Monday, September 7, 2009

Gigiku Sayang


Tahun lalu pekerjaan saya mengajar. Anak-anak suka tanya segala hal. Dari apa warna kesukaan saya sampai apa rasa kue favorit. Waktu ditanya peri apa yang paling saya sukai, saya bilang, "Peri gigi. Karena mereka ngasih duit," Teman saya ketawa. Setelah saya pikir-pikir lagi sekarang, it was a briliant answer! Karena, (sedihnya) gigi selalu berhubungan dengan duit.

Saya (sialnya) selalu punya masalah dengan gigi. Dari konstruksi gigi yang awut-awutan, lubang, lubang parah, gigi patah, pemasangan gigi prostetik (crown/jaket, bukan gigi palsu yang memungkinkan saya bersiul waktu sikat gigi), kondisi mulut yang asam jadi gigi mudah berlubang sampe gusi yang radang karena karang gigi. Kalau saya ingin cerita tentang masalah gigi dan mulut saya, pasti si pendengar bakal merasa jadi setengah dokter gigi. Karena mulut saya mirip ensiklopedia masalah gigi.

Empat tahun lalu, saya menghabiskan waktu saya tiap bulan untuk sakit gigi karena gigi saya dikawat. Dulu kawat-mengkawat dianggap tren, tapi percayalah untuk saya dikawat ini punya indikasi yang jelas. Pertama, gigi saya saling tumpuk dan saling sikut dan hampir semuanya miring-miring. Ada yang bilang ke saya, orang kok isinya cuman gigi sih. Teman saya bilang, gigi saya sudah tidak tertolong lagi kecuali dibawa ke tukang kenteng mobil (tahu kan, itu lho yang memperbaiki mobil penyok). Jadi gigi saya, diluar alasan keindahan, memang benar-benar parah. Banyak lubang di sembarang tempat karena gigi yang bertumpuk susah untuk dibersihkan. Baru SMP saja saya pernah menderita infeksi gigi, karena lubang yang ditambal bocor dan menginfeksi akar gigi. Gigi saya juga pernah patah karena lubang di dalam yang tidak kelihatan dari luar (dan dulu saya tidak rutin mengunjungi dokter gigi, masih belum sadar pentingnya kesehatan gigi). Sayang saya tidak menyimpan foto rontgen saya sebelum dikawat. Kalau ada, seharusnya bisa jadi specimen: 'jangan ikuti jejak saya' kaya peringatan polisi di pinggir jalan yang naruh mobil ringsek untuk memperingatkan pengemudi itu lho. Jadi, mengawat gigi bagi saya hukumnya wajib, bukannya latah atau obsesi selebriti. Nah, berapa biaya untuk pasang kawat gigi? Dulu sampai nyicil karena untungnya yang ngawat itu dosen saya. Tapi saya bayangkan, kalau orang yang bermasalah seperti saya tapi tidak punya dosen ortodontis (dan tidak punya jaminan kesehatan), apa iya sanggup bayar kawat gigi?

Gigi meskipun bukan organ vital, kalau sudah sakit, benar-benar mempengaruhi kualitas hidup. Memangnya apa coba alasannya Bang Meggi Z bilang, "lebih baik sakit gigi..."? Karena yang bisa mengalahkan sakit gigi cuma sakit hati. Saya pernah minta ujian ulang karena tidak sanggup belajar sesudah kontrol kawat gigi! Belakangan ini saya jarang sekali sakit gigi (sentuh kayu, amit-amit, nggak lagi-lagi deh) tapi masalah gigi saya masih ada juga. Ada lubang yang menyerang ruang akar gigi saya sehingga harus disterilkan dan dipasang crown. Untuk merawat gigi saya ini, satu gigi diperlukan paling tidak tiga kali kunjungan ke dokter gigi. Satu gigi menghabiskan biaya beberapa juta (iya, tidak salah tulis, j-u-t-a). Saya tahu biaya perawatan gigi itu mahal, yang saya sayangkan adalah, tidak adanya jaminan di tempat kerja untuk membayar biaya gigi saya. Alhasil, gaji saya tiga bulan habis untuk bayar tiga gigi saya. Jadi tidak ada sisa uang untuk nonton film atau makan di luar (lupakan beli baju baru). Di instansi asing, semua biaya kesehatan saya ditanggung. Jadi meskipun gaji saya tidak besar, saya bebas menggunakan uang itu untuk apa yang saya inginkan, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar saya seperti makan, tempat tinggal dan kesehatan. Mungkin inilah pentingnya ada jaminan kesehatan. Saya tidak tahu bagaimana cara kerja Jamsostek atau Askes, tapi saya tidak bisa membayangkan kalau ada orang yang punya masalah gigi seperti saya dan harus menutup biaya perawatan giginya dengan gaji PNS.

Selewat masa taman kanak-kanak, tentunya saya tidak mengharap sang peri gigi mampir untuk membayar tagihan dokter gigi saya. Tapi mengingat biaya pengobatan gigi yang mahal, tindakan pencegahan tentu lebih murah. Kayaknya saya tidak perlu mengutip artikel tentang "cara gosok gigi yang benar". Tapi saya setuju kalau kita harus mengunjungi dokter gigi tiap enam bulan sekali untuk kontrol dan membersihkan karang gigi, kalau ada. Kalau ada lubang kecil, segera ditambal. Kalau geraham bungsunya miring, konsultasikan. Gigi yang gingsul itu memang manis, tapi gigi miring dan bertumpuk riskan berlubang. Banyak orang tidak bermasalah dengan gigi, tidak pernah sakit gigi. Untuk orang-orang ini saya bilang, don't take it for granted. You're born lucky!

3 comments:

Anonymous said...

denger perawatan gigi segitu mahalnya.. aku jadi pengen gosok gigi setiap malam.. (yang hampir ga pernah kulakukan..)
asuransi calon suamiku aja cuma nangung 2,7 jt buat gigi n kacamata setahun... huikkkk.. apa jadinya rumah idaman kalo duit tabungan abis buat bayar bea perawatan gigi...

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

Setuju bangets. Tapi ya ampun, masak nggak pernah gosok gigi tiap malam? Pantesan anonymous. Haha. Peace. Untungnya gak banyak orang yang giginya serewel gigiku. Oya, perawatan mata juga mahal kalo harus ganti kaca mata tiap tahun. Olala!

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

ketokE mendingan sakit hati daripada sakit gigi..soale sakit gigi larang...
untung kantorku nanggung pengobatan gigi...
wingi2 kan aku pasang gigi palsu yang copotan itu 2 gigi= 3 juta..ya ampun....iso nggo mangan kfc setiap hari selama 3 tahun nek nasine nggowo dewe.
mugakno aku sebel karo mamiku seng biyen rak ngajari gosok gigi sebelum tidur (iklan pepsodent)
kan akhire sekarang aku kudu pasang gigi palsu di usia muda...hiks hiks

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p