Monday, October 19, 2009
Kuwalat
Friday, October 16, 2009
Terserah Tapi kok Ngarep?
Nah, menurut saya, kata-kata yang menyebalkan itu adalah 'terserah Tuhan'. Kenapa?
At this moment, entah kenapa orang pada gatel menyomblangi saya. Dari adik saya sampai temennya tetangga sebelah paman dari ibu saya (sumprit, urutannya memang begitu). Pasalnya *curhat nih* adik saya yang cewek sudah mau menikah. Tidak elok kalau melangkahi saya duluan. Pamali. *Bukannya yang pamali itu cuma: makan pas di depan pintu, potong kuku malam hari dan keramas malem Jumat Kliwon? Pasti saya kelewatan primbon pamali edisi terbaru* Kalau saya sendiri merasa lebih tidak elok kalau maksa atau mburu-mburu orang kawin. Kambing aja nggak kawin kalau belum musimnya. Tapi mereka ngeles, "Kenalan saja kan nggak masalah,"
Saya bukannya sok idealis atau sok pilih-pilih. Kenyataannya saya juga sering ditolak dan sering patah hati *jujur nih* tapi ini tidak membuat saya tidak percaya pada cinta sejati, apalagi skeptis (pejuang cinta tanpa bambu runcing). Saya cuma punya pendekatan yang lain berkat bukunya Mas Joshua Harris. Menurut dia, untuk memperoleh cinta sejati itu tidak ada trik dan strateginya (emangnya ujian CPNS ato UMPTN?), tapi cuma butuh ketulusan. Selama kita masih sorangan, itu artinya berkah, karena kita punya waktu untuk mengembangkan karakter, menikmati kebebasan, mempersiapkan diri menjadi pasangan yang baik serta melakukan hal-hal yang berguna dalam kapasitas sebagai lajang. Jadi I personally tidak pasang mata pasang telinga dan siap mengarah target. Semuanya itu proses dan yang terbaik hanya bisa terjadi kalau waktunya sudah tiba. Seperti urutan upacara bendera: pembukaan, kata sambutan, mengheningkan cipta, pengibaran bendera dan doa penutup; kita kan tidak bisa melewati salah satu bagian supaya cepat selesai *meskipun pengen*. Saya ingin mengalami tiap tahapannya. Tapi kayanya susah membuat orang lain mengerti ini. Kalau saya bilang, "Saya tidak berkencan," dipikirnya saya malah lagi patah hati. Walah.
Saya nggak pernah ambil pusing soal kenal-mengenal orang. At the end of the day, saya tetap pada keputusan saya semula. Tapi akhir-akhir ini saya merasa tidak enak hati terhadap kenalan-kenalan itu. Meskipun bertema, "Teman saja," tapi mau tidak mau konteks kita sudah jelas yaitu percomblangan. Dan di sinilah muncul istilah itu: "Terserah Tuhan," dalam arti orang-orang ini percaya jodoh ada di tangan Tuhan. Kalau memang percaya, seharusnya tidak perlu ada acara perkenalan ini. Tapi selalu ada sanggahan, "Kadang-kadang kan Tuhan bekerja lewat orang-orang," Jadi intinya, terserah, tapi kalo bisa sih...kenapa enggak. Ini mah namanya bukan terserah, ini ngarep. With all due respect, saya juga manusia. Saya juga bisa naksir orang. Tapi saya berusaha untuk tidak memaksakan kehendak saya. Saya ingin yang terbaik terjadi pada saya, dan itu tidak bisa kalau cuma menuruti otak saya yang kecil dan jarang dipakai ini. Andai ada yang tahu berapa kali saya berusaha menahan diri untuk tidak menghubungi orang yang saya kagumi! It's a nightmare! Tapi inilah satu-satunya jalan untuk berani bilang terserah yang Di Atas, yaitu menurut saja pada apa yang dipercaya benar, meskipun jalannya kok kelihatan nggak jelas sama sekali. Tidak setiap saat bertanya: Kenapa? Siapa? Dia bukan? Kapan? Sampai kapan? Apakah dia? apalagi sambil berHHC. Harap-harap Cebok. Saya menjalani apa yang ada sekarang dengan bahagia karena saya percaya. Tidak perlu ngarep.
Tidak sulit membedakan antara naksir dan tidak naksir. Nggak percaya? Lihat aja reaksi cewek-cewek terhadap Choky Sitohang. It's not rocket science. Menghadapi orang-orang yang dikenalin bikin saya serba salah. Pinginnya sih netral, apa daya selalu masuk gigi persneleng. Mau cuek, dibilang sok. Mau antusias, dikira ngefans. Mau bete, disangka PMS. Mau diem aja, nanti dipikir lagi ngemut permen asem. Mau berdehem-dehem tanda nggak nyaman malah dikira keselek duren. Syusyah. Masalahnya sudah ada sejak awal, proses kenalan kita itu tidak natural. Ada maksud dibaliknya. Padahal untuk mengenali secara betul karakter seseorang, kita harus berada dalam lingkungan keseharian yang sebenarnya dan tidak ada pretensi, tidak ada penilaian, tidak ada harapan tersembunyi. It shouldn't of.
Saya tahu semua orang itu fairly unique dan mungkin ada juga yang dapet jodoh dengan cara beginian. Tapi sungguh, saya tidak nyaman. Saya merasa pendirian saya ditantang. Saya berusaha menghargai usaha keluarga dan keinginan mereka, tapi saya punya keinginan sendiri dan saya pikir sih keinginan saya tidak ada yang salah. Kata-kata, "Terserah Tuhan," bagi saya bukan berarti berpangku tangan, tapi berarti berusaha menjadi pribadi yang sebaik-baiknya dan sisanya diserahkan pada yang berwajib eh berwenang. Bukannya cari calon sendiri yang disuka, yang sesuai kriteria, dideketin berkedok teman, bilang "terserah Tuhan," tapi kalo dilanjutin sih "Terserah Tuhan kapan kamu mau menyerah sama saya, " sambil bilang "Saya bawa kamu dalam doa", dan sebagainya dan seterusnya dan lain lain. Saya sebenernya paling gokil sama orang yang bawa-bawa Tuhan. Ini bukti bahwa orang yang seagama belum tentu sepaham. Jadi singkirkan daftar kriteria yang melihat orang secara sempit! Orang itu sangat kompleks makanya nggak bisa dikotak-kotakkan. Emangnya pilkada? Itulah sebabnya kita bergantung sama yang lebih bijaksana, tidak ngarep, meskipun kalau ditanya apa saya mau dapet cowok ganteng-kaya-manis-baik-pinter-mempesona-audubilah-seksi? Absolutely. Tapi saya nggak akan cari, nggak akan bikin itu sebagai acuan. Kenapa? Karena mengimani kata "terserah Tuhan". Yang dikasih ke saya pasti yang paling cocok buat saya, meskipun tidak seaduhai si Choky-choky.
*Saya sudah menggunakan semua kata yang paling menyebalkan termasuk bagi saya sendiri. Rasanya emang memuaskan^_^*.
Saturday, October 10, 2009
Orang Ketiga
Ceritanya, di lingkungan kerja, saya punya banyak kolega yang juga ibu muda. Saya pingin tanya nih, seberapa sering sih ibu-ibu ini bicara tentang anak-anaknya? Saya sering sekali ketawa garing dan celingak-celinguk ke kanan-kiri, atas-bawah, WC-ruang tamu, langit-langit dan tegel kalau obrolan yang dilontarkan orang di sekeliling saya melulu tentang anak-anak mereka.
"Si Sasya ini suka sekali nyuruh guru lesnya masakin buat dia, kalo guru lesnya dateng, dia bilang 'laper...laper...' sampe si guru gorengin telur buat dia,"
"Pinter ya Bu, biar lesnya gak lama-lama,"
"Iya, satu setengah jam belajar jadi tinggal satu jam aja,"
"Kalau anak saya, baru sepuluh bulan, sudah tahu namanya sendiri,"
"Oya? Jadi kalau dipanggil nengok gitu?"
"Iya, padahal namanya panjang, Arwendi Buwono Santosa. Dipanggil 'We..We..Wendi', nengok. Dipanggil 'Buw..Buwon..Buwon' nengok juga. 'Antos...Antos..Santos...Atos...' dia juga tahu," kata si ibu dengan muka kembang kempis *seolah anaknya menang olimpiade gundu*
"Anak saya, kalau sudah seneng sesuatu, gak bisa dibujuk untuk suka yang lainnya. Misalnya suka sepatu yang pink, sudah saya rayu-rayu ganti yang merah karena ukurannya lebih pas, tetap tidak mau,"
"Wah, kalau anak saya bukan sepatu, tapi makanan. Kalau yang masak bukan saya, dia tidak mau,"
"Anak saya cuman suka sama pembantu yang tua. Mungkin keibuan kali ya. Kalo sama yang muda-muda kan suka dicuekin, ditinggal nonton sinetron saja,"
"Anak saya sukanya musik. Kaya papahnya. Jadi kemarin saya sudah beliin dia piano-pianoan kecil yang bisa bunyi,"
"Umurnya berapa sih Bu?"
"Baru tiga tahun,"
"Wah hebat ya. Anak saya juga hampir empat tahun, sudah keliatan suka sama nari balet,"
"Dileskan saja Bu,"
"Dimana?"
"Itu ke guru les yang bisa sekalian gorengin telor..."*)
*)kalimat dialog terakhir ini rekayasa saya pribadi.
Kejutan untuk pemirsa, dialog diatas sudah sangat amat saya persingkat sekali, plus diedit ketat *masa sih masih kedengeran gak penting?*. Karena kalo direkonstruksi ulang, dialog tersebut sebenarnya memakan waktu lebih dari 30 menit. Pokoknya berada disana jadi membuat saya rajin bekerja, karena kerjaan jadi keliatan lumayan tidak membosankan. Pasti pada mikir, itu karena saya belum punya anak sendiri. Tidak juga. Dua orang teman saya yang lajang juga ada di situ, tapi mereka tertawa, menanggapi, berkomentar, bertanya, dan mangut-mangut menikmati percakapan para ibu-ibu muda tadi. Jadi? Kesimpulannya: salah saya. Seharusnya, kalau saya tidak menikmati, saya bisa pura-pura permisi ke kamar mandi kemudian menghabiskan sisa waktu break dengan jogging di koridor. Atau main catur ama bapak satpam di pintu depan. Atau main kartu 1 babak sama tukang anter galon aqua. Atau puter badan, buka laptop dan nulis blog. Betul juga. Daripada mengeluh tentang kaum ibu yang bangga, yang sedang bicara dengan antusiasme ala Bung Tomo tentang buah hati mereka. Bukan salah mereka.
Tapi karena saya orang yang kuper tapi pingin gaul, saya mendambakan lingkungan sosial yang mendukung. Jadi kalau boleh saya sarankan, ada beberapa topik yang bisa dibicarakan selain anak-anak selama 24/7. Saya punya beberapa ide yang bisa saya bicarakan dengan semangat tujuh belas agustus tahun empat lima. Misalnya,
- Kenapa di kartun Disney, Goofy dan Pluto yang sama-sama anjing; yang satu jadi majikan, yang satu tetep anjing (as himself)?
- Kenapa Spongebob warnanya kuning?
- Kenapa di film-film horor itu yang ngesot selalu suster? Kenapa bukan dokter? Kenapa bukan bidan? Mantri? tukang pel rumah sakit? Atau Dokter konsultan bedah saraf?
- Kenapa ajang pemilihan putri kecantikan sedunia dinamakan Miss Universe padahal tidak ada perwakilan dari planet lain, apalagi galaksi lain? Kenapa namanya gak Miss Planet Earth? (takut dikira acara dokumentasi alam ya?). Atau lagi yang lebih tepatnya, "Miss Nation on Earth who passes the quarter-finals, semi-finals and playoffs"? Kan lebih kliatan semangat kompetisinya gitu lho.
- Kenapa telur yang digoreng utuh dengan kuning telurnya 2 biji disebut telur mata sapi? Padahal sama seperti ayam, sapi matanya tidak bersebelahan, tapi bersisian: samping kanan dan samping kiri, jadi kalau dilihat dari depan tidak mirip sama sekali dengan telur goreng. *Makanya ada teka-teki kenapa ayam kalo nyebrang jalan gak harus tengok kanan-kiri? Jawabannya: karena matanya udah di samping*. Jadi menurut saya, seharusnya telur ini dinamai telur mata burung hantu atau telur mata manusia, yang sama-sama di depan.
- Kenapa helikopter bisa naik turun tegak lurus tapi pesawat harus lari-lari di bandara dulu sebelum take-off?
- Kenapa telur bisa berwarna-warni? Telur ayam cokelat, telur bebek hijau muda? Telur penyu bintik-bintik coklat, telur puyuh bintik-bintik hitam?
- Kenapa kalau kucing hitam kawin sama kucing putih, tidak semua anaknya belang-belang?
- Dan sebagainya. Dan seterusnya. Yang kreatip sajalah. *Pasti pada lega karena saya berhenti di sini*. Jangan kuatir, saya ikut kuis Facebook 'Seberapa Waraskah Anda'? Dan jawabannya 'Maaf parameter kami mendadak rusak', not my mistake.
Hari lain saya menelpon sahabat. Waktu itu sudah agak larut, jadi si anak sudah tidur. Kami bicara lama, lebih mendalam daripada waktu ketemuan, karena kami tidak dihalangi lagi oleh botol susu dan lap ingus. Tiba-tiba receiver saya bergemerisik dan eng ing eng...kedengeran suara "mama, mama..." (perhatian:ini bukan adegan filem serem) trus teman saya pamit sebentar dan dari sana kedengeran suara rengekan, lalu teman saya yang bilang, "Ayo, mau nyapa Tante Ria dulu? Halo Tante Ria? Halo?..." Tapi si anak malah meraung-raung sehingga sahabat saya menyerah. Dia bilang, "Aku tidurkan dia dulu ya?" Saya pun tidak ada pilihan lain selain bilang iya. Padahal hati saya pingin teriak, "Tunggu dulu! Bagaimana dengan pembicaraan penting yang kita lakukan? Apa jadinya kalau Tehran tidak menyerah tanpa protes terhadap inspeksi nuklir US? Apa yang didapat dari pertemuan G7 di Pittsburg? Bagaimana nasib tentara di Afganistan?" Itu semua tertelan oleh ratapan pilu si anak di tengah malam nan kelam tak berbintang.
Saya merindukan saat-saat anak ini masih di kandungan atau belum dibuat sekalian, karena waktu itu saya bisa telpon sahabat kapan aja dan langsung jalan ke tempat-tempat tertentu tanpa mikir apakah tempat ini family friendly. Saya bilang sama diri sendiri, jangan egois, masak saya cemburu sama anak kecil? Nggak juga sih, tapi anak ini adalah pribadi yang tidak saya kenal, tiba-tiba saja dia ada dan mengambil semuanya. Seperti orang ketiga. Jadi saya tidak cemburu. Saya cuman kepingin dia menghilang, sekarang! Becanda. Maksud saya cuman kepingin dia bagi waktu sama saya, sedikit saja. Tapi kayaknya saya fighting a loosing battle. Sumprit. Saya tidak anti anak-anak. Mereak itu kan lucu, imut, jujur, polos, manis, menggemaskan dan bla bla. Cuma, kadang mereka muncul di waktu dan tempat yang salah, lalu menyabotase rencana kita tanpa permisi sebelumnya. Tahu kan maksud saya? Misalnya, pas saya mau jalan sama teman saya. Anaknya tiba-tiba merengek minta ikut. Nah, acaranya kan jadi harus diganti ke acara "semua usia" (sesuai untuk manusia umur 0-100 tahun!). Saya jadi agak terganggu.
Saya bujuk si anak, "Kamu boleh ikut kalo sudah selesai nyanyi satu lagu dulu ya?"
"Lagu apa tante?"
"Anak ayam turun sejuta,"
Saya nyaris digampar mamanya!
Wednesday, October 7, 2009
Kecanduan Facebook, Amankah?
Kesibukan orang tiap hari jadi buka HP dan onlen. Perbarui status tiap beberapa detik, oh maaf ini hiperbola, maksud saya tiap beberapa menit=D. Saya jadi mulai merasakan kecanduan. Kalau tidak terhubung ke internet dalam beberapa hari rasanya gatel-gatel, panas dingin dan gejala-gejala gangguan pencernaan yang lain (perut kembung, sering kentut dan laper=p). Dan begitu buka facebook saya akan melihat notifications yang jumlahnya puluhan. Home saya penuh dengan status teman-teman yang berubah tiap kali saya balik ke halaman itu. Selama saya nulis blog ini pun, bisa dipastikan sudah sekitar 10an teman saya yang memperbarui statusnya. Ini kaya fenomena Skype (tertulis: 11,488,982 people online, tiap kali saya buka angkanya selalu berkisar segitu digit). Saya tidak pernah buka forum chat, soalnya saya selalu kewalahan. Bukannya saya populer atau banyak utang *hihi*. Saya cuma sekedar gaptek. Dulu waktu pertama kali terdaftar di Facebook, kira-kira dua setengah tahun yang lalu (astaga, itu kan belum lama ya, jaman cepat sekali berubah!*komentar emak-emak banget sih*), Facebook belum sepopuler sekarang. Waktu itu masih jamannya Friendster. Teman saya di facebook cuman beberapa puluh saja dan saya masih mendapatkan email setiap kali ada perubahan di facebook.
"John Doe confirmed you as a friend on Facebook,"
"Jane Doe commented on your wall post,"
"Mr. Joko something (bukan sembung, catet!) is no longer listed as single,"
"Ms. Siti something added you a a friend on Facebook,"
"Miss Tuti Astuti Teliti Melati Mewangi Sepanjang Hari wrote on your wall,"
Saat itu tiap komentar, perubahan status dan bahkan superwall *ya ampun tuh aplikasi sudah nggak pernah saya tengok lagi, isinya melulu sampah* masih saya lihat, baca dan tanggapi. Karena teman saya masih sedikit dan kebanyakan orang-orang yang benar-benar saya kenal, tapi susah dijangkau karena alasan jarak, waktu atau perbedaan hemisfer. Tapi sekarang? Saking banyaknya yang komentar dan memperbarui status, saya memindahkan semua email dari facebook ke spam. Harus saya akui, surat beneran saya kan nggak sebanyak sampahnya jadi sekarang saya agak kesepian karena inbox saya kosong (ngecek inbox juga tiap lima menit. Siapa juga yang mau email saya segitu sering? Tukang kredit, tukang jualan asuransi, atau tukang tagih rekening bulanan mungkin?). Tapi intinya, saya jadi tidak seantusias dulu membaca perubahan di facebook. Bagaimana tidak, isinya kebanyakan yang beginian melulu:
"malam minggu ini sendiri, kangen dirimu deh..."
"Cepat pulang, ya sayang..."
"Lagi di...." *sangat spesifik sehingga bisa diupdate cepat, misalnya WC, pintu masuk, lift atau ruang tunggu. Jadi bukan di Jawa, di Indonesia, atau di planet bumi/dunia, gitu kan nggak bakalan diupdate karena nggak pindah-pindah*
"ahhhhh...capek..." dengan variasi "Hufff capeknyaaaaa", "ih cape deh", "lelah...capek...habis xxx"*ini maksudnya urusan pribadi si empunya facebook, entah itu nimba, nyangkul ato nyuci*, "Feel tired" "Pijat capek tenaga pria" *eh salah, kalo ini iklan tukang pijet*.
"Sebentar lagi..." "Nggak sabar untuk..." "H-sekian" "Aduh kapan ya...?"
"Wish me luck" "Semangaaaat!!!!" "Terima kasih" "Akhirnya..."
De el el, De es be. Bukannya saya bilang ini semua nggak penting, yah terserah kan mau nulis status apa. Tapi yang baca kan jadi nggak semangat mencet page roll down. Memang ada sih status yang lucu, menarik, atau memberi info penting (kadang malah jadi iklan baris: dibutuhkan cpt. S1/D3skrtrs. hubHPxxx. gaji nego). Tapi pada umumnya saya bilang sih itu kebanjiran informasi.
Sisi lain dari fenomena Facebook adalah, saya jadi jarang bicara langsung dengan orangnya. Tinggal lihat status facebook, begitu katanya. Saya sebenarnya cukup bersemangat waktu mau ketemu teman lama jaman SD dulu. Tapi begitu udah saling add friend di facebook, malah jadi mati gaya karena nggak ada bahan pembicaraan. Kan saya udah tahu kalo dia sekarang anaknya tiga, kerja di perusaaan swasta dan istrinya orang Sunda. Jadi apa pertanyaan untuk memecah kekakuan (ice-breaker)? Masak langsung nanya, "jadi hubunganmu dengan kakak mertua bagaimana?" hanya karena info ini tidak tersedia di facebook. Saya masih menikmati surat pribadi yang personal, yang bisa bicara dari hati ke hati. Memang sih resikonya saya nggak bisa berbagi dengan empat ratus sekian orang (kaya jumlah teman saya di facebook). Tapi itu lebih manusiawi. Yang paling saya hargai adalah surat betulan dari kantor pos (hayo, pasti ada yang ke kantor pos terakhir kali cuman buat ambil gaji PTT doang), lalu email dan sisanya messages di tempat-tempat lain yang tidak dibaca oleh semua orang. Bukannya saya tidak suka kalau ada yang menulisi wall saya, saya cuma bilang ini prioritasnya. Kadang, saya merasa facebook itu kurang personal dan kaya pasar rumpi ibu-ibu RT saja. Belum lagi kalau diantara teman-teman itu ada yang mantan pacar, pacarnya mantan, mantan gebetan, mantan penggemar, mantan pemain sepakbola *ini intruder*. Kadang saya merasa tidak nyaman karena info kita dibeber habis. Bukan karena saya bermasalah atau apa, hanya saja ada hal-hal tertentu yang saya tidak ingin diintip orang. Tapi ini agak susah sekarang karena kita terbuka untuk ratusan orang teman kita di manapun berada lewat facebook. Cobalah google nama kita. Daftar teratasnya biasanya akun facebook (100% kecocokan). Makanya ada banyak orang tidak mendaftar dengan nama aslinya, ini saya juga mengerti. Sejujurnya, profil facebook saya bukanlah CV terbaik saya. Tapi tentu saja kita nggak ingin berlaku jaim di depan teman-teman terdekat kita. Paling menjelaskan masalah ini adalah foto.
Foto yang diupload teman-teman kita jadi seperti portofolio kita. Padahal foto ini tidak selamanya adalah gambar yang paling ingin kita perlihatkan ke orang lain. Dulu saya mengupload foto sebagai alat untuk berbagi pada teman dan keluarga saya di rumah waktu saya sering bepergian. Tapi sejak facebook sangat marak, saya sering mendapati diri saya di-tag dalam pose yang enggak banget (e.g. ngupil, garuk-garuk, melongo, ngesot). Kalo saya remove tag kadang keliatan nggak asyik banget, I look so vain. Dianggap jaim lagi. Tapi ya itulah, jadi banyak foto haha-hihi yang menghiasi halaman facebook. Kadang itu menghibur, kadang kasian aja sama yang buka halaman saya. Orang saya aja bosen liat muka saya sendiri kok. Saya ingin foto saya itu ada ceritanya, foto yang eventful. Bukannya sok national geographic; hal-hal sepele di sekitar saya juga bisa jadi menarik kalau ada cerita dibaliknya. Misalnya waktu saya melihat kepompong yang baru keluar kupu-kupunya di tangkai pohon mawar. Saya belum pernah melihat ini secara nyata dan langsung, jadi saya senang sekali. Langsung ambil kamera. Tapi kalo foto sampai sepuluh kali pas makan-makan atau kondangan dengan orang-orang yang sama cuma ganti gaya? Maaf ya temen-temen *saya tahu kalian juga jarang baca blog kecuali saya paksa haha* tapi saya agak malu waktu foto ini diupload semua di facebook. Dan saya di tag sepuluh kali. Gigi saya sampai kering. Saya mungkin punya aura selebritis sehingga pada seneng foto-foto sama saya (asli model Trubus).
Jadi, kembali ke masalah kecanduan, apakah baik kita stay tune di facebook atau twitter? Biar langsung ketahuan kalo kita tiba-tiba diculik teroris/alien? Saya nggak mau menghakimi dondong opo salak, bener atau salah. Lha orang saya juga kecanduan blog. Saya bisa menghabiskan berjam-jam baca-baca blog atau surfing di depan layar 12" laptop saya! *saya bener-bener butuh pekerjaan sungguhan nih, segera!* Yang saya pingin bilang itu jangan lupa pada kehidupan nyata. Jangan lupa pentingnya ketemu muka, bicara dan tatap mata. Dan tetap sisihkan untuk menikmati waktu buat diri sendiri. Bagi saya ini penting. Soalnya saya gampang terbawa suasana. Terakhir, kalau ngenet jangan cuma update status di facebook saja. Masih banyak hal lain yang menarik atau mungkin malah berguna. Seperti misalnya cari tiket murah atau ngumpulin resep masakan nusantara *mental ibu RT* Facebook memang membantu juga, tapi kehidupan sosial kita tidak terbatas cuma di dunia maya.
Monday, October 5, 2009
I Kissed Dating Goodbye
I want to share a bit about Joshua Harris' book, "I Kissed Dating Goodbye", although it might seem to me as rather delicate and tricky subject to discuss. I read this book a couple of months ago, recommended by my sister. I am now completely hooked on the idea. Before I start talking about the book, let me tell you part of myself, in order to give a picture where my agreement comes from.
I dated. I had numerous encounter with men albeit I wasn't the most popular girl by any means. The suggestion of 'not dating' made me laugh terribly like hyena because I thought it was the most outdated, obsolete, unfashionable concept I've ever heard. It sounded so ridiculous and extreme at that time. Don't get me wrong, I had been through an unpleasant fling, an unhealthy relationship, a dreadful dating scene. But it didn't make me off dating. I believe in true love, rosy fairy-tales, even chick-flick movies. I was a desperately romantic person who long for a happily-ever-after ending. Like anybody else. But apparently my understanding of romance and love was completely wrong. I was looking for enchanting, passionate, fervent attraction and excitement that we always see when we fall in love. I was looking for drama, not the real thing.
Joshua Harris depicted "Seven Habits of Highly Defective Dating" as below:
1. Dating leads to intimacy but not necessarily to commitment.
2. Dating tends to skip the "friendship" stage of a relationship.
3. Dating often mistakes a physical relationship for love.
4. Dating often isolates a couple from other vital relationships.
5. Dating in many cases, distracts young adults from their primary responsibility of preparing the future.
6. Dating can cause discontentment with gift of singleness.
7. Dating creates an artificial environment for evaluating another person's character.
When I brought about the whole new view to my best friend, she said, "It makes dating looks like a homework," It's not completely wrong. She's got point. Where is the fun side? Where is the spontaneous, adventurous, mind-blowing experience of free fall?
Joshua Harris said to pursue a relationship without commitment is like climbing a cliff without making sure that someone will hold the rope. For me, it's like skydiving without having a parachute. I skydived, I know the thrill of free fall (although lasted only few seconds). But would it be fun if I suddenly realized I didn't have parachute? Would I even jump? I think I will make sure I have one and another one, if in odd chance the other one doesn't work. So as in relationship. But this is also not the point. The aim of being in relationship is happiness, not merely to have a company, to be entertained, or to get some sparkles in our tedious life. This beautiful plan can only happen in the perfect moment. Like "when Harry met Sally". The right thing in the wrong time is the wrong thing, says Joshua Harris. "We can't hurry love," says Phil Collins. Is this all about finding a soul mate? Not really. It is about seeking something worthwhile, something deserves the wait. It is about growing as a whole, mature and secure person without being jaded by an appalling experience of heart-break. It is not solely about belief or opinion, it's in fact a common sense. We need rules in relationship because it takes two. We have to agree to something. Problem is, when the elation is gone (let's say, we're falling out love) somehow we start to make our own rules. When hard times come, we have nothing to hold on. This is when we experience the drawback of free fall. The time when we head straight to the ground, upside down. Of course, we will always survive this. But let's stop to think, "Is this it, the game of dating? With all the blasts and sparks, only end up in depression? Is there something else?"
Not all relationships end badly. Some of them last, despite the ups and downs. I am pretty sure many people learn by doing. But I believe it is better to start something when we know the rope. I don't say that having a relationship is wrong, but to search for a stir up without commitment is unwise. Love is not a play thing. It is not entertainment. It is not about being popular, being an idol, being a winner or being adored by someone. It has higher purpose. I am sad to say that love is inhuman. It is a human nature to seek for pleasure. But love is more about giving and being selfless. It makes us better than human.
This writing is for Kristina, who will tie the knot on 28 November 2009 (It's always a bit embarrassing to write about love, I'm always afraid of being corny)^_^ .
Love endures long and is patient and kind; love never is envious nor boils over with jealousy, is not boastful or vainglorious, does not display itself haughtily. 1 Corinthians 13:4
Coincidence
Coincidence is God's way of remaining anonymous." — Albert Einstein
Saya merasa begitu banyak kebetulan dalam hidup saya. Kebetulan yang kelihatannya sepele itu kadang2 merupakan kunci kejadian2 yang penting di masa depan. Karena itu saya mulai percaya kalau kebetulan2 yang saya alami bukan peristiwa biasa tapi itu jalan Tuhan untuk bekerja dengan cara yang tidak saya sadari. Ini adalah beberapa kebetulan yang saya alami dalam hidup saya:
1. Calon pasangan hidup saya (Petter) saya kenal melalui kebetulan juga. Waktu itu saya mengajar asistensi Pengantar Akuntansi 1 waktu kuliah. Dari begitu banyak dosen, saya dipilih untuk menjadi asisten dosen Pak Putu. Nah Petter kebetulan masuk kelasnya Pak Putu dan dia cukup rajin ikut asistensi. Akhirnya kita berkenalan deh.
2. Proses saya jadian dengan Petter juga bisa disebut kebetulan karena kami sudah kenal selama setahun tanpa jadian. Hanya berteman biasa saja. Suatu ketika, saya hendak melamar sebagai asisten lab computer di kampus. Saya bersama dua orang teman kost saya bersama2 ikut test untuk menjadi asisten lab. Tes praktek saya berhasil, namun tes wawancara saya gagal. Saya kaget karena dua orang teman saya diterima dan saya tidak. Dua teman saya yang diterima itu bertugas membuat modul untuk mengajar selama liburan semester pendek, sedangkan saya tidak ada kerjaan di kost. Akhirnya mulailah saya sering main ke kost Petter daripada ga ada kerjaan. Dari situ kami mulai dekat dan akhirnya sebulan kemudian jadian deh. Jadi kebetulan saya tidak diterima jadi asisten lab, saya bisa dapat pacar.
3. Saya kenal dengan teman saya yang sama2 gila yaitu Ria secara kebetulan karena kami satu SMA Bernardus. Dan saya bisa sekolah di SMA Bernardus karena tadinya saya ga jadi masuk ke SMA Sedes di Semarang gara2 uang gedungnya ga boleh kurang dari 1 juta trus pas balik ke Pekalongan mo daftar di SMA 1 ternyata telat jadi satu2nya SMA yang masih mau menerima siswa ya SMA Bernardus itu.
4. Saya kerja di kantor saya sekarang karena info dari mantan teman sekantor saya di perusahaan ke-3. Dan saya bisa lolos karena saya pernah bekerja di perusahaan ke-4 sebagai bagian pajak sementara soal2 yang keluar itu semuanya tentang pajak. Padahal saya sempat menyesal kenapa saya pindah dari kantor 3 menuju ke kantor 4 yang ga ada bagus2nya..ternyata ada hikmahnya juga.
5. Waktu Jakarta banjir bandang, jalan raya menuju ke kost saya banjir se dada orang dewasa. Saya jalan sendirian pulang kantor dan tiba2 secara kebetulan ada yang memanggil2 saya dari belakang...ternyata jreng 123456789x (panjang amat) orang itu adalah adik saya sendiri yang juga lagi jalan pulang dari kantornya. Sungguh suatu kebetulan bukan?
6. Suatu hari saya sedang bokek tapi saya kepengen makan martabak manis...lalu tiba2 teman kost ngasih saya martabak manis..seperti hadiah dari surga nih.
7. Karena sebulan lagi saya mo merit...maka saya berencana untuk sedikit melangsingkan badan supaya tangan saya tidak terlihat seperti paha ayam dan supaya pinggang saya sedikit menyerupai biola. Saya sudah sering mencoba berdiet dengan minum teh pelangsing dan mengurangi makan tapi tidak kunjung berhasil. Untungnya kebetulan kantor saya sekarang ada fasilitas fitness gratis sehingga dengan biaya nol, saya bisa mendapatkan hasil lumayan (4 kilo dalam waktu 4 bulan....).
8. Saya sangat senang wisata kuliner tapi seringkali terbentur budget alias ga ada duit buat makan yang mahal2. Saya sangat ingin bergaya minum kopi di Starbucks tapi sayang2 karena minum kopi saja bisa 30rb lebih padahal dengan 30rb bisa dapat 60 biji gorengan, 20 biji bakso goreng aneka, 300 uang seratus rupiah dan bisa buat makan hokben hoka hemat sebanyak 3 porsi. Jadi walaupun sudah 5 tahun di Jakarta saya belum pernah minum Starbucks. Thanks to Ria kebetulan dia merasa kok tragis banget ada yang belum pernah minum Starbucks seperti saya jadi dia mentraktir saya Starbucks sehari sebelum dia berangkat ke kambing gunung.
9. Tadinya saya tidak tau kalau jurusan Accounting lumayan gampang cari kerja. Jadi waktu mendaftar kuliah papi saya menyuruh saya masuk Accounting padahal saya juga ga minat sama sekali karena guru Accounting saya waktu SMA termasuk menyeramkan (Bu Jagger jangan mendatangi saya dalam mimpi ya). Namun untungnya papi memaksa saya masuk Accounting. Jadi berkat jurusan Accounting, saya bisa menggaet anak asistensi saya lalu saya bisa masuk ke kantor yang ada fitness gratisnya ini.
10. Ini adalah kebetulan yang paling saya syukuri yaitu kebetulan saya dilahirkan sebagai wanita jadi saya bisa menikmati keuntungan2 sebagai wanita yaitu bisa bergosip ria, bisa bergandengan tangan dengan ria tanpa di cap lesbong (bayangkan kalau pria yang bergandengan tangan ria), bisa bermake up ria tanpa dikira bencong, bisa bergaun ria tanpa dipandang aneh dan bisa menikah dengan pRia...lho kok semuanya berhubungan dengan ria ya....joko sembung ria ah...hihihi
Nasib wanita
Friday, October 2, 2009
Pernahkah Melihat Kelinci di Bulan?
Dua hari yang lalu saya ketemu adik-adik kelas saya yang manis-manis (ehm!) dan gatel-gatel. Kami dulu teman satu kost di Semarang. Kami pun bicara ngalor-ngidul, kiri-kanan, Semarang-Sukorejo dan BlokM-kota PP, sampai berbuih dan berbusa kaya sabun colek cap dua kelinci (ada ya?). Salah satu dari pembicaraan kami yang gak penting, gak aktual apalagi berbobot itu adalah saya bilang bahwa kita butuh break kalo baru lulus dari kedokteran (mereka pada baru/hampir lulus). Alasan saya, dari dulu kita sekolah terus, TK-SD-SMP-SMU-UMPTN-kedokteran-koass-PTT-spesialis. Wajar kalau kita pilih sehabis kuliah, karena jatah umptn *apa sih istilahnya sekarang? spmb ya?* cuman boleh diambil maksimal 3 tahun setelah lulus SMU dan cuman 3 kali berturut-turut boleh dicoba. Setahu saya sih begitu. Entah kalau peraturannya berubah. Jadi kita tidak ada kesempatan nunda-nunda dulu masuk universitas. Tapi kalau sesudah lulus langsung nyebur spesialis atau apalah pilihan kita, kok rasanya masa muda jadi habis buat mengejar karir ya? Kecuali, memang sudah tahu persis apa yang kita minati. Itupun menurut saya, masih kurang 'seimbang'. Kita memang sukses secara akademik, mungkin juga finansial, tapi apa ya cukup itu? *aduh, bisa dipisuhi orang kalo nganggep jadi sarjana profesi kok masih ngerasa nggak cukup* Maksud saya, apakah tidak ingin tahu apa ada pilihan lain diluar itu? Di luar siklus sekolah-berkarir-nikah-beranak? Bukan, ini bukan gerakan modern atau new-age atau apa, ini cuma pikiran saya sendiri. Kita sudah biasa ngikut orang. Adek ngikut kakak. Anak ngikut orang tua. Tapi bagaimana kalau kita tiba-tiba ingin cari jalan sendiri? Berpikir di luar kotak? Kalau sekali saja mikir, "Bagaimana kalau...Bagaimana seandainya..." dan kita menjajaki kemungkinan yang ada? Inilah alasan saya untuk sejenak lepas dan berhenti dari siklus. Saya ingin melihat sesuatu yang baru. Seperti misalnya, kelinci di bulan.
Menurut hemat saya, kita selalu merasa dikejar-kejar. Dikejar umur, dikejar kebutuhan, dikejar calon mertua. Pasti tidak asing pertanyaan, "Kapan kawin? Sekarang praktek dimana?" didengar dari tetangga-tetangga. Fase kesel atau bosen sudah saya lewati, jadi biasanya jawaban saya kopi paste saja jadi, "Masih sama seperti jawaban kemaren, tante," *paling banter dikira sakit sarap* Kita betul-betul didesak untuk saling mengejar, saling berlomba. Mengejar apa? Tidak satupun tahu. Tapi karena yang lain berlari, kita latah ikut jogging karena takut nggak kebagian.
Saya pernah ditanya, "Pernahkah melihat kelinci di bulan?". Pertanyaan ini tidak biasa saya dengar sebelumnya, jadi giliran saya yang mengira si penanya sakit sarap. Dia mengajak saya melihat bulan penuh dari atap. Tidak ada pembicaraan lain sesudah itu. Cuma melihat bulan. Langit kebetulan bersih, jadi sinarnya lumayan terang. Yang saya heran, saya sudah hidup dua puluh tujuh tahun waktu itu, saya belum pernah benar-benar melihat bulan. Padahal banyak yang menggunakan bulan sebagai pedoman: penanggalan jawa, cina dan arab. Orang yang pergi melaut. Menentukan 1 Ramadhan. Siklus haid. Dan sebagainya.
Intinya bukan melihat bulan. Kita hidup di jalur cepat. Kadang semuanya membuat kita sibuk, dan saya tidak bisa bilang itu salah karena kita semua dituntut untuk selesai secepat mungkin. Lulus segera. Laporan rampung segera. Datang ke kantor segera. Kejar tayang. Pokoknya cepat. Kilat. Instan. Ini membikin kita lupa untuk melihat pohon berbunga sebelum berbuah, pagi berkabut sebelum cuaca memanas, ayam bertelur sebelum ada anak-anak ayamnya. Joko sembung bawa kursi. Yang saya pingin berbagi adalah, jeda itu perlu. Kita tidak pernah akan jadi tertinggal kalau kita mengambil waktu untuk "mengalami" bukan sekedar "melewati". Kalau mengambil istilahnya Stephen Covey di bukunya 7 kebiasaan, ini adalah fase mengasah gergaji. Jadi, sudah pernahkah melihat kelinci di bulan? Tengoklah ke atas langit nanti malam, ini masih bulan agak-agak penuh. Lebih asyik dilihat aslinya, gambar saya cuma untuk membantu berimajinasi saja.
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p