Saya sudah sering dengar tentang nasehat-nasehat seperti:
- Jangan bicara sama orang asing, nanti dihipnotis.
- Jangan pergi kemana-mana sendiri, nanti bisa diculik alien kolor ijo.
- Pastikan kalo pergi jauh ada yang menjaga kita, kalo nggak bisa bawa suami ya minimal bawa temen satu RT (jangan bawa suami orang lain. Pamali!)
- Selalu kasih kabar ke orang di rumah. Jadi kalo ilang bisa cepet ketauan.
- Pastikan segalanya aman-terkendali, nyaman, jelas, rapi dan terencana dengan baik kayak Orde Baru.
Sayangnya, cara berpikir "Biar aman asal selamat," dan "Alon-alon angger manggon,"*ngasal deh* ini sudah mendarah daging sampai-sampai bikin orang jadi paranoid. Kalo ada orang tak dikenal yang mbaikin, malah dikira bermaksud jahat. Diajakin ngobrol bareng, dikira mo nawarin kartu kredit (susah hidup di jaman sekarang). Mencurigakan dikit, dikira copet. Ngelirik dikit, dikira nyontek. Bau dikit, dikira ketek. Gembel dikit, dikira bokek. Belang dikit, dikira tokek. Intinya sih, karena cari aman, kita sering jadi berprasangka yang berlebihan.
Saya bilang paranoid karena saya pernah mendapati orang ketakutan cuman karena saya ngajak bicara. Saya pernah mendekati cowok umur 30an dan tantenya, "Hai! Tadi saya liat kalo kita bakal naik angkutan yang sama. Sambil nunggu, kita ngopi yuk, sendirian kan nggak enak," Mereka berdua menatap saya bingung, lalu curiga, lalu dengan gugup menjawab, "Enggak, kita mau belanja dulu. Ayo Tante. Sudah ya!" Saya langsung ditinggalkan dengan kecepatan kernet kopaja yang supirnya mulai tancap gas. Saya jadi pingin ke toilet, barangkali tanpa sadar pas tidur tadi malem muka saya tumbuh jenggot dan cambang jadi rada mirip sama Rhoma Irama eh maksud saya Osama.
Pernah saya ke Toraja sendirian. Di terminal, ada ibu-ibu sekluarga mewanti-wanti saya supaya ikut mereka ke rumahnya. Saya pikir ini tawaran bagus karena saya dapet akomodasi gratis=p. Mereka begitu khawatir karena saya nggak ada saudara di seluruh penjuru Tana Toraja eh Sulawesi tepatnya, meskipun berulang kali saya bilang kalo saya bakal baik-baik saja. Saya padahal cuman numpang tanya jalur angkutan di Rantepao. Begitu sampai di rumahnya, saya dijamu makan bakso, ikan bakar, diajak jalan ke pasar kebo, dsb. Saya senang sekali. Lalu saya telpon ke teman di Makassar, bilang kalau sepulang dari Toraja saya akan mampir. Dia tanya, "Kamu di rumah siapa?" Saya jawab,"Ibu X yang kenalan di terminal," Giliran teman saya yang mewanti-wanti, "Hati-hati lho. Jangan-jangan mereka punya maksud tersembunyi," Mungkin yang bikin saya jarang khawatir adalah, karena saya nggak punya Blekberi.
Dua tahun yang lalu saya masuk keanggotaan klub hospitality yang memungkinkan saya untuk ketemu orang dari banyak tempat dan nebeng di rumah mereka gratis. Jaringan sosial ini fungsinya adalah untuk menambah pengalaman bepergian sekaligus menjadikan dunia tempat yang lebih ramah untuk dijelajahi. Juga untuk lebih mengenal banyak orang beserta keunikan mereka! Saya mendapati pengalaman ini sangat menarik karena kadang kita mendapat kejutan: kita tidak tahu seperti apa tempatnya, berapa banyak orang di sana, seperti apa keadaan nantinya. Amankah? Yah, setidaknya saya masih hidup dan ngetik blog sekarang. Kalau bicara soal keselamatan, temen saya ditabrak lari orang di depan warung pengkolan gang kost-kostan. Mungkin ini contoh yang gak nyambung. Tapi entah kenapa saya percaya psikopat itu biasanya justru orang yang kliatan baik-baik saja: tukang kebun, tetangga sebelah, juru kunci rumah tua, tukang gali sumur, psikiater, dokter atau dosen (hihi). Saya selalu membayangkan kalau orang yang paling menyeramkan justru orang yang kita percaya. Tentu saja tidak menutup kemungkinan ada tempat-tempat dimana orang diberi obat tidur lalu ginjalnya dicuri kayak di film Hostel. Untunglah, ginjal saya masih dua biji (tadinya tiga, ahaha).
Supaya tulisan ini jadi nggak nyambung seperti biasa, saya mau curcol. Ternyata nggak mudah menjalani kehidupan ganda: seumpama Clark Kent dan Superman. Tahu kan, Clark Kent yang culun dengan kaca mata dan baju rapinya bisa berubah jadi cowok kekar yang pake baju ngejreng, pake sayap (seperti pembalut wanita) dan selalu pamer celana dalam? Dalam hidup saya, rasanya saya harus berganti sikap setiap kali saya di tempat kerja dan ketika saya melanglang buana. Pertama, saya tidak boleh terlalu ramah, nanti dikira gatel. Banyak orang jadi salah paham karena saya tidak segan bicara pada orang tak dikenal. Kedua, jangan terlalu gaul, nanti dikira anak band yang baru di-DO dari ajang Indonesia Mencari Bakat. Saya pernah nyapa kolega dengan mengayunkan tangan saya seperti toss. Bagai bertepuk sebelah tangan, saya pun menampar udara. Teman saya tidak membalas! Saya baru ingat, teman saya pake jas lengkap dengan blazer dan tas tangan. Bergaya hip-hop pasti dikira rapper panuan mabok tape. Jadi saya harusnya sungkem kali ya. Ketiga, saya harus terkesan normal, jangan bernampilan ngasal seperti mahasiswa jurusan seni yang lagi bintitan dan kesiangan. Oh, susahnya menjaga image profesi Hipocrates! (butuh Pi-aR segera)
Nah pertanyaannya, sebetulnya Superman yang nyamar jadi Clark Kent atau Clark Kent yang nyamar jadi Superman? Menurut saya seharusnya yang asli adalah Clark Kent karena Superman pasti menghabiskan waktunya sehari-hari sebagai Clark karena dia harus keliatan normal. Nggak mungkin kan Superman beli bakso pake baju merah birunya yang berkibar-kibar? Tapi dalam diri Clark adalah Superman. Demikian, dalam diri pengembara tetaplah ada kebebasan, meskipun dalam profesinya dia harus bersikap formal, harus menjaga penampilan ataupun harus kelihatan seperti orang waras yang normal. Tapi setidaknya, saya nggak paranoid.