Limpung, tercinta atau tidak tercinta?
Kristina bilang kota kami, Pekalongan, termasuk tidak tercinta. Kalo Limpung, kampungku yang letaknya tidak di kaki gunung tapi cukup nggunung ini termasuk yang mana?
Aku lupa nanya pak Lurah berapa populasi orang Limpung sebenarnya. Padahal baru beberapa hari yang lalu pilihan gubernur Jateng jadi harusnya gampang kalo mau nanya. Biasanya kalo ada pemilihan gini tiba-tiba saja semua orang yang entah sudah tinggal dimana dapet undangan sebagai warga Limpung. Tapi mau nanya takut dimintain uang rokok. Jadi taruhlah angka lima ratusan jiwa, di kelurahan Limpung saja tentunya, tidak termasuk kelurahan lain di kecamatan Limpung. Dari orang-orang ini, 75% saling mengenal, 90% tahu skandal keluarga dan gosip-gosip rumah tangga sejauh minimal 2 kelurahan di kanan-kirinya. Orang-orang tuanya kebanyakan kenal orang tuaku, anak-anak mudanya kebanyakan temen sekolah adek-adekku dan ibu-ibu RTnya temen mainku di SD atau SMP. Kalau ada yang nanya kenapa selalu kangen pulang ke Limpung, jawaban yang paling masuk akal mungkin karena ke’familiar’annya. karena keluargaku tinggal disini hampir seumur hidupnya. Jadi kalau jaman dahulu orang dipanggil berdasarkan tempat asalnya : Simon dari Kirene, Maria dari Magdala, Joan d’Arc, aku bisa bilang bahwa aku Ria dari Limpung.
Kembali ke pertanyaan awal, tercinta atau tidak tercinta? Dari sudut pandangku sewaktu kecil hidupku nggak pernah dibilang sukses-sukses amat di Limpung. Waktu SD kelas 5, aku ikut kegiatan ekstra kurikuler keputrian yang kerjaannya bikin bunga dan keranjang. Aku ikut karena: gurunya kenal mamaku! Padahal aku ingin ikut kelas drama. Aku sadar memasak, keputrian dan musik bukan bakat terbesarku. Tapi aku ikut juga dan menghasilkan bunga-bunga yang aku pajang dengan bangga meskipun kelopaknya mencong-mencong tidak pada tempatnya. Pas 17 Agustusan aku akan ikut barisan pawai keliling kota, dan kesukan terbesarku adalah nonton barongan, pertunjukan mirip barongsai tapi lebih murah meriah karena badannya dibuat dari kandi (karung dari plastik) dan kepalanya dihiasi tali rafia. Barongan tidak mengejar angpau karena nggak bakalan ada yang kasih. Paling banter dia bakalan njoget-joget gila sambil muter-muter alias ndadi. Itu karena topeng barongan disesajeni dulu di Watu Gung, batu besar di kali yang konon dijaga roh halus. Trus ada juga kuda lumpingnya yang seperti biasa, makan botol kaca atau dalam hal kuda lumping ala Limpung, genteng kaca. Aduh ngelantur, intinya aku bukan orang sukses di Limpung karena daftar kegagalan berikut ini:
Selalu dipilih terakhir dalam pertandingan kasti, ini karena aku paling takut sama bola. Lha di permainan kasti tuh kita malah harus dilempar bola. Aku jelas takut setengah mati. Jadi aku bertahan di base 1 atau 2 selamanya, sampai timku kalah. Huaaaaa….
Udah ikut pramuka dari kelas 3 tapi pas mo ikut kemah nasional memperingati hari Pramuka tingkat kwartir cabang, aku ditolak entah-mentah. Aku pulang nangis-nangis dan marah-marah sama gurunya. Akhirnya meskipun nggak terdaftar sebagai peserta aku datang juga ke perkemahan (untungnya di lapangan kampung sebelah) dengan alasan njenguk teman-teman, tapi malemnya ikut tidur di tenda. Ikut Bantu-bantu masak dan cari aer, sampai bikinin puisi buat temen-temen untuk malam api unggun, Berkat kendableganku itu tahun depannya aku dipilih ikut. Tapi malah pas bener-bener jadi peserta aku selalu balik ke rumah buat mandi pake air bersih (kalo di kali kan nggak bersih). Nah, sekarang jadi mikir aku tuh sebenernya dulu niat jadi pramuka beneran ato cuma seneng bikin kesel guru Pembina pramukanya ya?
Ikut latihan tari (dengan sangat rajin) tapi pas hari pertunjukan aku malah disuruh pidato dan aku sedih banget karena nggak bisa ikut nari!!!!! Itulah akhir karirku sebagai penari jawa (dan di foto kelulusan SD nggak ada fotoku pake baju menari, huaaaahuaaaa)
Waktu SMP selalu lari-lari ikut upacara atau senam, karena selalu telat. Aku naik sepeda ke SMPku yang lumayan nanjak, jadi meskipun digenjot dengan semangat Milo, Energen dan M150 tetep aja tuh sepeda muter rodanya pelan-pelan. Sebenernya cukup memalukan karena temen-temen SMPku tuh dari desa-desa sekitar yang lebih jauh dan sudah harus naek angpedes pagi-pagi (jam 6) ketika aku baru bangun tidur. Alhasil kalo dihukum karena telat ya aku yang paling banyak mengumpulkan skor, padahal SMPnya di kelurahan Limpung dan aku orang Limpung!
Waktu SMP aku naksir temenku kelas D yang namanya Widodo Sukoco (aduh moga-moga dia gak suka search internet jadi nggak baca blogku ini, hehe). Dia selalu ngelepas kaosnya sehabis olah raga dan lewat-lewat di depan jendela kelasku (aku kelas C). Bikin orang jadi grogi aja. Gawatnya, meskipun aku udah caper setengah mati (sampe pura-pura ikut koor sekolah padahal nggak bisa nyanyi) dan sok cool di depan dia, dia tampaknya nggak tertarik seujung upilpun pada diriku. Puncaknya, aku tahu dia ikut lomba karaoke pas Porseni. Aku nekat ikut karaoke juga. Karena gak punya tape recorder aku pun latian nyanyi di tempat sodaraku. Saat hari H sialnya sodaraku lupa bawa tape-nya. Padahal tape-nya itu Ok punya, kalo kita lupa lirik lagunya dia bisa keluar suara aslinya jadi suara kita tertolong. Lha tape SMP itu nggak punya fitur keluar suara aslinya. Pas tampil aku udah grogi banget karena si cowok ini nonton. Dan aku lupa teksnya. Akhirnya tuh tape berbunyi-bunyi sendiri tanpa keluar satu suarapun dari mic-ku. Aku turun panggung dan minta mas panitia ngulang lagunya dari awal. Waktu itu aku maluuuuuu banget. Kalo ada program transmigrasi eh transplanetasi, aku pingin banget dikirim ke Planet Mars dan nggak jadi warga Limpung lagi.
Sebenernya masih banyak kegagalan-kegagalan lain yang lebih memalukan, tapi demi privasiku nggak disebutkan di sini. Silahkan hubungi guru SD/SMP Limpung 01 atau carik desa kalau mau tahu skandal-skandalku, percayalah, di Limpung tidak ada hal yang rahasia.
Nah apakah pendapatku tentang Limpung? Aku dibesarkan diantara pematang-pematang sawah dan kali-kali kecil di belakang rumah, kebun jagung, kacang panjang, telo, tebu dan melinjo (yang terakhir menghidupi keluargaku sudah tiga generasi). Tiap pagi dan sore kalau nggak hujan, aku tinggal jalan ato naik sepeda 10 meter dari rumah, aku bisa melihat matahari terbit/tenggelam di belakang kebun tebu. Aku bisa duduk baca buku di bawah pohon pisang yang ditanam di galengan (pematang) atau duduk-duduk di dalam ranggon (saung). Aku bisa main voli atau nonton sepak bola di lapangan sambil pulangnya beli bubur kacang ijo seharga 2000 perak (dulu 1500 sebelum BBM naik). Aku bisa ciblon di Kali Petung dan metik jagung sendiri di belakang rumah. Aku tidak bisa bilang aku nggak cinta pada Limpung. Sayangnya banyak anak muda di Limpung yang ugal-ugalan, nggak punya sopan-santun dan kasar, jadi terkesan sangat kampungan. Orang-orang di Limpung hobi banget tumbak cucukan, alias mengadu orang dengan orang. Orang-orang di Limpung sangat peduli pada keburukan orang lain dan selalu membicaraknnya pada tetangga-tetangga. Bukannya berusaha membuat diri lebih baik, tapi justru sirik pada kemajuan orang lain. Mengadili tanpa tahu apa masalahnya. Suka sok keren tapi nggak ada isinya. Tentunya nggak semua orang Limpung begitu. Tapi sebagai “orang dalam” aku bisa merasakan baik menjadi pelaku maupun korban dari desaku yang serba tahu urusan orang ini.
Jadi tercinta atau tidak tercinta? Aku pilih tercinta. Sejauh apapun aku pergi, pulang ke Limpung selalu pulang ke rumah. Nggak ada tempat yang aku tahu bahasanya sebaik Limpung. Meskipun agak menyesal karena aku toh tidak benar-benar tahu banyak tentang Limpung, aku merasa tempat ini lebih dekat dari kutub manapun di bumi (ya iyalah). Meskipun google earth aja nggak pernah repot-repot mencantumkan namanya di daftar pencarian., Limpung selalu aku cari pertama kali kalo ada fitur pencitraan bumi. Dan aku memang asli dari Limpung (yang aku tahu ternyata juga daerah tujuan PTT), desaku yang (tetap) kucinta, hehe…