OK. Nih blog sepinya udah ngalahin kuburan di malem jumat kliwon ketujuh bulan suro. Ya iyalah, kalo kuburan malem jumat malah rame. Ada yang main poker, jual gasing, topeng monyet dan nanggap wayang golek.
Cerita singkat tentang apa yang terjadi pada saya dua minggu belakangan ini. Astaga, benar cuma dua minggu! (tapi rasanya seperti lama sekali). Itu sangat sebentar, kalo hidup seumpama cuman 'numpang minum' maka 14 hari itu bahkan lebih nggak berarti daripada 'numpang kentut'.
Kata temen sekost saya, meskipun cuman beberapa hari menyepi dari rutinitas (artinya: enggak facebook-an atau twitter-an), ketika kembali bisa jadi harus menyesuaikan diri lagi. Ya jelas, apalagi kalau masuk-masuk langsung ujian DELF, kejar setoran buat pekerjaan yang mau tutup buku, jadwal ngajar yang ditambah dan deadline yang semakin deket. Males njelasin tentang kerjaan saya di sini (nanti Kristina bisa muntah jengkol), tapi intinya kerjaan saya itu kayaknya nggak ada bedanya kalau dikerjain tiap hari, tapi begitu ditinggal liburan langsung numpuk. Pokoknya sama seperti rutinitas lainnya, kalau dijalanin rasanya tiap hari sama saja tapi begitu kita nengok ke belakang semuanya sudah berubah. Hidup. Begitulah. Intinya mo ngomong apa sih saya? Oya, dua minggu ini saya merambahi Jawa Timur pake kereta api, bus omprengan, mikrolet dan angkot sama temen saya dari tanah sebrang.
Seperti sudah saya ceritakan sebelum-sebelumnya, saya mengidap penyakit kaki gatel-gatel. Hidup menetap bagi saya lebih berat daripada harus pura-pura gak liat waktu Jake Gyllenhaal lewat depan alfamart *ngayal*. Jadi pas sohib saya dari London bilang mau liburan di Indonesia saya dengan semangat Gus Dur dan Bung Tomo sekaligus langsung tanpa malu-malu kerbau menandai peta dan mengepak tas ransel. Sebetulnya, saya pingin banget kopi darat dengan teman blogger saya Jessie Monika. Namun akibat perencanaan yang payah, spontanitas yang kelewat tinggi, waktu yang terbatas dan jam terbang yang lebih singkat daripada main gaple, saya pun cuman numpang pipis di terminal Surabaya (tidak yakin ini sudah masuk kawasan kota Surabaya). Jadilah, Ria tak mampir di Surabaya *halah, sok dramatis*.
Singkatnya, perjalanan saya dan sohib dimulai dari Semarang ke Jombang naik kereta, lalu dilanjutkan naik bis omprengan Puspa Indah ke Malang lewat Batu. Perjalanan dari Jombang ke Malang ini bagus banget, apalagi kalo naiknya bis pagi-pagi (soalnya keretanya malem). Pemandangan di sekitar bus sangat hijau, banyak sungai dan bukit-bukit, terutama di daerah Batu. Kita berhenti di jalan menuju puncak Panderman (bener gak sih namanya) pokoknya puncak tertinggi yang bisa ngeliat Malang dari atas. Kami cuman sampai separuh jalan trus duduk-duduk sambil ngupil. Mau nyampe atas takut keujanan (krupuk banget nggak sih) dan pas turun bareng sama mahasiswa pencinta alam yang udah naik malam sebelumnya untuk lihat matahari terbit pagi harinya dari puncak Panderman. Kita jadi malu-malu onta. Kita ngerasa jadi 'pendaki gunung jadi-jadian' alias nggak bener-bener naik gunung cuman makan es krim di pinggir jalan sambil nepukin nyamuk. Tapi kita kan selalu bisa bilang bahwa kita mendaki puncak Panderman!
Mahasiswa pencinta alam ini akhirnya kenalan sama kami dan bahkan mbantuin kami cari penginapan murah di Malang yang audubilah penuh banget hari itu gara-gara ada festival Malang tempo dulu. Festival ini lumayan menarik karena banyak makanan enak. Sayangnya kami kecapean gara-gara semalaman tidur di kereta dan seharian jalan ke puncak Panderman. Alhasil kami batal dateng ke festival malam harinya sama anak-anak pecinta alam. Sebagai gantinya kami tidur jam 8 teng-teng kayak anak SD kelas tiga.
Pagi harinya kami siap-siap cabut dari Malang untuk ke Probolinggo. Berkat pengalaman nggak dapet penginapan di Malang, temen saya yang separo Jerman jadi kumat jiwa terorganisirnya dan ngotot booking hotel dulu di Bromo (padahal nggak tahu gimana caranya nyampe ke sana!). Kami ke info turis di alun-alun Malang dan nelpon hotel yang dijawab dengan, "Dateng aja Mbak. Kamarnya banyak banget yang kosong. Kalo mau bawa temen seRT pun masih muat kok. Asal jangan lupa lurahnya suruh bayar DP soundsistem *dikira mau hajatan sunat*" Sialnya, bus omprengan berikutnya yang bawa kita ke Probolinggo lebih pelan daripada reaksi pemerintah mengatasi lumpur lapindo. Kita pun tiba di Probolinggo menjelang magrib. Nah mikrolet yang ngangkut kita ke Cemoro Lawang sudah jarang banget, mintanya carteran. Ada 3 pasangan beruntung yang tertahan nggak bisa naik ke Bromo karena dipalak tukang mikrolet. Pertama, pasangan orang Kanada. Kedua, pasangan orang Jepara. Dan ketiga, jreng2345x, saya dan sohib saya. Herannya, dua pasangan ini tidak saling komunikasi meskipun keduanya lagi diporotin abis sama supir mikrolet. Begitu kami datang, pasangan Kanada bicara sama saya dan teman saya Seb, berhubung kami ngobrolnya pake bahasa utara. Dan mereka minta saya bicara sama pasangan dari Jepara ini, yang sudah nunggu setengah jam buat diangkut ke Cemoro Lawang. Dari tadi kek, kenapa nggak saling bicara? Kami cukup beruntung karena biaya tidak terlalu parah sebab dibagi berenam dan bagusnya, kami justru jadi tim yang kompak! Kami sewa jeep sama-sama dan kami jadi teman segrup yang lumayan nyambung pembicaraannya (kalo nggak nyambung yang yang penting mangut-mangut sambil ketawa. Inilah sopan-santun ala Indonesia). Dua teman dari Kanada ini salah satunya adalah researcher dari Harvard dan dia bilang saya boleh menghubungi dia kapan saja kalo butuh informasi tentang penelitian malaria. Yipi! Siapa bilang jalan2 itu nggak ada gunanya? *ngarep banged*
Dari Bromo, kami berencana ke Ijen. Sudah ditawari paket seharga dua ratus ribu rupiah (harga lokal karna saya kan pinter nawar, ihik) tapi kami sebagai backpacker pede memilih jalan sendiri pake bus omprengan dan ternyata bus kali ini lebih pelan lagi dari bus Malang-Probolinggo. Alamak! Waktu tiba di Bondowoso, hari suda malam dan kami lagi-lagi sudah kecapaian. Begitu tanya di resepsionis gimana cara ke Ijen, kami dikasih tahu harga mati: dua ratus ribu PP! Kami langsung manyun. Tahu begini kita sambar saja tawaran dari Bromo waktu itu. Kami sampe sibuk tawar-menawar dengan tukang ojek buat bawa kita ke Ijen, tapi nggak berhasil. Serombongan turis Perancis yang tinggal di hotel yang sama dengan kami bahkan batal ke Ijen dan langsung jalan ke Bali. Tapi kami tidak menyerah. Pagi-pagi kami jalan ke terminal bis buat naik mikrolet ke Ijen. Dipalak 200 ribu untuk dua orang tapi saya pikir kami tidak punya waktu lagi untuk tawar menawar jadi asal si supir mikrolet langsung berangkat, saya setuju bayar 200 ribu. Si supir juga setuju. Tapi apa daya namanya juga supir mikrolet, bukannya langsung cabut malah ke bengkel dulu, isi bensin dulu, ngobyek dulu cari penumpang di pasar, naikin tahu dulu 5 ember, brenti di tukang daging dulu buat ngambil ayam, dsb. Temen saya yang kalo bilang "langsung" artinya adalah "on the dot" sempet setres karena ulah supir mikrolet. Tapi begitu sampai di desa Kalisat-Jampit (jalan arah Banyuwangi) dengan kebun kopinya, jalan yang dingin dan banyak bunga, berkelok-kelok dan berkabut, mood kami berdua membaik. Kami tidak tahu bagaimana nanti turun gunungnya, tapi kami betul-betul menikmati berjalan 3 kilometeran ke kawah Ijen. Selama berjalan kami berpapasan dengan orang yang membawa belerang.
Puncak Ijen sangat indah. Bau belerang yang menyengat pun tidak mengurangi keindahan kawah turkois yang konon besarnya 36 juta meter kubik ini. Teman saya Seb yang hobi mendaki tepian kawah gunung berapi (karena seumur2 dia belum pernah lihat gunung berapi, kacian deh) meminta saya buat ikut mengelilingi seluruh kawah tapi karena kita naik sudah agak sore hari makanya permintaan ini tidak masuk akal lagi-lagi karna kita takut keujanan (krupuk mode on). Jadi kita turun gunung setelah beberapa kali melempar batu dari tepian tebing dan mendengarkan gemanya dipantulkan dari dinding-dinding kawah, tiap batu empat kali gema!
Dalam perjalanan turun, kami beruntung ketemu 3 orang volcanologist dari Belgium. Kami numpang sampai ke hotel Arabica di kawasan perkebunan kopi Kalisat. Tiga orang ini banyak menerangkan pada kami tentang kawah Ijen, di samping banyak bercanda tentang Indonesia. Saya suka sekali selera humor mereka! Esok paginya adalah hari yang paling menyebalkan: hari pulang balik ke Semarang karena hari berikutnya saya sudah booking paket tur ke Karimun Jawa bersama 5 orang teman saya yang lain. Akibat tidak tahu jadwal kereta dan juga perencanaan yang amburadul, kami dengan sukses ketinggalan kereta dan terpaksa naik bus berturut-turut, terakhir bus malam dari Surabaya-Semarang yang sangat menyakitkan karena saya kecapean dan sudah muak sama bis malam. Jadi, waktu saya di Surabaya saya sudah betul-betul teler dan kelelahan, mana calo bis malam itu tidak punya belas kasian dalam memalak. Saya tidak betul2 dipalak, tapi apalah bedanya kalau perjalanan sesudah itu saya sudah setengah sadar karena sakit kepala, mual, dan badan pegel-pegel semua. Untung Seb lumayan baik pas saya sakit. Biasanya dia cerewet tanya jam berapa bis berangkat dan berapa kilo meter jarak Surabaya Semarang. Biasa, cara pikir ala Barat yang selalu menjabarkan keadaan dengan nama dan angka. Kalo saya bilang, "Saya nggak pernah mikir berapa kilo jarak antar kota di Indonesia," Seb malah bilang, "Apa kamu berpikir dalam mile?" Gubrak.
Tiga hari sesudahnya adalah perjalanan ke Karimun Jawa. Bagus banget kan? Setelah teler dari Jawa Timur saya langsung on board 6 jam di feri dan snorkeling di Tanjung Gelam. Heran kenapa saya masih hidup sekarang bahkan ujian kemarin Senin. Intinya, saya kerja dengan kesadaran somnolen (agak tidak berorientasi baik) dan sempat pulang awal beberapa hari di depan. Tapi saya bahagia bisa bepergian. Seperti yang saya bilang sebelumnya, hidup menetap sebagai pegawai kantoran bagi saya lebih susah daripada nahan kentut di saat lagi diare.
Sekarang saya berpikir untuk balas dendam mengunjungi Seb di Vietnam (jangan kuatir, akan saya tanya jarak semua kota dari Hanoi sampai Saigon, dalam kilometer dan mile sekaligus!)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p
6 comments:
Dan kalo beneran kamu ke Surabaya, jangan lupa kontak aku loh!!
Lho mbak Fanda bukannya di Jakarta? (bukan tmn blogger yang baik, nggak tahu posisi)
gak sempet foto-foto juga ya... kan pengen ngeliat kalian berdua nangkring di puncak Panderman... (eh beneran kan sampai puncak???^^)
Percaya ato enggak: selama perjalanan ini kami nggak bawa kamera! Jadi semua foto ada di kamera orang lain yang ketemu dengan kami selama perjalanan. Sementara di Panderman dan Ijen kami sendirian alias nggak ada foto. Kami sepakat bahwa semua ingatan di simpan di alam bawah sadar ;-p. Alice, jangan bilang siapa2, kita nggak pernah nyampe ke puncak Panderman. Ssstt!
wah pengalaman yang asik....btw endi cerita seng neploki nyamuk?
padahal aku pengen ndelok foto2ne...
nek cuma disimpen di ingatanmu yo orang laen ga bisa liat..
aku durung sempet nulis blog..iki isih dikejar2 dikon ngeluru 3000 dokumen dalam seminggu...modar rak..bar kuwi aku jumat bengi kudu neng jogja ben isukE iso ketemu bapak kapolda seng ngganteng..trus iso mengunjungi iwakmu seng lucu dan orak mambu amis....doakan saya ya
Iwakku sing lucu (tapi tetep mambu amis kecuali dipindang nganggo godhong salam, tapi dadi rak lucu maneh) ngarep2 ketemu kowe Kris. Selamat berjuang!!!
Post a Comment