Saya tidak bohong, Jakarta adalah kota yang sangat menarik. Memang benar, polusi dan macetnya bisa bikin kita keriput di jalan, sakit bengek, panuan, bintitan, herpes, seluruh badan bau asem keringetan dan paru-paru berkabut karena debu dan asap rokok. Tapi itu semua tentu saja tidak sebanding dengan hal-hal menarik yang ditawarkan ibukota metropolitan ini.
Jakarta adalah tempat terbaik untuk menonton film. Saya nggak lagi ngomongin XXI. XXI itu sangat membosankan. Semua filmnya sama dari ujung Tangerang-Bekasi sampe pertigaan Depok-Cikampek. Itu-itu saja. Bahkan satu film diputer di dua-tiga teater sekaligus di satu bioskop. Babar blas enggak kreatip. Gantinya juga lama, mungkin nungguin semua orang di Jakarta nonton dulu baru diganti. Akibatnya, film untuk awal tahun ini baru diputer sekarang (bagus juga sih buat orang yang suka ketinggalan film baru kayak saya). Jadi yang saya bicarakan adalah bioskop Mulia Agung di perempatan Senen. Bioskop ini sangat fantastis karena lain dari yang lain. Film-filmnya beda, sampai2 kita nggak yakin itu film beneran apa enggak karena judulnya sangat bombastis. Misalnya, "Hantu jeruk purut ketabrak becak" atau "Suster ngesot nyebrang terowongan kasablanka". Mereka juga menyediakan midnight show. Lebih asyik lagi dinikmati pas malem jumat kliwon sambil ngemil menyan (karena popcorn sudah terlalu pasaran).
Sebagai penumpang setia busway dan angkutan kota lainnya, saya sering banget berlama-lama di perempatan Senen cuman untuk ngantri angkutan ke Blok M. Semua pengantri di terminal ini (bukan cuman saya) sering terpesona oleh gambar2 yang dipajang di layar bioskop ini. Hari ini yang dipajang adalah film "Kutukan arwah santet: kisah nyata asu gancet yang heboh" (saya tidak mengada-ada, ini faktual banget. Kalo gak percaya coba telpon temen yang tinggal di daerah Senen dan minta bacain film apa yang lagi maen di Mulia Agung teater). Gambar yang dipajang adalah gambar wajah yang berdarah-darah, dengan hewan mirip kirik tapi matanya ijo, trus ada sepasang kaki yang satu buluan dan seorang cewek pake bikini lagi di kolam renang. Film lain yang katanya dibintangi oleh Ozi Syahputra adalah "Bangkitnya Suster Gepeng" dengan gambar suster berwajah seram yang kegencet pintu lift. Serius deh, kenapa nggak kegencet yang lain? Kegencet truk cargo ato buldoser itu lebih masup akal. Saya juga pernah kegencet lift karena salah pencet (biasa, orang desa gitu lho) dan badan saya masih aja bulet. Saya yakin secara mistik maupun statistik tidak pernah ada orang yang gepeng karena pintu lift. Kadang-kadang khayalan Raam Punjabi kedengeran lebih oke plus wagu daripada khayalan saya (sedih karena kalah jayus).
Selain bioskop, DVD bajakan di Jakarta juga oke punya. Gambarnya singkat, padat dan jelas. Subtitlenya tidak ngaco, terutama subtitle yang bahasa Arab dan Rusia (karena saya nggak ngerti kalopun ngaco). Film-film terbagus dan terbaru biasanya dari DVD, karena film yang bagus biasanya film lama yang mungkin nggak pernah mampir di bioskop dan film terbaru di bioskop biasanya ngantrinya lama.
Dulu (beberapa minggu yang lalu), saya dibilang kliatan bukan orang Jakarta karena saya turun dari bis pake kaki kanan. Apa pasal? Katanya bakal gampang jatoh kalo pake kaki kanan duluan sementara bis cuman memelan nggak bener2 berhenti grak. Sekarang, setelah sebulan lebih tinggal di Jakarta, kemampuan saya naik turun bis cuman beda dikit ama kernet angkot Kopaja. Saya bisa lompat turun ato naik di bus yang berhenti segan jalan tak mau. Jakarta melatih kemampuan saya untuk siap siaga dan cepat menyerang, terutama kalo rebutan tempat duduk di bis yang antriannya sepanjang karawang-bekasi. Dulu saya selalu berusaha jangan sampai nyenggol orang, kalo nginjek kaki orang selalu minta maap. Tapi Jakarta membuat semangat nyodok saya menyala-nyala. Sekarang saya pintar mendorong, menyikut dan menyerobot sampai saya dapet tempat duduk di depan. Ini sebenernya cuma untuk pembuktian diri, bahwa sebagai orang kampung saya nggak kalah kampungannya ama orang2 lain yang nggak peduli apakah orang di depannya bakal baik-baik aja (idup) ato nyungsep ke aspal dengan muka di bawah. Setelah saya dapet tempat duduk, biasanya saya kasihin juga bangku ini buat nenek2. Harapannya, dengan begini dosa saya diampuni karena sudah bikin orang di depan saya lebam biru-biru kesodok ransel.
Adik saya selalu bawa mobil di Jakarta, dan saya selalu mengeluh karena tarip parkir dan jalan tol bisa dua-tiga kali lipat lebih mahal daripada naik angkutan umum.
"Kalopun kita berdua naik angkot, biayanya masih lebih murah daripada biaya parkir per jam-itu pun belum termasuk bensin- plus kita nggak perlu muter2 karena lupa parkir di lantai mana," protes saya suatu kali.
Katanya itu hal yang wajar.
"Setidaknya kita kan naik mobil," jawab adek saya.
Saya nggak paham ama jawaban ini, tapi karena saya cuma nebeng ya sudahlah.
"Nggak semua orang bisa pergi seenak jidat karena nggak ada jam kantor," tambah adek saya lagi.
Oke, untuk yang satu ini saya tidak bisa membantah. Lagian alasan saya tidak bawa mobil yang paling utama adalah karena SIM A saya sudah kedaluwarsa sebelum sempat dipakai. Ibaratnya layu sebelum berkembang. Seperti kata pepatah, bagai bunga kembang tak jadi. Bagai pinang dibelah duren (betapa saya cinta pepatah!). Lagipula dengan keadaan lalu lintas Jakarta yang luar biasa memukau penonton, kalau saya nyetir saya bisa mengakibatkan lebih banyak korban jiwa daripada kalo kali Ciliwung kebanjiran. Saya bercita-cita suatu saat nanti kemampuan menyetir saya bisa setara dengan tukang bajaj. Bisa berkelok-kelok di gang paling sempit dan padat, bisa bermanuver lebih keren dari navy air show di jalan yang penuh orang. Kata temen saya, kapan si bajaj mau belok, cuman Tuhan dan supir bajaj yang tahu. Kalau dipikir-pikir, di Jakarta saya sudah naik alat transportasi apa saja. Dari kopaja, mayasari, damri, bajaj oranye, bajaj biru, angkot biru, angkot enggak biru, taksi (yang jelas maupun abal2), kereta api, kereta komuter, mobil temen, ojek, ojek sepeda, naik sepeda jengki sampai naik gerobak karena kebanjiran. Mungkin yang belum adalah naik truk angkut pasir, ambulans, kontainer pertamina, becak, delman sama nebeng mobil pick up patroli polisi (amit2 deh, ini mah banci kena garuk).
Jakarta sedikit mirip dengan buku favorit saya waktu kecil, Donal Bebek. Eh, buku yang lain ding, saya baca waktu udah gede, Alice in Wonderland. Dalam buku ini, Alice melihat banyak pintu yang masing-masing membawanya ke dunia yang berbeda. Di Jakarta, pintu-pintu nyata. Saya tinggal di salah satu kamar kost di salah satu gang sempit di Kuningan dan di depan kost2an ini ada banyak tukang jual makanan yang menaruh gerobaknya di atas selokan yang ditutup. Kanan-kirinya adalah rumah-rumah yang rapat dengan jemuran baju, WC dan kamar mandi yang berdempetan, berjejalan, bertumpukan. Tapi saat saya nyebrang jalan dan membuka pintu Plaza Indonesia, rasanya seperti berada di 'dunia lain' tanpa presenter Hari Pantja. Di sini berjajar toko-toko punya mas bro Fendi dan bang Yves serta restoran haute cuisine yang menunya pake bahasa perancis. Yang biasa saya lakukan adalah makan di dunia yang pertama (warteg deket gang) dan cari koneksi internet di dunia yang kedua (tempat apapun yang ada tulisan 'free wi-fi'). Biasanya saya beli minuman apapun yang paling murah dan duduk 1 jam ngenet, sambil melihat makhluk-makhluk tampan berseliweran- maklum, namanya juga dunia lain pasti ada penampakan-yang hitung2 lumayan daripada digangguin tukang ojek. Berhubung saya jarang pesen apapun lebih dari 1 gelas minuman, saya biasanya mengunjungi tempat yang berbeda-beda dan tidak satu jua supaya tidak mudah dikenali satpam (kayak maling pakaian dalam aja).
Topik lain yang ingin saya tulis adalah tentang Kristina yang baru saja melahirkan anak cowok yang mirip ande2 lumut hari ini. Selamat Kristina dan Piter, semoga kalian tetep eksis di dunia meskipun sibuk ngurus bayi. Saya berdoa semoga anak kalian cepet kuliah jadi kita bisa main bersama lagi!!!! *doa yang infantil tapi semoga dikabulkan. Amiiin. Amiiin. Amiiin*
Saturday, September 22, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p