Friday, April 2, 2010
Cerita seram (bagian 1)
Seperti yang sudah saya janjikan sebelumnya, mulai edisi kali ini saya akan nulis cerita seram bersambung. Entah mau saya bagi dalam berapa episode, tergantung nanti ngelanturnya sejauh apa, hehe. Oya, cerserbung (cerita serem menabung eh gak nyambung) ini belum saya kasih judul. Jadi saya minta saran temen2 mo dijudulin apa. Kalo mau saya judulin "Misteri Dukun beranak" atau "Nyi Roro Kidul" atau "Kuntilanak Malem Jumat Kliwon" nanti dikira njiplak film horornya Suzanna. Kalo mau dijuduli "Tapak Sakti dan Pecut Dewa Tangan empat" atau"Heaven Swords and Dragon Sabre" nanti malah jadi cerita silat. Saya nggak ada ide. Atau mau dijudulin "Ketika setan harus memilih"? Nanti malah ditanyain ketik apa buat dapet ringtonenya. Sebelum ngelantur ini jadi satu episode sendiri, saya mulai aja ya ceritanya.
=====================================================================================
Seperti cerita seram pada umumnya, cerita ini dimulai dalam suasana yang mencekam. Petir menyambar. Guntur menggelegar. Hujan turun deras dengan angin yang bertiup kencang, menyebabkan pandangan di luar mengabur seperti mobil yang kaca depannya tidak pernah di lap selama setahun, diparkir di depan kantornya Kristina yang penuh polusi sampe bikin orang sakit bengek, tambah lagi diberaki burung kuntul (yang lagi mencret). Nah, lengkap sudah gambaran kekaburan cuaca malam itu. Nama saya Arum. Saya berjalan menembus hujan yang bikin saya tidak bisa bedakan apakah di depan saya itu orang, pohon, tembok, jalan, sawah, kubangan, gardu poskampling ato setan karena listrik tampaknya belom masuk di desa Kemusu, Kecamatan Sikebo, Kabupaten Surodadi Jawa Tengah. Saya berangkat bersama rombongan mahasiswa seangkatan dalam rangka KKN. Bukan yang korupsi dan teman2nya itu. Yang satunya lagi tapi saya lupa singkatannya apa. Kebanyakan mahasiswa ditinggal untuk berangkat belakangan. Kami hanya berempat, segelintir manusia yang ditugasi di salah satu wilayah desa terpencil. Cuma orang-orang seperti kami, yang hobi naik jeep atau motor menembus jalan tidak beraspal, yang berangkat duluan. Saya satu-satunya perempuan. Kami dibilang "tim survey" alias orang-orang yang dimajuin duluan untuk melihat apakah keadaan aman. Kalo di medan perang, kami ini kopral. Tapi kami sama sekali tak keberatan. Kami mengantongi "dana survey" dengan sukarela. Apalagi, berkeliaran di tempat-tempat liar adalah pemicu adrenalin yang selalu dicari. Kaki saya terus melangkah untuk menahan udara yang dingin menggigil.
Tiba-tiba saja jalanan yang saya injak melesak ke bawah. "Tolong!" jerit saya tertahan. Lalu di depan saya muncul bayangan gelap memanjang.
"Ha ha ha ha!" tawanya menggelegar. Dalam kegelapan di tempat asing, apalagi kalo temanya cerita seram, saya selalu berpikiran tentang setan, lelembut, pocong, tuyul, memedi, kampret, betmen dan sebagainya. Tapi saya masih punya otak. Kenapa demit ini napasnya bau duren? Saya merogoh senter korek di celana yang sudah kuyup. Saya sudah hemat-hemat senter ini untuk sepuluh hari ke depan! Tapi sekarang saya sorotkan ke mukanya. Saya terkesiap! Mukanya memang lebih seram dari setan: kerut merut di muka, gigi yang tanggal dan gusi yang hitam, rambut yang putih dan acak-acakan. Tapi dia tertawa layaknya manusia, dan menghisap rokok lintingan. Setahu saya, setan tidak ngerokok, kecuali jika asap kemenyan dianggap rokoknya setan.
"Saya pak carik (Sekretaris desa)" ujarnya sambil menjulurkan tangan, entah bermaksud menolong atau memperkenalkan diri, tapi saya sambut saja demi kesopanan. "Mbak Arum dicari teman-teman di balai desa. Mari ikut. Di sini lagi musim duren,di sana juga ada teh dan ubi bakar," Saya mengikutinya dari belakang. "Dan omong-omong, nanti di kali cuci kaki dulu ya Mbak sebelum masuk balai desa, soalnya Mbak nginjek tahi kebo" Saya mengumpat-umpat dalam hati (meskipun bersyukur juga karena mau pesta duren.)
Kami duduk berempat, menikmati ubi bakar, duren pongge dan teh manis. Kabul, seorang mahasiswa pencinta alam, dengan fasih membikin api unggun (bikin apinya pake sisa-sisa kertas pilihan lurah sepuluh tahun yang lalu yang sudah dikencingi tikus). Kami duduk melingkar di gubuk depan balai desa. Ini suasana yang manis. Mirip iklan coklat silver queen (santai belum santai... lalala *lagu latar*). Andai saja ada yang bawa mini kompo bake baterai dan muter lagu Kucing Garong. Mungkin Kabul bakal berjoget asereje mengelilingi api seperti suku Indian.
Kami berbagi desa yang akan disurvey. Berkat jumlah kami yang lebih sedikit dari jumlah ikan paus yang berhasil diselamatkan waktu karam di sungai Thames, kami harus berpencar. Satu dukuh satu orang. Pak carik menunjukkan peta dukuh-dukuh pada kami: Klungsu, Gepor, Rowosari dan Kerompeng. Yang terakhir menarik perhatian saya, karena ada jalur jalan yang mulus ke tempat itu tapi entah kenapa dukuh itu justru paling terpencil. Terletak di delta sungai Petung, daerah dukuh Kerompeng ini sangat subur. Di sekitarnya ada berhektar-hektar kebun tebu. Pasti jalan itu adalah jalur truk pengangkut tebu. Waktu kecil, saya suka mencuri tebu dari truk. Tebu ini rasanya lebih manis daripada tukang jualan es tebu kaki lima di pinggir jalan. Anehnya lagi, tidak bikin mencret. Tukang tebu kaki lima bikin saya diare 3 hari, kata nyokap sih akibat airnya pake air bekas cuci piring. Kan sama tuh warnanya, kekuning-kuningan. Eniwei, saya langsung mendaftarkan diri untuk menyurvey desa Kerompeng. Ketiga teman saya; Kabul, Aris dan Darman, setuju dan langsung merencanakan keberangkatan masing-masing personil keesokan harinya. Kami melanjutkan berpesta duren sambil membikin kopi tubruk.
Entah perasaan saya saja yang terbawa suasana atau memang benar, saya melihat raut wajah Pak Carik berubah. Ada perasaan mendung yang menggelayuti wajahnya sekilas. Dia juga tidak lagi semangat melanjutkan pembicaraan malam itu, padahal sebelumnya dia cerita ngalor-ngidul mulai dari keluarganya sampe tetangga adik ipar misan kakeknya.
Saya berbisik pada Darman, "Kayaknya ada yang mistis di desa ini Man,"
Darman menguap panjang. Asli orang Boyolali dan hobi arung jeram, cerita seram selalu bikin Darman ngantuk lebih dari kuliahnya Profesor yang sudah 8 tahun pensiun tapi masih diperbantukan mengajar karena nggak ada yang lain. "Desa begini mah selalu aja ada ceritanya. Mulai dari Watu keramat tempat orang nginepin sesajen biar cepat kaya sampe kebo jadi-jadian yang ninggalin tahinya buat menyambut tamu selamat datang,"
"Bukan itu maksudku Dar," saya meninjunya." Mungkin saja cerita itu ada benarnya. Kaya cerita Poltergeist itu terjadi sungguhan lho di pedalaman Amerika," sambung saya yang kebanyakan nonton DVD bajakan.
"Sekarang bukan jamannya setan bule Rum," Aris menimpali. "Jaman dulu itu jamannya Nyi Roro Kidul, Kuntilanak, Si Manis jembatan Ancol, tahun 90an," terangnya, "Sekarang jamannya suster ngesot, suster keramas, hantu terowongan Casablanca, hantu jeruk purut, hantu anak SMA sampai kain kafan perawan," kali ini Aris tertawa berderai-derai. Saya tidak ikut tertawa. Saya merasa diawasi. Memang gelap, api dari unggun tidak sampai jauh menyinari seratus meter dari situ. Tapi dari balik kegelapan, saya betul-betul merasakan sepasang, atau lebih, mata mengawasi kami. Pak Carik sudah lama pergi. Kami sudah menggelar tikar dan sleeping bed dalam balai desa yang kering.
"Apa itu Dar?" Saya menunjuk kotoran hitam yang menimbun di atas peta dukuh-dukuh. Darman mengamati lalu menyeka jatuh debu itu ke tanah.
"Abu." katanya pendek. "Paling dari api unggun atau rokok pak Carik,"
Saya diam saja. Abu itu terlalu banyak dan tadinya tidak ada di sana, tapi saya terlalu ngantuk untuk berpikir dan teman-teman saya sudah mulai berbenah tidur.
BERSAMBUNG...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p
2 comments:
hahahaha..iki sebenere cerita seram opo lawak si? kok iso rak medeni babar blas..takenteni lanjutane...kuwi jareku mesti desane kuwi sebenere rak ono yo. kuwi desa setan..wong2E setan kabeh..abu kuwi abune pak carik..iyo kan? mengko tamatE kuwi arum dkk rak iso metu dhek deso kuwi..selamane neng kono ..sampe tuo...rak mati2 juga...ngonconi pak carik
Nice guess *sambil siap2 ngganti akhir cerita hahaha*
Post a Comment