Sunday, July 27, 2008

Pengobatan tradisional tidak lebih aneh dari ilmu kedokteran

The term traditional medicine (Indigenous medicine or folk medicine) describes medical knowledge systems, which developed over centuries within various societies before the era of modern medicine; traditional medicines include practices such as herbal medicine, Ayurvedic medicine, Unani medicine, acupuncture, spinal manipulation, Siddha Medicine, traditional Chinese medicine, South African Muti, Yoruba Ifá, as well as other medical knowledge and practices all over the globe.

Selama belajar "ilmu kesehatan modern" tanpa sadar aku menganggap "ilmu kesehatan tradisional" sebagai hal yang aneh dan tidak masuk akal. Aku lupa bahwa selama ini praktik pengobatan non medis lebih dekat dimata dan lebih dekat di hati daripada yang aku bayangkan.

Saat pertama kali mendapat pasien dengan luka menganga di dahi dan keluhan sakit kepala, yang terpikir olehku (sebagai kaum modernis fasis skeptis^_^) adalah: orang ini jatuh dan luka, terus kepalanya jadi sakit. Tanpa anamnesis yang panjang (dan keterlibatan penerjemah yang malah bikin tambah mbingungi diagnosanya), langsung saya jahit luka itu dan plester rapi. Kasih asam mefenamat. Tapi dengan susah payah si penerjemah menerangkan, bahwa luka itu bukan karena jatuh melainkan disayat sendiri oleh pasien. "Darah kotor yang keluar itu menyembuhkan, kalau banyak tanda penyakitnya parah. Setelah disayat biasanya sembuh. Kalau belum sembuh biasanya mereka baru berobat ke puskesmas,". Kayaknya tindakanku barusan kurang bisa dianggap heroik (inilah hikmah pepatah malu bertanya sesat di jalan. Malas bertanya langsung main jahit orang). Jadi mereka pasti berpikir aku malah memblokir jalan keluarnya penyakit. Kesimpulanku saat itu: orang Papua punya cara aneh dalam mengobati penyakit. Bukan sekali dua, melainkan semua penyakit diobati dengan cara ini. Mulaidari bengkak babi (istilah ini tidak ditemukan di kamus Dorland), batuk pilek panas demam sampai jatuh dari pohon kelapa hutan. Darah yang keluar, apabila banyak akan ditampung dan....dibakar! Untung mereka cuma menyayat vena (dan dahi). Kalau arteri, pasti banyak yang mati kehabisan darah kayak adegan bunuh diri murahan di filem-filem horor kelas B. Aneh dan tidak masuk akal. Tapi ternyata ini cuma karena aku tidak familiar dengan acara sayat-sayatan. Di sekitarku ternyata ada banyak cara pengobatan yang sama sekali tidak tersebut di kamus Dorland (edisi saku maupun edisi ganjel pintu) dan aku sama sekali tidak menganggap itu aneh cuma karena cara itu familiar denganku.

Waktu kecil aku ingat banyak peristiwa yang jelas tentang: Usaha Ibuku Mengobati Penyakit dalam Rumah Tangga (UIMP-RT). Pertama, kalau aku tersayat dia akan mengunyah daun baladewa (sayang aku lupa bagaimana bentuknya daun itu) dan menempelkan kunyahan daun itu di atas lukaku yang menganga. Kalau dipikir lagi sekarang, aku seharusnya berteriak-teriak mengenai infeksi, pengotoran luka dan sepsis (ini berlebihan sih). Coba saja dipikir, berapa banyak bakteri dalam ludah manusia? Berapa banyak bakteri dan zat tidak diketahui ada dalam daun yang sudah dikunyah? Bagaimana kalo itu semua masuk dari luka dan beredar ke seluruh tubuh? Tapi waktu itu aku menurut saja dan toh perdarahannya berhenti beneran dan tidak meninggalkan bekas luka. Lalu waktu adikku yang kedua terlambat jalan, ayahku menyundut kakinya dengan rokok (cara UIMP-RT yang agak-agak mirip KDRT). Belum lagi jus-jus temu lawak, temu ireng dan temu-temu yang lain yang selalu jadi pil pahit eh jamu pahit yang harus kutelan semasa kecil. Lalu ada juga dukun yang mengobati kami supaya doyan makan (aku dan adikku cuma beda usia 2 tahun). Dukun ini pertama-tama harus di"kurung" di selimut, ditanyai 2 kali (lupa apa pertanyaannya) dan nantinya dia akan menggigiti perut anak-anak yang tidak suka makan dan hobi diare, lalu dari mulutnya keluar paku-paku sungguhan. Trik ini sangat hebat! Kalau saja saat itu HP sudah berkamera pasti aku rekam pertunjukan ini. Tapi yang perlu dicatat: orang tuaku percaya pada dukun ini dan hal tersebut tidak pernah dianggap aneh atau tidak masuk akal.

Setelah aku dewasa dan kita memasuki jaman milenium, apakah praktek tradisional itu hilang? Tidak juga. Seperti yang aku bilang, ilmu ini lebih dekat di hati daripada praktek kedokteran Barat yang berdasar jurnal ilmiah dan uji statistik. Belakangan ini ibuku membawaku ke tempat pengobatan dengan batu giok merah dari Korea. Namanya Hai Yu Giok. Sumpah ini bukan cerita silat. Di sana ada tempat tidur seperti meja setrikaan dan sebuah alas kaki bermagnet. Waktu aku berbaring, aku ditempeli katoda di kaki kanan-kiri dan selimut listrik panas di sekitar perut. Waktu tombol On dipencet, "meja setrikaan" itu ternyata beroda dan rodanya jalan seolah-olah memijit punggung. Sialnya, meskipun aku tidak bisa dibilang langsing, tulang pinggul dan punggungku cukup menonjol. Selesai sesi 45 menit, badanku jadi agak memar-memar. Belum lagi katoda itu ternyata menyetrum meskipun voltasenya rendah. Kakiku jadi berjengit-jengit karena ototnya refleks berkontraksi. Masih menyebut orang Papua saja yang aneh dan tidak masuk akal?

Ngomong-ngomong soal pengobatan tradisional, ternyata ada beberapa macam cara kerokan. Pertama alatnya. Bagi "kulit perawan" alias yang jarang dikerok, orang menggunakan bawang putih. Bagi kulit badak alias tuman kerokan (e.g. kulitku) orang akan menggunakan uang logam dan tanpa alat pelicin (balsem maksudku, bukan duitnya) yang memadai. Uang ini bisa seratusan, dua ratusan ato lima ratusan (ya iyalah, masa ada receh 50 ribuan?). Kedua caranya. Setahuku dulu, cuma ada satu rute kerokan, yaitu membuat pola seperti duri ikan dan di punggung saja. Ternyata, di Flores orang membuat rute tegak lurus acak! Tapi meskipun acak, menggoresnya bisa selalu di tempat yang sama. Menakjubkan bukan? Mungkinkah pada dasarnya orang Flores ngerokin seperti Pollock melukis? Lalu ada yang kerokan sampai di dada dan perut. Ada yang sambil memijat (supaya angin keluar) dan anehnya yang memijatlah yang sibuk bersendawa.

Ada juga cara sungkup. Metoda ini sudah banyak dikenal, jadi sudah seterkenal akupunktur dan pijat refleksi. Caranya dengan membakar kertas atau apapun di dalam gelas, lalu setelah udara di gelas memuai taruh gelas diatas daerah yang sakit. Udara yang memuai ini akan "menghisap" keluar angin buruk (atau angin duduk?) di badan. Aku tidak tahu bagaimana cara kerjanya tapi ayahku yang sudah seminggu sakit punggung benar-benar sembuh dengan cara ini. Cara lain adalah dengan binatang. Ada ikan yang bisa "memakan" sumber penyakit di kaki atau lintah yang bisa menghisap darah kotor. Ibuku dulu pernah cerita kalau lukanya bisa sembuh setelah dijilat anjing. Menurut nalarnya, liur anjing mengandung antiseptik yang menyembuhkan luka anjing sendiri kalau dia tawuran. Betul atau tidaknya tentu kita belum tahu karena sepertinya tidak ada ilmuwan yang mau meneliti anjing, lintah atau ikan. Mungkin mereka sibuk cari obat kanker lewat pembacaan kodon-kodon genetika.

Gawatnya, sebagai orang yang "open-minded" dan "kurang tahu-minded" aku sering kelabakan kalau ditanya tentang apakah suatu cara tradisional itu betul atau penipuan. (Sebagai informasi saja, pengobatan batu giok itu sekali sesi sepuluh ribu, jadi dokter puskesmas sepasien paling banter lima ribu. Mengingat perdagangan bebas saat ini seharusnya kedokteran modern punya PR sendiri). Jawabannya adalah tidak tahu. Bila pengobatan itu tidak terlalu intrusif dan ada hasilnya, kenapa tidak? Sangkal putung masih OK untuk patah tulang tangan dan kaki, karena pada dasarnya dilakukan reposisi dan imobilisasi, cara yang sama dilakukan oleh ortopedi. Masalah baru timbul kalau keluarga pasien tidak tahu bedanya patah tulang tangan dengan patah t
ulang rusuk. Yang kedua itu bukan pekerjaan sangkal putung sama sekali.

Harus diakui, banyak metode pengobatan yang semata-mata cari uang belaka (tak terkecuali kedokteran modern tentunya). Sekitar tahun dua ribuan, buah merah adalah bisnis terbesar di kota Wamena, Papua. Sekarang meskipun popularitasnya turun tapi harganya masih selangit, aku masih mengkonsumsi minyak buah yang bikin kotoran merah seperti efek rifampicin pada air kencing. Bukan karena aku begitu percaya pada khasiat buah merah, tapi minyak yang aku pernah makan langsung dari buah aslinya ini memang mengandung anti oksidan, yaitu seperti yang terkandung pada buah dan sayuran yang bervitamin C atau E. Jadi seperti makan buah saja. Tentunya hal ini tidak sebanding dengan harga yang nyaris membuat buah merah seperti ramuan bertuah. Mungkin reputasi buah merahlah, bukan nilai ekonomisnya, yang membuatnya masih seperti benda ajaib.

Aku masih berpendapat bahwa semua pengobatan itu perlu diperiksa dulu kemanjurannya dan hanya dilakukan saat pengobatan medis standar tidak tersedia sama sekali. Dalam hal ini, masyarakat pedalaman Papua masih lebih punya alasan untuk mempraktekkan ilmu pengobatan tradisional dibanding kita di pulau Jawa. Satu lagi contohnya, mereka suka menggosokkan daun gatal (aduh tidak tahu nama latinnya. Daunnya bergerigi dan berbulu lancip-lancip. Bulu inilah yang membuat gatal) bila ada bagian tubuh yang sakit. Aku pernah mencoba-coba melempar manggis. Tapi astaga, gatal itu bukan sekedar karena bersentuhan dengan bulu-bulu daun. Itu adalah sensasi terbakar! Entah apa yang ada di daun itu, yang jelas menimbulkan efek "dermatitis kontak alergika" alias gatal yang hebat terutama di daerah kontak, diikuti rasa panas kayak meriang di seluruh tubuh. Logikaku, rasa sakit ini memindahkan rasa sakit yang sebenarnya, sehingga seolah-olah berkurang. Cara lainnya adalah dengan mengoleskan lumpur. Seluruh tubuh yang sakit dibalut dengan lumpur. Jadi kalau kapas alkohol kita warnanya hitam kecoklatan jangan buru-buru menuduh orang Papua jarang mandi, karena mereka mandi kok, percayalah (apalagi kalau dibagiin sabun gratis). Mereka hanya berbalut lumpur karena sakit. Logikanya? Aku sudah menggunakan seluruh daya khayalku tapi tetap tidak ada ide. Kalau mau ditulis secara dramatis dan puitis: manusia dari debu berusaha kembali menjadi debu. Kuda nil juga berendam di lumpur dan nggak tahu apa hubungannya. Yang jelas aku percaya tidak ada yang aneh dan tidak masuk akal. Yang belum dibuktikan ya memang hipotesa saja. Bukan berarti tidak ada kemungkinannya. Sejujurnya, cara orang mengobati sama menariknya dengan cara orang hidup, berpikir dan berbicara. Perbedaan budaya itu memang mempesona, seberapapun ganjilnya.

3 comments:

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

iki tulisan kok ruwet yo. aku bingung akeh istilah kedokteran..eling eling...mbah ..aku iki accounting..dudu dokter..jadi ojo nganggo bahasa yang medis...koyo aku kan rak tau nulis tentang depresiasi..or deplesi..or amortisasi aktiva tak berwujud. btw soal pengobatan tradisional..aku paling inget sama obat kalo lagi kebelet boker di jalan yang macet dan ga ada toilet di sekitar kita..genggamlah batu maka rasa kebelet boker bisa ilang..tapi aku sering kebelet boker dimana2 ga mempan tuh kalo cuma megang batu tapi harusnya ya tetep aja kalo kebelet boker harus boker di wc...

Sri Riyati said...

ya iyalah namanya juga kebelet (gimana sih?). Iya, sori. Soale aku berusaha meningkatkan mutu tulisan kita biar jadi agak2 nggenah getu haha, tapi kok malah aneh ya. Tapi aku bnr2 pingin nulis ttg ini (jadi aku enjoy). Aku njelasin kok artine apa, lagian ora patiyo kedokteran banget yo. Aku aja nggak inget kok istilah kedokteran itu, udah pada lupa. Iya itu gara2 aku diajak mamiku berobat di batu giok aku jadi mikir, sebenere orang tuaku tuh seaneh orang Papua. Trus nyadar juga mamiku jarang tanya obat sama aku dan nek aku loro aku selalu dikasih obat Cina. Jadi percuma no sekolah ning undip suwi2 hehe...Tapi bnran, ini bukan masalah profesi. Ini tulisan bersenang2...kayak kowe yang megang batu pas kebelet boker (eh itu gak senang ya?)aku juga pernah suruh gigit ujung lidah kalo haus. Halah...mana bisa? Paling banter beli aqua gelas

Anonymous said...

metodenya masuk akal. ya bisa juga sih. cuma gak semudah itu..udara yg memuai seberapa kuat dapat menghisap, ketepatan meletakan gelasnya, apa yg akan dihisap adalah sesutau yang sangat kecil. pori2 begitu kecil. kita aja mau ngisap pake sedotan jus alpukat perlu tenaga apalagi ini sesuatu yg lebih kecil dan berlapis. ketika di hisap kalo daya hisap kehabisan tenaga nanti turun lagi hehe..di ulang2 deh..
nah kalo di tangan para insinyur metoda trsbut akan lebih efektif. akan dibuat alat2 kedokteran yang canggih, yg jelas metodanya sama...
yah Tuhan memang menciptakan sarana lebih dari itu di muka bumi ini...kalo bisa bikin alat lebih canggih bagus jugakan...eh ngomong apa aku ini yah.. maklum ini lagi jalan2 browsing..ketemu blog lalu kalo kepengen koment yah lgnsnung ketik aja...blum tentu juga aku balik sini lg...hehe...maaf deh klo comentnya gk pnting2 bgt buat empunya blog ini..thanks alot...bye..

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p