Thursday, December 10, 2009

Hitam di Atas Putih

Pekerjaan apa yang mudah dan bisa dapet duit banyak? Menurut saya, membikin surat-surat. Entah itu sertifikat, ijasah, tanda lulus, surat keterangan, transkrip, legalisiran, surat pengantar, surat sehat, akte, dan sebangsanya. Gimana tidak, surat-surat ini dianggap amat penting sekali banget abis. Padahal modalnya cuman selembar kertas. Print-print-an yang sudah di-template, cap stempel dan tanda tangan. Untungnya bisa lebih dari seribu prosen. Modal cepek yang dipalak ditodong seratus ribu rupiah. Bahkan lebih (surat keterangan saya bisa naik motor dijual seratus empat puluh ribu rupiah, padahal saya udah gape naek motor sejak sepuluh tahun yang lalu. Cuman gara-gara SIM lama saya ilang=<). Minta keterangan mau nikah ke lurah ato RT/RW aja bisa sampe 250 ribu rupiah lho. Jadi, bukannya jualan surat itu bisa cepet kaya?

Saya mengerti kalau ijasah, sertifikat dan surat keterangan itu penting. Darimana kita tahu seseorang itu memenuhi kualifikasi tertentu atau punya keahlian tertentu atau sudah melewati suatu ujian atau dinyatakan berkelakuan baik atau bebas narkoba atau sehat jasmani dan rohani kalau cuma modal omongan mulut saja? Surat-surat itu adalah bukti hitam di atas putih. Sedihnya adalah kalau surat ini sudah jadi patokan harga mati, yang kurang lebih dianggap tolok ukur untuk menentukan kualitas seseorang yang melamar suatu pekerjaan/ jabatan/ kesempatan belajar. Soalnya ya itu tadi, surat-surat ini lantas jadi tujuan akhir. Bahkan ada yang mengumpulkan ijasah seperti filatelis ternama ngumpulin perangko dari jaman perang dunia. Saya punya sertifikat yang menyatakan kalau saya bisa menangani keadaan gawat-darurat. Tapi sejak surat itu dibuat saya sama sekali tidak bersentuhan dengan tolong-menolong kecelakaan selama dua tahun. Surat itu masih valid, tapi tidak menggambarkan kemampuan saya yang sebenarnya. Soalnya waktu latihan yang dipakai kambing dan kelinci. Padahal manusia kan beda, soalnya kambing dan kelinci keteknya empat. Saya tidak bicara tentang surat yang palsu atau ijasah yang dibeli. Saya cuma ingin menggarisbawahi bahwa pengalaman seseorang yang berkecimpung di suatu bidang terkadang lebih penting daripada surat-surat yang dimilikinya.

Teman dekat saya sekolahnya hanya sampai bangku SMU karena keterbatasan biaya. Sejak itu dia bekerja di pabrik tekstil sebagai penanggung jawab gudang. Dia menjalani pekerjaannya selama delapan tahun untuk menangani muatan, barang masuk-keluar sampai membuat laporan. Ketika dia pindah ke perusahaan lain karena alasan keluarga, dia digaji sama persis ketika dia baru mulai kerja delapan tahun yang lalu. Sebabnya? Ijasahnya tamatan SMU. Saya berani bertaruh sarjana S1 pertekstilan (ada nggak ya?) tidak sepintar dia dalam menangani urusan gudang. Perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya adalah perusahaan besar. Dia terbiasa menangani tekstil berton-ton dalam sehari. Dia sudah tahu bagaimana berdebat, bernegosiasi, tawar-menawar sampai arisan atau main gaple dengan supir truk barang, pembawa surat jalan, pengecek muatan, sampai kuli angkut. Tidak adil rasanya kalau kemampuan dia cuma disamakan dengan ijasah yang didapatkannya sepuluh tahun yang lalu, waktu dia cuma baru keluar dari kelas III IPA.

Baru-baru ini saya melamar pekerjaan jadi guru bahasa Inggris, alasannya saya ingin berbagi pengetahuan di samping menjaga supaya ingatan saya tidak luntur bersama waktu. Mulanya saya juga tidak yakin bisa (meskipun saya memang suka mengajar). Untunglah saya diberi kesempatan belajar mengajar dulu selama sebulan sebelum benar-benar punya kelas sendiri. Percaya atau tidak, tak ada selembar ijasah pun terlibat dalam proses pendaftaran ini. Karena tidak diminta. Saya sudah mengobrak-abrik lemari saya yang lebih mirip tempat daur ulang kertas dibanding tempat arsip buat mencari selembar sertifikat IELTS dua tahun (atau lebih ya?) lalu. Maksudnya sekedar untuk bukti bahwa saya ngerti dikit tentang bahasanya Pak William Wordsworth. Apa lacur, sertifikat ini ketinggalan di toilet rumah sakit (saya agak grogi mau daftar profesi lain, jujur!). Saya pun datang cuma berbekal satu surat lamaran yang ditulis tangan. Saya disodori selembar kertas ujian. Lalu si perekrut, guru asal Amerika yang agak botak *semoga dia nggak buka blog ini, amin* meminta saya mengikuti dia ke ruang wawancara. Saya dinyatakan lulus ujian tertulis, tapi dia ingin tahu motivasi terdalam saya untuk mengajar bahasa. Hanya pengisi waktu luang atau sekedar uang saku tambahan? Saya bilang bahwa saya sungguh-sungguh hobi mengajar dan tertarik pada bahasa, tapi tidak semudah itu meyakinkan orang botak, karena biasanya mereka punya indra keenam sehubungan dengan bagian kepala yang terbuka lebih lebar *sungguh-sungguh beharap dia tidak pernah buka blog, amin2x*. Kami bicara kira-kira selama empat puluh lima menit sebelum dia memutuskan saya harus demo mengajar. Singkat cerita, dia bilang saya tidak punya ide apapun tentang mengajar, tapi saya punya selera humor dan kesungguhan yang menarik perhatiannya. Saya masuk training mengajar dan diperbolehkan jadi staf guru setelah saya berhasil mempelajari cara bicara di depan kelas. Intinya, dia bahkan tidak bertanya berapa skor TOEFL atau IELTS atau CAE atau ABCDE atau sertifikat apapun. Dia bisa melihat dari seberapa ekspresif surat lamaran saya, seberapa lancar wawancara dengan saya, dan bagaimana saya menerangkan di depan papan tulis. Itulah yang dibutuhkan saat saya mengajar nanti. Bukan nilai yang tertera di sertifikat saya berpuluh tahun yang lalu itu.

Nilai yang tertera di atas kertas tidak selalu mencerminkan kualitas yang sebenarnya. Memang pertanyaan selanjutnya: lalu apa yang dijadikan patokan? Saya suka dengan evaluasi hasil kerja atau hasil belajar. Jadi yang prestasinya bagus yang direkrut. Dengan melihat langsung pekerjaannya, bukan dokumen-dokumennya. Karena, seperti kata pepatah, jangan menilai buku dari filmnya eh sampulnya. Jangan menilai orang dari surat-suratnya.

8 comments:

Vicky said...

Waktu aku melamar kerjaan, aku cuman berbekal CV dan setumpuk sertifikat. Aku dipanggil wawancara cuman buat formalitas doang. Menurutku, mereka nggak liat kemampuanku. Mereka cuman liat berapa lembar sertifikat yang ada namakunya.

Fanda said...

Cara penilaian itu beda di setiap perusahaan. Kalo menilik temanmu yg lulusan SMA itu, aku jd bersyukur melamar ke perusahaan di mana aku kerja pertama kali dulu. Mereka mau menghargai aku, dan meski aku cuma lulusan D3, gajiku akhirnya bs lbh tinggi dari yg lulusan S1. Sekali lagi, itu tergantung perusahaannya.

Anyway, nyari kerjaan itu lbh sulit drpd nyari jodoh loh. Kalo nyari jodoh kan kita bisa pacaran dulu, lah kalo nyari kerja? Tau2 kita udah kecemplung, dan kalo ternyata ga krasan hrs cari sumur lain tempat kita bisa mencemplungkan diri berikutnya...

Ngomong2, cowok yg udah dewasa itu justru bangga loh kalo rada2 botak. Soalnya dianggap dia: pinter, bijak dan mapan. So, jangan nilai pria dari jumlah rambutnya. hahahaha...

Sri Riyati said...

Iya Vicky, mnrtku kamu nggak usah dites TOEFL. Orang liat blogmu aja sudah kliatan kok. Tapi mungkin emang perlu, supaya yang ngetes2 itu punya kerjaan. Kalo bisa dipersulit, kenapa dipermudah? Hehe. Fanda, wah itu perusahaan keren! Aku suka caramu mbandingin pekerjaan ama sumur. Emang, kalau keluar dari pekerjaan itu rasanya seperti jadi Sadako. Haha. Setuju. Trus yang dinilai enaknya apanya Fanda? Berapa kali dia push-up tiap hari? Gopek kali? ^_^

jc said...

Sebenernya temenmu itu berhak dapet gaji lebih coz ada yang namanya pengalaman kerja. S1 dengan pengalaman kerja dan S1 tanpa pengalaman kerja gajinya beda lho. Apalagi kalo ndaptar di OI, S1 no experience ke laut aje, mereka cari yg 6th *bayangin deh*.
So.. lulus ga? ;D

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

Lulus Jess. Tapi blm nego gaji. Emang bayarannya guru brp sih? (nanya bnran nih)

Baek Sung Jo Oppa said...

iya bener...surat2 terkadang luwih dianggep daripada orangnya o...padahal kemampuan tiap orang kan ga cuma dinilai dari surat2nya..karena kan ada faktor2 laen seperti kepribadian, kreatip atau tidaknya, bagaimana pergaulannya, pinter ngejilat bos apa nggak, dll :p. aku ada temen yang ijazahnya perfect,.,ipk hampir 4 (makan nasi ga sih?) tapi susah cari kerja krn sifatnya aneh. tapi ada juga yang waktu kuliah biasa2 aja tapi sukses dalam karir.

kalo aku sendiri sebel ngurus surat2 apalagi kalo berhubungan ama orang2 pemerintahan..mesti dipalak soale

trus si temenmu itu....mendingan cari persh laen yang lebih objektif ya...yang memperhitungkan pengalamannya juga...or sapa tau kowe mo bikin perusahaan sendiri...jadi bisa menarik tenaga kerja tanpa memperhatikan sertifikat2nya....gimana?

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

amiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnn

Unknown said...

yup. nilai di atas kertas itu baru teori. tapi begitu masuk dunia kerja, semua itu gak ada artinya. yg penting adalah prakteknya.

btw, masa sih orang botak punya indera ke 6? hehhee. baru tahu.

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p