga. Jadi saya setuju pada sistem percomblangan? Saya tidak bilang begitu. Saya cuma menikmati acara bertemu sanak saudara ini, karena dulu waktu kecil saya semangat dapet duit. Sekarang, sejak saya dianggap mampu bekerja, saya jadi tidak punya motivasi lain. Kalau ada acara comblang-mencomblang, saya pun jadi semangat (apalagi selalu diikuti acara makan bersama). Kalau sang kenalan sendiri? Saya kira mereka juga korban keluarga yang suka main mak comblang parties. Tapi mereka juga tidak keberatan makan-makan sambil dipromosikan. Kami cuma menikmati dilelang gratis. Bagaimana kalau kita harus memamerkan kelebihan? Saya selalu usul kita lomba mengeja saja. Bagaimana mengeja "kepiting lemburi masak saus asam manis" atau "burung dara bakar ala hongkong"? Buntut-buntutnya sih acara makan keluarga selalu tetap asyik, entah kami mengeja dengan benar atau tidak, entah kami jadi dipasangkan atau tidak.
Saya bilang sih, ini pengalaman yang menyenangkan. Silakan coba sendiri, kalau bisa tambahi dengan aktifitas yang kreatif. Misalnya mendaki gunung, jalan sehat, main karambol atau mancing bersama. Hitung-hitung menambah networking (bagaimana saya bisa kenal seorang yang kerja di tangsi minyak di kepulauan Maluku atau di bagian marketing di Gaborone atau insinyur dari Edmonton?). Saya suka bertemu orang, hal ini juga yang mendorong saya untuk bepergian. Ternyata sekarang, saya tidak perlu susah-susah mikul tas ransel, the world is just a makcomblang away!
Ada yang namanya eye-gazing parties. Kalau sudah pernah nonton Sex and the City pasti tahu ada kencan buta masal yang memungkinkan kita bertemu dengan orang asing selama dua menit dan bicara tentang hal-hal kecil seperti pekerjaan, umur, hobi, dan apakah dia suka anjing atau kucing, teh atau kopi. Tapi dengan cara baru ini, masing-masing orang tidak perlu bicara. Hanya duduk diam selama masing-masing 3 menit dan menilai calon pasangan dari bahasa tubuh, postur dan ekspresi wajah. Atau merasa pintar? Para lajang bisa membuktikan keahlian dalam mengeja untuk berkompetisi (dari film dokumenter Spellbound) dan memenangkan hati lajang lain. Ada lagi yang menggunakan kode warna untuk menyampaikan pesan: hijau-OK, kuning-mungkin, merah-jangan harap (kaya lampu lalu lintas, mungkin yang salah pesan boleh ditilang). Atau lagi ikutan acara Take me out atau Take him out. Intinya sih bukan karena tidak laku tapi cari kesempatan untuk bertemu, karena kadang-kadang ada orang yang cocok tapi tidak bersimpangan jalan. Di sinilah peran mak comblang diperlukan.
Saya terpesona dengan sistem networking di keluarga saya. Tidak ada yang bicara satu sama lain, tidak ada yang nelpon kecuali kalo butuh sesuatu, tidak ada yang gape facebook, tapi bisa-bisanya sanak saudara yang nun jauh di kalbu menelpon untuk dikenalkan. Teman dari ayah atau saudara sepupu dari paman yang punya keponakan/saudara anak menantu/kerabat/kenalan mengajak bertemu dengan alasan silaturahmi. Sebel? Tidak sama sekali. Ini lebih seru daripada kunjungan sanak keluarga ke kerabat yang lebih tua setiap hari raya. Acara itu isinya cuma beramah-tamah dengan kerabat seusia kakek/nenek sambil menghitung berapa tahun baru lain yang masih tersisa buat mereka. Kalau acara yang baru ini isinya mengunjungi kenalan dari saudara saya yang biasanya masih muda, ganteng, minimal punya pekerjaan tetap (atau katanya sih begitu) dan malu-malu kucing. Saya betul-betul memilih ini dibanding eye-gazing ataupun traffic-lights parties. Dan berakhir dengan bertukar email (berhubung saya tidak jodoh dengan HaPe, betapapun hebatnya mak comblang mengusahakan HP yang cocok dengan saya). Jadi tidak ada efek samping menunggu telepon berdering. Kalo cek email tiap dua menit? Tidak masalah, toh saya sekalian ngeblog.
Saya masih percaya bahwa pertemuan itu nasib. Kalau tidak bertemu berarti tidak berjodoh. Kalau dipertemukan mak comblang (atau pak comblang, Om comblang, dan paman adek mertua comblang, dalam kasus saya) artinya? Saya bilang sih nasib juga, karena toh ujung-ujungnya bertemu juga. Jadi saya setuju pada sistem percomblangan? Saya tidak bilang begitu. Saya cuma menikmati acara bertemu sanak saudara ini, karena dulu waktu kecil saya semangat dapet duit. Sekarang, sejak saya dianggap mampu bekerja, saya jadi tidak punya motivasi lain. Kalau ada acara comblang-mencomblang, saya pun jadi semangat (apalagi selalu diikuti acara makan bersama). Kalau sang kenalan sendiri? Saya kira mereka juga korban keluarga yang suka main mak comblang parties. Tapi mereka juga tidak keberatan makan-makan sambil dipromosikan. Kami cuma menikmati dilelang gratis. Bagaimana kalau kita harus memamerkan kelebihan? Saya selalu usul kita lomba mengeja saja. Bagaimana mengeja "kepiting lemburi masak saus asam manis" atau "burung dara bakar ala hongkong"? Buntut-buntutnya sih acara makan keluarga selalu tetap asyik, entah kami mengeja dengan benar atau tidak, entah kami jadi dipasangkan atau tidak.
Saya bilang sih, ini pengalaman yang menyenangkan. Silakan coba sendiri, kalau bisa tambahi dengan aktifitas yang kreatif. Misalnya mendaki gunung, jalan sehat, main karambol atau mancing bersama. Hitung-hitung menambah networking (bagaimana saya bisa kenal seorang yang kerja di tangsi minyak di kepulauan Maluku atau di bagian marketing di Gaborone atau insinyur dari Edmonton?). Saya suka bertemu orang, hal ini juga yang mendorong saya untuk bepergian. Ternyata sekarang, saya tidak perlu susah-susah mikul tas ransel, the world is just a makcomblang away!
1 comment:
lah jadi kuwi acara mak comblangE berhasil rak?
aku malah durung tau dimak comblangi..
nek misale calonE ganteng, sugih, rak pileren si rak popo yo
tapi kan biasane wong seng gelem dicomblangi kuwi mencurigakan..napo deen rak iso luru jodoh dewe..kuper opo piye hehe
Post a Comment