Thursday, August 27, 2009

(Lagi lagi) Tentang Bahasa

Alkisah, manusia hendak membangun menara yang tinggi sampai ke langit. Melihat kesombongan mereka, Tuhan memecah belah bahasa manusia. Ketika seorang meminta kayu, diambilkan palu. Ketika seorang meminta paku, diambilkan batu. Menara itu akhirnya tidak pernah selesai. Dan manusia di bumi pun berbicara dengan bahasa-bahasa yang berbeda.

Indonesia sendiri mempunyai ratusan bahasa daerah. Bahasa Yali di Papua adalah salah satunya. Bahasa ini hanya digunakan oleh suku Yali yang jumlahnya cuma beberapa ratus orang saja (katanya sih, Papua sendiri memiliki 400-an bahasa daerah!) sehingga tentu saja termasuk salah satu bahasa yang paling tidak berguna untuk dipelajari. Tapi ada pengecualian. Misalnya jika wawancara dengan pasien atau keluarganya menentukan 70% tegaknya jenis/penyebab penyakit. Sebagian besar orang Yali tidak bisa berbahasa Indonesia. Padahal saya jelas tidak bisa berbahasa Yali. Jadilah saya memakai penerjemah. Sang penerjemah biasanya menanyakan sesuatu, si pasien menjawab sesuatu disertai dengan menunjuk-nunjuk hampir seluruh bagian tubuhnya. Sang penerjemah bertanya lagi, kali ini dengan agak mengerenyitkan dahi, si pasien menanggapi dengan menggerak-gerakkan tanggannya lebih heboh lagi. Setelah beberapa menit berlalu, seperti seekor makhluk Uranus yang melihat acara debat dalam bahasa Star Trek, saya pun bertanya kepada sang penerjemah, apa yang dikeluhkan si pasien.

"Batuk," jawabnya singkat.

Saya sungguh mengagumi seni Bahasa Yali. Jadi apa saja yang perlu dibahas untuk menerangkan batuk dalam lima menit wawancara yang intens? Tukang jual obat kuat di pasar perlu belajar banyak. Singkat kata singkat cerita, saya mulai belajar Bahasa Yali. Nising'a artinya ibu, Nagni artinya bapak. Munggul artinya beringus, Holdung artinya batuk. Hol artinya menggigil, Ahanhan artinya demam, siak artinya sakit. An=saya, Hat=kamu, Hisanggo telinga, Hunggul kepala, huanggo artinya cacing, meb artinya darah. Hubet pagi, nukoho siang, hubmu malam. Ketia' artinya sekarang, mesia' artinya satu. Jadi kalau saya mau bilang, minum obat tiga kali sehari satu per satu: "Hubet nukoho hubmu mesia' mesia'," sambil memberikan obatnya. Oya, karena saya cuma mengerti sedikit kata-kata, tapi tidak tahu bagaimana cara membuat kalimat, saya menggunakan banyak bahasa isyarat yang mendukung apa yang saya mau. Jadi sebuah pertanyaan biasanya begini:

"Hat (tunjuk orangnya) Munggul? Holdung? Ahanhan?(bahasa isyarat pegang jidat) Hol? (bahasa tubuh goyang2) hisanggo siak? (bahasa Tarzan pegang kuping)? Hunggul siak? (pukul2 dada sambil garuk2 ketek, hehe)".

Meskipun sulit, ada bagian Bahasa Yali yang mudah. Untuk ucapan salam, selamat ataupun terima kasih, baik itu kepada laki2 atau perempuan, diri sendiri atau orang lain, pagi siang atau sore, katanya sama: Halabok. Setiap bertemu di jalan: Halabok! Mereka juga menggunakan kata ini untuk mengakhiri tiap kalimat, contoh: blablablayadayadayada, Halabok. Capcipcup, dagdigdug, blekuthukblekuthuk, Halabok. Duridamdamdududomdimdum, Halabok! Apapun yang mereka ucapkan, Halabok tidak terlupa, konon sebagai tanda hormat.

Terkadang dalam berbicara, orang terlalu sadar bahasa sehingga tidak terlalu perhatian pada isi pesan yang ingin di sampaikan. Hal ini terutama terjadi kalau orang sudah memakai bahasa bukan lagi untuk alat komunikasi tapi alat untuk unjuk diri. Memang, kadang saya juga suka menggunakan kata tertentu untuk menimbulkan efek tertentu, misalnya melebih-lebihkan atau mendramatisir suasana. Kata 'melolong' tentu terkesan lebih yahud menggambarkan seorang yang berteriak daripada cuma dengan kata 'menjerit'. Tapi kalau kita menggunakan kata muluk-muluk tidak perlu, tentu pesannya tidak tersampaikan ke orang lain, apalagi efeknya. Efek tidak mudeng bukanlah efek yang saya inginkan. Saya pernah membaca artikel di Kompas yang ditulis seorang Prof dengan 2 gelar di depan namanya dan 3 gelar lain di belakangnya. Artikel itu berbahasa Indonesia, tapi penuh dengan kata serapan dan anak kalimat yang panjang-panjang sehingga dari awal paragraf sampai titik terakhir saya sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan. Kalau menurut saya sih, tulisan di surat kabar seharusnya disesuaikan dengan bahasa awam sehingga bisa dimengeri orang banyak. Kalau hanya dimengerti oleh penulis sendiri, lebih baik nulis buku harian.

Terakhir, bila ada seorang teman yang tidak mengerti bahasa kita, pakailah bahasa yang dimengerti oleh semua orang. Saya pernah merasa 'teralienasi' karena teman-teman kerja saya di Papua suka berbicara bahasa Toraja satu sama lain. Kata sohib-sohib Toraja saya, tidak afdol kalau mereka tidak bercanda dalam bahasa daerah mereka sendiri. Saya cukup mengerti perasaan ini, karena keluarga saya sendiri tidak berbahasa Indonesia satu sama lain (tidak ada yang berbahasa Indonesia di Limpung, kecuali di dalam kelas. Pas pelajaran bahasa Indonesia). Kami selalu berbahasa Jawa dengan aksen Limpung. Tapi begitu ada pacar adek saya yang orang Bandung datang berkunjung, kita berusaha berbicara satu sama lain dalam bahasa Indonesia, karena kita tidak ingin membuat orang lain merasa tidak nyaman. Meskipun ini mungkin membuat kami merasa seperti dalam sandiwara radio:

"Mama, apakah engkau sudah merebus air untuk menjerang teh?"
"Sudah, anakku. Tapi hendaklah engkau berhati-hati saat menyeduh. Apabila ceroboh, kulitmu bisa melepuh,"
"Jangan berburuk sangka, mamaku. Aku selalu faham dan waspada. Aku hanya akan menyesap teh dari cangkir apabila airnya sudah mendingin. Dimanakah nasi yang kau buat, mama?"
"Oh, di dalam belanga anakku. Hati-hati sebab ia hitam berjelaga. Ambillah periuk dan tuangkanlah lauk. Makan siang telah tersedia,"

OK. Saya agak berlebihan. Intinya, saya cuma ingin bilang, hormatilah orang yang tidak mengerti bahasa kita. Dan kalau saya boleh sarankan, meskipun bahasa bisa menggambarkan tingkat pendidikan, tingkat sosial, ataupun tingkat prestise yang lain, fungsi utama bahasa adalah alat komunikasi. Janganlah dibikin sulit. Jangan suka mencampur-adukkan dengan bahasanya James Bond. Yang penting isi pesan tersampaikan, si penerima pesan paham. Setuju? Halabok!

No comments:

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p