Tuesday, December 23, 2008
Veni, vidi, Visa: I came, I saw, I bought
Until I discovered how to shop online. There are some online shops which sell used items for a bargain. It opens 24 hours per day and 7 days per week. No annoying shop assistant, no buss pass needed, no worry whether it's raining and you will wet all your stuffs on the way back home, no heavy bags that you have to carry around. No kidding.
It started this Christmas. I feel like buying few Christmas presents for family and friends. Due to my long working hour, it is quite impossible for me to shop during day time in workdays. Shops are closed at 5 pm in winter and I am too lazy to spend my day off only for shopping (in my opinion, shopping is a hard work. Imagine how to make your little money stretch for buying your thousands necessities. How to compare price. How to know that things you buy is a good value of money. How to be a decision maker. Really hard work!). It took a considerable amount of time for me only to decide. To buy or not to buy that is the question.
That's why I can't shop with my female friends. Firstly, they will affect my judgement. Secondly, they are very good supporters for the whole consumerism in the world. They love me buying things: "It looks good on you," "It's like made for you," "You are very lucky to have that size," "It is so you, I can't believe it,"(I wonder where they learn all of this remarks, I bet they worked at the shop discreetly). Thirdly, they will lend me cash if I get short. See, this is how the world starts to get into recession. You spend more than you earn. But I would not fall to those tricks. I always believe that neither a borrower nor a lender be. I'm too stingy to be a happy-go-lucky shopaholic girl. Until.
Christmas was approaching and I hadn't got a single present. I had no time to go out to a shop and regarding my slow movement in drawing my cash from my wallet, it was quite impossible to buy something before Christmas. I was free from 9 pm and all I did is reading a book, went to a drink with friends or watched an old movie in the sitting room. No time to shop. But there was always time to get online. In amazon (it's similar to e-Bay), you can get practically anything with a single click. And the price is amazing. Because they don't have to pay for displaying items and paying tax and rent for shops or hiring a shop keeper, they can sell stuff with incredibly reasonable price. For instance, A Khaled Hoseini book, A Thousand Splendid Suns in hard cover, costs 2.90 pounds. Compare with its price in Waterstone, it's near to nothing regarded that you still have to go to the shop and you have to be there at their opening time. So I sat in front of my computer, did bargain hunting and "windows shopping" until I realised that I had fallen to the trick.
You spend a lot of money online because you don't really feel that you keep withdrawing from your account. And also you have to pay the shipping/packaging price per item, which sometimes is quite expensive when you add them up. Even if the shipping is free, you are still entitled to buy something expensive (to cover the shipping price). And there is one most horrible fact that we should be aware of : our card's details now has gone online. Although it is secure, it is almost like internet banking. Risky business.
Although there is, of course, the best part of it. Receiving a package feels like receiving present. When you see this beautiful package sitting in your mailbox, you feel excited. But then it wasn't a surprise at all because you know exactly what it is, even the size and the colour. And most of all, you know exactly the price (and shipping price). Online or not online, that is not the question. The addiction to shopping is not very good, especially if your salary is so small that you can't see it with the naked eye. So then my new year resolution is: stop being a member of amazon and start being a member of "ending the poverty" organisation, which remind you that there are billions of people struggle for water and food. Not because I want to be a hero and save them, but merely because I don't want to join them. At the end of the day, a desire to buy things is like a sin, just like Kristina said, greed. After a while, I think it's quite good to have Christmas only with friends and a cup of tea. Merry Christmas everybody. Don't shop! (say what you want to a friend, they may give it to you as Christmas present, ^_^)
One can not build life from refrogerators, politics, credit statements and crossword puzzles. That is impossible. Nor can one exist for any length of time without poetry, without colour, without love. Antoine de Saint-Exupéry
Friday, December 19, 2008
Diet Lagi...Lagi-lagi Diet
Dulu waktu kecil badanku amat sangat mungil..sampai SD juga aku masih tergolong langsing. Namun waktu SMP tiba2 badanku menjadi melar sampe2 yang paling menohok adalah pada waktu pelajaran olah raga, guruku bilang kalo perutku itu buncit banget. Jadi sejak itu aku terobsesi untuk menurunkan berat badan sampe mencoba berbagai macam diet. Kalo dipikir2 mungkin badanku menjadi melar karena waktu aku mens pertama kali, mamiku ga nyuruh aku minum jamu kunir asem. Itu sebagai pelajaran buat ibu2 nanti kalo anaknya mens pertama kali harap diajarin untuk minum kunir asem supaya tubuhnya tidak melar. Berikut adalah pengalaman dietku yang tidak sukses:
1. Waktu aku SMA aku semakin menyadari bahwa fisik itu sangat penting bagi seorang wanita. Karena cowok2 itu lebih memilih cewek yang wajahnya biasa2 aja tapi langsing daripada cewek yang cantik tapi bomber. Jadi untuk mengurangi kebomberanku aku berusaha mengurangi berat badan dengan tidak makan nasi sama sekali. Mamiku sampai marah2 kalo aku diet karena tetangganya ada yang meninggal karena kebanyakan minum obat diet. Dan ada juga model kakak beradik (lupa namanya) yang meninggal karena anorexia. Namun mamiku tidak usah kawatir anaknya kena anorexia karena nafsu makanku baek2 saja bahkan melebihi normal. Jadi hasil dari aku tidak makan nasi adalah aku jadi makan cemilan, gorengan, kue dan lain2 karena makan sayur saja masih tetap lapar. Alhasil berat badanku tidak turun walaupun aku puasa makan nasi.
2. Waktu kuliah aku pernah ditawarin produk MLM tertentu (tidak boleh disebutkan namanya) yang harganya 300rb (menghabiskan gaji asistenku sebulan) dan katanya bisa melangsingkan. Aku sempet membeli sekali dan memang manjur karena temen2ku sempet berkata kalo aku keliatan lebih langsing. Namun karena harganya mahal aku tidak bisa meneruskan untuk membeli obat pelangsing itu. Jadi seperti bunga yang layu sebelum mekar, tubuhku kembali gendut sebelum sempat memecahkan rekor kelangsingan.
3. Sewaktu aku menjadi auditor dan ditugaskan ke Malang, sebagai anak kost yang jarang makan enak kemudian bisa gratis makan apa aja yang aku suka, tentu saja aku tidak menyia2kan rejeki nomplok ini. Jadi aku mulai makan gila2an bersama temen2ku yang lain tentunya. Rekorku adalah makan batagor 2 piring, bakso presiden 13 biji, minum jus 2 macam, malam2 makan indomie dan camilan yang tiada habisnya. Akibatnya setelah selesai tugas di sana, berat badanku dari 45 (boong ding) melonjak drastis menjadi 57 jadi bisa dibayangkan aku seperti buntelan karung yang dilipet2. Karena shock, aku berkeras untuk berdiet yaitu dengan cara makan nasi uduk tiap hari (karena murah..jadi diet sekalian berhemat). Bukannya bertambah kurus, wajahku malah jadi penuh jerawat karena nasi uduk ga ada sayurnya dan mengandung santan.
4. Yang paling gres aku lakukan adalah diet ala Meity yang dikirim jauh2 resepnya dari Holland lewat email. Diet ini harus dilakukan selama 2 minggu dan ada jadwalnya apa aja yang harus dimakan. Aku ga ingat urutannya namun pernah sehari itu makan anggur aja or makan brokoli rebus dan nanas, makan pepaya dan nanas saja, ayam rebus tanpa kulit dan makanan yang tidak berperi "carnivora" an. Pertama2 aku masih tahan karena aku ingin langsing. Namun memasuki minggu kedua aku jadi lemas dan aku tidak tahan godaan karena waktu itu ada yang pesan bakso goreng (my favourite) ga halal di kantor jadi aku tergoda untuk makan bakso goreng 5 biji, gede2 lagi. Jadi dietnya tidak pernah selesai.
5. Minum teh hijau sebanyak2nya. Ini tidak membuat langsing malah membuatku langsung...langsung beser maksudnya. Tiap beberapa jam sekali (or beberapa menit sekali ya) harus ke WC karena teh hijau ada efek "diuretik" (kalo ga salah) nya alias bikin pengen pipis terus.
6. Diet kuantitas bukan kualitas. Ini aku baca di Gramedia. Kata buku itu, diet selama ini adalah diet kualitas misal ga boleh makan lemak, karbohidrat, dll yang bikin gemuk namun boleh makan buah dan sayuran sebanyak2nya. Itu tidak membuat kurus karena liat aja kuda nil dan gajah yang tetap gemuk walaupun makanannya tumbuhan sebakul. Jadi diet ini boleh makan apa aja tapi sedikit2 aja supaya kapasitas perut mengecil sehingga kalo makan apa2 cepet kenyang. Trus kalo makan ga boleh langsung minum supaya perut tidak mengembang. Diet ini coba aku praktekan tapi kok belum ada hasilnya. Mungkin karena makanku emang sedikit2 tapi sering.
Itu baru bebarapa macam diet yang aku ingat pernah aku lakukan. Dari semua itu tidak ada yang sukses jadi mendingan aku menikmati hidup aja deh daripada stres. Lagian aku bukan model yang harus diharapkan mengurangi berat badan beberapa kilo. Saranku buat yang pengen diet, segala hal kalo berlebihan itu kurang baek (kecuali uang tentu saja) jadi kalo mo makan janganlah berlebihan, secukupnya saja jadi tidak akan membuat badan jadi bomber. Ingatlah di film Seven (Brad Pitt), salah satu dari 7 dosa besar adalah Greed alias rakus.
Namun aku tidak menutup kemungkinan ada teman2 yang mau menyumbangkan resep diet lho...^_^
Sunday, December 14, 2008
Money Eye
Ada alasan kenapa Kristina menjulukiku Miss Money Eye. Setelah aku ingat-ingat sendiri, memang kadang-kadang aku agak sedikit kelewatan dalam mengirit uang. Ini karena keluargaku selalu mendidikku dengan prinsip KERAMAT (kere-kere hemat) sejak kecil. Berikut beberapa bukti kepelitanku:
- Dulu, sebelum punya sepeda aku langganan becak sama sepupu-sepupuku. Sebenernya tukang becakku itu cukup kasian karena nggenjot penumpang tiga orang dan salah satu sepupuku tergolong tidak terlalu langsing. Trus kita patungan bayar becaknya dibagi 3. Nah kalo ada keperluan lain misalnya mau beli makanan trus jalurnya belok dikit dari rute biasa, pak becaknya minta nambah. Sebelnya, nggak peduli siapa yang butuh, tambahan ini dibagi tiga. Waktu itu aku agak gak rela karena aku jarang ada keperluan lain (karena ogah nambah) dan aku kan badannya paling kecil jadi selalu duduk di tengah dengan pantat separuh dan kalo pas turun kakiku biasanya kesemutan sebelah. Jadi menurutku agak wajar kalo aku sedikit misuh-misuh kalo disuruh nambah. Sekarang aku nyadar bahwa aku tuh perhitungan banget ya waktu itu...
- Waktu baru lulus SMP, aku harus minta surat keterangan dari Dinas Pendidikan di Batang, kota kabupatenku, buat daftar SMU. Waktu itu aku ditemenin temen SMPku Heni Ferawati. Aku inget banget kita naik bis omprengan dari Limpung trus penumpangnya nggak cukup buat lanjut terus ke kota jadi kita diturunin di pasar Batang. Nah kantornya Depdikbud ini agak sedikit di luar kota, dan persis di pinggir jalur pantura! Artinya jalan yang kita lewati bakalan dilewati bus antar kota antar propinsi, truk gandeng, trailer dan truk minyak. Nah, si Heni ini udah kepikiran mau naik becak yang tukang becaknya udah ngikutin kita sambil menawar-nawarkan harga dengan manis, tapi aku nawar dengan harga yang gak wajar, mengingat duit dari bus omprengan yang dikembaliin ke kita cuma 500 rupiah per orang (dulu itu termasuk lumayan). Si Abang becak nawar 2 ribu. Aku bilang seribu gak lebih (lima ratus kali 2). Alhasil karena Depdikbud cukup jauh dan di jalur pantura, si abang menyerah dan aku dengan angkuhnya jalan kaki seolah-olah nggak butuh. Separo jalan kita udah di bahu jalur pantura, panas dan berdebu dengan bunyi bus dan truk yang meraung-raung setiap kali lewat. Ngggeng wessss. Dan angin yang menerpa kita, 2 anak baru lulus SMP yang bawa-bawa dokumen di map folio. Nyampe di kantor Depdikbud kita udah kayak pelarian dua hari dari padang pasir. Keringatan, berdebu dan kumel. Heni bilang, "Kalo kita bayar dua ribu kita mungkin udah nyampe dari tadi dan abang becaknya juga lumayan dapet masukan,"
- Waktu SMU aku selalu potong rambut di tukang potong rambut di kampung Progo karena taripnya cuman 5 ribu. Bukan di salon yang rata-rata lebih dari 10 ribu rupiah. Suatu hari, aku datang ke tempat potong rambut langgananku ini dan bilang, "Potongan rambut yang kemarin itu nggak cukup pendek, jadi sekarang sudah balik lagi karena sebentar saja sudah panjang," dengan pandangan menuduh bahwa si tante tukang salon sengaja supaya aku lebih sering potong rambut. Tantenya nurut. Dia motong rambutku pendek-pendek sesuai permintaan. Alhasil rambutku jadi cingkrang (kependekan) dan mirip Kobo Chan. Setidaknya aku nggak potong rambut lagi sampai lima bulan ke depan...
- Waktu kecil aku nggak punya boneka yang rambutnya panjang. Pas temenku punya aku pinjam bonekanya. Waktu ditagih aku bilang lupa-lupa terus sampe satu bulan. Lalu boneka itu aku kembalikan karena aku sudah bosan dan dengan demikian aku nggak butuh boneka rambut panjang lagi.
- Waktu itu mamanya temen kuliahku nginep di hotel Horison di Semarang. Pagi-pagi buta dia sudah ke airport buat pulang ke Jakarta. Alhasil voucher sarapannya buat 2 orang masih bisa dipakai sampe jam 10 pagi. Aku nelpon adekku buat makai voucher ini dan secara kita anak kost yang gak pernah dapet sarapan yang layak, kita memakai kesempatan ini sebaik-baiknya. Pertama, kita makan sepiring nasi goreng, bubur, cemilan dan minum jus banyak-banyak. Kita duduk 30 menit. Trus kita pesen omelet, makan buah dan makan sereal. Duduk lagi 30 menit. Adikku berdiri di samping meja buffet nggak balik-balik, ternyata dia minum dan isi ulang berkali-kali gelasnya dengan susu. Sebagai makanan penutup, kita bikin roti panggang dengan selai dan minum teh. Selama kita duduk disana, kayaknya kita sudah ngeliat semua tamu hotel yang dateng dan pergi. Kayaknya. Pagi itu kita sama-sama menyempatkan diri mengunjungi toilet Hotel Horison yang bau wangi dan nggak ada airnya buat cebok. Karena kita kekenyangan.
- Waktu aku masih SD ada tukang loper majalah yang dateng ke rumah. Biasanya dia nawarin Bobo, Donal Bebek atau Ananda. Pada dasarnya aku menanti-nantikan kedatangannya tiap Minggu. Tapi waktu aku mau beli majalah aku bilang, "Aku suka beli majalah. Tapi sayangnya kalo dibaca cepet habis. Aku mau beli kalau majalahnya nggak habis-habis,". Mas loper majalahnya memandang aku dengan bingung. Tapi otak dagangnya berkelit dengan cepat, "Donal bebek kan banyak ceritanya. Kalo sudah habis baca ulang lagi dari depan, pasti nggak habis-habis,". Kalo dipikir-pikir lagi kita berdua sama-sama konyolnya. Tapi yang bikin aku sendiri heran, waktu itu umurku baru sepuluh tahun (kelas 5 SD) tapi aku bisa-bisanya kepikiran bahwa rugi kalo beli barang sekali pakai.
- Aku nggak pernah ngasih kado ultah ke temen. Kalaupun aku ngado waktu ulang tahun temen, aku selalu bawa adekku ke pestanya biar makanannya jadi dua porsi.
- Dulu banget, aku selalu beli bakmoy dan sayur asin tanpa daging karena harganya jadi separuh dan nasinya lebih banyak. Soalnya aku terdidik untuk makan lauknya gak boleh nambah. Jadi aku bisa makan sepotong daging 2x2 cm dengan nasi dua porsi, tanpa ada acara makan nasi doang atau nambah kuah. Aku rasa ini termasuk 'keahlian' tersendiri.
- Aku selalu menumpang. Kalau aku mau ke suatu tempat, papiku selalu nanya apakah ada kerabat/mobil barang yang mau pergi dan menyuruh aku ikut. Jadi aku pernah numpang truk kelilingnya Omku, truk angkut emping, jip liburannya tanteku atau sekedar ikut rombongan gereja.
- Waktu SD, sandal jepit yang sudah tipis sekalipun dan sering bikin kepleset kalo pas ujan tetep dipake sampai putus. Kalopun putus dan ada sandal lain yang ukurannya sama dan kebetulan sepasang, pasti akan dipakai buat sandal kamar mandi. Jadi misalnya satu ijo dan satu merah. Ini sudah biasa. Begitu juga dengan celana dan kaos. Seringkali pake yang agak lubang-lubang malah sejuk.
Monday, December 8, 2008
Apakah Aku Bisa Menyanyi?
- Waktu itu sedang pelajaran menyanyi di sd tapi aku lupa kelas berapa. Dan ada penilaian menyanyi. Aku juga lupa menyanyi lagu apa tapi aku salah mengambil nada dasar. Jadi aku menyanyi dengan nada udah tinggi pada awalnya sehingga pas puncak lagunya, suaraku jadi kaya suara tikus kejepit pintu. Udah ga jelas deh bentuknya. Aku malu banget saat itu dan takut raportku ada nilai merahnya gara2 tes menyanyiku yang tidak sukses.
- Waktu SMP aku pernah ditunjuk oleh guru kesenianku untuk ikut lomba mazmur se Paroki Pekalongan mewakili Lingkungan (Kring) Martha. Aku dipilih bukan karena aku bersuara bagus tapi karena anggota kring Martha yang muda2 dan aktif jumlahnya seperti jarum di tumpukan jerami. Satu grup terdiri dari 5 orang dan solisnya ada dua orang, aku dan satu orang lagi yang suaranya bagus banget. Kaya air dan minyak deh sama suaraku. Kami akhirnya memang menang (thanks to rekanku itu) tapi...aku mendengar dari guru kesenianku itu kalo sebenernya suaraku itu seperti kucing sedang menjerit2 (plis deh..apa ga ada lagi kata2 yang lebih halus).
- Karena aku orangnya pantang menyerah, walaupun aku dibilang seperti kucing menjerit, aku tetap tidak mau meninggalkan dunia tarik suara. Pada suatu hari di SMA, ada pemilihan petugas untuk upacara bendera dan tidak ada yang mau menjadi dirigen, aku pun mengajukan diri. Pada saat bertugas tidak ada yang mengiringi jadi aku harus mengambil nada untuk lagu Indonesia Raya....nah dengan PD nya aku menyanyikan baris pertama dan kelihatannya suaraku cukup melengking karena banyak yang tertawa dan saat upacara udah selesai, teman2ku bilang kalo suaraku itu amat sangat cempreng hiks.
- Ini masih berhubungan dengan tugas dirigen upacara bendera tapi yang ini tidak ada hubungannya dengan tarik suara. Namun karena masih sejalan dengan temanya, aku mo ceritakan pengalaman memalukan yang satu ini. Pada waktu aku kelas 1 SMP, aku pernah dipilih sebagai dirigen upacara bendera dengan diiringi keyboard oleh teman sekelasku (Kevin). Nah waktu menyanyikan lagu Indonesia Raya, aku lupa menghitung apakah reffnya yang "Indonesia Raya merdeka-merdeka...." itu sudah dinyanyikan dua kali or baru sekali jadi aku dengan PDnya melakukan gerakan menutup lagu (itu lho yang bentuknya kaya gerakan monyet menangkap pisang). Pas aku menengok ke samping, Kevin memberi isyarat dengan agak panik "Belum...belum..." (lewat bahasa mulut) dan dia tetap memainkan lagunya....ya udah dengan salah tingkah aku menurunkan kembali tanganku yang sudah diam di tempat menangkap pisang dan kembali melakukan gerakan 4/4. Semoga tidak ada yang ingat kejadian itu.
- Kejadian yang paling gress adalah waktu aku tugas menjadi pemazmur di gerejaku sekarang. Pada waktu menyanyikan Alleluia, aku salah mengambil nada. Jadi tidak sinkron dengan pemain keyboard. Seharusnya aku ambil nada tinggi, aku ambil nada rendah jadi amat sangat tidak enak didengar. Aku tidak berani melihat ke arah umat karena aku takut mendapat tatapan "mengangkat sebelah alis". Jadi sejak saat itu aku selalu nervous kalo mo tugas mazmur.
Dengan pengalaman2ku di atas (itu yang aku ingat....yang aku ga ingat masih banyak), aku jadi meragukan apakah sebenernya aku bisa menyanyi or aku hanya suka menyanyi aja. Karena berbeda antara orang bisa dan suka or hanya suka tapi tidak bisa. Orang yang bisa dan suka itu misalnya koki hotel berbintang lima. Dia hobi memasak dan bisa menghasilkan masakan yang enak. Sedangkan yang yang suka tapi tidak bisa adalah orang yang suka memasak tapi masakannya tidak pernah enak karena dia sering salah memasukkan bumbu, garam dikira gula or sebaliknya.
Jadi...aku bisa menyanyi or tidak itu masih merupakan misteri. Namun aku percaya kalau kita melakukan apa yang kita suka, lama2 kita akan bisa juga. Karena tidak ada seorangpun yang tidak bisa bertumbuh menjadi lebih baek. Bahkan orang yang tidak bisa membedakan garam dan gula pun lama kelamaan akan bisa membedakannya jika terus menerus mencoba.
Friday, December 5, 2008
Kantor Baru, Baju Baru, Kebiasaan Baru
- Perusahaan pertamaku adalah perusahaan roti yang letaknya di luar kota Jakarta. Aku inget waktu itu masih culun dan baru dateng ke Jakarta ga tau apa2. Hari pertama ke kantor aku telat karena ketinggalan jemputan. Jadi terpaksa minta tolong dianter sama sopirnya tanteku. Karena pertama kali kerja, aku amat sangat rajin sampe aku berusaha mengerjakan kerjaan secepat mungkin. Setiap kali sudah selesai aku tanya sama bosku harus mengerjakan apa lagi. Lama2 bosku kayanya kebingungan harus mengerjakan apa lagi jadi aku disuruh membawa novel aja jadi bisa baca buku di kantor. Ternyata suatu hari ada salah satu manager ngeliat aku lagi baca koran (untung bukan koran yang mesum2) dan akhirnya besoknya aku dikasih kerjaan yang ga mutu..buat ngabisin waktu. Kenapa aku tau itu ga mutu, setelah aku ga kerja di situ lagi penggantiku ternyata tidak disuruh mengerjakan kerjaan itu dan konon aku dengar kalo bosku ngasih kerjaan itu cuma biar aku ga keliatan nganggur dan baca2 koran. Perusahaan pertamaku ini kebanyakan orang yang ga seusia sama aku sehingga aku bingung sendiri mo ngobrol sama sapa dan tentang apa. Bajuku juga ga usah resmi2 banget karena di kawasan pabrik dan HRD nya juga agak eror soal penampilan. Dia pernah marahin aku karena rambutku dicat merah dan dia bilang aku pake baju kaya penyanyi dangdut....tapi....berbulan2 kemudian aku liat dia rambutnya jadi merah...jreng..1000x bener2 ga konsisten.
- Kantor keduaku adalah salah satu KAP big four di Jakarta. Karena terbiasa dengan ritme lambat di perusahaan pertama yang notabene ga ada saingan, aku di kantor kedua termasuk karyawan yang paling oon dan keliatannya ga niat kerja. Rekan sekerjaku yang lain pinter2 semua sampe aku ngerasa paling bodoh. Kebanyakan mereka dari universitas negeri yang bonafid dan punya segudang prestasi bahkan banyak juga yang lulusan luar negeri. Apakah aku ini yang "cuma" lulusan kota Jogja walaupun aku sangat membanggakan Jogja never ending asia. Yang paling bikin shock adalah..budaya lembur di KAP. Biasanya di kantor pertama aku pulang tenggo jam 5 sore biar ga ketinggalan jemputan. Tiba2 di KAP kalo masa paling sibuk bisa tiap hari pulang jam 12 malem bahkan aku mengalami lembur sampe jam 3 pagi. Rasanya ga kuat banget deh dan pengen nangis. Pikirku...apa salahku sampe harus cari uang mati2an kaya gini. Satpam kantor aja udah pada pulang dan tidur di rumahnya dikelonin istrinya..masa aku masih pusing2 bikin Working Paper hiks. Parahnya karena sering kurang tidur aku jadi labil emosinya. Selama di KAP aku sempat ganti2 beberapa in charge dan hampir semua in charge ku pernah ngeliat aku nangis T-T. Sekarang kalo inget2 waktu dulu jadi malu dan geli sendiri. Yang paling sering terjadi adalah aku lagi berantem ama pacarku trus disuruh lembur..tiba2 pas ngerjain WP di depan laptop aku sambil nangis2.
- Perusahaan ketiga amat sangat nyantai dibanding kerja di KAP. Jadi aku amat sangat menikmati kerja di kantor biasa. Ga ada persaingan dalam rangka mengejar promosi, ga ada lembur2 sampe malem dan ga ada nangis2 gara2 emosi labil. Namun ada kelemahannya..karena ga ada saingan otomatis kerjaanku jadi ga serajin dulu. Bahkan manajerku bilang, semenjak dia ga kerja di KAP lagi otaknya kayanya jadi kurang dipake dan jadi kurang pengetahuan dibandingkan waktu kerja di KAP.
- Kantorku yang ke empat lebih nyantai lagi dibanding yang ketiga (bahkan bayarannya pun nyantai). Setiap hari aku bangun jam 7.30 bahkan bisa lebih. Sore hari kalau aku mau bisa sampai di rumah jam 6 lebih. Di kantor juga bisa browsing dan nulis2 blog sebelum diblok ama orang IT. Baju kantor tidak ada bedanya ama baju buat jalan2..tiap hari boleh pake jeans dan kaos. Bener2 ga perlu modal baju deh. Bisa dibilang ini kantorku yang paling nyantai.
- Nah....ini kantorku yang terakhir dan yang paling bikin culture shock. Setelah 2 tahun bekerja di kantor yang nyantai, aku jadi kehilangan kemampuan buat lembur2. Perbedaan lain adalah baju kerja harus pake yang resmi dan ga kucel kaya di kantor lama. Karena takutnya kalo kucel bisa2 kalah rapi ama sekuritinya. Hari pertama kerja aku harus bangun jam 5. 15 pagi lalu berangkat dari kost jam 6.15 dan sampai kantor jam 7.30. Padahal sebelumnya jam 7.30 aku baru bangun. Trus yang bikin shock lagi biasanya aku nebeng motornya rei jadi tinggal duduk manis...20 menit sampe. Sekarang harus ngantri busway transit 3 kali. Kalo pagi masih mending, orangnya masih bau wangi habis mandi. Malem hari itu yang parah. Apalagi hari Senin, aku pulang kantor jam 6 sore itu pas jam padatnya orang2 pulang kantor. Di halte Harmoni, antrian yang ke grogol sudah kaya antri bantuan sembako. Penuh orang semua dan ga berAC lagi..panas, pengap, banyak orang baru ketek, bau naga dan bau umbel. Udah kaya neraka dunia deh. Akhirnya aku memutuskan mendingan pulang agak malem jadi ga ngantri panjang banget. Budaya di kantor juga bikin aku harus beradaptasi karena di sini orang2 kerja serius dan ga sering browsing apalagi sampe nulis blog. Makanya aku nulis blog nya dibela2in malem2 ke warnet. FYI aja..sekarang jam 00.30 am dan aku masih nulis blog. Bener2 jiwa wartawan ya. O iya..yang paling culture shock adalah..di kantor lamaku adanya buceri (bule cat sendiri)..tapi di kantor baruku ini penuh dengan bule bahkan bosku juga orang India. So...all of them are talking in English. Modar wes....jadi aku perlu melatih bahasa Inggrisku nih. Besok2 coba nulis pake kamus Mbah Jambrong. Tapi bukan hari ini..hari ini aku seperti Santa Claus yang kena resesi dan jadi jobless.....otakku udah kebanyakan menerima culture shock di kantor baru jadi ga bisa mikir.
Sampe di sini dulu tulisanku karena tanganku udah lemes...otakku ga bisa mikir...mataku udah 5 watt. Menulis blog di tengah malah juga merupakan culture shock tersendiri buatku.
Monday, December 1, 2008
Do You Believe in Santa?
Someone asked me when did I find out that Santa does not really exist. It is a very common question, I bet it is more polite than asking directly when did you get your puberty. But being asked that question, I suddenly realised that I lost my childhood's dream quite early in my life.
I think I was 6. In my home country, Santa was obviously more polite, more civilised and more religious person. He wouldn't break in to someone's house or climb the chimney (because there's no chimney) or even wander around the Christmas street market. He would sit quietly in the church and give children presents after Sunday Christmas service. I was in queue with half a dozen other children, all with their parents (except me, I can't remember where they were). I had never seen Santa before, I saw him only in Christmas cards, so this was my first time to see him in person. My mother had told me a few week ago about being nice or I wouldn't get any gifts from Santa. No wonder I was quite nervous whether Santa knew about me skipping class on the other day or not.
And there they were. Santa, big and fluffy, with long white beard and bright red costume that seemed a bit too hot to wear inside a crowded church. I guess he was sweating a lot. Black Petes, there were two of them, handling Santa's crook and dealing presents to children. They painted their faces, hands and ears black and also dressed up in black shirt and wore black stocking (so they were men in black). They were quite scary for me. So I moved quickly close to Santa, who welcomed me with his open hands and put me in his lap.
"So, what's your name my sweet little girl?" he asked.
"Ria," (I answered in a very low voice, partly from being afraid of Black Petes and the rest of being surprised that he didn't know my name)
"Oh, what a beautiful name!" he exclaimed, "So tell me Ria, are you being good recently? Do you help our Mum? Do you listen to what your parents said?"
I nodded hesitantly. He looked up to a pile of wrapped boxes under the Christmas tree and gave a nod to one of the black pete who had very red lips (he must have put some lipstick on). It was a considerably big box (or it was quite big for me when I was six years old). My heart leaped with happiness so much that I couldn't remember what happened next. I only recalled that I carried that box proudly, joyfully, excitedly back at home, as if I had won the battle between good and evil.
It was a hollow box. Because when I shook it, something inside were thrown loudly from one side to another. It was definitely a little gift, or at least not as big as the box. But it was a gift from Santa so who cares. I was ecstatically happy. I opened the box and there was a pair of shoes inside. What confused me afterward was that my brother claimed the shoes to be his. I completely disagree. Santa himself had given them to me. It was definitely mine. He insisted that the shoes had his name underneath. I turned them upside down and just as bewildered as a child can be, I saw my brother's name at the sole of the shoes! How could Santa put his name on my shoes? He didn't even know my name. Baffled, I asked my Mum. She said, "Your brother need new shoes and they are his. Anyway, he didn't see Santa, but you did,"
Up till now, I never understand her reason wrapping my brother's shoes as my present from Santa. But at that very moment it was all clear to me that there is no Santa Claus. My mother bought the shoes. She even paid a sum of money for me to see him, who sat there and dressed up like clown. That was the end. There's no miracle in my life. Later on, years after that 'incidence' when another Christmas came again, I dashed to a local store to buy some Christmas presents. I was in the fifth grade of elementary school. I knew that every Christmas, children in my local church get their presents from parents or grandparents. One by one, their name will be called and they will rise from their chair, rush to the altar and receive a gift from "Santa" (usually the church clergyman). My brothers and sister never had one. Everybody was too busy doing anything else but celebrating Christmas. I didn't want to see them waiting to be called everytime the clergyman, I mean Santa, picked a present underneath the Christmas tree (it had never been theirs). So these were things I got: a set of mini dinosaurs for my little brother, a sport-car toy for my younger brother, and a set of tea cups for my sister. I wrapped them down and handed them over to be given to my siblings after Christmas mass. For someone who had lost the idea of 'gift from Santa Claus', I wasn't very interested in wrapping my own present. Moreover, I felt completely grown up, mature enough to protect my younger brother and sister's dream of Christmas. I didn't believe in Santa Clause because at that time, I was being him.
I never know when my brothers and sister found out that Santa doesn't exist. But I remembered that they were quite happy when they received a gift from Santa (at last). We, however, don't actually regard Santa as a symbol of happy Christmas. We were happy enough to celebrate Christmas with a good feast at church. They serve good food after Christmas service and we, as children, would love to come.
Now, standing in the midst of Christmas decorations and big, shiny, festive stores packed with Christmas sale and discounts, I was wondering about my belief in Santa Claus. Do I believe in Santa? When I called my parents few days ago they were a bit worried about me being so far away from home, but they relieved that I keep them in touch every now and then. I had a nice chat with them and also with my brothers and sister. I realise that I have a very nice family and a home. I have a wonderful present that even the biggest box couldn't wrap. I also have these all things that I had never imagined before: an adventurous life, wonderful friends, bravery to leave my comfort zone, my health, my sense of humor, my dreams which still live on. So yes, I do believe in Santa Claus. He doesn't exist just for child's dream at christmas or as christmas cards decoration. He indeed gives presents for all of us, children and adults, who believe in good things. After all, it's just a battle between good and evil.
P.S. Due to world's recession, there is no Santa this year. All of them are unemployed.
Kuis: Seberapa Hebatkah Kemampuan Navigasi Anda?
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban A, B, atau C. Jangan njawab D (karena tidak ada pilihannya).
- Apabila anda harus pergi ke ruang direktur di kantor baru, maka kejadiannya akan:
(A.) Langsung tahu dimana letaknya, berikut berapa menit yang dibutuhkan untuk mencapainya dari pintu masuk, berikut berapa jalan keluar darurat dan berapa jumlah ventilasinya, berikut letak kamera CCTVnya, berapa jumlah anak tangganya dan nomor kombinasi kotak besinya. (B.) Secara insting tahu letaknya dari baunya. (C.) Pertama salah masuk ke ruang OB, trus setelah nanya-nanya dikasih tahu jalan masih salah masuk ke gudang barang dan setelah liat peta malah salah masuk toilet karyawan. - Apabila anda hendak naik kereta dari kota X ke kota Y maka: (A.) Tahu kapan waktunya sampai ke detik-detiknya, tahu rute-rute alternatifnya sampai stasiun mana saja yang dilewatinya, tahu jumlah awak keretanya sampai jumlah jendelanya, dan terakhir tahu kalo ada penjahat yang menumpang lewat kelas bisnis. (B.) Tahu karena liat warna gerbong keretanya atau dikasih tahu orang. (C.) Salah naik kereta ke arah sebaliknya, salah jam keberangkatan, salah gerbong, salah kelas dan terakhir mau ganti kereta malah salah ke arah yang sama sekali beda (misal kereta ke kota Z).
- Apabila anda hendak ke toilet: (A.) Langsung bisa menentukan lokasinya berikut koordinat GPS tiap-tiap toilet di gedung meskipun ada puluhan lantai, bisa melokalisir mana toilet yang belum disiram mana yang sudah, sekaligus bisa ke toilet terdekat dengan sangat cepat dan tepat di saat-saat darurat (misal: mencret). (B.) Tahu dimana toilet karena ada tandanya atau cari saja tempat yang agak-agak berbau dan banyak yang antri. (C.) Cari toilet dengan susah payah. Mengumpat-ngumpat karena udah kebelet banget. Setelah berhasil menemukan toilet (dan nggak salah gender) pas kluar bingung pintu yang mana. Pas sudah nemu pintunya salah belok sampe keluar gedung. Tau gitu pipis aja di samping si Pleki di deket tempat sampah di luar gedung...
- Apabila anda mencari alamat dari peta: (A.) Bisa melihat dengan jelas dimana letak tempatnya, ruangannya berikut gambaran 3 dimensinya. Juga dalam perjalanannya bisa menghindari kamera sehingga nggak terekam gambar kita. (B.) Bisa nyampe setelah muter-muter dikit, nanya-nanya orang dikit dan baca-baca dikit rambu-rambu jalan dan terakhir dikejar dikit sama anjing tetangga. (C.) Muter-muter nggak jelas, masuk kantor orang dan tersesat di dalam gedung. Keluar lewat tangga kebakaran, njebulnya (ini bahasa apa ya?) di samping tempat pembuangan sampah. Terakhir petanya ilang.
- Apabila anda harus ketemuan sama orang yang belum pernah lihat wajahnya sama sekali: (A.) Langsung tahu bahkan langsung bisa menghubungi nomer HPnya trus sekaligus ngasih petunjuk gimana cara bertemu secara rahasia sehingga penjahat yang pake kamera dan radar pun tidak bisa melacak. (B.) Bawa papan nama dan senyam-senyum sama orang tak dikenal, tapi akhirnya ketemu juga setelah beberapa kali salah nanya. (C.) Dengan pedenya asal tuduh sama orang yang kliatan sesuai dengan namanya (misal, Agus: agak gundul bagus, Budi: bule kurang mandi, Lukas: lulusan nggak jelas) tapi biasanya cuma supir taksi atau tukang jual mie tek-tek. Terakhir orang yang dituduh sampe lari-lari menghindar karena disangka mau nyopet.
Bila jawaban Anda kebanyakan A:
Selamat!!! Anda mempunyai kemampuan navigasi setara dengan agen spionase 007 dan insting sekuat Jason Borne. Anda bisa langsung tahu kalo jendela di sebelah kita mau ditembak, ato kulkas di ruangan sebelah bakal meledak. Kalo anda lompat dari jendela anda tahu pasti bahwa anda akan mendarat dengan selamat di dalam mobil yang lari kencang, demikian juga kalo lompat dari jembatan anda tahu akan ada heli yang melayang-layang di atas dan menangkap anda dengan kelihaian akrobatik. Dengan kemampuan sehebat ini anda bisa main dalam sekuel serial Borne dan Bond. Selama sekuel belum dibuat anda bisa kerja jadi pengantar pizza dan supir taxi dengan tingkat kesuksesan tinggi.
Bila jawaban anda kebanyakan B:
Kemampuan navigasi anda rata-rata manusia normal. Ini setara dengan insting burung yang migrasi ke selatan selama musim dingin atau lumba-lumba yang beranak setelah musim kawin (jaka sembung). Pokoknya insting hewani yang manusiawi (apa coba), seperti anjing yang memipisi teritorinya sehingga tahu mana jalan pulang ke rumah. Intinya anda tidak berprinsip lebih baik malu bertanya daripada sesat di jalan.
Bila jawaban anda kebayakan C:
Kemampuan navigasi anda setara dengan saya. Otak saya mungkin terlambat terbentuk waktu pembelahan zigot sehingga terjadi sindroma "direction dyslextic" alias buta arah. Seperti disleksia, buta warna, buta aksara atau buta cakil, penyakit ini susah disembuhkan tapi dapat diobati dengan sering jalan-jalan. Semakin sering jalan-jalan, semakin berkuranglah efek "buta arah" tersebut. Penyakit ini tidak menular dan tidak diturunkan.
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p