Friday, August 28, 2009

Gengsi itu letaknya di pantat

Jujur. Saya ingin curhat pada pembaca tercinta. Saya tidak bisa mengabaikan orang yang berkomentar kepada saya, " Jadi dokter kok mau-maunya kerja begituan," (padahal seingat saya belakangan ini saya nggak nyopet atau nyuri ayam). Saya tahu orang ini tandanya masih perlu banyak belajar.Tapi daripada saya simpan sendiri di dalam hati, lebih baik saya berbagi lewat tulisan. Mari kita ngobrol sedikit saja, kenapa sih orang begitu menganggap penting gengsi? Kenapa kalau ada dokter yang bawaannya motor keluaran tahun dua ribu dianggap 'tidak berkembang'? Kenapa kalau dokter yang mau praktek di desa kecil malah diangap bego? Kenapa dokter selalu diukur dari rumahnya, mobilnya, dan tetek-bengek aksesoris lainnya? Kenapa kalau dokter yang tidak berminat menapaki tangga karir, tapi cuma bekerja sosial, suka berkebun atau memasak malah selalu 'dirasani'?

Saya tahu ada profesi tertentu di dunia ini yang dalam job description tidak tertulisnya
adalah jaga image. Misalnya pemimpin agama, tokoh masyarakat, calon kades, bintang iklan, dan... dokter (duh!). Tapi saya masih ingin membela diri, menurut definisi saya orang kaya adalah orang yang punya pilihan. Nah, kalau orang menganggap jadi dokter artinya kurang lebih mampu secara finansial, tentu artinya dia bisa memilih mau pakai motor saja daripada ngutang buat kredit mobil, tinggal di desa supaya biaya hidup murah dan boleh dong kalau sekali-kali pergi ke kali pakai sandal jepit buat mancing atau numpang mandi di sumur umum? Tentu saja tidak ada yang bakal memarahi atau menilang saya karena saya toh tidak melanggar rambu-rambu lalu lintas apalagi ikut gerakan teroris. Tapi pandangan mata dan komentar itu membuat kenyamanan dan kenikmatan saya terganggu. Apalagi ada mulut yang luar biasa usil datang bertamu ke rumah, "Kok dokter nyuci piring dan masak sendiri? Nggak ada pembantu ya?" Saya cuma bengong kehabisan kata-kata (ada saran jawaban? nanti saya email ke si empunya mulut usil).

Sejak lulus kuliah dulu, saya sibuk bepergian sekaligus kerja. Pekerjaan saya beraneka ragam. Dari yang dokter ngamen sampai nyuci piring, ngepel dan mengurus anak cacat. Saya tahu kadang pilihan saya tidak biasa. Tapi saya merasa puas dan 'kaya' secara mental. Saya juga tahu apapun pendapat orang lain, tidak terlalu penting asal saya yakin pada apa yang saya kerjakan. Tapi terkadang, masalah gengsi-gengsian ini bikin kuping (dan pantat) saya panas. Kalau tuntutan gaya hidup dokter itu tinggi, kenapa pasien mengeluh kalau dicharge mahal? Gaya hidup itu ada harganya Bung! Kalau ada yang tidak mau repot-repot memenuhi standar malah dikomentari seolah-olah pertandingan sepak bola. Dulu, waktu saya masih imut dan lucu2nya, saya pikir waktu sumpah dokter itu janji kita adalah, "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan
," ternyata pada prakteknya saya malah disuruh bilang, "Saya akan membaktikan hidup saya guna kelihatan pantas sebagai dokter dan nggak mati gaya. Image dan gengsi saya akan saya utamakan,"

Saya (berusaha) tidak terlalu mikir apa pendapat orang terhadap saya. Saya juga tidak ingin dilabeli "best seller" atau disanjung.Saya cuma berpikir kalo jatah saya adalah jadi orang yang tidak segan-segan lepas sepatu dan mencelupkan kaki di lumpur. Saya bukan tipe karpet merah. Yang bikin saya nulis tentang ini adalah karena komentator saya bukan cuma ibu2 RT atau tetangga saya yang hobinya manggungin perkutut, tapi senior saya yang dokter spesialis dan kolega saya yang sudah "makan sekolahan". Jadi prihatin, kata embah saya sih, padi itu semakin berisi harus semakin menunduk. Saya ingin selalu menaruh gengsi saya di pantat, yang saya duduki. Kenapa? sebab kalau tidak, dia yang akan nangkring di kepala kita, memaksa kita buat berkokok keras-keras tiap pagi.

Sebetulnya alasan saya tidak menjaga gengsi bukan karena saya ini punya lingkaran cahaya di kepala. Alasan saya sepele: kalau kita merasa lebih tinggi dari orang lain, ketika ada yang lebih tinggi, kita akan merasa rendah. Kalau kita merasa sama tinggi terhadap semua orang, kita tidak perlu merunduk-runduk pada atasan. Hormat kepada semua orang tapi tidak ngesot di tanah dan bersikap 'sendhiko dhawuh' (siap bos). Jadi saya tidak merasa lebih baik daripada tukang cuci pakaian di kampung karena saya juga tidak merasa lebih rendah dari direktur rumah sakit atau Bapak rektor. Saya menghargai mereka semua sama derajatnya. Supaya, entah dimana pun dan kepada siapa pun, saya bisa berdiri tegak layaknya
Pithecanthropus erectus.

7 comments:

Kabasaran Soultan said...

Sepertinya pertanyaan itu ngak pernah ada kok.
Hari ini amat sangat jarang orang mempertanyakan kenapa , kenapa dan kenapa lagi ... kecuali orang-orang terdekat.
Itu kan semua soal pilihan yang menurut pilihan kita nyaman menjalankannya.
Andaikata masih ada pertanyaan ..kenapa-kenapa , mengapa, mengapa tersebut ...ya jangan dipikirin . Bukankah capek memikirkan sesuatu yang berada diluar kendali kita.

nice sharing

jc said...

Salut deh buat Ria yang udh dare to be different. Mau jd dokter yang ga cuma periksa sana periksa sini terima duit terus punya mobil berjejer-jejer. Beneran, rasanya ga semua dokter punya pikiran seperti ente. Lebih enak hidup enak daripada hidup susah. Tapi beneran, salut deh.
Lain kali kalo aku sakit, aku tanya2 ke kamu aja biar dapet resep obat gratisan *ngarepp.. maklum, pecinta gratisan, wkakaka*

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

Salam kenal buat Kabasaran. Saya juga baca blognya, manis dan puitis. Maap kalo jarang 'urun bicara' soalnya saya nggak selalu bisa online dan kata teman saya sih saya suka nggak eksis (kalo jiwa pertapanya lagi muncul). Benar juga, jarang yang bilang begitu. Mungkin karena saya tinggal di kampung, dimana pak pos-nya kenal sama embah saya, dimana tukang jual gorengannya tahu kalau adik saya baru2 saja di wisuda. Tapi ini juga aneh bin ajaibnya, belakangan ini saya ketemu banyak orang yang suka nanya2 tapi bukan ingin tahu cuma ingin banding-bandingin saja. Dan biasanya berakhir dengan bilang, "kok mau2nya sih?". Gara2nya, abis lulus saya traveling, dan selama traveling ini karena belum punya duit, saya bekerja jadi apa saja, kadang2 bersih2 dan nyuci2. Saya juga mikir, gitu mah cuekin saja. Tapi tantangan saya lebih besar karena saya tinggal di tempat dimana tuntutan sosial dan pandangan masyarakat masih ada efeknya. Saya bahagia tinggal di desa, tapi efek sampingnya adalah seperti tinggal di dalam kontainer tertutup (yakin deh pasti tahu maksud saya). Tapi benar sekali, saya nggak bakal mikirin, janji!^_^

Jessie makasih. Mnrtku (meskipun kedengeran klise) semua orang itu berbeda dan menarik adanya. Tapi banyak orang takut menjalani apa yang mereka mau, atau karena desakan keadaan, atau keterbatasan pilihan makanya jadi ikut arus. Masalahnya kalau kita nurutin pandangan umum terus, kita jadi lupa apa yang bnr2 kita inginkan, dilabeli "sukses" oleh orang lain, tapi kosong dihati...

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

hoi...setuju....orang gengsian itu belum tentu kaya
karena kalo orang yang ga bergengsi..misal makan di kfc bawa nasi sendiri..pasti duitnya lebih banyak sedikit daripada yang nasinya beli hihihihi

wongmuntilan said...

jadi dokter itu profesi yang mulia, andai otakku "nyampe" mungkin aku juga kepengen, hehe... ^^
doggie menggonggong, dokter berlalu... gitu aja ria, pokoke maju terus pantang mundur...!!!

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

makasih san hik hik terharoe! Aku jadi setengah idup penasaran ketemuan ama dirimu yang aku kenal cuman lewat blog doang hahahaha

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

Oya, gak masalah otak kok San. Aku bilang sih itu kemauan. Dan nasib. Otakku gak secemerlang sunlight. Tapi aku tetap suka otak=otak (orak nyambung ki)

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p