Wednesday, July 30, 2008

Standar Internasional eh?

Saya bingung setiap kali orang suka latah dengan standar internasional yang menjamur di mana-mana. Contoh: TK dengan standar internasional, produk susu yang telah lulus uji standar internasional, desain baju standar internasional, ujian masuk dengan standar internasional.

Sebetulnya mungkin bagus juga orang orang memakai standar yang sudah dikenal luas sebagai standar yang baik. Istilahnya gold standard lah. Tapi apakah semuanya jadi lebih baik kalo pake standar internasional yang cenderung pukul rata dan kurang menyesuaikan dengan kebutuhan setempat yang berbeda-beda?

Saya tidak ingin bicara yang jauh-jauh, misalnya masalah krisis identitas atau kurangnya kepekaan terhadap kebutuhan sendiri. Saya mau ngomong yang praktis-praktis saja. Saya pernah ikut pelatihan kegawatdaruratan. Intinya tentang menolong orang pas di lapangan karena kecelakaan. Pelatihan ini standar internasional lho. Nah saking internasionalnya, contoh kasusnya adalah : sebuah pipa gas bawah tanah meledak. Entah kenapa yang kebayang di kepala saya adalah filem Spiderman 3. Terus ada lagi contoh kasus lain yaitu luka bakar dingin atau frost-bite (Kris, ini bukan istilah kedokteran, ini cuma luka bakar tapi karena es, bukan karena api. Ini karena tubuh kita reaksinya sama kalau kena suhu sangat tinggi atau sangat rendah). Kita mungkin bisa dapet kasus ini sejuta dalam satu. Itu pun kalau ada bakul es yang ingin bunuh diri dengan cara merendam diri lama-lama dalam air dingin di kulkas sampai sakit tetep lanjut berendam. Kenapa contohnya nggak kena bacok parang, digigit ular, keracunan insektisida atau tersemprot obat nyamuk? Kayanya itu lebih mungkin deh daripada pipa gas bawah tanah meledak atau luka bakar dingin.

Trus kalau ada tulisan di etalase: Summer collections. Rasanya aneh aja karena toh semua koleksi baju kita akan selalu koleksi baju musim panas. Latah dengan "standar internasional"? Pernah suatu kali di Starbucks, saya pesan pepermint latte, kemudian mbaknya bilang, "nggak ada itu mbak. Biasanya menu itu ada kalau winter". Saya tahu bahwa Starbucks itu bukan restoran kopi lokal (nggak percaya? Lihat saja harganya, hehe) tapi tetap saja jawaban ini kedengeran lucu. Saya pun gatal bercanda, "kalau musim duren, menunya apa mbak? Trus menu ini ada juga nggak kalau pas musim layangan?," Sayangnya mbaknya tidak menganggap becandaan saya lucu. Ups.

Menurut saya, bagusnya sih, standar internasional itu diadaptasi sehingga dengan kriteria yang sama bagusnya tapi lebih sesuai dengan kebutuhannya. Kalau pukul rata, kesannya kayak sandal yang kebesaran. Tidak pas saja. Misalnya ada penthouse di Jakarta yang bergaya Victoria. Penthouse yang megah ini, dari luar sangat artistik dan bagus, benar-benar bak kediaman bangsawan Perancis sebelum revolusi (di gambar mangsudnya, bukannya saya dulu reinkarnasi bangsawan Perancis). Tapi saking miripnya, di dalam penthouse ini ada perapiannya. Perapian di Jakarta? Atau sebenernya itu cuma sauna kecil di ruang keluarga? Mungkin, mereka cuma siap-siap barangkali ada sinterklas yang numpang lewat malam natal. Saya tidak yakin. Tapi betul-betul deh. Perapian? Kenapa nggak arena ski sekalian?

2 comments:

Anonymous said...

hahaha lucu aja baca tulisanmu tentang stanadar internasional dagang es. iya sih...untuk Indonesia, frostbite gak bakalan terjadi deh. kan gak ada salju....
mentok, frost bite pada dokter yang pakai CO2 snow

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

aku tau frostbite kok...kuwi seng iso nggawe busuk2 po?thanks to grey's anatomy jadi aku tau dikit2 penyakit aneh....dan kasus yang standard internasional kayane yang cowok nyebur ke adonan semen trus dia jadi sebongkah batu besar..untungnya cuma ada di film.kalo di indo aku ga bisa ngebayangin ada korban kecebur semen bisa dikelilingi oleh dokter ahli bedah plastik, ortopedi, ahli bedah, dll sekaligus...paling banter kuwi ditunggui dokter jaga di UGD plus tukang bangunan dengan alat seadanya (palu kecil plus pacul)...dan soal standar internasional starbucks...aku belum pernah minum kopi starbucks lho..melaske yo...dan aku sering ngerasa kalo belum pernah ngelakuin sesuatu tuh rasane melaske..misal..belum pernah liat salju..belum pernah ke ice skating..belum pernah minum kopi starbucks...padahal kalo pter nanya..emangnya kalo kamu ga liat salju, ga pernah maen ice skating dan ga pernah minum kopi starbucks bakalan mati ya? ya....ga bakalan mati sih cuma jadi mupeng...

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p