Friday, April 30, 2010
Ramah atau Sekedar eSKaeSDe sih??
Gambar dari web.
Sebetulnya ingin nulis tentang perjalanan saya dan Kristina tapi apa lacur yang kepikiran justru topik ini.
Pernahkah disapa orang tak dikenal dan diajak bicara di jalan? Bukan, saya tidak sedang membahas soal copet atau orang yang dihipnotis terus dicuri blekberinya berikut kartu ATM dan PIN. Ini cuma pembicaraan remeh-temeh dengan orang di ruang tunggu, di stasiun, di bis, di kereta api atau angkot. Mulanya saya selalu menanggapi pembicaraan ini, terutama kalau yang dibicarakan adalah: jam berapa kereta/bis bakal nyampe di tujuan, kalo mau ke tempat anu brentinya dimana, jam berapa, tanggal berapa, hari apa (kok kaya pertanyaan orang yang baru kebangun dari koma), atau dimana letak jalur ke anu atau gate tertentu atau dimana mesin ATM atau toilet. Sungguh, saya dengan senang hati memberi tahu, bahkan sambil tersenyum meskipun saya bukan costumer service atau pegawai pizza hut ataupun mbak-mbaknya yang jaga Giordano. Tapi ada kalanya, orang bertanya dan ngajak bicara untuk hal-hal yang sama sekali nggak penting dan justru malah mengganggu orang lain. Kalo menurut istilahnya Kristina sih overfamiliar dan nosy. Kalo menurut bahasa gaul istilahnya eSKaeSDe (sok kenal, sok dekat-sok akrab, sotoy dan mau tau aja urusan orang). Kok jadi panjang ya istilahnya. Tapi tahu persis maksud saya kan?
Contohnya pas saya dan Kristina ada di ruang tunggu bandara. Saya lagi mengomel-ngomel sendiri karena sabun cair dan shampo saya harus dilempar ke tong sampah berkat kemasannya yang lebih dari 100 ml. Apa sih bahayanya sabun aroma jeruk satsuma dan Rejoice rich sebanyak 250 ml? Kalo saya bisa bikin peledak pake sabun dan shampo saya sudah kerja di pentagon sekarang, bukannya jadi kuli di kariadi. Tiba-tiba ada bapak-bapak di samping saya yang menimpali, "Saya juga kok Mbak. Alat buat menggunting bulu idung saya disita padahal itu sudah saya pakai bertaun-taun dan saya cinta banget sama barang itu. Mana mungkin gunting sekecil itu dianggap senjata berbahaya?" Bapaknya bicara dengan penuh simpati, sambil memperlihatkan keprihatinannya akan bulu idung yang bakal tak terawat lagi sejak insiden di bandara itu. Saya pun merasa mendapat teman senasib sepenanggungan meskipun saya tidak terlalu kuatir terhadap bulu hidung saya. Jadilah kami mengobrol sedikit, dan tahu-tahu ada mas-mas garing (MMG) yang duduk persis di samping Bapak tadi ikut menimbrung tapi pembicaraannya enggak banget. Coba saja lihat pembicaraan kami:
Bapak-bapak bulu idung (B3I) : Kayanya bandara di sini lebih ketat daripada Indonesia...
Kristina(K) : Iya, kalau di Indonesia gunting bulu idung nggak mungkin disita karena nggak bisa dipakai lagi sama petugasnya. Kalo sampo sama sabun masih mungkin sih. Atau gunting yang besar juga mungkin. Misalnya gunting tanaman atau gunting pita buat peresmian...(si Kristina terkenal jago ngomong yang nggak ada hubungannya tapi terkesan logis. Bakat bawaaan orok)
MMG : Lho Mbaknya kenapa pakai sari? (nimbrungnya gak nyambung dan ngomentarin penampilan orang lagi)
K : Kita baru ikutan lomba Miss India...(sok happening gitu deh)
B3I : Masa sih? Beneran ya lagi ada lomba begituan? (naif)
Saya (R) : Nggak kok. Ya cuman pengen aja sih Pak, biar wagu gitu...*merasa kita terlalu keren kalo nggak norak, khekhe. Narsis dot ko dot aidi*
MMG : Kok sarinya merah sih? Bagusan putih semua...Trus kenapa pakai sari? Suka ya ama baju India? Merahnya terang banget jadi silau gitu....dan nggak kompak, kalo mau kembaran...
*Saya mulai males nanggepin. Pertama, ini bukan urusan dia sama sekali. Kalaupun merasa penampilan kami nyeleneh atau aneh (baca:unik. Harus dibaca unik!) cukup bilang aja, "baju kalian beda ya?" atau muji sekalian "bajunya bagus,". Kalau MMG punya IQ yang sedikit lebih tinggi dari pohon ketela rambat, dia bakal tahu kalo bicara dengan pujian adalah cara terbaik untuk memulai pembicaraan dengan wanita, bukannya jadi kritikus busana tapi dengan komentar ala komentator Persipura. Kedua, dia membuat saran dan menilai habis-habisan, padahal nggak ada yang minta pendapat. Kami bahkan tidak saling kenal!*
K : Ya memang sengaja merah-putih, biar terkesan Indonesia gitu...
B3I : (mangut2 meskipun nggak mudeng)
MMG : Harganya berapa? (ke saya, Kristina lagi cari toilet soalnya)
*Saya nyaris nggak percaya sama apa yang saya dengar. Kalau dia tidak tertarik sama sari, kenapa pakai nanya harganya? Saya mulai pura-pura nggak dengar. Cukup sudah pembicaraan yang sangat SKSD ini, saya pura-pura sibuk mbetulin tali sepatu yang gak ada talinya*
MMG celingukan karena tidak mendapat respon. Tiba-tiba dia lihat barang belanjaan saya yang saya beli dari off duty. Cuman satu saja lho padahal barangnya.
MMG : Itu merk apa ya? Harganya berapa?
Saya masih pura-pura sibuk. Tapi demi dewa monyet Sun Go Kong, MMG tanpa basi-basi mencolek lengan saya. Lebih dari sekali karena saya masih berusaha mengabaikan dia.
MMG : Mbak mbak, itu beli harganya berapa?
Saya pun, berkat didikan harus sopan pada orang lain meskipun orang lain tidak sopan, menjawab dengan nggak rela dan kesal, tapi untunglah, pesawat kita boarding.
Ini bukan kejadian pertama kali. Seringkali saya diajak ngobrol di kereta/bis/pesawat, pertanyaannya kadang menjurus ke enggak banget. Biasanya ditanya, "Sendirian aja Mbak?" lalu disambung, "Sudah menikah?" atau "Kerja dimana?/kerja apa?". Yang menyedihkan, sambungannya selalu saran yang tidak diminta, kritik yang tidak diharapkan atau yang paling parah flirting yang nyaris seperti pelecehan. Kadang saya bohong habis-habisan untuk melindungi diri sendiri atau untuk menghindari orang yang kegatelan, tapi kebohongan saya selalu diperparah dngan pertanyaan yang lebih kacau lagi. Misalnya pembicaraan itu disambung dengan:
"Suami/pacarnya kemana?"
"Suaminya orang mana? Anaknya berapa?"
"Aslinya orang mana? Kerja dimana? Mau kemana? Ngapain di sana? Gaji per bulan kalau di situ berapa? Ada lowongan gak?" (Saya nggak mengada-ada. Saya betul2 pernah ditanya ini semua sama orang asing di transportasi umum)
"Oh, kalo gatel-gatel panuan obatnya apa? Encok? Kadas? Kurap? Mata ikan? Cantengan?"
"Lho kenapa nggak praktek?"
"Nomer HaPe Mbaknya berapa?"
"Tinggal di daerah mana? Alamatnya apa?"
"Bapak ibu kerja apa?"
"Umurnya berapa?" (Kenapa gak skalian nanya," Sudah punya NPWP belom? Nomernya berapa?")
"Sudah pernah ke sini belum? Nanti tinggal dimana? Berapa hari? Ada yang jemput?"
Mungkin saya yang paranoid, tapi menurut saya orang-orang ini bukan lagi ramah melainkan mengganggu urusan orang lain. Pertanyaan yang ramah intinya adalah untuk membantu, baik orang yang bertanya maupun yang ditanyai, bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu belaka, apalagi untuk mengukur orang lain: apakah orang ini kaya/tidak, potensial/tidak, orang yang punya kedudukan/tidak. Sebenarnya saya juga bingung apa fungsinya bertanya yang mendetil tentang orang asing yang baru saja kita kenal. Cari koneksi? Iseng? Memuaskan hasrat menggodai perempuan yang pergi sendirian?
Saya sebetulnya suka berkenalan. Percaya atau tidak saya sudah berkali-kali diselamatkan orang di bandara/stasiun/terminal. Saya punya teman seperjalanan selama seminggu cuma hasil mengobrol beberapa menit di antrean pintu toilet wanita. Saya punya tempat nebeng di antah berantah cuma karena saya mengomentari cuaca dengan orang yang duduk di samping kursi pesawat saya. Saya diajak makan dan diantar ke terminal bis karena saya membantu angkatin barang ibuk-ibuk di stasiun kereta. Mungkin memang benar, di dunia ini selalu ada yin dan yang. Ada orang yang baik, ada orang yang SKSD doang. Tapi demi keamanan, saya sekarang jarang sekali berbasa-basi kecuali saya tahu orang tersebut butuh bantuan. Sisanya? Duduk terpisah, pasang iPod dan baca buku yang selebar wajah atau isi Sudoku. Mungkin, kalau peristiwa beginian masih berlanjut, saya akan pertimbangkan ulang keputusan saya yang anti HaPe-HaPean selama 24 jam. Mungkin pura-pura sibuk menelpon adalah cara terbaik menghindari orang usil di jalanan!
Tuesday, April 20, 2010
10 Kebiasaan Wanita Yang Tidak Efektif
- Berpikir kalau menikah berarti secara finansial sudah ditanggung suami. Akibatnya cewek jadi matre dengan alasan 'mencari cowok mapan'.
- Suka minta ditemani pipis. Kalo minta ditemani minum teh, makan atau belanja itu wajar, karena si teman ikut dilibatkan. Lha kalo ke WC? Minta dicebokin?
- Tidak berani buat keputusan sendiri untuk masalah sendiri. Bahkan ketika orang lain yang dimintai pendapat tidak ada. Kesannya sebagai perempuan itu nggak bisa jadi decision maker tapi cuman 'suwargo nunut, neroko katut' (surga menumpang, neraka ikut doang).
- Suka berpikir, "Kita lebih lemah dari pria," Memang sih, menurut teori evolusi Darwin (ngasal, untung gak bilang gravitasi Newton atau hukum Archimedes) wanita itu massa otot dan kekuatan badannya kurang dari pria. Tapi masa iya itu alasan untuk selalu minta tolong parkirin atau kluarin motor, bawain belanjaan, angkatin galon aqua atau angkutin barang atau bagasi? Ada banyak hal yang bisa dilakukan wanita sendiri, terutama menyangkut tetek bengek kita sendiri. Sejauh kita masih kuat, jangan meminta perlakuan istimewa hanya karena kita wanita, karena setiap perkecualian ada timbal baliknya. Wanita cukup kuat kok untuk mengurus dirinya sendiri (dan seringkali orang lain). Women art what women thinketh.
- Suka berpikir, "Itu kan bukan urusan wanita," begitu menjumpai pekerjaan yang lebih banyak dikerjakan pria. Setahu saya; palu, obeng, cangkul, ataupun mesin potong rumput tidak ada tititnya. Dan saya yakin buku manualnya nggak bilang: hanya pria yang boleh menggunakan alat-alat ini. Kan lumayan nggak usah tergantung ama tukang ledeng, tukang betulin genteng, atau tukang kebun. Kemampuan itu kekuatan. Kemandirian itu kebebasan. Lagian ngirit gitu =)
- Berpikir bahwa sebagai cewek yang modern atau maju artinya wajar kalau tidak jago di dapur. Saya bilang, setidaknya, bisa membuat makanan kita sendiri membuat kita tidak kalah maju daripada wanita gua di jaman batu. Tidak perlu haute cuisine, yang penting kluarga kita tidak akan kelaparan kalo warung tegal tutup semua.
- Berpikir bahwa wanita berusaha menjadi cantik demi mendapatkan pria. Ini bikin cewek jadi disetir oleh stereotipe yang lagi in. Tidak punya kepribadian, selalu berusaha mengubah diri sendiri demi menyenangkan orang lain. Ada beberapa majalah wanita yang fokusnya cuma 'bagaimana menjadi menarik di mata pria' seolah-olah memang wanita diciptakan hanya sebagai 'perhiasan sangkar madu'. Kalo hemat saya (kadang boros sih), wanita berhak merasa cantik untuk dirinya sendiri, bukan karena pendapat orang lain dan bukan untuk memenuhi kriteria orang lain. Dengan merasa puas dan bahagia terhadap diri sendiri, wanita bisa berhenti khawatir dan melakukan hal-hal lain yang lebih produktif (baca: berguna).
- Merasa menjadi korban. Setiap orang punya pilihan, tak terkecuali wanita. Bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, pemerasan, pemerkosaan, atau pelecehan, segeralah menghindar dan selamatkan diri. Hubungi aparat, mencari perlindungan, jangan tinggalkan jejak dan mulai hidup baru. Lebih baik pergi sendiri daripada tinggal sebagai korban. Saya tahu ini bukan perkara mudah, tapi saya sungguh menyesali perempuan-perempuan yang diam, menangisi diri atau menyalahkan pria yang menyengsarakan hidupnya (memang ada yang bersalah, tapi kita bisa melakukan sesuatu). Berani ambil tindakan sebelum terlambat. Lebih parah lagi wanita yang terpaksa menikah hanya karena kecelakaan. Lalu istilahnya pria 'bertanggung jawab'. Saya rasa hubungan seksual yang bukan perkosaan melibatkan keputusan dua belah pihak, jadi wanita harus berpikir masak-masak sebelum memutuskan, sebab dia punya pilihan, bukannya menyalahkan pria kalau terjadi apa-apa di belakang.
- Percaya bahwa wanita punya tanggal kedaluwarsa menikah, karena itu harus buru-buru. Ada lelucon tentang wanita umur 20an bilangnya. "Siapa kamu?" pertengahan 20an, "Kamu siapa ya?" dan akhir 20an, "Siapa aja deh," Lelucon ini gambaran sikap mental yang merugikan wanita. Seolah produk yang sekali jadi, kaya wedang yang harus diminum sebelum dingin. Berdasarkan survey yang entah bisa dipercaya atau tidak, pernikahan usia muda di negara barat, 85%nya berakhir dengan perceraian. Karena usia muda (disebutkan 20-28 tahun!) gejolak pribadi belum cukup mantap untuk membikin komitmen seumur hidup. Di negara Kartini ini, memang sih jarang kedengaran tentang kawin cerai kecuali artis, tapi banyak banget cerita tentang selingkuhan dan puber kedua. Tidak cukup bersenang-senang di masa muda? *NB. Tidak bilang kalau nikah muda itu salah, yang salah, maksa nikah meskipun belum siap dan cari pasangan dengan desperate karena merasa sudah uzur eh sudah ada umur*
- Berpikir bahwa dengan menjadi wanita yang punya pendapat sendiri secara otomatis jadi wanita feminist radikalis. Jelas beda. Yang pertama mengganggap wanita setara dengan pria, sederajat hak dan kewajibannya sekaligus mitra pria. Yang kedua menganggap wanita lebih tinggi dari pria, tidak mau bekerja sama dengan pria, ingin dihargai dan menunjukkan kekuatannya, bersikap superior. Kalau saya menulis tentang wanita yang mandiri dianggap feminis, sama seperti menganggap orang yang bernama Abdullah pasti teroris.
Thursday, April 15, 2010
Tragedi Ultah
Hal-hal personal di forum publik. Menurutmu?
Dengan maraknya facebook, myspace, twitter, blog dan sarana social network lainnya kehidupan kita jadi dengan gampang bisa diintip orang lain. Tak apa, berbagi itu asyik. (kadang emang maksudnya malah biar ada yang liat). Apalagi kita juga mahluk sosial kan? Kita butuh perhatian dan tanggapan orang lain (e.g. saya sering malak orang biar baca blog, baru mikir2 apa kasih tugas mahasiswa ngeringkas isi blog saya, tapi takut dilaporin KPK=p. Internet marketing? Nggak nyampe otaknya. Hanya haus perhatian dan tanggapan orang saja!). Tapi- entah ini cuman saya saja yang aneh atau apa- kok saya heran ya begitu ada orang yang mengumbar terang-terangan urusan pribadinya di forum publik. Maksud saya, kalo saya sih tidak kepingin orang yang gak berkepentingan tahu masalah pribadi saya. Makanya kalo lagi down atau sedih, saya menghindari diri saya untuk menulis di tempat umum (misalnya jadi absen ngupdate blog, status, twitter dan sebagainya) lalu sebagai gantinya menulis di buku jurnal saya yang dari kertas asli dan orang yang berbudaya nggak akan berani membukanya.
Memang, ada perbedaan pendapat masing-masing orang tentang apa yang dimaksud "masalah pribadi" atau "hal-hal personal" sehingga ada kemungkinan apa yang gak bakal dibeberkan orang malah saya bicarakan (karena menurut saya OK2 aja) dan sebaliknya. Kalau menurut saya, yang tabu dibicarakan di forum publik adalah sesuatu yang besar pengaruh emosionalnya buat saya, yang memperlihatkan kelemahan saya, hal-hal yang saya imani/keyakinan saya dengan Tuhan atau tentang hubungan pribadi saya dengan orang lain. Bagi beberapa orang rupanya justru adalah tabu untuk bicara tentang upil (dan ipil), tentang nyabutin bulu kaki, tentang hal-hal yang bodoh dan konyol atau yang kesannya gak terhormat. Saya pernah dianggap norak karena saya bilang bahwa saya pergi berenang, tapi lupa bawa celana dalam ganti, lalu celana yang basah mau saya hairdryer biar bisa dipakai lagi. Atau karena saya bilang bahwa pete goreng di restoran Lembur Kuring enak banget, saya bisa ngabisin satu keris sendiri. Atau bahwa saya hobi berat ngupil sambil nonton you tube. Tapi menurut saya (OK, ini pendapat saya sendiri, seringnya nggak bener, ha-ha) hal-hal semacam itu justru tidak mengumbar privasi seperti status di bawah ini:
"I love you *nyebutin nama pacarnya*"
"Terserah mau dibilang apa. Aku yakin Tuhan akan membalasmu *nyebutin nama mantan pacarnya*
"miss you *nama orang* kok aku kangen berat sama orang ini, Mas cepatlah pulang"
"Malam minggu sendiri, terasa sepi..."
"Teganya kau berbicara seperti itu!" lalu diikuti ayat2 alkitab.
"Mungkin suatu saat Tuhan akan mengabulkan permintaanku, bahwa...*diikuti masalah yang sangat pribadi* misalnya akan bertemu jodoh, bisa melupakan seseorang, bisa hamil dalam waktu dekat, akan diterima kerja di tempat tertentu atau dibayar gajinya yang sudah nunggak lima bulan.
Dan, ada lagi seorang kenalan saya yang lagi patah hati, bikin beberapa puisi yang full ratapan pilu, "Mengapa engkau meninggalkan daku? Aku merana tanpa dirimu bla2" dalam bahasa Inggris di notes di facebook. Peringatan: menulis dalam bahasa lain tidak membuat inti pembicaraan kita berubah. Kalo gayus tambunan ya tetap aja garing dan memalukan. Dengan bilang "it's cheezy and pathetic" tidak membuat komentar negatif jadi sedikit lebih positif dari arti sebenarnya kan?
Memang, sama sekali nggak ada salahnya nulis status atau blog atau note yang bersifat agak terlalu pribadi. Orang itu hak si penulis kok. Yang dirugikan juga kan orang yang mengumbar, bukan pendengarnya eh pembacanya. Yang saya ingin kemukakan adalah, hati-hati dengan mengumbar karena publik kadang bisa jadi hakim yang kejam. Kata-kata yang terlalu berpengaruh pada kehidupan pribadi kita bisa jadi bumerang (ini tidak berarti bahwa saya selalu sukses untuk melindungi privasi saya sendiri). Di tiap orang, ada dorongan untuk berbagi. Ada dorongan untuk curhat dan didengarkan. Di forum publik, ini menyenangkan karena kita tahu akan ada banyak penonton yang mungkin menaruh perhatian dengan masalah pribadi kita. Tapi, teman yang sejati bukanlah penonton. Dan hanya teman sejati yang kita butuhkan untuk berbagi masalah pribadi kita: entah kita sedang jatuh cinta, patah hati, ditolak lamaran pekerjaannya, mempertanyakan keadilan Tuhan, marah pada seseorang atau sedang mengharapkan keajaiban terjadi dalam keluarga. Bedanya: mereka peduli pada kebaikan kita. Sementara penonton, seperti kata ibu saya, keplok ora tombok (bertepuk tangan tapi tidak bayar). Maksudnya mereka bisa senang kalo kita susah, susah kalo kita senang, dan mengambil keuntungan untuk kepentingan sendiri. Ok, itu spekulasi yang terlalu jauh. Gampangnya, kalo kita membual betapa kita rindu/cinta/memuja seseorang, lalu habis itu putus, lalu tiba2 pasangan jadian sama orang lain dan mereka menulis yang sama. Atau kita jadian sama orang lain dan menulis yang sama sekali lagi. Mungkin gapapa sih, tapi entah kenapa kalo menurut hemat saya hubungan yang diumbar di tempat umum sungguh tidak dewasa. Malah, mengutip kata teman saya, "sesuatu yang terlalu dilebih2kan (blow up) biasanya ada yang salah," Kalau menurut saya sih, yang namanya hubungan romantis dengan orang kan ya urusan kita dengan si dia, urusan pribadi berdua jadi ya nggak perlu lah minta second opinion dari orang lain dengan feedback di facebook. Ya nggak sih?
Di akhir tulisan yang nggak nyambung ini, saya masih bertanya-tanya: seberapa jauh sih masalah pribadi ada di forum publik? Kenapa ya saya merasa orang terlalu terbuka tentang kehidupan pribadinya? (mungkin tmsk saya sendiri)
Wednesday, April 14, 2010
Cerita Seram (...pangan. Daripada nggak ada kerjaan-Bagian 6/Tamat)
Cerita sebelumnya: Arum kembali ke dukuh Kerompeng. Mungkinkah dia berhasil menutup pintu ke dunia yang terlupakan itu? Mungkinkah hati keduanya yang sudah bertaut itu mampu menghadapi badai cobaan seberat ini? *Dengan gaya presenter infotainment yang huek cuih. Btw, ini saya nyontek postingannya Jessie^_^*
==========================================================================================
Matahari sudah condong ke barat ketika saya menapaki jalan berpasir itu sekali lagi. Jajaran tebu yang menjulang memagari saya di kanan-kiri; tak seorang pun nampak dan tak ada tanda-tanda kehidupan: burung berhenti berkicau, jengkerik tak mengerik, tonggeret tak kedengaran bunyinya. Hanya bunyi langkah saya di jalan setapak, ditingkahi suara daun tebu yang gemerisik ditiup angin. Saya merasakan panggilan yang kuat dari dukuh itu, seperti menarik saya mendekat. Bukan panggilan bergema seperti kalau kita berteriak ke dasar sumur yang kering, "Arum rum rum rum...". Itu mah adegan pilem horor kelas B (dibintangi Jupe). Ini panggilan yang hanya dirasakan dalam pikiran, seperti sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Seperti kalau kita melihat air yang mendidih sampai berbuih dan tumpah-tumpah, kita punya dorongan untuk mematikan apinya kan? Atau kalau kita sedang tidur dan weker berbunyi, kta ingin sekali mematikannya dan tidur lagi kan? *pengalaman pribadi* Yah, dorongan semacam itulah. Dorongan yang mengharuskan saya kembali ke Kerompeng.
Ketika saya tiba di pelataran rumah bidan Danuri, ia sudah berdiri di sana. Senyumnya merekah dan ucapannya tetap ramah, "Kami sudah menunggumu,"
Tangannya menunjukkan lebih banyak keropeng, wajah dan bibirnya juga. Ia berubah dalam semalam! Saya melihat lebih banyak orang datang. Semuanya memiliki keropeng yang makin lama makin bertambah jumlahnya. Saya dihinggapi perasaan panik dan takut, tapi anehnya saya bisa berpura-pura tetap tegar.
"Apakah ini purnama kedua belas? Apa yang harus dilakukan supaya pintu tertutup?" Tanya saya dengan gemetar, lebih dari sepuluh pasang mata yang haus dan dalam, menatap saya bagai domba di tengah kawanan serigala. Atau ayam di tengah kawanan musang. Atau bekicot di tengah kawanan ular. Atau gayus di tengah kawanan massa yang ngamuk karna pajaknya ditilep. Bidan Danuri maju, dengan gaya yang keibuan, ia merangkul pundak saya dan dengan bibirnya yang merah karena mengunyah sirih ia berkata,
"Jika ada seseorang yang memutuskan untuk tinggal bersama kami, pintu akan tertutup sampai dua belas purnama ke depan,"
Tiba-tiba seseorang menyeruak masuk.
"Tinggalkan Arum sendiri!" teriaknya. Arya maju ke dekat saya, menarik saya keluar. Saya melihat keropeng di tangannya juga, tapi ia tak tampak peduli. Ia memaksa saya keluar dari kerumunan orang menuju ke jalan yang mengarah keluar dusun. Semua orang menatap kami, tapi tak ada yang menghentikan. Hanya tatapan mereka menembus punggung saya, menyisakan perasaan menggigil yang menggeretakkan tulang. Separuh jalan saya melepaskan pegangan tangan Arya.
"Apa yang kau lakukan??!" suaranya meninggi, sebagian karena kemarahan, sebagian karena perasaan tak berdaya.
"Apakah benar apa yang dikatakan Bidan Danuri? Seseorang bisa masuk dan menutup pintu di belakangnya?"
"Arum, aku melakukan itu setahun yang lalu, supaya orang tidak datang ke sini. Tapi aku mohon, pergilah selama kau masih bisa. Tinggal di desa ini sangat menyakitkan. Kau akan merasakan penderitaan mereka sepanjang waktu, selamanya..." Saya tidak mendengarkan dia. Apa yang lebih menyakitkan daripada dilupakan? Seolah tak pernah ada? Saya rasa semua yang lain bisa saya tanggung.
"Biarkan saya masuk. Saya akan tinggal di desa ini supaya teman-teman saya tidak pernah datang."
"Arum, kau tidak tahu apa yang kau bicarakan," Saya melihat Arya menahan kepedihan di matanya, ia berpaling dari saya.
"Berbagilah dengan saya," saya maju mendekat, "Penderitaanmu, kesedihanmu, semuanya,"
"Apa?"
Saya memutar badannya sehingga ia nyaris tak berjarak dengan saya. Kami berhadap-hadapan, saya bisa merasakan terpaan napasnya di wajah saya. Saya berjinjit dan menyentuh bibirnya, lebih hati-hati daripada pembuat tembikar menghaluskan permukaan tempayannya. Saat itulah dia menatap saya. Pandangan yang dalam bagai sumur tak berdasar itu menarik jiwa saya, membawa saya pada ladang yang terbakar tahun 1966.
Api menjalar dengan cepat, seperti pasukan topi merah yang menyerbu dari segala arah. Udara sesak dan panas, menghirupnya saja bisa membuat napas kita terbakar. Erangan, tangisan, jeritan, ratapan dan lolongan terdengar dari segala sudut. Saya tak takut, karena saya nyata berada di sana. Saya hanya merasakan kepiluan menyayat-nyayat hati saya, bagai luka terbuka yang digarami. Ternak menyodok-nyodok dan berbunyi-bunyi nyaring, ingin melepaskan diri dari kandangnya. Bumbungan rumah dari rumbia berasap hitam, abunya mengangkasa ditiup angin. Seorang gadis menatap saya dengan wajah yang mengelupas. Seorang wanita menyeret dirinya di tanah, kakinya meleleh sampai ke tulang. "Air...Air..."teriaknya. Saya mencari air, tapi desa ini kering kerontang. Seolah seseorang telah mengosongkan semua bak airnya, semua sumur dan sumber mata airnya. Anak kecil dalam mimpi saya ada di situ. Tubuhnya sudah kehitaman, hanya menyisakan matanya yang putih menatap saya kosong. Seorang petani berlari sambil berteriak-teriak karena punggungnya terbakar, lari sambil menggendong cucunya yang masih bayi dalam selendang. Ia mendekat, "Tolong jaga cucu saya," lalu ia masuk ke kali dan tak berapa lama mayatnya mengapung sudah berbentuk arang. Saya mendekap bayi itu, berusaha mencari air dari kali. Tapi begitu selendang itu saya buka, sebentuk daging yang lengket terbakar menempel pada kainnya. Wajahnya sulit dikenali, hanya kulit yang melepuh dan sisa otot yang hangus dimakan api. Tanpa sadar, saya menjatuhkan gendongan saya. Tangan saya mengatupkan mulut, menghasilkan isakan tertahan. Si bayi hanyut bersama mayat arang kakeknya.
Perasaan kesepian, sedih dan putus asa merayapi saya, membuat saya merasa begitu lemah dan tanpa harapan. Lelaki, wanita, besar, kecil, tua dan muda tumbang di sekitar saya. Saya tak bisa bergerak, ataupun menolong mereka sementara anggota badan mereka berjatuhan bersama derak-derak api. Segera, saya dikelilingi jasad-jasad yang mati terbakar. Mata saya tak bisa ditutup, meskipun saya ingin. Tangis pun tak keluar. Semua perasaan terbendung di dada saya, seperti balon yang dijemur tapi tak bisa meletus. Tiba-tiba seseorang menarik saya keluar.
"Arum!" Arya mengguncang-guncang badan saya dengan keras. Saya baru saja mengalami trance. Saya bangun dan menangis sejadi-jadinya. Arya mengusap pundak saya,
"Selamat datang di Kerompeng," bisiknya.
Jadilah begitu, saya menjadi penghuni dukuh Kerompeng. Saat itu juga, setidaknya untuk dua belas purnama ke depan, dukuh Kerompeng menghilang dari peta. Jalan setapak tertutup rerimbunan dahan tebu. Papan penunjuk yang terkelupas menghilang. Tak ada yang bicara tentang kami, tak ada yang mengenali kami. Jika bulannya sudah dekat, kami akan merasakannya: udara menjadi pekat, ada petak ladang tebu yang tiba-tiba terbakar dan keropeng yang bertambah pada semua orang di dukuh. Saat itulah kami tahu pintu akan terbuka. Tapi untuk saat ini, saya lega melihat Kabul, Aris dan Darman telah bersiap pulang, seolah tak ada yang terjadi. Sungguh, dalam hati saya, saya berharap tak pernah melihat orang yang saya kenal lagi. Jangan pernah mendekati dukuh kami!
Dan saya akan tetap berada di sini. Jika ada yang melihat saya, orang akan mengira saya hanya penduduk desa biasa. Orang kadang bisa menemukan saya di mana saja: di balai desa, di jembatan, di sawah, di warung, di pinggir jalan, di kebun, di rumah penduduk, di angkutan umum, di pengkolan *emangnya banci* dan tak akan ada yang mengenali saya. Tapi jika mereka melihat ke dalam mata saya, mereka akan tahu.
TAMAT.
Monday, April 12, 2010
Cerita Seram (atau maksud hati sih begitu, nggak tahu ya kalo buntutnya malah lucu ato wagu-bagian 5)
Cerita sebelumnya: Pagi itu, Arum menjumpai terlalu banyak keganjilan. Sepertinya dia tidak pernah terbangun dari mimpi buruknya.
==========================================================================================
Saya terhipnotis oleh kedua mata itu. Perlahan-lahan saya berjalan ke sungai, merasakan airnya yang dingin menyentuh kulit saya yang panas. Satu langkah. Dan satu langkah lagi. Tatapan itu makin dalam ke mata saya, begitu juga badan saya yang terendam dalam air. Makin masuk, makin dalam. Namun saya dikejutkan oleh sesuatu yang menarik saya dengan kasar ke belakang. Tangan yang mencengkeram, menyeret dan membuyarkan seluruh pikiran. Saya meronta, tapi berhenti ketika saya menengok siapa yang menarik saya. Arya berdiri dengan terengah; baju dan wajahnya basah karena saya memberontak tadi. Justru dalam keadaan kotor dan berantakan, ia terlihat sangat menarik. Ada perasaan aman yang aneh menyelinap dalam hati saya.
"Apa yang kamu lakukan di tengah sungai??!" hardiknya dengan kemarahan tertahan.
"Ada seseorang..." saya menunjuk ke sungai, dan saya tidak melihat apa-apa. Airnya begitu tenang, riaknya saja hampir tak kelihatan. Saya melihat mata Arya menyiratkan kelelahan namun sesuatu yang juga mengundang. Sama seperti mata gadis di sungai tadi, atau apapun yang ada di sungai tadi. Dia memalingkan muka secepatnya.
"Pulanglah!" katanya sambil menghela napas. "Aku melihatmu sejak pertama kau datang. Aku berusaha menghalangimu. Roda pedati yang patah, pohon yang tumbang, tapi kau tetap keras kepala," desisnya. Ia seperti menanggung banyak hal. Ia seperti menyembunyikan kesedihan yang berat.
"Siapa kamu?" saya mulai curiga. "Kamu bukan bagian dari semua ini bukan?" saya berteriak. Tapi sebetulnya saya ingin dia menjelaskan semuanya dan bilang bahwa semua akan baik-baik saja.
"Tinggalkan desa ini, Arum, dan jangan pernah melihat mata mereka. Jangan menatap mataku. Atau kau akan tinggal bersama kami selamanya," Saya ternganga. Siapa Arya sebenarnya? Siapa orang-orang di desa? Oh oh siapa dia??? Jreng! *nyanyi lagu kuis siapa dia* Tapi saya punya terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan entah mengapa saya percaya bahwa Arya tidak berbohong. Jadi berbaliklah saya ke jalan setapak tempat kami dulu pertama bertemu, di balik dahan-dahan tebu. Jalan setapak itu membuka ke arah desa Kemusu, jalur pedati yang beralas pasir.Jalan ini tetap luas dan mulus, diterangi cuaca yang cerah bermandi matahari. Tapi sesuatu rasanya tak sama lagi. Ada perasaan yang hampa di dada saya, layaknya sesuatu telah hilang tapi saya tidak tahu apa. Saya menengok ke belakang, ke papan penunjuk yang sudah terkelupas dan nyaris tak terbaca. Lalu saya berlari. Berlari kembali ke balai desa. Ini baru hari kedua, tapi entah kenapa balai desa ini sudah ramai.
Rupanya mereka sudah kembali! Saya melihat Kabul, Aris dan Darman tampaknya sudah menyelesaikan survey mereka dan sudah siap dengan data dukuh masing-masing untuk tujuan KKN. Saya langsung menghampiri mereka. Kabul memegang peta kami dulu, peta yang sama. Ia tampak bersemangat membicarakan sesuatu dengan Darman.
"Dukuh ini kelihatan terpencil dan menantang. Aku rasa aku akan pergi ke sana Man. Kita masih punya satu hari. Kita pulang awal," ujarnya. "Kau mau gabung? Kita berangkat besok subuh,"
Darman mengangguk setuju, ia memang trekker sejati. Mirip tarzan. Sehari saja tidak masuk hutan, ia bagai monyet dipisahkan dari induknya. Tinggal tunggu waktu saja sampai ia bergelantungan di bawah pohon beringin. Apalagi Darman banyak bulunya, mirip bintang pilem Bollywood. Atau Rhoma Irama.
"Aku ikut," Aris menimpali dengan penuh semangat. Jiwa pengembaranya mencium petualangan baru. Saya melihat lebih dekat, dan saya tahu apa yang mereka bicarakan. Dukuh saya, dukuh Kerompeng! Kenapa mereka mau pergi ke sana? Atau lebih tepatnya, kenapa mereka tidak bertanya saja pada saya? Atau lagi kenapa mereka tidak menyambut saya dan menanyakan hasil survey saya? Mereka juga mengacuhkan saya, meskipun mereka sudah melihat saya dari kejauhan. Saya merasa aneh, tapi saya sudah mengalami terlalu banyak kejadian aneh hari ini sehingga sulit untuk mengejutkan saya.
Saya ingin berteriak, bilang, "Teman-teman jangan pergi ke sana! Mari kita pulang!" tapi tak sepatah kata muncul dari kerongkongan saya. Saya memandang mereka dan mereka balik memandang saya, dengan pandangan yang asing. Barulah saya sadar: mereka tidak mengenali saya! Apa yang terjadi? Saya panik. Saya masuk ke balai desa, mencari kertas dan pena. Saya ingin menuliskan sesuatu yang memberitahu mereka. Saya mengambil kertas sisa pemilihan lurah tahun lalu (yang sudah dikencingi tikus) itu. Ada pinsil tumpul tergeletak di bawah meja. Saya memungutnya dan menulis cepat-cepat. Tulisan saya tampak miring dan gemetar di atas kertas, tapi setidaknya terbaca: "Jangan pergi ke Kerompeng. Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana. Saya Arum. Saya teman kalian dan kita pergi bersama-sama,"
Saya mencari mereka di depan balai desa. Mereka sedang membikin api unggun lagi. Baru tangan saya terulur, tiba-tiba kertas itu berubah menjadi abu. Debu hitam terbang dari telapak tangan saya, bersama dengan pesan penting yang saya bawa. Saya nyaris menangis karena frustasi. Sekelebat, saya merasa ada orang mengawasi saya. Saya lari mengejar bayangan itu.
Pak Carik! Saya mencengkeram lengannya kuat-kuat, hingga tak mungkin ia melarikan diri. Lagipula ia tampak tak bermaksud untuk benar-benar pergi, sebagian dirinya ingin menyampaikan sesuatu pada saya. Saya sesenggukan. Air mata mengalir deras dan saya tak mampu bicara sepatahpun. Tapi Pak Carik tampak mengerti. Saya melihat matanya yang menghipnotis. Ia juga salah satu dari mereka! Teringat pesan Arya, saya berpaling. Ia mulai bicara.
"Mbak Arum, semua orang yang tinggal di Kerompeng adalah orang yang terlupakan. Desa itu habis sampai ke akar-akarnya. Tak ada yang tersisa selain abu. Tak ada yang ingat akan orang-orangnya. Tak ada yang ingat pada dukuh itu. Mbak Arum tinggal sehari di Kerompeng. Semua yang tinggal di sana telah dilupakan. Tak ada yang mengenali, seolah-olah tak pernah ada. Tapi Mbak Arum tetap bebas pergi, karena Mbak Arum tidak memutuskan untuk tinggal," Lalu ia berlalu begitu saja, seperti ditelan angin.
Saya tak menyerah. Saya kembali ke kantor kelurahan, membongkar-bongkar kotak arsipnya. Di sana saya menemukan potongan koran lokal yang tak begitu lama, berisi berita tentang Kerompeng. Saya membacanya.
"Buruh pengangkut tebu hilang setelah panen,"
"Tenaga kesehatan yang bertugas di pedesaan tidak kembali setelah bertugas di desa Kerompeng"
"Peternak kerbau dikabarkan raib ketika mencari pakan ternak di kebun tebu,"
"Dosen antropologi menghilang setelah melakukan penelitian lapangan di dukuh Kerompeng, desa Kemusu"
Saya masih ingin memperingatkan teman-teman saya, tapi begitu kertas itu keluar dari ruangan, serpih-serpihnya bertebaran di udara menjadi abu...
Menurut saya, dilupakan adalah hal yang terburuk dari segalanya. Apa artinya berjalan, makan, minum dan tidur tapi tak ada lagi orang yang mengenali? Orang-orang yang peduli pada saya? Dilupakan akan membuat saya jadi orang yang paling kesepian di dunia! Tapi tunggu dulu, bukankah catatan Arya berkata, "pintu akan terbuka kecuali ada orang yang menutupnya?" Berarti ada cara untuk menutupnya! Kalaupun saya dilupakan, setidaknya saya tidak akan membiarkan orang lain masuk ke pintu yang sama.
Tekad saya bulat. Saya harus bertanya pada Arya bagaimana mencegah Kabul, Aris dan Darman memasuki Kerompeng. Saya akan kembali ke desa itu, sekarang!
BERSAMBUNG...
Tuesday, April 6, 2010
Cerita Seram (atau apalah, terserah sebutannya, pokoknya melanjutkan yang kemaren-bagian 4)
Ringkasan cerita sebelumnya : Arum mendapatkan mimpi buruk. Setelah mimpi itu, kejadian-kejadian aneh mulai mengikutinya.
=====================================================================================
Kali ini, saya mulai curiga bahwa ada sesuatu yang salah. Layaknya tokoh utama cerita seram, saya tidak lari tunggang langgang sambil teriak "Aaaaa.......uouo" melainkan saya tetap berada di sana sambil kebingungan, tujuannya sih untuk membuat pembaca jadi ikut merasa tegang (apanya coba?). Pokoknya saya penasaran, saya ingin tahu. Namun perasaan saya kacau. Pikiran saya kalut. Saya lari ke kamar. Duduk di pinggir dipan, saya merenung dan berpikir: apa yang terjadi? Saya menekuri lantai. Mata saya terpaku menangkap sesuatu di atasnya. Gundukan debu hitam itu bergerak pelan seperti tertiup angin ke segala arah. Abu. Abu dimana-mana. Saya terperanjat dan langsung bangkit berdiri. Saya harus pergi. Perasaan saya mengisyaratkan bahaya. Ada yang tidak beres. Ada yang sangat tidak benar!
Secepat kilat saya berbenah dan siap pergi. Tiba-tiba seseorang berdiri di pintu. Bidan Danuri!
"Mau kemana?" tanyanya heran melihat saya sudah siap jalan. Muka saya pucat pasi seperti anak anjing yang ekornya kejepit pintu (ada perumpamaan lebih bagus nggak sih?)
"Saya..." belum sempat saya menjawab, saya melihat seorang anak berdiri di belakangnya, mengintip dengan matanya yang lebar. Mulanya saya tidak mengenalinya. Tapi perlahan-lahan saya ingat wajah itu. Wajah yang sudah pernah saya lihat sebelumnya, namun versi yang berbeda. Wajah yang pernah saya lihat berkeropeng, namun kini tampak licin layaknya anak perempuan biasa. Saya jatuh terduduk, tak bisa berkata-kata. Tapi Bidan Danuri seperti tak melihat apa-apa. Keramahannya tetap sama seperti ketika menyambut saya datang.
"Jangan pergi terlalu cepat. Mari bergabung bersama keluarga kami, sarapan pagi sedang disiapkan," sambil membuka pintu lebar-lebar, Bidan Danuri menyilahkan saya ke ruang makan. Saya melihat tangannya. Kemarin masih mulus, kini tampak luka bakar yang sudah menjadi parut. Begitu ia berbalik dan menghilang ke ruangan lain, saya segera kabur. Saya harus bertemu Arya! Dia mungkin punya penjelasan untuk ini. Kalaupun tidak, setidaknya dia bisa bawa saya ke dukun pelet, paranormal, nujum atau apalah yang bisa menolong saya (halah memangnya ini adu ilmu sihir?). Saya bergegas ke kamarnya. Saya ketok pintunya, tak ada jawaban. Pagi hari di kampung seperti ini, orang-orang sudah berangkat ke sawah sejak subuh. Atau mencari ilalang untuk makan ternak. Atau mengumpulkan kayu bakar. Atau menebas tebu. Atau membawa bebek ke sungai. Mungkin Arya ada di pancuran, sedang mandi.
Pintu terbuka sedikit. Saya mengintip. Kosong. Sarungnya terlipat rapi di ujung dipan. Saya sudah hendak beranjak keluar ketika saya melihat buku sampul kulit cokelatnya di meja. Dengan agak tertegun, saya memberanikan diri masuk dan meraihnya. Rasa ingin tahu menguasai begitu cepat hingga tanpa sadar saya sudah membolak balik halamannya. Tulisannya rapi dan skematis. Mirip alur tulisan buku teks dengan diagram dan gambar, layaknya ilmuwan di buku Da Vinci Code. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak mengaguminya. Tertulis di sana sejarah desa Kerompeng sejak jaman perang dunia kedua.
"Pada waktu itu, industri gula sangat berjaya. Gula dijual oleh Belanda untuk menutup biaya perang dunia ke satu. Pejabat gula sangat kaya raya. Namun selesai agresi militer Belanda ke dua, perusahaan tebu jatuh ke tangan pejabat pribumi. Kerompeng adalah desa petani tebu; desa ini dulunya ada, hidup dan berkembang karena perkebunan tebu. Sedikit demi sedikit, di kalangan pejabat sendiri timbul perebutan kekuasaan untuk mengusai produksi gula. Fitnah, pemalsuan dan pertengkaran timbul di antara pejabat, sehingga mereka melakukan apa saja untuk menjegal lawan politik mereka, termasuk pembunuhan," Lalu saya melihat beberapa guntingan koran yang ditempel. Halamannya sudah menguning karena usia. Beberapa ditulis dalam bahasa Belanda. Beberapa terbaca, namun sulit karena ejaan lama dan tintanya luntur. Saya melewati beberapa coretan dan gambar yang kurang jelas. Lalu melanjutkan halaman selanjutnya.
"Banyak korban yang jatuh dari pihak penguasa dan terutama, rakyat. Kerompeng mulai ricuh, tapi karena mereka rakyat jelata yang miskin, tak ada yang bisa mereka lakukan. Puncaknya tahun 1966. Isu partai komunis indonesia berhembus dimana-mana,"
Guntingan koran lagi. Foto-foto lama. Surat yang tak terbaca. Gambar-gambar tak jelas dengan tinta merah yang sudah melebar ke kanan kiri. Saya terus membaca.
"Kerompeng menjadi kambing hitam karena perselisihan penggusaha gula. Hari itu, bulan September yang kering dan ketika tebu masih muda daunnya, desa Kerompeng terbakar. Para penyidik yakin ada dalang di balik kejadian ini. Namun tidak pernah ketahuan. Pejabat saling menutupi, polisi menghilangkan jejak. Desa Kerompeng terbakar dalam sunyi, tak ada yang menggugat keadilan. Tak ada yang tersisa. Rumah, anak, ternak, wanita, ladang terbakar. Tinggal abu," Lalu ada foto-foto lagi yang tak saya kenali. Banyak jumlahnya, dan tiba-tiba saya mendengar sesuatu di belakang. Saya tersentak. Sontak semua foto itu terjatuh di lantai. Saya tergeragap memungutnya. Tunggu, saya melihat wajah yang saya kenal. Bidan Danuri! Pak TMK! Anak perempuan itu! Dan Arya!
Saya melihat catatan kecil ditulis dengan sangat kasar, seolah-olah menyuarakan kemarahan penulisnya, "Tiap dua belas purnama, seseorang akan masuk ke dusun ini dan merasakan penderitaannya. Tiap dua belas purnama, pintu antara dusun ini dan dunia luar akan terbuka. Tak akan tertutup sampai seseorang menutupnya,"
"Kenapa kamu melihat buku pribadi orang lain?" hardik seseorang di punggung saya. Arya. Tinggi dan tegap menjulang di belakang, saya merasa kedua matanya menyiratkan sesuatu yang mengerikan. Tapi menarik saya ke dalam. Persis mata dalam mimpi. Tiba-tiba dia memalingkan mukanya dan berbalik keluar. Saya mengikutinya untuk meminta maaf, tapi ia tak ada di sana. Lenyap. Kenapa ia jalan cepat sekali? Saya mencari Arya kemana-mana. Saya butuh segala penjelasannya. Saya lari ke kebun belakang, ke kandang ayam, ke kali kecil belakang rumah. Ia tak ada. Tiba-tiba seluruh tubuh saya terasa panas. Seperti ada api menjalar dari telapak kaki ke kepala. Di sana,di ujung kali saya melihat seseorang. Bukan Arya, karena dia perempuan. Tatapan matanya sangat sedih memilukan, tapi sekaligus menarik saya. Ia melihat ke arah saya dan bicara!
"Kalau panas terbakar, mari ikut berendam..."
BERSAMBUNG...
Monday, April 5, 2010
Cerita Seram (yang lebih tidak seram daripada Mr. Bean, menurut Kristina - Bagian 3)
==========================================================================================
Kerompeng adalah desa yang damai. Diberkahi dengan tanah yang subur akibat aliran sungai yang membawa unsur hara, dukuh ini hijau dan hidup. Penduduk dengan mudah menanam bahan pangan dan beternak segala macam unggas dan ikan. Saya disambut oleh barisan bebek yang melintas, domba dan kambing yang bebas merumput, ayam yang berkeliaran bersama anak-anaknya dan hamparan luas gabah yang mulai mengering. Di tambak-tambak kecilnya yang agak mirip kubangan kerbau, ikan air tawar berenang-renang. Tampaknya Kerompeng mengamalkan penuh lagunya Koes Plus "Kolam Susu". Di bak mandi umumnya saja banyak lele dumbo. Jadi kalau menciduk air jangan langsung dipake buat cebok. Lihat dulu apakah lelenya ikut terambil, karena dipercaya gigitan lele tidak baik untuk kesehatan alat reproduksi. Singkat kata, Kerompeng adalah desa yang mandiri dan berswasembada sehingga penduduknya nyaris tidak perlu berinteraksi dengan dunia luar. Ini mengingatkan saya pada film The Village-nya M. Night Shyamalan, jadi saya tengok kanan-kiri barangkali ada Joaquin Phoenix atau Adrien Brody. Saya kurang beruntung, tapi saya mendapatkan pemandangan terbaik kedua: cowok itu! Ia sedang mengayun kapak untuk membuat kayu bakar. Bergerak dengan santai dan lepas, sosoknya yang jangkung dan liat berkeringat di bawah terik matahari siang. Demi dewi kwan im, dia makhluk paling hot yang pernah saya lihat (hobi: jualan cabe). Pak TMK mengantar saya kepadanya, yang disambutnya dengan lebih dingin daripada kulkas ditumpuk sepuluh sekaligus. Jadi terbukti Arya tipikal cowok cakep di novel percintaan remaja picisan murahan yang kampungan: keren, misterius dan pura-pura tidak tertarik. Sesuai harapan, saya pun langsung suka padanya dengan cara yang menyedihkan, supaya komplitlah stereotipe ini dengan sinetron2 kejar tayang di Indonesia.
Pak TMK menerangkan, tamu selalu tinggal di rumah bidan Danuri karena itulah 'rumah terbaik' di sini. Terbaik artinya kita tidak berbagi kamar dengan ayam, kambing atau sapi dan kalo berak tidak perlu menggali lubang dulu. Saya sudah merasa aroma petualangan saya dimulai. Bidan Danuri menyambut saya dengan baik setelah saya menerangkan tujuan kedatangan. Tampaknya ini bukan yang pertama baginya, sehingga mudah bagi saya untuk memulai survey. Dimulai dengan mensurvey siapa cowok ganteng yang tinggal di sini^_^. Arya ternyata bukan mahasiswa. Ia antropolog. Dia bertugas menyusun tesis tentang desa terpencil yang terisolir dari dunia luar dan mempelajari budaya mereka. Dari percakapan pendek dengannya saya mengetahui bahwa perekonomian desa hanya digerakkan oleh perkebunan tebu, yaitu ketika warga bekerja sebagai buruh tebu lepas dan tebu dijual keluar dukuh lewat desa Kemusu. Lebih dari itu ia tak banyak bicara. Di waktu luang saya melihat ia berkutat dengan buku bersampul kulit cokelat miliknya, entah menulis apa. Ia sangat penyendiri dan selalu menampilkan wajah statis yang murung, emosinya tak terbaca.
Selepas magrib sore itu saya mendapatinya menatap tajam kepada saya, menggumam lirih,
"Seharusnya kamu jangan pernah datang ke tempat ini," Baru ingin menyanggah dan bertanya, saya dikejutkan dengan bunyi kentongan yang bertalu-talu.
"Kebakaran....kebakaran...kebakaran!!!!" teriak warga yang berlarian membawa buyung-buyung air. Saya blingsatan dan ikut lari. Tapi saya melihat Arya tidak bergerak. Matanya kosong menatap sesuatu di kejauhan.
"Kenapa tidak membantu??" teriak saya di tengah keributan serta gugusan asap dan langit yang terang di kejauhan.
Ia membisu.
Hanya beberapa menit, tanpa sempat melihat kejadiannya, saya melihat warga sudah berhasil memadamkan api. Sepetak kebun tebu gosong kehitaman, meninggalkan jejak abu yang terbawa angin.
"Syukurlah," saya berkata. Semua warga menghela napas lega dan bubar. Di tengah keramaian itu, sekilas saya melihat Arya lagi. Tapi sebelum saya mengejarnya, bidan Danuri sudah ada di belakang saya, mengajak saya pulang.
Malam itu saya melihat banyak orang berkumpul di kebun tebu. Mula-mula sedikit, semakin lama semakin bertambah banyak. Udara sangat panas. Langit membara. Api berkobar menjilat-jilat dahan tebu yang bergemeretak dilalap lidah-lidahnya. Saya berlari dan berlari, tapi api terus mengejar di belakang saya. Saya melihat anak-anak menangis digendongan ibunya, keduanya menyala dimakan api. Atap jerami membumbungkan asap hitam seperti awan menjelang hujan. Ternak-ternak berlarian. Debu dan abu beterbangan. Jeritan dan erangan membahana dari setiap sudut dan setiap rumah, tiap helaan napas tercium bau asap dan bau amis jasad yang terbakar. Seorang anak tiba-tiba merayap di bawah kaki saya, mencengkeramnya kuat-kuat. Tubuhnya sudah meleleh. Dagingnya nyaris lepas dari tulang, jatuh ke kaki saya. Wajahnya berkeropeng.
"Tolong," pintanya. Saya terlalu takut dan terus berlari. Orang-orang mengikuti saya. Saya ingin melepaskan diri, bebas dari semua ini. Tapi mata mereka menyiratkan sesuatu yang aneh. Seperti perintah untuk tetap tinggal. Dan entah kenapa saya diam mematung sementara mata mereka menarik saya semakin dekat dan semakin dalam...
Saya bangun dari mimpi buruk dengan terengah. Dari jendela terlihat langit di timur sudah mulai terang, sayup-sayup sudah terdengar ayam tetangga berkokok. Subuh menjelang. Semua di kamar ini masih sama; tidak ada yang runtuh, tidak ada yang hilang. Saya pergi ke sumur untuk cuci muka. Udara masih menggigit dan kabut masih kelihatan tipis di atas daun-daun tebu. Ketika mengeringkan badan dengan handuk, saya merasakan ada yang perih di kaki. Saya terperangah dengan sangat heran: Mungkinkah gara-gara nonton kebakaran kemarin? Api sudah padam waktu saya mendekat, tapi saya melihat luka itu dengan jelas. Luka bakar yang berkeropeng muncul di betis kiri saya.
BERSAMBUNG...
Sunday, April 4, 2010
Cerita Seram (yang nggak serem kecuali dibaca di bawah pohon beringin di tengah kuburan pas malem 1 Suro- Bagian 2)
=========================================================================================
Saya bangun pagi dengan penuh semangat; burung bernyanyi, ayam berkokok, warga buang air di pinggir kali, matahari bersinar, udara sangat jernih selepas hujan deras semalam. Rumput, pepohonan dan sisa perapian masih basah dan lembab di bawah kaki saya yang telanjang, tapi cuaca hari itu menawarkan kecerahan. Ransel saya sudah terkemas rapi berikut peta dukuh dan bekal. Saya siap berangkat. Tidak ada listrik dan tidak ada sinyal membuat kami harus memastikan lokasi masing-masing dan kapan waktu berkumpul. Tiga hari dari sekarang, saya akan bertemu Kabul, Aris dan Darman di balai desa ini. Kami berangkat setelah makan nasi bungkus dan ketela rebus pemberian Pak Carik. Hari ini dia kembali ceria, menawarkan rokok lintingannya yang disambut antusias oleh Darman. Mungkin perasaan saya saja semalam, pikir saya. Lagipula, kalau benar ada hantu atau apa, semalam pasti saya mimpi sesuatu. Menurut film-film horor di TPI, setan muncul malam hari di mimpi atau pas orang pada tertidur. Tapi tadi malam, saya bahkan tidak sempat mendengar dengkuran Aris yang biasanya mirip traktor pengeruk aspal lagi beroperasi di jalan pelabuhan. Setelah berpelukan seperti Upin dan Ipin (teletubies is so last year) kami pun berpencar. Saya menuju ke utara, ke desa kebun tebu. Seperti petujuk peta, jalan ke sana mulus dan lebar. Ada pedati pula hendak membawa batang-batang tebu yang diikat jerami. Saya menumpang dengan semangat yang meluap-luap.
"Orang baru, Nona?"tanya si Bapak tani empunya pedati.
"Iya, Pak. Numpang sampai dekat sungai," jawab saya.
"Mau kemana?"
"Dukuh Kerompeng"
Hanya sepersekian detik, saya menangkap kekagetan pada wajahnya. Tapi dia diam saja dan masyuk menjalankan pedatinya yang berderak-derak di atas jalan berpasir.
Di hilir sungai, kanan kiri kami dikelilingi pohon tebu setinggi hampir dua meter. Tiba-tiba pedati oleng ke kanan. Dia berhenti, turun untuk memeriksa. Tampaknya ada masalah.
"Maaf, Nona. Roda pedati saya rusak. Saya harus kembali ke desa Kemusu,"ujarnya sambil mengikat roda dengan kain kuat-kuat. Saya penasaran dan turut melihat. Roda itu retak! Bagaimana bisa? Tidak ada sebutir batupun di sini, tidak ada satu lobang pun dilewati. Saya kira, mungkin roda itu sudah retak sejak tadi, lalu saya naik, dan mengingat diet saya yang tidak pernah berhasil maka roda itu langsung rusak...
"Tidak apa-apa pak!" sahut saya tetap ceria. "Sudah tidak jauh lagi kan? Saya jalan kaki saja" Saya melihat ke peta itu, memang sudah sangat dekat. Paling cuma beberapa ratus meter lagi. Bapak itu tersenyum lalu memutar pedatinya ke arah berlawanan. Saya meneruskan perjalanan. Di papan penunjuk yang kecil dan rusak (mungkin bikinan mahasiswa KKN bertahun-tahun lalu) tertulis dengan cat terkelupas yang nyaris tidak bisa dibaca, "Kerompeng, 135 m" Kaki saya berjalan semakin cepat. Begitu mudah menemukan tempat ini!
Tapi apa lacur, sebuah pohon tumbang menghalangi jalan. Pasti gara-gara hujan lebat semalam. Pohon itu tidak terlalu besar, tapi ranting-rantingnya padat dan sulit untuk melewatinya tanpa membuat kulit tergores-gores. Dahannya juga licin dan tidak mudah diinjak. Saya berjuang untuk menyingkirkan ranting demi ranting, ketika saya melihat seseorang. Ia mengawasi dari kejauhan. Saya jelas butuh dibantu dan saya pikir bagus sekali kalo di sekitar situ ada orang. Saya berjalan ke arahnya dan baru akan memanggil, ketika orang itu sudah tidak ada di tempatnya. Saya celingukan. Saya yakin tadi saya melihat orang dengan begitu jelas: tinggi, kira-kira lebih dari 170 senti. Berkulit agak gelap dan berambut hitam berombak. Meskipun mengenakan kaos oblong dan celana pendek, ia tampak rapi sehingga saya pikir ia pasti pendatang juga dan mau menolong. Dalam hati kecil saya kesan yang tertangkap hanya satu: ia tampan. Bahkan meskipun cuma sekilas dia kelihatan menarik. Saya melihat kanan kiri barangkali ada rumah atau jalan. Begini, saya tidak percaya kalo dia itu mahluk halus ato hantu. Menurut saya setan haruslah perempuan yang rambutnya panjang, jalannya harus meloncat-loncat, ngesot, merayap kayak Spiderman ato kluar dari sumur kayak The Ring. Hantu ganteng di tengah kebun tebu? Gak mungkin lah! Dimana-mana si jahat itu wanita cantik. Karena diperlukan untuk mengoda iman manusia pria. Hantu pria ganteng? Get real!
Saya melihat jalan setapak kecil dengan arah yang sama dengan desa Kerompeng. Ha! Betul kan dugaan saya. Saya semangat untuk melihat cowok ganteng itu lagi. Saya mengikuti jalan setapak. Ada orang di pinggir sungai sedang memandikan kebo. Kali ini saya cukup hati-hati. Hanya keledai yang jatuh pada lubang eh tai kebo yang sama.
"Dukuh Kerompeng di mana Pak?"
"Terus saja Mbak, itu belokan di kiri sudah sampai,"
Saya senang. Iseng-iseng saya bertanya, "Kalo ada laki-laki tinggi, pake celana pendek dan kaus, tadi saya lihat di jalan, itu tinggal di Kerompeng juga Pak?"
"Oh, maksudnya Mas Arya? Dia datang dari Bandung Mbak. Katanya penelitian apa begitu dari kampusnya. Iya, dia tinggal di rumah bidan Danuri."
"Kebetulan," sambut saya girang, "Saya juga mahasiswa. Dari Semarang, mau ke dukuh yang sama,"
Pak tukang mandikan kebo (TMK) menawarkan untuk mengantar. Dia salah satu warga Kerompeng. Saya langsung mengiyakan.
Waktu saya dan pak TMK berjalan, lagi-lagi saya merasa diawasi. Saya merasa bulu tengkuk saya bergidik, kerbau kami mengikuti berjalan di belakang. Saya cukup yakin yang memandangi kami dan membuat saya meremang bukan tatapan mata si kebo.
BERSAMBUNG...
Saturday, April 3, 2010
hidup berkeluarga pada umumnya
Mami menikah umur 25 th dan langsung punya anak setahun berikutnya. Selama 10 tahun pertama pernikahannya dia sudah melahirkan 5 anak dan diurus sendiri pula.
Kehidupan mami saya merefleksikan kehidupan saya nantinya. Namun apa daya zaman sudah berubah. Saya baru menikah 4 bulan yang lalu tapi kehidupan saya tidak ada mirip2nya dengan kehidupan mami.
Setiap pagi mami saya bangun lalu masak nasi dan lauk untuk anak2 dan suami. Sementara saya tiap pagi kalau hari kerja hampir selalu bangun kesiangan lalu cepat2 mandi dan sarapan buat suami kalau lagi rajin adalah indomie pake telor. Kalau lagi super busy cuma nyuciin sebutir apel atau bikin segelas sereal.
Mami saya mencuci baju suami dan anak2nya serta membersihkan rumah. Sedangkan saya berhubung tinggal di kost, saya cuma mencuci pakaian dalam dan sisanya dicucikan oleh mbak kost. Pakaian dalam suami tadinya dicuciin mbak kost sampai saya mendengar kalau celana dalam dicucikan oleh orang lain berisiko suami bisa dipelet pakai celana dalam itu. Soal membersihkan rumah, saya cuma menyapu dan mengepel satu petak kamar. Itupun malas kalau setiap hari..jadi kalau sudah benar2 lantainya coreng moreng baru saya mengepel secepat kilat. Tidak ada 5 menit sudah selesai.
Papi mami benar2 menjalani kehidupan manusia normal pada umumnya di jaman itu. Yaitu menikah sebelum umur 30 tahun, langsung punya anak..kalau bisa banyak anak banyak rejeki, mengumpulkan uang untuk membeli rumah dan mobil...serta hidup berdekatan dengan keluarga. Semboyannya adalah mangan ora mangan asal kumpul.
Saya sendiri bersama suami sudah menikah. Namun kami masih tinggal di kamar kost suami istri. Kenapa tidak beli rumah dulu baru menikah? Karena kami menikah dengan uang sendiri. Pilihannya kalau beli rumah dulu kapan bisa menikah. Uang pasti habis untuk membayar cicilan rumah. Setelah menikah, pertanyaan paling sering saya dengar adalah:
Penanya (P): "Sudah isi belum?"
Saya (X): "Belum"
P :"Kok belum isi?"
X :"Iya....emang menunda dulu." (sambil meringis)
P :"Menundanya pake apa?" (emangnya harus dijawab ya pertanyaan ginian..kan malu)
X :"Pake @#@#$^%" (sensor ah)
P :"Kenapa ditunda? nanti keburu tua susah punya anak lho...seperti teman saya menunda2 eh malah ga dikasih2 anak.....
X : hehehehe...(bingung mo jawab apa lagi)
Berhubung ga mungkin menjelaskan satu persatu alasannya...mendingan saya curahkan di blog. Paling tidak yang sudah membaca tulisan ini tidak akan mengajukan pertanyaan yang sama. Karena kalau sampai ada yang menanyakan lagi akan mendapatkan hadiah gelas atau piring..pilih salah satu. Alasan saya belum mempunyai anak saat ini adalah:
- Belum punya rumah, kalau di kost2 an punya bayi bisa2 tetangga kost gempar dan mengamuk karena tiap malam bayi saya menangis.(btw kenapa bayi suka bangun malam2? apa sengaja ingin menguji mental papa mamanya)
- Belum punya mobil, karena kasian kalau diajak jalan2 di jakarta yang polusi ini naik motor or naik bajaj. Bisa2 masih bayi sudah kena sinusitis dan spasmofili serta acute atopic konjungtivitis.
- Saya masih ingin jalan2 sedangkan kalau sudah punya bayi masa saya tinggal di rumah sementara saya jalan2. Dan pastinya budget jalan2 mendingan buat beliin baju atau mainan atau susu daripada buat jalan2 (kalau insting keibuan saya masih waras)
- Saya belum bisa melepaskan ego dan hobi saya. Takutnya nanti saya merasa bayi saya menjadi beban dan kemungkinan besar saya bisa mengalami sindrom baby blues. Di saat saya ingin melihat film korea diganggu bayi yang menangis misalnya atau di saat saya ingin bangun siang tidak bisa karena bayi sudah lapar.
- Saya belum siap mental menjadi ibu. Makanya saya sangat kagum pada teman2 saya yang sudah bisa menjadi ibu di usia muda. Misalnya Melia, Novi, Irene, Ceni, Ellen, dll (waduh kok nyebut nama asli..gpp ya kan pujian) yang dulu saya kenal orangnya jauh dari gambaran seorang ibu tetapi terakhir saya bertemu mereka...mereka sudah jadi ibu yang sempurna..menurut saya. (terharu hiks hiks)
Sekian alasannya...jadi walaupun sekarang keluarga saya belum seperti keluarga pada umumnya, pasti suatu saat saya juga bisa membentuk keluarga yang NKKBS ESLS, Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera Empat Sehat Lima Sempurna.
Busacerserbung alias bukan sambungan cerita seram bersambung
Pagi harinya saya terbangun dengan badan lemah letih lesu tak ada gairah. Namun saya tetap teringat mimpi semalam. Saya bilang kepada darman yang mukanya lumayan ganteng dengan badan tinggi putih, rambut cepak dan otot seperti arnold suasanasegar. Bahkan teman2 kami menjulukinya polisi hongkong.
"hey man, ayo cepat kita tinggalkan tempat ini. Aku punya firasat buruk."
"arum, terakhir kali km punya firasat buruk itu ternyata cuma ada yang mencuri jatah semur jengkol km."
lalu darman tetap cuek2 saja mencangkul di sawah. Salah satu program kkn kami adalah mengajarkan teknik mencangkul yg benar supaya para petani bisa punya perut six packs.
akhirnya saya memutuskan untuk mencari sejarah desa ini (lupa namanya) di mbah google. Betapa terkejutnya saya karena desa ini bahkan tidak ada di wikipedia dan google map.
Bersambung...
Friday, April 2, 2010
Cerita seram (bagian 1)
Seperti yang sudah saya janjikan sebelumnya, mulai edisi kali ini saya akan nulis cerita seram bersambung. Entah mau saya bagi dalam berapa episode, tergantung nanti ngelanturnya sejauh apa, hehe. Oya, cerserbung (cerita serem menabung eh gak nyambung) ini belum saya kasih judul. Jadi saya minta saran temen2 mo dijudulin apa. Kalo mau saya judulin "Misteri Dukun beranak" atau "Nyi Roro Kidul" atau "Kuntilanak Malem Jumat Kliwon" nanti dikira njiplak film horornya Suzanna. Kalo mau dijuduli "Tapak Sakti dan Pecut Dewa Tangan empat" atau"Heaven Swords and Dragon Sabre" nanti malah jadi cerita silat. Saya nggak ada ide. Atau mau dijudulin "Ketika setan harus memilih"? Nanti malah ditanyain ketik apa buat dapet ringtonenya. Sebelum ngelantur ini jadi satu episode sendiri, saya mulai aja ya ceritanya.
=====================================================================================
Seperti cerita seram pada umumnya, cerita ini dimulai dalam suasana yang mencekam. Petir menyambar. Guntur menggelegar. Hujan turun deras dengan angin yang bertiup kencang, menyebabkan pandangan di luar mengabur seperti mobil yang kaca depannya tidak pernah di lap selama setahun, diparkir di depan kantornya Kristina yang penuh polusi sampe bikin orang sakit bengek, tambah lagi diberaki burung kuntul (yang lagi mencret). Nah, lengkap sudah gambaran kekaburan cuaca malam itu. Nama saya Arum. Saya berjalan menembus hujan yang bikin saya tidak bisa bedakan apakah di depan saya itu orang, pohon, tembok, jalan, sawah, kubangan, gardu poskampling ato setan karena listrik tampaknya belom masuk di desa Kemusu, Kecamatan Sikebo, Kabupaten Surodadi Jawa Tengah. Saya berangkat bersama rombongan mahasiswa seangkatan dalam rangka KKN. Bukan yang korupsi dan teman2nya itu. Yang satunya lagi tapi saya lupa singkatannya apa. Kebanyakan mahasiswa ditinggal untuk berangkat belakangan. Kami hanya berempat, segelintir manusia yang ditugasi di salah satu wilayah desa terpencil. Cuma orang-orang seperti kami, yang hobi naik jeep atau motor menembus jalan tidak beraspal, yang berangkat duluan. Saya satu-satunya perempuan. Kami dibilang "tim survey" alias orang-orang yang dimajuin duluan untuk melihat apakah keadaan aman. Kalo di medan perang, kami ini kopral. Tapi kami sama sekali tak keberatan. Kami mengantongi "dana survey" dengan sukarela. Apalagi, berkeliaran di tempat-tempat liar adalah pemicu adrenalin yang selalu dicari. Kaki saya terus melangkah untuk menahan udara yang dingin menggigil.
Tiba-tiba saja jalanan yang saya injak melesak ke bawah. "Tolong!" jerit saya tertahan. Lalu di depan saya muncul bayangan gelap memanjang.
"Ha ha ha ha!" tawanya menggelegar. Dalam kegelapan di tempat asing, apalagi kalo temanya cerita seram, saya selalu berpikiran tentang setan, lelembut, pocong, tuyul, memedi, kampret, betmen dan sebagainya. Tapi saya masih punya otak. Kenapa demit ini napasnya bau duren? Saya merogoh senter korek di celana yang sudah kuyup. Saya sudah hemat-hemat senter ini untuk sepuluh hari ke depan! Tapi sekarang saya sorotkan ke mukanya. Saya terkesiap! Mukanya memang lebih seram dari setan: kerut merut di muka, gigi yang tanggal dan gusi yang hitam, rambut yang putih dan acak-acakan. Tapi dia tertawa layaknya manusia, dan menghisap rokok lintingan. Setahu saya, setan tidak ngerokok, kecuali jika asap kemenyan dianggap rokoknya setan.
"Saya pak carik (Sekretaris desa)" ujarnya sambil menjulurkan tangan, entah bermaksud menolong atau memperkenalkan diri, tapi saya sambut saja demi kesopanan. "Mbak Arum dicari teman-teman di balai desa. Mari ikut. Di sini lagi musim duren,di sana juga ada teh dan ubi bakar," Saya mengikutinya dari belakang. "Dan omong-omong, nanti di kali cuci kaki dulu ya Mbak sebelum masuk balai desa, soalnya Mbak nginjek tahi kebo" Saya mengumpat-umpat dalam hati (meskipun bersyukur juga karena mau pesta duren.)
Kami duduk berempat, menikmati ubi bakar, duren pongge dan teh manis. Kabul, seorang mahasiswa pencinta alam, dengan fasih membikin api unggun (bikin apinya pake sisa-sisa kertas pilihan lurah sepuluh tahun yang lalu yang sudah dikencingi tikus). Kami duduk melingkar di gubuk depan balai desa. Ini suasana yang manis. Mirip iklan coklat silver queen (santai belum santai... lalala *lagu latar*). Andai saja ada yang bawa mini kompo bake baterai dan muter lagu Kucing Garong. Mungkin Kabul bakal berjoget asereje mengelilingi api seperti suku Indian.
Kami berbagi desa yang akan disurvey. Berkat jumlah kami yang lebih sedikit dari jumlah ikan paus yang berhasil diselamatkan waktu karam di sungai Thames, kami harus berpencar. Satu dukuh satu orang. Pak carik menunjukkan peta dukuh-dukuh pada kami: Klungsu, Gepor, Rowosari dan Kerompeng. Yang terakhir menarik perhatian saya, karena ada jalur jalan yang mulus ke tempat itu tapi entah kenapa dukuh itu justru paling terpencil. Terletak di delta sungai Petung, daerah dukuh Kerompeng ini sangat subur. Di sekitarnya ada berhektar-hektar kebun tebu. Pasti jalan itu adalah jalur truk pengangkut tebu. Waktu kecil, saya suka mencuri tebu dari truk. Tebu ini rasanya lebih manis daripada tukang jualan es tebu kaki lima di pinggir jalan. Anehnya lagi, tidak bikin mencret. Tukang tebu kaki lima bikin saya diare 3 hari, kata nyokap sih akibat airnya pake air bekas cuci piring. Kan sama tuh warnanya, kekuning-kuningan. Eniwei, saya langsung mendaftarkan diri untuk menyurvey desa Kerompeng. Ketiga teman saya; Kabul, Aris dan Darman, setuju dan langsung merencanakan keberangkatan masing-masing personil keesokan harinya. Kami melanjutkan berpesta duren sambil membikin kopi tubruk.
Entah perasaan saya saja yang terbawa suasana atau memang benar, saya melihat raut wajah Pak Carik berubah. Ada perasaan mendung yang menggelayuti wajahnya sekilas. Dia juga tidak lagi semangat melanjutkan pembicaraan malam itu, padahal sebelumnya dia cerita ngalor-ngidul mulai dari keluarganya sampe tetangga adik ipar misan kakeknya.
Saya berbisik pada Darman, "Kayaknya ada yang mistis di desa ini Man,"
Darman menguap panjang. Asli orang Boyolali dan hobi arung jeram, cerita seram selalu bikin Darman ngantuk lebih dari kuliahnya Profesor yang sudah 8 tahun pensiun tapi masih diperbantukan mengajar karena nggak ada yang lain. "Desa begini mah selalu aja ada ceritanya. Mulai dari Watu keramat tempat orang nginepin sesajen biar cepat kaya sampe kebo jadi-jadian yang ninggalin tahinya buat menyambut tamu selamat datang,"
"Bukan itu maksudku Dar," saya meninjunya." Mungkin saja cerita itu ada benarnya. Kaya cerita Poltergeist itu terjadi sungguhan lho di pedalaman Amerika," sambung saya yang kebanyakan nonton DVD bajakan.
"Sekarang bukan jamannya setan bule Rum," Aris menimpali. "Jaman dulu itu jamannya Nyi Roro Kidul, Kuntilanak, Si Manis jembatan Ancol, tahun 90an," terangnya, "Sekarang jamannya suster ngesot, suster keramas, hantu terowongan Casablanca, hantu jeruk purut, hantu anak SMA sampai kain kafan perawan," kali ini Aris tertawa berderai-derai. Saya tidak ikut tertawa. Saya merasa diawasi. Memang gelap, api dari unggun tidak sampai jauh menyinari seratus meter dari situ. Tapi dari balik kegelapan, saya betul-betul merasakan sepasang, atau lebih, mata mengawasi kami. Pak Carik sudah lama pergi. Kami sudah menggelar tikar dan sleeping bed dalam balai desa yang kering.
"Apa itu Dar?" Saya menunjuk kotoran hitam yang menimbun di atas peta dukuh-dukuh. Darman mengamati lalu menyeka jatuh debu itu ke tanah.
"Abu." katanya pendek. "Paling dari api unggun atau rokok pak Carik,"
Saya diam saja. Abu itu terlalu banyak dan tadinya tidak ada di sana, tapi saya terlalu ngantuk untuk berpikir dan teman-teman saya sudah mulai berbenah tidur.
BERSAMBUNG...
Thursday, April 1, 2010
Uling,pahlawan tanpa tanda jasa
Uling adalah sepupu teman kuliah sy di jogja. Jadi bisa dibilang kami ada jodoh karena waktu di jakarta kami bisa satu kost sebelum saya merit. Lalu di CV kami ada 3 perusahaan yg sama termasuk perusahaan tempat kami bekerja sekarang.
Kami satu tim juga lho sampai tempat duduk cuma sebatas partisi ya tingginya kurang lebih se dada orang dewasa normal. Jadi ini keberuntungan buat saya dan kesialan buat uling karena setiap kali saya cuti, uling terpaksa dan dipaksa menangani pekerjaan saya sementara pekerjaan dia juga sebanyak jerami dimana orang mencari jarum.
Beberapa bulan yang lalu, saya cuti 6 hari untuk hanimun. Uling dgn sukarela menghandle pekerjaan saya yg urgent. Benar2 malapetaka karena bos saya dan uling waktu itu tiba2 harus maternity sebelum waktunya. Thx bgt saya hanimun di vietnam jadi tdk ada yg menelepon. Kalau tdk,acara hanimun bnr2 rusak.
Hari ini saya cuti karena besok libur jadi kesempatan ini saya gunakan untuk menengok ortu yg ada di kampung. Kampung saya skarang sudah berkembang jd semi kota krn ada 3 supermarket baru dibangun. Jadi saya merasa berhak cuti secara selama setahun lebih 4 bulan saya bekerja,saya punya 22 hari cuti. Setahun saya dpt jatah 25 hari cuti. Menurut boros saya, saya masih layak mengambil cuti 2 hari.
Hari ini sebenarnya saya menikmati cuti dengan bangun siang, mencuci pakaian dan nonton dvd korea. Sampai ada 2x telp dari uling yang malang tentang pekerjaan. Saya 2 hari kemarin lembur untuk menyelesaikan pekerjaan dan sudah selesai closing. Seharusnya tidak ada masalah kan. Ternyata itu hanya mimpi di siang mampet. Ada ada aja hal2 tak terduga kalau saya cuti. Tak heran saya parno kalo mau cuti.
Uling, terima kasih banyak ya. Kalau tidak ada kamu mungkin saya hari ini tidak bisa mencuci baju dalam suami sebelum pulang kampung supaya suami tidak perlu pakai side A side B. Jasamu tidak akan terlupakan. Btw sepertinya bulan april ini akan ada 3 hari lagi kamu menderita. Maafkan ku harus pergi....lalalala i'm sorry goodbye
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p