Friday, August 21, 2009

Bibit bobot bebet, suku agama ras dan antar golongan

Seorang teman saya pernah bilang bahwa kita selalu menilai orang lain. Ada ukuran yang dipakai untuk menentukan 'harga' setiap orang. Bukannya semua orang itu sama harkat, martabat dan derajatnya? Seharusnya begitu, tapi kenyataannya men are equal but some are more equal than others. Mungkin kita tidak ambil pusing apakah kita ini golongan menengah ke atas atau meminggir ke samping. Tapi kadang menyedihkan ketika kita dipaksa untuk menerima sistem kasta modern yang disamarkan menjadi derajat sosial mau atau tidak mau. Saya bicara tentang gosip ibu-ibu RT: masalah mencari jodoh.

Seolah-olah menjalin hubungan itu tidak cukup sulit, kita masih juga dibebani dengan pertanyaan: Apakah orang ini 'seimbang' dengan saya? (atau lebih tepatnya seimbang menurut penilaian masyarakat). Apa tingkat pendidikannya, siapa orang tuanya, apa pekerjaannya, berapa penghasilannya per bulan, apakah dia sudah mapan, apa agamanya, apa sukunya, apa rasnya, siapa yang dia dicoblos waktu pemilu? Ini adalah pertanyaan yang wajar entah dibelahan dunia manapun. Adalah dorongan naluriah untuk memilih pasangan berdasarkan kekuatan dan kekuasaannya. Saya yakin manusia gua jaman dulu akan memilih pejantan yang bisa melempar lembing paling jauh karena diyakini ia akan memenuhi kebutuhan makanan dan daging buruan selama mereka hidup. Sekarang, beribu tahun kemudian, dorongan ini tetap sama, ini menjelaskan kenapa Sultan Brunei bisa gonta-ganti istri dan si gaek Nicolas Sarkozy bisa beristri Carla Bruni. Saya lumayan yakin tidak seorangpun kebal terhadap pengaruh nilai-nilai masyarakat dalam memilih pasangan. Siapa tidak ingin punya cewek langsing, tinggi, sexy, cakep, pinter, kaya? Siapa tidak ngiler dengan cowok ganteng, baik, manis, pengertian, berotak encer, berkarir sukses dan berpenghasilan mantab? (pake b, supaya lebih jelas, bukan kesalahan ejaan). Barangkali kita bisa bilang, tidak selalu minta yang begitu kok. Tentu saja, ini hukum tawar-menawar. Apa yang kita punya, apa yang kita harapkan. Kalau misalnya seseorang termasuk kasta sudra, tentu tidak mengharapkan pasangan kasta ksatria. Bedanya tipis, sekarang ida ayu dan ida bagus digantikan oleh omset dan balance tabungan, profesi dan mobil tunggangan. Kita beralih ke pilihan kedua ketika kita sadar tidak sangggup membeli pilihan pertama. Tapi memang benar, kita tidak melulu menilai dari sudut ekonomi. Ada yang lebih lumrah dari itu: suku dan agama dan ras dan antar golongan. Saya mengerti kalau pertimbangan agama mungkin masuk akal, karena kepercayaan itu mempengaruhi cara pikir. Tapi biarlah kedua orang yang menjalin hubungan memutuskan sendiri apakah mereka bisa menerima perbedaan kepercayaan daripada orang lain yang menentang. Toh apapun yang terjadi dalam rumah tangga itu tanggung jawab orang yang berumah tangga, bukannya tanggung jawab tetangga. Bagaimana dengan suku, ras dan golongan? Teman saya berkilah bahwa latar belakang keluarga mempengaruhi tabiat seseorang. Ras tertentu memiliki budaya yang berbeda yang susah diterima ras lain. Bahkan partai politik yang dia pilih mewakili cara pandang dia terhadap kehidupan (ini lebih ke partai politik di negara maju, misal: konvensional atau buruh). Ini tentu saja benar. Tapi saya kira ini termasuk perbuatan pukul rata (generalisasi) dan mengurangi penilaian terhadap pribadi seseorang. Kita memang punya bagian yang mewakili suku, agama ras dan golongan kita, tapi juga kita adalah minoritas dari satu. Unik. Kalau kita menggunakan pengelompokan ini sebagai salah satu alat ukur dalam memilih pasangan, tentu kesempatan kita untuk mendapatkan pribadi terbaik akan lebih sempit.

Tidak bisa dipungkiri, apa yang kita hargai dan apa yang kita kagumi memberi andil cukup besar terhadap pilihan yang kita buat. Misalnya orang yang menghargai pengetahuan, akan mudah tertarik pada seseorang yang pintar. Orang yang menghargai kepercayaan diri, akan tertarik pada pribadi yang kuat. Orang yang spiritual menghargai pasangan yang berpikir mendalam. Ini menjelaskan kenapa orang tertarik pada orang yang kurang lebih setipe. Menurut saya ini sepenuhnya wajar. Yang menyedihkan adalah ketika suatu hubungan harus didikte oleh nilai-nilai yang ditentukan masyarakat, orang tua atau sanak saudara. Saya berpikir kalau kita mencintai keluarga kita, berarti kita menghargai pilihan mereka, bukannya memberi tahu apa yang membuat mereka bahagia. Setahu saya, menjalin hubungan itu sudah cukup sulit dengan konflik antara dua pribadi tanpa harus dicampuri ayah, ibu, teteh, A'a, opung, opa, nenek, Oom, tante dan pak RT. Jadi orang-orang tua seharusnya membiarkan anak-anak ini belajar sendiri, jatuh bangun sendiri dalam menjalin hubungan sampai mereka belajar untuk tahu apakah hubungan yang benar itu. Memang mungkin menyakitkan melihat proses putus sambung, tapi seperti kata Rinso, kalau tidak ada noda yang nggak belajar. Biasanya, yang menjadi pilihan hidup tidak ada hubungannya dengan kriteria ukuran diatas, namun kematangan dan kesiapan pribadi lepas pribadi.

Kapankah orang bisa jatuh cinta dengan spontan dan jujur seperti anak-anak yang tidak memperhitungkan bibit bobot bebet, suku agama ras dan antar golongan?

Grown-ups never understand anything by themselves, and it is tiresome for children to be always and forever explaining things to them. Antoine de Saint Exupéry

3 comments:

Baek Sung Jo Oppa said...

nek jareku membeda2kan sara kuwi pancen rak apik..tapi terus terang aku nek milih jodoh pengene seng seiman. trus nek iso ojo preman....pengangguran trus rak duwe duit, seneng judi, seneng "jajan", senengE ngamplengi bojone, kumuh, rak tau adus, psikopat...rodo edan..
jadi bibit bebet bobot kuwi penting juga...asal ojo keterlaluan...misale terlalu matre...tapi angel juga si soale kan jaman saiki opo2 butuh duit...yo pemecahane..nek dewe emang wes cinta karo cowok pengangguran, rak duwe duit, rak iso kerjo..berarti dewe seng duite kudu akeh..jadi rak masalah kan hihihi

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

=D =D cekakakakakakakakakakak

Sun Chasing said...

I enjoyed readingg this

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p