Saya sudah menjalani hidup yang tidak nomaden sejak masuk kuliah karena hidup nomaden= repot. Harus pindah2 barang dan sebagainya apalagi sejak SD orang tua saya sering pindah rumah bukan karena duta besar dan harus pindah ke negara lain tapi karena kontrakan habis. Alhasil waktu kuliah di Jogja, saya sangat anti pindah kost..dari awal masuk kuliah sampai lulus tinggal di kost yang sama. Bukan berarti kost saya waktu itu (Asrama Suharti III yang ga pernah dikasih gratisan ayam nyonya suharti) sangat nyaman dan seperti home sweet home, tapi karena saya malah pindah2. Begitu juga waktu saya kerja di Jakarta tahun 2003 sampai menikah tahun 2009, tidak pernah saya pindah kost2 an kecuali waktu ada kost sebelah yang lantai keramik saya terpaksa pindah. Itupun pemiliknya masih sama.
Jadi langkah yang saya ambil bersama suami ini benar2 langkah yang besar dan out of the box. Saya bukan lagi katak dalam tempurung, melainkan kacang lupa pada kulitnya. Saya berniat meninggalkan pekerjaan saya di bidang Accounting yang sudah saya jalani sejak tahun 2003 itu selama setahun (semoga selamanya) dan di kantor saya sekarang ini tidak ada masalah karena perusahaannya lumayan menjanjikanlah walaupun ada beberapa orang mengira itu perusahaan minyak goreng, perusahaan burger maupun penjual aroma terapi. Tidak apa karena suami saya bisa ikut nebeng tunjangan kesehatan, ada fitnes gratis, nonton film bareng dan sering ada makan2 serta lomba2 yang aneh misalnya lomba menghias tumpeng dimana kelompok saya menang juara 3 padahal tumpeng kami kan tidak simetris alias kreatif.
Karena banyak hal dan setelah dipersiapkan hampir setahun sebelumnya, saya dan Petter memutuskan untuk mengambil langkah besar yaitu hidup di negeri antah berantah dan menjalani hidup yang berbeda jauh dari hidup saya di sini. Alasan terbesar adalah karena saya tidak mau berumur pendek secara baru beberapa tahun di Jakarta, saya sudah terkena beberapa penyakit yang bakalan sembuh kalau saya tidak stres dan tidak terkena polusi setiap hari berhubung kemana2 selalu naik kendaraan konvertibel yang kalau panas tidak kehujanan dan kalau hujan tidak kepanasan.
Tibalah hari yang dinanti yaitu tgl 7 Maret 2011, kami (Petter dan saya) cuma membawa 2 tas backpacker yang berat sekali berangkat ke Kuala Lumpur bersama mami saya, 2 adik dan 1 calon ipar. Kami jalan2 dulu 3 hari di KL untuk memberikan persiapan kepada mami saya yang akan saya tinggal pergi setahun. O iya, saya dan suami bukan mau menetap di KL melainkan ke Australia (selanjutnya akan disingkat menjadi Oz).Kami mengajukan visa work and holiday yang baru ada di Indo sejak tahun 2008 sampai om nya Petter mengira kami ditipu agen secara dia yang sudah warga negara Oz saja tidak tahu ada visa itu. Ya kalau dilogika saya juga ga tahu sih visa apa aja yang ada di Indo untuk warga negara Sudan misalnya jadi ga heran kalau om Petter ga tahu tentang visa work and holiday itu. FYI kalo ada yang mau apply visa ini bisa dicari infonya di internet work and holiday visa subclass 462. Syarat utamanya umur di bawah 31 tahun dan skor IELTS min 4.5. Pakai visa itu bisa kerja sambil berlibur selama 1 tahun di Oz.
Setelah mempersiapkan fisik dan mental di negara tetangga..akhirnya saya dan suami berangkat ke Oz naik pesawat dari KL ke Melbourne. Kenapa pilih Melbourne? Tentu saja alasannya sama klise nya dengan alasan saya dulu kenapa honeymoon ke Vietnam yaitu karena rute yang tersedia di pesawat Air everywhere itu adalah KL-Perth dan KL-Melbourne. Perth sepertinya panas jadi saya pilih Melbourne saja deh. Kami sempat kawatir ada masalah dengan visa kami karena visanya elektronik dan ga dicap di paspor tapi akhirnya kami bisa sampai ke Melbourne dengan selamat.
Kami sangat bersyukur dikenalkan Ria ke program couchsurfing dimana kita bisa nebeng dan ditebengi. Kami untungnya mendapat tempat tebengan di kota Frankston (pinggiran Melbourne) yang dingin, ga polusi, dekat pantai dan banyak burung2 di jalan.Bandingkan dengan Jakarta yang burungpun tak mau singgah karena takut kena sinusitis. Host kami punya rumah yang sangat saya idam2kan yaitu rumah tua bercerobong asap (walaupun perapian kayu sudah diganti jadi heater listrik). Kehidupan nomaden pun dimulai.
Sampai saya menulis blog ini, baru 5 hari kami menjalani kehidupan nomaden tapi efeknya sungguh berbeda dengan kehidupan kami di Jakarta. Kami tidak punya rencana yang baku besok mau ngapain, bebas bangun jam berapa saja, bebas mandi berapa kali dalam sehari dan ga stres walaupun belum dapat kerjaan. Hari2 di kantor yang biasanya terasa cepat tiada arti sekarang kami jalani dengan menikmati hidup. Tentu saja menikmati hidup bukan berarti tidak berbuat apa2. Kami mengobrol dengan host kami dan anak2nya..kami jalan2 ke pantai..kami jalan2 ke mall mencari lowongan pekerjaan, kami ke perpustakaan lokal untuk print resuma..memang baru 5 hari di sini tapi rasanya kehidupan rutin kami di Jakarta sudah lama sekali kami tinggalkan.
Efek yang benar2 saya rasakan, jerawat saya mulai hilang, eksim saya ga kumat lagi, hidung saya ga mampet lagi dan tetes mata anti acute atopic konjunctivitis saya sudah tidak perlu dipakai lagi. Saya benar2 bersyukur diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang lain. Perjuangan mencari pekerjaan memang baru dimulai tapi kami menjalani dengan senang dan berserah kepada Tuhan.
Segala yang kami jalani belum tentu selalu lancar, seperti kemarin kami melamar pekerjaan di kebun anggur lewat internet. Kami sudah membayangkan kerja di kebun anggur menyenangkan seperti Keanu Reeves yang datang ke kebun anggur dan menjadi suami pura2 anak pemilik kebun anggur itu (judulnya apa ya). Kami sedang makan di KFC waktu itu karena KFC termasuk makanan yang paling murah dibanding yang lain walaupun rasanya beda dengan yang di Indo. Kami sore2 mulai menelpon lowongan2 kerja yang kami lihat di internet. Tiba2 salah satunya merespon dan bilang kalau kami bisa langsung bekerja keesokan harinya asal kami malam ini berangkat ke rumah tempat para pekerja yang lain tinggal. Kami langsung antusias dan berangkat ke sana.
Begitu sampai ke rumah mess itu...jreng 123456x ternyata rumahnya dari depan kumuh trus isinya orang2 Indonesia yang bekerja sebagai TKI. Perasaan saya dan suami sudah kurang enak apalagi satu kamar diisi 3 orang dan saya harus pisah kamar dengan suami hiks T-T. Besoknya kami disuruh siap2 jam 5.30 pagi karena akan dijemput mobil ke perkebunan anggur. Penjemputnya teranyata orang Vietnam yang ngomongnya cangcingcong saya tidak mengerti. Sopirnya dari Malaysia dan mobil itu isinya 9 orang..yang orang Indo cuma 3, kami dan satu orang lagi. Perjalanan memakan waktu 1 jam sampai ke perkebunan anggurnya.
Perkebunannya sih bagus...langitnya biru banget...bukit2nya juga kaya padang teletubbies dan ada rumah di atas bukit seperti di buku Anne of Green Gables...seharusnya memetik anggur bersama suami di kebun anggur yang indah ini akan menjadi hal yang romantis. Sayangnya yang terjadi adalah kami kerja dengan mandor orang Vietnam yang terus bilang "you are too slow" padahal kami sudah berusaha menggunting anggur secepat mungkin. Ditambah lagi waktu saya kebelet pipis dan tanya dimana toilet...mandornya bilang, "toilet is everywhere". Gpp sih...tapi kalau ga ada semak2 rimbun kan saya takut diintip waktu pipis. Setelah makan siang lebih parah lagi karena mataharinya terik dan saya merasa seperti sedang di padang gurun karena haus. Untungnya boleh makan anggurnya daripada ga ada. Menurut saya kerja sebagai pemetik buah memang patut dicoba untuk pengalaman tapi kalau untuk selamanya sepertinya saya tidak kuat. Jadi kami cuma kerja sehari saja di kebun anggur. Mungkin lain kali kami mau mencoba kebun apel, ceri, tomat dan lain2. Sekarang kami kembali pengangguran......tapi siapa tahu besok pagi kami sudah mendapat pekerjaan lain yang sepertinya romantis? Begitulah hidup nomaden.......