Olah raga apa yang murah meriah dan bisa dilakukan dimanapun termasuk di desa Limpung? (yang sarana olah raganya paling banter lapangan sepakbola?). Jawabnya lari pagi/sore (Bukan berenang. Kalinya pada surut kemarau panjang begini. Buat ngairi sawah saja susah, kalau cuma mau main air pun sudah harus bersaing sama bebek).
Maka, sebagai seorang yang sehat, atletis, puitis dan dinamis tapi nggak punya alokasi dana untuk bayar sanggar senam atau fitness centre (kalaupun ada, tapi sekali lagi, di Limpung cuma ada lapangan gundu), sayapun berlarilah.
Seni berlari-lari di Limpung sangatlah sederhana.
Pertama, pakailah kaos yang luar biasa komprang dan celama pendek yang susah dibedakan dengan celana panjang. Supaya tidak mengumbar syahwat? Bukan. Supaya nggak dihampiri tukang ojek dikira orang kesasar. Ini kata adek saya adalah pengamalan dari peribahasa 'dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung'. Jarang ada orang yang lari pagi dengan baju jogging model terbaru dan sambil mendengarkan iPod touch (lari apa mejeng sih). Kalau ingin lari dengan tenang, berbusanalah seperti orang yang mau ke pasar. Jadi kalo lari-lari paling cuma dikira ngejar bis omprengan.
Kedua, jangan asal lari. Lihat kiri kanan. Atas bawah. Kiri kanan kalau ada kendaraan lewat, soalnya nggak ada jalur pejalan kaki apalagi jogging track. Atas? Kalau ada blekok yang tiba-tiba buang air. Bawah? Banyak parit yang sudah ditumbuhi rumput. Tingkat kejeblos di kampung saya tinggi. Parit ini dibiarkan saja karena masih dibutuhkan buat cari kecebong kalo pas musim kering begini.
Ketiga, larilah bersama teman. Selain buat keamanan, teman adalah pengobar semangat persaingan. Meskipun dalam hati saya berpikir, "Aduh, saya capek banget. Rasanya sudah mau mati. Saya mau berhenti," tapi melihat teman saya masih tetap lari saya tengsin dan berusaha tetap lari. Padahal usut punya usut si teman yang udah ngos-ngosan itu juga berpikir, "Aduh napas saya udah Senin-Kamis, mau putus. Saya ingin berhenti," tapi karena saya masih berlari, semangat kompetisi pun muncul dan si teman ikutan berlari. Jadi kami pun berlari melampai kemampuan kami masing-masing kalau kalau saja lari sendiri-sendiri (berhenti tiap 30 detik sekali jadi 3 menit sekali, hehe). Coba kalau satu RT disuruh lari sama-sama, pasti dengan rasa kompetisi kami bakalan bisa jadi desa finalis PON 2009.
Keempat, jangan bawa duit sepeserpun. Ide ini selain didukung sepenuh hati dan jiwa oleh Papa saya yang penuh perhitungan, juga oleh jamu singset nyonya meneer yang berdiri sejak 1819. Apa pasal? Di Limpung kita bisa menemukan es dawet, es cendol, bubur kacang ijo kuningan, wedang ronde, es kelapa muda, dsb tiap jarak 5 meter. Kalau bawa duit yang ada bukannya berlari tapi wisata "kembung" kuliner . Karena es yang segar-segar ini bakal merayu kita lebih dahsyat daripada iklan sirup Marjan Boudoin.
Kelima, jangan pakai sandal jepit. Lho, katanya tadi harus berbusana seperti ke pasar? Iya, kecuali alas kakinya. Tetap pakailah sepatu seperti orang waras yang berolah raga. Soalnya sandal jepit gampang putus kalo kejeblos parit. Emangnya mau pulang telanjang kaki sambil nenteng sandal swallow yang kiri saja? (based on true story, berdasar pengalaman saya sendiri, sudah dibuktikan dan ternyata nggak elit sama sekali)
Maka, sebagai seorang yang sehat, atletis, puitis dan dinamis tapi nggak punya alokasi dana untuk bayar sanggar senam atau fitness centre (kalaupun ada, tapi sekali lagi, di Limpung cuma ada lapangan gundu), sayapun berlarilah.
Seni berlari-lari di Limpung sangatlah sederhana.
Pertama, pakailah kaos yang luar biasa komprang dan celama pendek yang susah dibedakan dengan celana panjang. Supaya tidak mengumbar syahwat? Bukan. Supaya nggak dihampiri tukang ojek dikira orang kesasar. Ini kata adek saya adalah pengamalan dari peribahasa 'dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung'. Jarang ada orang yang lari pagi dengan baju jogging model terbaru dan sambil mendengarkan iPod touch (lari apa mejeng sih). Kalau ingin lari dengan tenang, berbusanalah seperti orang yang mau ke pasar. Jadi kalo lari-lari paling cuma dikira ngejar bis omprengan.
Kedua, jangan asal lari. Lihat kiri kanan. Atas bawah. Kiri kanan kalau ada kendaraan lewat, soalnya nggak ada jalur pejalan kaki apalagi jogging track. Atas? Kalau ada blekok yang tiba-tiba buang air. Bawah? Banyak parit yang sudah ditumbuhi rumput. Tingkat kejeblos di kampung saya tinggi. Parit ini dibiarkan saja karena masih dibutuhkan buat cari kecebong kalo pas musim kering begini.
Ketiga, larilah bersama teman. Selain buat keamanan, teman adalah pengobar semangat persaingan. Meskipun dalam hati saya berpikir, "Aduh, saya capek banget. Rasanya sudah mau mati. Saya mau berhenti," tapi melihat teman saya masih tetap lari saya tengsin dan berusaha tetap lari. Padahal usut punya usut si teman yang udah ngos-ngosan itu juga berpikir, "Aduh napas saya udah Senin-Kamis, mau putus. Saya ingin berhenti," tapi karena saya masih berlari, semangat kompetisi pun muncul dan si teman ikutan berlari. Jadi kami pun berlari melampai kemampuan kami masing-masing kalau kalau saja lari sendiri-sendiri (berhenti tiap 30 detik sekali jadi 3 menit sekali, hehe). Coba kalau satu RT disuruh lari sama-sama, pasti dengan rasa kompetisi kami bakalan bisa jadi desa finalis PON 2009.
Keempat, jangan bawa duit sepeserpun. Ide ini selain didukung sepenuh hati dan jiwa oleh Papa saya yang penuh perhitungan, juga oleh jamu singset nyonya meneer yang berdiri sejak 1819. Apa pasal? Di Limpung kita bisa menemukan es dawet, es cendol, bubur kacang ijo kuningan, wedang ronde, es kelapa muda, dsb tiap jarak 5 meter. Kalau bawa duit yang ada bukannya berlari tapi wisata "kembung" kuliner . Karena es yang segar-segar ini bakal merayu kita lebih dahsyat daripada iklan sirup Marjan Boudoin.
Kelima, jangan pakai sandal jepit. Lho, katanya tadi harus berbusana seperti ke pasar? Iya, kecuali alas kakinya. Tetap pakailah sepatu seperti orang waras yang berolah raga. Soalnya sandal jepit gampang putus kalo kejeblos parit. Emangnya mau pulang telanjang kaki sambil nenteng sandal swallow yang kiri saja? (based on true story, berdasar pengalaman saya sendiri, sudah dibuktikan dan ternyata nggak elit sama sekali)