Lama sekali tidak nulis blog. Tiga minggu yang lalu saya mengangkat ransel saya (lagi) demi memperlihatkan negri seribu pulau kepada seorang sohib. Saya memilih Bali, Bromo dan Yogyakarta (Saya sangat orisinal!=p Ini jalur yang ditempuh semua turis. Jadi saya kesulitan untuk menulis kisah yang agak-agak tidak klise, sedikit saja!). Supaya pembaca tahu *tolong pura-puralah tertarik^_^*, saya berusaha keras supaya tidak terdengar seperti brosur perjalanan atau apa itu buku panduan merangkap primbon yang sudah kebanyakan dipakai sampai dimaki-maki karena suka menyesatkan orang ke antah-berantah. Kalau tidak salah namanya 'planet kesepian'.
Dimulai dari kampung saya tercinta ke stasiun kereta api di Pekalongan. Kenapa kereta api? Saya ingin mengurangi emisi CO2. Halah. Karena saya lupa booking tiket sebelum hari-H. Saya tahu kalau beberapa hari saja sebelumnya saya bisa dapet tiket pesawat Semarang-Jakarta dengan harga yang sama dengan tiket 5 jam perjalanan kereta. Tapi apa lacur. Kalo saya bangun pagi dengan pikiran, "Kayaknya harus ke Jakarta deh hari ini," sepertinya sudah terlambat. Saya jarang bepergian dari rumah. Biasanya saya cuma bawa satu tas punggung. Ini bukannya tanpa sebab. Bagi yang setia menunggu tiket promo maskapai murah seperti air asia, ryan air, beemybaby atau easyjet pasti tahu bahwa ongkos bagasi maskapai2 ini bisa menyamai (atau melebihi) ongkos pesawatnya sendiri. Nah berhubung saya berangkat dari rumah (baca: pondok ortu indah), ibu saya tergopoh-gopoh menyusupkan sandal jepit ke tas ransel saya bersama sekotak teh. OK, saya tahu sandal jepit sangat berguna, misalnya kalau kita nyetrika harus pakai sandal jepit biar tidak mudah kesetrum. Lalu saya memang tidak bisa hidup tanpa teh manis hangat. Tapi apa ini tidak salah? Kenapa tidak kasih tekonya sekalian? Saya susah payah memilin-milin celana kolor supaya bisa muat satu tas saja. Tapi ibu saya begitu berharap! Saya memasukkan dengan sekuat tenaga dua barang di atas ke celah sempit diantara masker dan snorkel. Berhasil! Kayaknya saya bisa bangun besok pagi menuang teh rasa karet. Tidak masalah, ibu saya orangnya mudah dibuat senang kok!
Dalam waktu 5 jam dikereta, saya melakukan hobi terbesar saya: tidur. Sesekali saya bangun untuk memeriksa apakah tas saya masih ada di tempatnya *walah*. Saya punya keasyikan tersendiri naik kereta dibanding alat transportasi lainnya. Yaitu waktu kita lewat palang kereta api. Waktu palang ini diturunkan sebagai penanda kereta akan lewat, semua kendaraan berhenti. Kereta terus melaju. Dan kita bisa melambai di depan pengendara motor dan becak dan sepeda dan supir truk dan angkot yang menanti dengan wajah tidak sabar, "Halo, saya putri keraton Surakarta,"
Bagusnya lagi dengan satu ransel, saya tidak perlu minta tolong mas tukang angkut. Saya tinggal naik ke kursi, menarik tas saya sambil berdoa semoga tidak ada yang kejatuhan apapun (termasuk sandal jepit) dan langsung turun dari kereta. Fantastis, persis seperti gaya pramugari pesawat udara itu, cuma minus baju rapi, tas keren dan rambut disanggul. Baju saya lebih mirip orang-orangan sawah, tas ransel yang sudah 4 tahun belum dicuci dan rambut baru bangun tidur, tidur lagi.
Jakarta sama sekali bukan kota favorit saya kecuali untuk mie Korea-nya (kata Kristina). Jadi saya cuman numpang lewat saja, berhubung pesawat murah ke Denpasar adanya dari Jakarta dan teman saya mendaratnya di Jakarta (saya mau usul di Limpung dibikin bandara kapan-kapan). Jadi bagaimana kalau ceritanya langsung dari Bali?
Pada suatu hari saya mendarat di I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Tarif taksi bandaranya tidak murah. Saya mau bawa sendiri barang saya sampai ke Gang Poppies di Kuta, tapi saya tidak tega membayangkan sohib saya memanggul dua bagasinya yang penuh di atas kepalanya seperti orang Bali manggul sesajen. Setelah berdebat kusir hebat tentang liburan dan penghematan (dalam hati saya sendiri) saya pun mengalah dan mengantri jasa taksi. Hiruk pikuk Kuta sudah menyergap begitu turun di depan Rita's House, losmen murah meriah di Gang Sorga. Bagaimana taksi bisa masuk ke gang sempit yang penuh penjual kaki lima itu, hanya Tuhan yang tahu. Demi meminimalisir pengeluaran Rupiah, saya berbagi kamar dengan 2 (dua) cowok atletis bertinggi badan 178 cm dan 182 cm. Cowok pertama itu adalah adik laki-laki saya yang gabung dari jakarta *ya, setuju, andaikan saja dia bukan=)*. Acara hari itu adalah minta petunjuk temen saya yang orang Bali buat nunjukin galeri seni secara sohib saya ini bercita-cita jadi pelukis. Walhasil kami cuma diberi petuah panjang lebar tentang tempat-tempat makan enak (dan murah) di Bali. Dan dua buku tentang seni *tanpa petunjuk apapun* yang berhasil dicolong dari arsip Bapak si teman yang adalah pegawai pariwisata. Sempurna. Kayaknya memang cuma ini yang kami butuhkan.
Hari berikutnya kami menyewa dua motor untuk keliling Bali bagian selatan. Karena hawa yang begitu panas, saya nekad melepas jaket. Jadi, kalau kulit saya terbakar matahari itu sumprit bukan karena saya berjemur. Buat apa? Nggak masuk akal kan jauh-jauh berjemur di Bali orang di rumah aja kita sudah bisa jemur emping sampe benar-benar renyah! Inilah pengorbanannya kalo ingin keliling pulau dengan biaya ringan. Masalahnya, SIM saya sudah kedaluwarsa tahun lalu. Sohib tidak punya SIM C meskipun bisa naik motor (ini pertama kalinya dia betul-betul nyoba di jalan raya dan dia bahagia luar biasa). Cuma adik saya yang punya SIM C valid. Kami sempat didekati polisi, tapi cuma ditanyai, "Mau kemana?" Dan saya jawab dengan PeDe, "Uluwatu," Saya sudah deg-degan waktu dia tanya lagi, "Tahu jalan?" saya bilang keras-keras, "Iya!" Dia pun berlalu. Begitu saja. Rasanya saya cinta polisi Bali *yang nggak memalak*.
Singkat cerita, kami menghabiskan tiga hari di Kuta. Terlepas dari mobil yang jalan mundur dan cepat *!* di gang sempit karena papasan, bule mabok yang nyanyi-nyanyi serta makanan, minuman, dan tisu toilet yang mahal, Kuta tetap meninggalkan kenangan indah karena...ombaknya yang besar. Suatu malam kami duduk di pinggir pantai cuman untuk menebak apakah ombak berikutnya akan besar atau besar sekali. Kenapa malam? Buat menghindari tukang pijet, tukang tato, tukang jual kain pantai, tukang ojek, tukang persewaan mobil, tukang tuker uang asing, tukang hias cat kuku, tukang kepang rambut dan tukang ngajarin orang selancar. Tapi apa coba tebak yang beroperasi malam hari? Entah bercanda atau serius, orang-orang ini nawarin marijuana!
Dari Kuta kami pergi ke Karangasem. Di sini lebih Indonesia. Adik dan sohib saya sudah terbiasa makan dengan porsi kecil (karena saya selalu melotot melihat tagihan). Tapi karena harga makanan tiba-tiba turun 50-75%, mereka kalap dan langsung pesan 2 porsi. Porsi ketiga dibagi. (ini kenyataan, bukan melebih-lebihkan). Kami berenang di sumber air Tirtagangga. Airnya yang dingin kontras sekali dengan cuaca yang menyengat. Dari sini ke istana Ujung (dulu milik bangsawan Bali), kemudian berlanjut ke Tulamben, dimana ada bangkai kapal USSR yang jadi tempat menyelam (diving site). Adik dan sohib saya tidak punya sertifikat meskipun pada bisa berenang. Saya punya sertifikat meskipun tidak bisa berenang di laut. Kok bisa? Kenyataannya, menyelam tidak sama dengan berenang. Akan lebih baik kalau penyelam pintar berenang. Tapi kalau tidak bisa berenang bukan tidak mungkin menyelam. Saya suka menyelam karena kita harus tenggelam, haha. Sohib saya punya kemampuan alami buat menyelam (tidak seperti saya, waktu belajar nyelam pertama kali teriak-teriak karena fobia basah *yaelah!*) jadi dalam waktu singkat (30 mnt, secara harafiah) dia sudah muter-muter di air kaya ikan koi mabok kecubung. Sementara adek saya naik turun di air bagai lift rusak. Saya pingin mondar-mandir melihat bangkai pesawat namun apa daya dive buddy saya harus mengawasi si Adek dan Sohib. Mungkin suatu saat nanti, kalau adek saya sudah biasa diving (saya yakin dia bakal lebih terampil dari saya) saya bakal usul untuk keliling bangkai USSR shipwreck sampai sepuluh kali biar katam. Dari Tulamben kami ke Ubud. Ubud kota yang menyenangkan, kalau saja kami tidak cuman sibuk mengurus laundry. Cowok-cowok ini kehabisan celana dalam! Saya sudah bilang, sarung motif kotak-kotak itu modelnya selalu in di Bali, tapi mereka benar-benar takut disangka patung raksasa berpentungan atau menara sesajen. Di Ubud, biaya laundry adalah per biji, bukan per kilo! Ini membuat saya makin enggan. Bukan, bukan melulu karena biayanya jadi mahal. Tapi bayangkan saja menghitung kolor kita di depan petugas laundry sebelum menuliskan angka 5 biji untuk kolom celana dalam. Euh!
Hari ketujuh, adik saya pulang untuk urus skripsinya. Sebetulnya karena saya bilang, "kita mau hiking ke Bromo," Memang adik saya bukan penggemar hiking dan semacamnya. Liburan baginya adalah melemaskan otot, bukan sebaliknya, karena waktu kerja dia selalu sibuk fitness! Padahal hiking ini adalah yang paling ringan (termasuk kegiatan segala usia) tapi sayang dia terlanjur kabur. Bromo adalah gunung terindah yang pernah saya lihat *betewe, saya pernah lihat Eiger dan Mont Blanc, tanpa bermaksud merendahkan, mungkin saya perlu ke Katmandu untuk bandingin sama Himalaya*. Bromo juga sangat dingin, kebalikan dengan Bali yang sepanas kuali. Tanahnya berpasir dan orang di sana cuma menanam bawang. Yang paling saya sukai dari Bromo adalah retakan yang selalu berasap dan tanah yang pecah-pecah sementara langitnya berkabut. Kesannya mistis, romantis, puitis dan wajib dilukis. Jalan sekeliling gunung juga indah, dengan pura Hindu berdiri persis di kaki gunung. Hotel-hotel di Bromo sangat memalak, karena targetnya turis asing. Jadi jangan segan-segan untuk belanja di kampung penduduk biasa, karena cuma selisih beberapa langkah harganya bisa hemat sampai lima kali lipat!
Dari sini saya pergi ke Jogja. Tinggal di tempat yang nyaman dan murah di daerah Sosrowijayan, namanya Dewi Homestay. Si empunya sendiri yang merawat tempat ini (alias Bu Dewi). Kami dapat mangga sebagai compliment. Sohib saya sampai berkaca-kaca saking mupengnya. Dia sudah mengidam mangga sejak pertama kali melihat mangga bergelantungan di pohon, secara sekarang sedang musim mangga. Istilahnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi saya bilang, di rumah ibu saya adalah mangga connoisseur, dia bisa memilih mangga harum manis terbaik dengan harga yang paling masuk akal. Saya? Saya tidak yakin bisa memilih mangga yang baik, orang mbedain sama duren aja kesulitan =). Mangga gratis adalah jawaban dari semua keinginan si sohib. Yogyakarta adalah kota kesayangan. Selain makanan lesehan yang murah dan enak, kami juga menonton sendratari ramayana yang seru. Hanomannya bisa salto depan dan belakang (selain menari Jawa tentunya), masing-masing empat kali berturut-turut. Dia jelas-jelas langsung jadi tokoh favorit saya. Meskipun ide cerita keseluruhan Ramayana agak bikin saya protes. Mengapa Rama meminta Shinta melewati bara api untuk membuktikan kesuciannya? Saya kira Gandhi-pun akan terbakar kalo lewat bara api. Maksud saya, siapapun akan terbakar, meskipun orang suci. Mengapa Shinta yang disuruh membuktikan kalau dia diambil dengan paksa? Lagipula, kalau Rahwana adalah raksasa mengerikan dan jahat kenapa Rama repot-repot cemburu? Jadi saya punya skenario alternatif: Rahwana itu bukan raksasa seram. Ia pendekar cakep pemberontak yang diam-diam jatuh cinta pada Shinta. Tapi sejarah selalu ditulis oleh pemenang kan? Misalnya saja karena mengingat Rama itu raja...
Perjalanan saya diakhiri dengan super klise: Borobudur. Mengingat candi ini terletak di Jawa tengah, dia jadi nomer 1 tempat yang paling sering saya kunjungi (selain kampus, toilet dan warung mahasiswa). Yang beda cuman kali ini saya berdebat di loket masuk buat Sohib untuk minta diskon pelajar. Dia bukan pelajar, tapi dia benar-benar miskin karena masih muda dan bekerja sebagai relawan. Dan saya yang mengusulkan untuk melihat Borobudur. Setelah kebimbangan yang tidak mengenakkan, mbak penjaga loket bilang, "Minta kopi identitas, Bu. Apa dia punya kitas?" Saya melongo. Saya bilang dia tidak bekerja, jadi kami dikira pasangan menikah! Yang benar saja, dia belum cukup umur untuk kawin. Ini agak ilegal. Saya tertawa dan bilang, "Cuma ada KTP, Mbak,". Untunglah, muka tembok kami berhasil menyelamatkan $40.
Kami mengakhiri perjalanan di Semarang karena saya ujian CPNS hari berikutnya. Secara umum kami meresume bahwa 1. adalah jumlah ransel yang saya bawa. 2. lama hari perjalanan total lewat darat dari Bali sampai Limpung. 3. lama hari yang kami habiskan di Ubud (Hey laundry mania!) 4. jumlah transit yang dilakukan Sohib dari Semarang sampai Wakefield. 5. Jumlah total kota yang saya kunjungi bersama Sohib untuk benar-benar 'berwisata' (Jakarta dan Semarang tidak dihitung). 6. Jumlah hari berwisata bersama Adik. 12. Jumlah total hari perjalanan dari Jakarta sampai tiba kembali di rumah. 15-20an. Banyaknya kali kita 'ditipu' atau sekedar dimahalin karena teman saya bule. Padahal dia 100% miskin karena uangnya habis buat beli tiket pesawat!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p
13 comments:
Eat, Pray and Love sampai juga di blog ini :)
Buat saya, Bromo is the best
Ahahaha. Terima kasih. Ada yang nyadar secepat ini rupanya...
selamat malam sahabat
kunjunganperdana
salam hangat selaluwah post yang baik sekali
jurnal perjalanan yang menarik hohoho....kok kowe iso ono sertifikat menyelam? aku rak iso menyelam ....soale iso renang..jadi nek ora iso renang mesti luwih pinter menyelam karena menyelam kan ga butuh kemampuan mengambang...hehehe..
soal jogja...kota favoritku sepanjang masa...jadi aku seneng pas kowe iso ngajakin mrJ ke sana...ojo diajakin neng pekalongan..mengko ngisin2i..rak bakalan ono cerita rama dan shinta..seng ono cerita si bolang neng ngeboom seng lagi ngebom.
trus kowe kok rak nulis piye pendapatE mr J tentang indo?
apik opo elek?
Aku ra ngerti persise. Aku tau dia suka banget jetski, naik motor di Bali, diving, Bromo dan seafood Jimbaran. Selebihnya rak gitu paham. Dia cukup tabah travel kita mogok di Tempel (deket Jogja) selama 3 jam-an. Yang jelas dia terkagum2 sama lalu lintas kita yang ga pake aturan, jam yang molor2 sampe entah kapan dan kertas toilet yang jarang sampe dia harus bawa gulungan tisu kemana-mana. Ransele selalu diisi botol minum krn takut kehausan (kan kringeten terus) dan sunblock siap sedia. Keluhan yang paling sering aku denger, "Look, mosquitos bite me again!" dan selalu aku ketawain tanpa simpati babar blas hehe
Ternyata orang yang sudah pernah melihat dunia sejauh Eiger dan Mont Blanc, dan orang2 yang hanya melihat dunia dari internet (lirik teman2 saya) sama2 ikut tes CPNS...
BTW, soal ordeal of fire seperti yang mesti dilewati Shinta itu kan premisnya judicium Dei. :P
Buat Blue Thunderheart salam kenal. Mas Jensen salam ketemu lagi. Oiya, daftar CPNS juga hahaha! Tapi judicium dei (kalo nggak salah artinya hukuman Tuhan) dengan api neraka itu kan untuk orang yang bersalah, sementara di sini Shinta kan cuma korban penculikan. Kenapa dia yang dibakar? (ini pertanyaan bukan ngeyelan ya Bang. Sabar ya, saya suka tanya yang aneh2).
Saya suka sekali gunung dan laut. Baik yang nyata maupun dari internet (saya bisa berjam2 mandangi google earth, jangan bilang2 bos saya ya?)
Ouch! Bikin iri nih perjalanannya.. mana mungkin sekarang daku bisa perjalanan ke beberapa kota hanya dengan tas seminim mungkin? Pergi berdua sama anak ke Pekalongan aja bawaannya segambreng...
Jadi hasil ujian CPNS keluar kapan? Pertanyaannya apaan aja?? Susah ga? Lebih susah dari THB ato test Sub Sumatif ga?
=D Huahahaha. THB, sub sumatif? Kayaknya mereka lebih susah deh Jess. Soalnya ada nulis Jawanya segala ^_^
Bromo pancen TOP BGT, dadi pengen mrono maneh ki... ^^
Ria, nek kowe ke Borobudur, berarti wis cedak banget karo omahku nang Muntilan, di sana ada tongseng kambing paling enak sedunia lho... kapan rencana ke daerah sana lagi? ^^
Tunjukin jalannya to San. Apa nama warungnya? Bisa nggak kalo request ditemenin makan ama presenter Dai TV yang cantik asal Muntilan??? nanti kalo radarku deket muntilan aku kabarin wes (seolah-olah Santi ada pintu kemana sajanya hahaha)
@ Ria
Iya, judicium Dei itu emang untuk orang yang bersalah, karena itu, kalo si tersangka ternyata tak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan, maka pasti terjadi mujizat dimana ia akan dilindungi Tuhan (dewa Agni dalam kisah Ramayana) supaya tidak terbakar oleh api ujian tersebut.
Pada cerita fiksi macam Ramayana sih keren, tapi di dunia nyata (dulu, saat masih dipraktekkan), teori ini emang bodoh luar biasa. >:(
BTW, just feel free tuk tanya yang aneh2. :P
Makasih jawabannya Mas Jensen. Oh gitu ya. Brarti Judicium Dei ini masih sering dipraktekkan dengan sumpah pocong gitu ya? Kan kalo nggak bersalah orangnya nggak bakalan mati tapi kalo bohong nanti kesamber petir (ada nggak sih "petir ordeal"?)
Post a Comment