Halo temen-temen yang dengan kurang kerjaannya mau ngikutin cerita seram saya, terimakasih banyak ya. Sejujurnya saya lagi bosen berat dan kepengen cepet2 pergi bareng Kristina (tampaknya wish list saya mulai terpenuhi, dimulai dengan yang ini, amin ya robal alamin). Oya, terimakasih juga buat Lidya Manik yang mau saya paksa, seret, ancam dan palak untuk mbaca cerbung saya sampe saya bela-belain pinjemin laptop di kost2an=). Jadi inilah akhir cerita saya yang tidak jelas ujung pangkalnya dan jelas wagu. Karena kode etik blog ini: gak penting, gak jelas, gak nyambung. Yang tidak memenuhi syarat itu tidak dimuat di sini, biasanya sih dikirim ke surat kabar *jiah!*.
Cerita sebelumnya: Arum kembali ke dukuh Kerompeng. Mungkinkah dia berhasil menutup pintu ke dunia yang terlupakan itu? Mungkinkah hati keduanya yang sudah bertaut itu mampu menghadapi badai cobaan seberat ini? *Dengan gaya presenter infotainment yang huek cuih. Btw, ini saya nyontek postingannya Jessie^_^*
==========================================================================================
Matahari sudah condong ke barat ketika saya menapaki jalan berpasir itu sekali lagi. Jajaran tebu yang menjulang memagari saya di kanan-kiri; tak seorang pun nampak dan tak ada tanda-tanda kehidupan: burung berhenti berkicau, jengkerik tak mengerik, tonggeret tak kedengaran bunyinya. Hanya bunyi langkah saya di jalan setapak, ditingkahi suara daun tebu yang gemerisik ditiup angin. Saya merasakan panggilan yang kuat dari dukuh itu, seperti menarik saya mendekat. Bukan panggilan bergema seperti kalau kita berteriak ke dasar sumur yang kering, "Arum rum rum rum...". Itu mah adegan pilem horor kelas B (dibintangi Jupe). Ini panggilan yang hanya dirasakan dalam pikiran, seperti sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Seperti kalau kita melihat air yang mendidih sampai berbuih dan tumpah-tumpah, kita punya dorongan untuk mematikan apinya kan? Atau kalau kita sedang tidur dan weker berbunyi, kta ingin sekali mematikannya dan tidur lagi kan? *pengalaman pribadi* Yah, dorongan semacam itulah. Dorongan yang mengharuskan saya kembali ke Kerompeng.
Ketika saya tiba di pelataran rumah bidan Danuri, ia sudah berdiri di sana. Senyumnya merekah dan ucapannya tetap ramah, "Kami sudah menunggumu,"
Tangannya menunjukkan lebih banyak keropeng, wajah dan bibirnya juga. Ia berubah dalam semalam! Saya melihat lebih banyak orang datang. Semuanya memiliki keropeng yang makin lama makin bertambah jumlahnya. Saya dihinggapi perasaan panik dan takut, tapi anehnya saya bisa berpura-pura tetap tegar.
"Apakah ini purnama kedua belas? Apa yang harus dilakukan supaya pintu tertutup?" Tanya saya dengan gemetar, lebih dari sepuluh pasang mata yang haus dan dalam, menatap saya bagai domba di tengah kawanan serigala. Atau ayam di tengah kawanan musang. Atau bekicot di tengah kawanan ular. Atau gayus di tengah kawanan massa yang ngamuk karna pajaknya ditilep. Bidan Danuri maju, dengan gaya yang keibuan, ia merangkul pundak saya dan dengan bibirnya yang merah karena mengunyah sirih ia berkata,
"Jika ada seseorang yang memutuskan untuk tinggal bersama kami, pintu akan tertutup sampai dua belas purnama ke depan,"
Tiba-tiba seseorang menyeruak masuk.
"Tinggalkan Arum sendiri!" teriaknya. Arya maju ke dekat saya, menarik saya keluar. Saya melihat keropeng di tangannya juga, tapi ia tak tampak peduli. Ia memaksa saya keluar dari kerumunan orang menuju ke jalan yang mengarah keluar dusun. Semua orang menatap kami, tapi tak ada yang menghentikan. Hanya tatapan mereka menembus punggung saya, menyisakan perasaan menggigil yang menggeretakkan tulang. Separuh jalan saya melepaskan pegangan tangan Arya.
"Apa yang kau lakukan??!" suaranya meninggi, sebagian karena kemarahan, sebagian karena perasaan tak berdaya.
"Apakah benar apa yang dikatakan Bidan Danuri? Seseorang bisa masuk dan menutup pintu di belakangnya?"
"Arum, aku melakukan itu setahun yang lalu, supaya orang tidak datang ke sini. Tapi aku mohon, pergilah selama kau masih bisa. Tinggal di desa ini sangat menyakitkan. Kau akan merasakan penderitaan mereka sepanjang waktu, selamanya..." Saya tidak mendengarkan dia. Apa yang lebih menyakitkan daripada dilupakan? Seolah tak pernah ada? Saya rasa semua yang lain bisa saya tanggung.
"Biarkan saya masuk. Saya akan tinggal di desa ini supaya teman-teman saya tidak pernah datang."
"Arum, kau tidak tahu apa yang kau bicarakan," Saya melihat Arya menahan kepedihan di matanya, ia berpaling dari saya.
"Berbagilah dengan saya," saya maju mendekat, "Penderitaanmu, kesedihanmu, semuanya,"
"Apa?"
Saya memutar badannya sehingga ia nyaris tak berjarak dengan saya. Kami berhadap-hadapan, saya bisa merasakan terpaan napasnya di wajah saya. Saya berjinjit dan menyentuh bibirnya, lebih hati-hati daripada pembuat tembikar menghaluskan permukaan tempayannya. Saat itulah dia menatap saya. Pandangan yang dalam bagai sumur tak berdasar itu menarik jiwa saya, membawa saya pada ladang yang terbakar tahun 1966.
Api menjalar dengan cepat, seperti pasukan topi merah yang menyerbu dari segala arah. Udara sesak dan panas, menghirupnya saja bisa membuat napas kita terbakar. Erangan, tangisan, jeritan, ratapan dan lolongan terdengar dari segala sudut. Saya tak takut, karena saya nyata berada di sana. Saya hanya merasakan kepiluan menyayat-nyayat hati saya, bagai luka terbuka yang digarami. Ternak menyodok-nyodok dan berbunyi-bunyi nyaring, ingin melepaskan diri dari kandangnya. Bumbungan rumah dari rumbia berasap hitam, abunya mengangkasa ditiup angin. Seorang gadis menatap saya dengan wajah yang mengelupas. Seorang wanita menyeret dirinya di tanah, kakinya meleleh sampai ke tulang. "Air...Air..."teriaknya. Saya mencari air, tapi desa ini kering kerontang. Seolah seseorang telah mengosongkan semua bak airnya, semua sumur dan sumber mata airnya. Anak kecil dalam mimpi saya ada di situ. Tubuhnya sudah kehitaman, hanya menyisakan matanya yang putih menatap saya kosong. Seorang petani berlari sambil berteriak-teriak karena punggungnya terbakar, lari sambil menggendong cucunya yang masih bayi dalam selendang. Ia mendekat, "Tolong jaga cucu saya," lalu ia masuk ke kali dan tak berapa lama mayatnya mengapung sudah berbentuk arang. Saya mendekap bayi itu, berusaha mencari air dari kali. Tapi begitu selendang itu saya buka, sebentuk daging yang lengket terbakar menempel pada kainnya. Wajahnya sulit dikenali, hanya kulit yang melepuh dan sisa otot yang hangus dimakan api. Tanpa sadar, saya menjatuhkan gendongan saya. Tangan saya mengatupkan mulut, menghasilkan isakan tertahan. Si bayi hanyut bersama mayat arang kakeknya.
Perasaan kesepian, sedih dan putus asa merayapi saya, membuat saya merasa begitu lemah dan tanpa harapan. Lelaki, wanita, besar, kecil, tua dan muda tumbang di sekitar saya. Saya tak bisa bergerak, ataupun menolong mereka sementara anggota badan mereka berjatuhan bersama derak-derak api. Segera, saya dikelilingi jasad-jasad yang mati terbakar. Mata saya tak bisa ditutup, meskipun saya ingin. Tangis pun tak keluar. Semua perasaan terbendung di dada saya, seperti balon yang dijemur tapi tak bisa meletus. Tiba-tiba seseorang menarik saya keluar.
"Arum!" Arya mengguncang-guncang badan saya dengan keras. Saya baru saja mengalami trance. Saya bangun dan menangis sejadi-jadinya. Arya mengusap pundak saya,
"Selamat datang di Kerompeng," bisiknya.
Jadilah begitu, saya menjadi penghuni dukuh Kerompeng. Saat itu juga, setidaknya untuk dua belas purnama ke depan, dukuh Kerompeng menghilang dari peta. Jalan setapak tertutup rerimbunan dahan tebu. Papan penunjuk yang terkelupas menghilang. Tak ada yang bicara tentang kami, tak ada yang mengenali kami. Jika bulannya sudah dekat, kami akan merasakannya: udara menjadi pekat, ada petak ladang tebu yang tiba-tiba terbakar dan keropeng yang bertambah pada semua orang di dukuh. Saat itulah kami tahu pintu akan terbuka. Tapi untuk saat ini, saya lega melihat Kabul, Aris dan Darman telah bersiap pulang, seolah tak ada yang terjadi. Sungguh, dalam hati saya, saya berharap tak pernah melihat orang yang saya kenal lagi. Jangan pernah mendekati dukuh kami!
Dan saya akan tetap berada di sini. Jika ada yang melihat saya, orang akan mengira saya hanya penduduk desa biasa. Orang kadang bisa menemukan saya di mana saja: di balai desa, di jembatan, di sawah, di warung, di pinggir jalan, di kebun, di rumah penduduk, di angkutan umum, di pengkolan *emangnya banci* dan tak akan ada yang mengenali saya. Tapi jika mereka melihat ke dalam mata saya, mereka akan tahu.
TAMAT.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p
8 comments:
kalau ini bener comment ria :), akhirnya selesai juga cerbungnya, walau sampai akhir aku gak kerasa serem-serem amat sih tapi photo2 sudah pas bisa bantu gambarin suasana yang kamu bangun ...... good job girl .... :)
Makasih buat komennya Bon (iya kali ini bnran. Ha-ha). Wah seharusnya cerita yang baik itu tidak perlu foto, karena khayalan kita sendiri lebih menakutkan. Itulah sebabnya beberapa penikmat buku ngerasa 'filmnya tidak sebagus novelnya' karena film lebih membatasi imajinasi, sementara kata2 saja membuat kita lebih bebas membayangkan. Misalnya: apa yang menurut kita seram, apa yang mnrt kita indah (sesuai selera masing2). Makasih udah ngasih pendapat. Harusnya emang kamu gak takut Bon, kecuali tema cerita seremku tentang siren, perempuan2 tak nyata yang menyesatkan orang di laut. Atau tentang hantu kapal2 karam yang menghuni terumbu karang. Hahaha
bener sih pendapatmu "cerita yang baik itu tidak perlu foto, karena khayalan kita sendiri lebih menakutkan" berarti em..em ..aku kurang berkhayal ya atau ... :)
Btw soal hantu dilaut atau diair sudah sering ngalami tapi gak nakutin sih, dulu yang paling sering kelakuannya itu menutup valve tabung waktu kerja selam "zero visibility" di waduk Gajahmungkur ....
Finallement, tu n'es jamais cesser d'écrire, Salut !
Salam Kenal,...
Cerita seramnya lucu.. :)
walah....jadi cerita seremnya banyak yang bilang ga serem...tapi kowe jangan putus asa yo..lain kali bikin cerita komedi wae.
btw jadi arum karo arya menikah rak kuwi? walaupun terlupakan tapi nek bareng2 karo cowok ganteng ketoke rak gitu menderita.
Wah makasih banget semuanya, pas berusaha ngelawak biasanya malah nggak ada yang ngetawain. Aku sebenernya bermaksud bikin cerita komedi, tapi kalo aku juduli "cerita komedi" takutnya ada yang bilang "kok nggak lucu malah serem?" hahahaha. Intinya sih cerita ini bukan untuk nakut2in, karena aku sendiri cuman takut pada kemiskinan, bukan takut sama setan. Jadi tujuannya menghibur (semoga ada yang terhibur ya...). Aku cuman pingin bikin cerita genre misteri yang logis, maksudku ada hal-hal yang aneh ato mistis tapi ada alasan yang masuk akal dibaliknya. Contoh film misteri yang mnrtku OK banged bukan karena serem ada penampakan2 ato ngesot2 (dan secara otomatis digolongkan tidak serem) tapi idenya yang bagus adalah The Green Mile-nya Stephen King ama The Skeleton Key yang dibintangi Kate Hudson. Aku juga demen cerita yang akhirnya mengejutkan. Dulu aku selalu ngikutin serial remaja Amrik yang judulnya "Are you afraid in the dark?"yang ceritanya adalah segerombolan remaja yang membentuk klub cerita dan untuk bergabung di grup ini mereka harus nyeritain 1 cerita seram dan nanti tergantung apakah mau diapprove keanggotaan mereka atau enggak. Jarang di cerita seram ini ada etan yang menampakkan diri, tapi saya suka karna alurnya logis. Contoh: ada mobil hantu yang menampakkan diri tiap hari valentin. Nah di cerita ini si remaja yang adalah murid baru di desa itu ditantang untuk membuktikan dia berani liat mobil hantu itu (dia anak baru yang dibully). Yang mau berteman sama dia cuma cewek lokal pendiam yang manis. Si remaja ini diam2 naksir sama dia. Berdua mereka mencari2 berita di koran lama, tyt dilaporkan bhw sedianya mobil ini berisi calon mempelai pria tapi dia kecelakaan sebelum menjemput pengantin wanitanya. Malam valentin itu, karena dipaksa, si remaja tinggal di tempat dimana katanya ada penampakan mobil hantu. Karna dia takut, dia minta si cewek menemani. Sampai lewat tengah malam, tidak ada apa2 sehingga dia nyaris ketiduran. Lalu tiba2 dia bangun karena ada lampu terang. Mobil hantu itu datang. Dia bermaksud membangunkan cewek lokal ini, tapi tyt dia sudah pakai baju pengantin. Dia bilang, "terima kasih ya sudah menemani saya menunggu jemputan mempelai pria," lalu mobil dan semuanya menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Tidak seram kan? Tapi aku suka, dan aku bermaksud bikin yang segenre tapi yang latarnya Indonesia.Ya mungkin masih jauh dari harapan, tapi kata Kristina, jangan menyerah. Kan masih ada sumur di ladang *joko sembung nyemplung sumur*
Bener banget, The Green Mile sama The Skeleton Key jalan ceritanya nggak ketebak, sampe akhir baru ketahuan. Kalo boleh nambahin, The Other (Nicole Kidman) sama Primal Fear (Edward Norton, Richard Gere) juga nggak ketebak. Jadi kaget, get!!!
Semangat ya Ria, buat nulis cerita seram lagi ^^
Cerita seramnya ... kurang panjangnya nih ... coba klo dikembangkan lagi tapi jangan kayak sinetron.
Tapi emang ceritanya keren.
Post a Comment