HaPe atau telepon genggam nampaknya tidak terlalu cocok dengan saya. Saya curiga hubungan saya dengan HP harus diruwat dan dikasih selamatan dulu supaya tidak ciong.
Belakangan ini ada orang-orang aneh (freak) yang SMS cuman buat nanyain nomer HP saya yang lain buat ditelpon. Aneh sekali. Kalo sudah tahu nomer HP saya kenapa nggak langsung telpon? Saya tanya siapa, malah cuman bilang "temen kuliah di Undip" dan katanya lagi saya pasti bakal tahu kalau nanti dia telpon, tapi ke nomer HP yang lain. Saya nggak mudeng, nggak ambil pusing dan jelas nggak saya bales lagi. Saya bukan tipe orang 'pengoleksi HP jadi-jadian' (yang jumlah HPnya lebih dari jumlah balonku alias lebih dari 5) atau 'kerja sambilan jualan pulsa' (jadi terpaksa HPnya banyak). HP saya satu, jadul, hanya ada karena dipaksa ortu supaya setidaknya kalau saya hilang, ortu nggak disalahkan karena lupa berkomunikasi dengan anak. Saya juga nggak hapal nomer HP saya sendiri, karena, kenapa ya? Saya kira karena saya nggak pernah merasa perlu menelpon diri sendiri. Kalo ternyata pengirim SMS itu baca blog (kayaknya sih enggak, dia lagi sibuk kirim SMS gak penting soalnya), mari saya kasih tahu kenyataannya: salah orang kalo mau ngerjain lewat SMS. Saya orang yang nggak akan repot-repot membalik tangan buat tahu siapa yang kirim SMS tak dikenal dan apa maksudnya. Bagi saya bunyi HP cuma interupsi terhadap hidup saya yang tenang dan damai dan sejahtera dan gemah ripah dan loh jinawi dan toto tentrem dan kerto raharjo.
Saya mengakui, adanya HP memang sangat berguna. Misalnya kita kekuncian di WC dan musik di luar keras banget sampai-sampai kalopun kita gedor-gedor pintu nggak ada gunanya. Atau, kita lagi bertamu ke rumah atasan, kolega kita sibuk cerita ngalor ngidul padahal di giginya ada cabe sebesar biji jagung hibrida (akan sangat membantu kalo kita SMS kolega untuk kumur dulu sebelum bicara). Atau, kalo mati lampu dan kita pas lagi makan, lumayan lampu HP bisa untuk membedakan mana daging dan mana lengkuas jadi tidak salah gigitan. Atau, ditanyain orang sekarang jam berapa dan kebetulan kita lupa bawa jam tangan. Atau lagi, kalau kita terjebak dalam pertemuan yang membosankan dengan orang yang enggak banget dan butuh alasan buat kabur.
Tapi HP juga punya efek samping. Soalnya HP yang on membuat kita seperti available selama 24/7. Contohnya, teman saya pernah ditelpon atasannya karena dia butuh laporan saat itu juga pada Sabtu malam saat dia lagi karaokean. Dia mengeluh pada saya bahwa pekerjaannya sudah mengganggu kehidupan pribadinya. Saya juga pernah ditelpon kurir pas lagi tidur siang. Ditanyai barangnya mau taruh dimana. Waduh, itu kan sudah lewat jam kantor. HP seolah-olah membuat semua tugas mendadak jadi mungkin. Padahal, menurut saya, kalau mau minta tugas yang mendadak haruslah memenuhi dua syarat. Satu, keadaan gawat darurat. Dua, saya lagi jaga atau perkecualiannya, cuma saya makhluk di dunia ini yang bisa menolong. Kalo syarat ini dipenuhi, saya rasa gangguan karena HP akan jarang terjadi. Dulu, ketika HP mulai marak saya juga merasa senang karena kita bisa menghubungi dan dihubungi dimana saja, tidak harus ke wartel atau menunggui telepon berdering di rumah. Pergi kemanapun, semua anggota keluarga terasa dekat. Namun di sisi lain kita jadi semakin tidak punya ruang sendiri. Pacar teman saya rutin menelponnya setiap hari. Kalau tidak dijawab dan teman saya itu tidak menelpon balik, pacarnya ngambek karena merasa tidak diperhatikan. Akibatnya, teman saya jadi merasa tidak punya kebebasan sendiri. Yang paling buruk, kalau kita jadi bisa di SMS jam 6 pagi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang mendesak atau ditelpon dimana saja untuk dimarahin/ditegur dari jarak jauh. Meskipun berusaha diabaikan, informasi tersebut pasti sudah mengusik pikiran kita. Jadi, saya kira, orang yang selalu melayani HPnya adalah orang yang bekerja sepanjang waktu.
Tentu saja, saya tidak melupakan bahwa HP bisa membuat kita tidak kehilangan kesempatan untuk bisa updet status, nge-tweet setiap hari atau posting blog lebih rajin karena bisa dilakukan kapan saja di sela-sela kemacetan seperti sohib blogger saya Vicky. HP juga bisa dipakai buat baca, dengerin musik dan foto kalo lupa bawa kamera, jadi apapun bisa direkam secara spontan dan segera, seperti wartawan. Bagi orang bisnis, HP bikin mereka lebih laris karena tidak pernah telat terima order.
Sayang seribu sayang, selama ini di sekitar saya, HP justru lebih banyak digunakan untuk:
- miskol. Supaya yakin kalo nomer yang saya kasih itu bener-bener nyambung ke HP saya dan bukan HP pembantu kost-kostan.
- kalo sudah yakin itu nomer saya, maka saat yang tepat untuk mengirim SMS (dari paket gratisan) yang super urgent seperti: udah tidur ya? (kalo iya, bukannya bunyi SMS sampean itu seperti weker yang sangat tidak diharapkan?)
- Kalo tidak dibales, kirim lagi, pertanyaan seperti: kok tidak dibales sih? Bales cepat.
- Miskol-miskol beberapa kali biar mendapat perhatian.
- Mencoba SMS pake nomer lain, barangkali dibalas.
Ketergantungan pada HP menurut saya cuma masalah kebiasaan semata. Kalo kita ketok pintu gak ada jawaban, refleknya adalah men-speed dial nomer si empunya kamar. Saya terlatih tidak pakai HP sejak saya bertugas di desa Ninia yang berada di salah satu lereng pegunungan Jayawijaya. Satu-satunya sarana komunikasi adalah radio transistor. Jadi saya mulai belajar bahwa komunikasi bisa dilakukan untuk hal-hal yang penting saja, misal:
Saya: Ninia-Wamena! Ninia-Wamena!
Operator Wamena: Disini Wamena. Ganti.
Saya: Wamena, saya butuh beras kirim segera. Ganti.
Operator Wamena: (di sela-sela bunyi gemerisik) Wamena-Ninia tidak dikopi baik. Tolong ulangi. Ganti.
Saya: Ninia-Wamena. Saya butuh beras. Beras. Bravo echo romeo alfa sierra. B-E-R-A-S. Roger. Ganti.
Operator Wamena: Tidak dikopi baik. Mohon ulangi. Ganti.
Campuran antara sambungan yang jelek, aki yang soak, lalu-lintas radio yang padat dan operator yang setengah budeg membuat saya enggan curhat lewat HT.
Lalu waktu saya traveling, Bokap saya nelfon. Pertama, kadang Bokap tidak bisa menghitung perbedaan waktu. Saya pernah ditelpon jam 2 pagi ketika saya harus ngejar kereta jam setengah 5. Bingung kan mau tidur lagi atau nggak. Lalu pernah juga waktu ditelfon, saya suruh Bokap bicara cepet-cepet karena saya lagi di daerah yang roamingnya per menit bisa buat makan seminggu di warteg. Kedua, perintah orang tua suka tidak masuk akal seperti cari pasaran emping di Bern. HP bikin saya merasa dimonitor dan serba salah. Jadi, ketika HP saya ketinggalan di benua tetangga, saya sedih tapi juga sedikit lega. Saya bisa menulis kartu pos, "Bapak, Ibu, hari ini saya mau loncat dari pesawat pake parasut. Doakan semoga pas difoto nggak kelihatan kalo muka saya penuh horor," Nah, ketika saya bicara dengan Ibu lewat Skype seminggu kemudian, saya sudah duduk di rumah menyeruput teh manis. Kalo ada HP, bisa-bisa ada teriakan dikirim dari hemisfer bumi yang lain.
Enaknya tidak pake HP adalah bahwa kita memegang kendali kapan orang bisa menghubungi kita. Sementara kita bisa menghubungi orang lain kapan saja karena mereka pake HP. Oya, saya juga jadi rajin mengirim surat tertulis buat curhat, rasanya lebi romantis. Kalo ada yang mendesak, saya kirim email. Langganan speedy kan selalu sama per bulan, heran deh kenapa kita harus bayar lebih buat pulsa HP?