Friday, July 9, 2010

Status, penting banget yah?

"Jangan gitu ah, nanti dibilang apa sama tetangga,"

Saya lagi mikir, kok hebat banget ya pengaruh 'imej' dalam menentukan kelakuan kita sehari-hari. Bagi pengunjung blog saya, silakan duduk. Saya mau bersihin sarang laba2nya dulu. Heheh. Sudah lama sekali blog ini tidak saya sambangin (sampai lupa URLnya. Aih lebay).

Ceritanya tiga minggu yang lalu saya tabrakan naik motor, trus selama 9 hari saya idup menebeng ortu. Numpang makan, numpang bobo dan numpang dicuciin kolor, tanpa satupun kerjaan rumah tangga saya nyumbang bantu-bantu. Yah namanya juga korban KLL, saya dapat kartu bebas tugas. Yang saya lakukan cuman makan, tidur, nonton bola, garuk-garuk idung, minum susu (biar cepet sembuh) dan ngetik di keyboard pake tangan kiri (tangan kanan saya bengkak). Disamping kehidupan ala miliuner yang saya jalankan, saya juga jadi banyak ngobrol sama nyokap. Nyokap lagi mengeluh males banget datang ke kondangan keluarga yang nyinyir atau nonggo (silaturahmi/maen ke tetangga).

"Dulu selalu nanya, anaknya sudah pada lulus belom, sudah pada kerja belom. Sekarang nanya kapan mantu," Kata nyokap, mereka selalu tanya tentang hal-hal yang dirasa 'kurang' dari keluarga kami. Jadi meskipun kluarga saya termasuk cukup cool dengan pilihan anak-anaknya, mereka mendapat tekanan dari lingkungan (maklum idup di desa kelurahan).

Tekanan ini juga saya rasakan sewaktu habis PTT dulu. Status saya saat itu penganggguran penuh waktu profesional dan saya tinggal di rumah ortu. Semua orang sibuk bertanya dan menyarankan pekerjaan untuk saya. Semua! Bukan cuma dari tetangga dan kerabat, tapi juga sejawat. Sampe malu kalo ketemu mantan temen kuliah. Karna kalo ditanya, "Sekarang ngapain?/kerja apa sekolah? Spesialis apa?" jawaban saya selalu standar, "Nggak ngapa2in. Kecuali kalo ngelayap sambil nyuci2 piring diitung pekerjaan," Padahal, berhubung habis kerja setahun, saya mandiri secara finansial waktu itu.

Nah sekarang? Kalo ditanya dengan pertanyaan serupa, dengan PeDe saya bisa menjawab, "Lagi CPNS (Cewek Pengelana yang Nampaknya Sibuk kerja kantoran)," meskipun pada dasarnya saya 10 kali lipat lebih miskin daripada pas penggangguran penuh waktu jaman pasca PTT dulu. Tapi sekarang saya tidak punya tekanan sosial lagi. Pasalnya: status saya jelas! Bokap bahkan nggak ngeluh waktu masih ngirim uang bulanan kayak jaman saya kuliah dulu *ngaku kalo masih disubsidi* karena sang gaji belon kliatan batang idungnya apalagi wujud nyatanya (sekarang masih tak kasat mata).

Sekarang, seperti keluhan ibu saya, status yang belum jelas adalah bahwa saya belum menikah. (Belum, nggak boleh bilang tidak. Yang kedua kesannya kayak cewek yang pake baju pengantin tinggal di loteng dan sakit jiwa persis di novel Jane Eyre. Amit-amitabachan). Saya sendiri udah bosen banget mbahas topik yang satu ini. Cuman mau cerita bahwa beberapa hari yang lalu saya diliatin temen kuliah: tulisan saya waktu masih ABeGeh dulu. Isinya curhat tentang pacar yang nyebelin, dan beberapa bulan kemudian tentang cowok lain yang lagi deket dan senang karena diperhatikan 3 orang pria sekaligus sehabis putus. Alamak. Ini beneran dulu saya yang nulis??? Intinya, untung saya diberi pilihan untuk tidak menikah. Hubungan saya dulu sangat enggak banget dan kepribadian saya lebih jauh daripada jalan jongkok Terboyo-Mangkang dari orang yang dewasa. Kalau saya cuman menuruti tuntutan status, mungkin saja dari luar saya kelihatan baik (dan masuk akal) tapi saya tidak pernah berkembang menjadi diri sendiri dan belajar menjalin hubungan yang sehat. Teman yang kenal saya luar-dalam (jeroan, spare part dan onderdil2nya) mungkin mengerti mengapa kita memutuskan untuk tidak sekedar mencari status yang aman. Namun sayangnya, tekanan sosial selalu datang dari orang-orang yang justru tidak tahu-menahu tentang kita. Status yang tidak sesuai dengan apa yang dianggap baik, akan terus ditantang dan dipertanyakan. Oleh orang-orang yang tidak tahu sehingga agak percuma juga dijelaskan. *Bukan status facebook ya. Itu laen perkara*

Saya pernah ditanya atasan dengan nada kecewa, "Kok belum menikah sih?" karena PNS biasanya suka pindah gara2 ikut suami. Ada teman saya yang nggak ketrima beasiswa spesialisasi cuma karena belum menikah! (karena jadi tidak ada jaminan penerima beasiswa akan kembali ke daerah asal). Status, biarpun cuman label, ternyata sangat berpengaruh pada hajat hidup orang yang bisa buang hajat. Saya menyadari, apa yang dilihat orang masih segitu pentingnya dalam hidup, bahkan sampai mempengaruhi pilihan2 kita. Apakah memang kita bisa dikendalikan oleh apa yang diterima dan tidak dalam masyarakat? Bagaimana kalau mereka salah? Bagaimana kalau kita tahu yang lebih baik untuk kita sendiri dan memilih mengabaikan tuntutan status ini?

7 comments:

wongmuntilan said...

Bagi sebagian orang (baca: orang tua), status (menikah) memang penting. Gak peduli anaknya mau lulus kuliah cum laude, menang lomba ini-itu, berkarir di bidang yang diidamkan, semua gak ada artinya kalau status belum berubah.
Sabar-sabar aja ya, mayoritas orang tua memang begitu 'kali, yang bermasib kayak gini bukan cuma kamu doang kok.
Cepet sembuh ya tangan kanannya (ato tangan kiri dilatih biar bisa berperan ganda), udah kangen baca tulisan-tulisanmu nih ^^

BONI said...

akhirnya tulianmu muncul lagi, berarti tangan kananmu sudah bisa dipakai ngetik :D .....
Untunglah sampai hari ini aku selalu punya status jelas gak pernah jadi pengacara (penganguran banyak acara).... Berhubungan dengan status (menikah)banyak diskriminasi gender dimana kaum perempuan selalu menjadi sorotan masyarakat kalau statusnya belum menikah dengan alasan gak laku , perawan tua dll. Kalau menurutku sih setiap orang baik perempuan atau laki-laki itu mempunyai kehendak bebas untuk menentukan kapan mau menikah, dengan siapa akan menikah bahkan untuk keputusan tidak menikah sekalipun. Karena pada dasarnya hidup itu untuk mencari kebahagiaan. Banyak juga kasus dimana pernikahan yang akhirnya berujung KDRT bahkan kematian. Akhirnya "gunakan kehendak bebasmu demi kebahagiaanmu" !

Sri Riyati said...

Santi dan Boni: Makasih. Belakangan ini pikiranku lagi serius jadi males nulis ntar jadi lebay dan mellow dan penuh ratapan gunda gulana. Halah. Iya, sebenernya aku sudah ngerti kok, ini resiko jadi orang keren *Bleh, mnrt siapa? mnrt hukum Archimedes?*...eh maksudku jadi orang yang nggak biasa, nggak pada umumnya. Kalo kita menghargai nilai2 yang nggak sama dengan nilai2 yang berlaku di masyarakat. Contoh: di masyarakat yang memuja kemapanan dan kenyamanan, ada orang yang malah cari tantangan dan petualangan. Kalo kata orang Jawa, "golek molo". Jelas orang2 ini akan ditentang dengan alasan 'peduli' dan yang mbiarin di dalam hatinya bilang "kapokmu kapan?" He-he.

Akhirnya aku bisa ngetik pake tangan kanan maupun kiri. Apa iya ya kalo mau blajar ngetik 10 jari harus tabrakan motor dulu? (langsung sibuk nge-email guru kursus ngetik 10 jari)^_^

alice in wonderland said...

cewek emang susah ya mesti kalau udah dirasa umurnya cukup yang ditanya pasti udah menikah belum, calonnya orang mana, misal dijawab belum ada, langsung deh dibales, masak sih? dengan pandangan aneh serasa kita ini alien aja. btw walaupun saya juga berusaha memegang nilai2 yang saya yakini membuat saya bahagia, kadang gak bisa juga mengabaikan pendapat sekitar... i'm single... am I happy?^^

Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman said...

sori baru kasih komen...maafkan daku kau kutangkap..itulah yang terjadi kalau kita hidup di sini..karena kebanyakan orang masih kolot dan punya pandangan yang sama (kebanyakan orang). menurut mereka...orang itu hidup untuk sekolah trus menikah trus punya anak..punya rumah..punya mobil...karir bagus....trus menua..punya cucu....pensiun...trus mati...kalo ada orang yang melenceng dari itu sering dipandang aneh.
aku emang udah merit tapi aku belum mau punya anak..dan orang2 juga sering tanya kapan punya anak? ntar keburu tua lho...bla bla bla..
malah konon suamiku dianggap kurang perkasa sama temen2 kantornya gara2 udah merit setengah tahun lebih belum juga punya anak..jadi buat ria...sabar ya...dan biarlah anjing menggonggong disiram air hihihih

Gaphe said...

Sepertinya itu jadi lifetime quetion deh.. begitu itu terjawab, pati akan ada pertanyaan -pertanyaan lain yang akan mengikuti. Nanti udah nikah, tanyain kapan punya anak. Udah punya anak, nanyain kapan anaknya punya adek, udah beranak 3.. ditanyain juga. kapan mantu?. Jadi, karena pertanyaan-pertanyaan itu pasti ditanyakan, maka kalo saya sih pede aja njawabnya = Tunggu aja!..

Pertanyaannya adalah = kenapa orang lain muti sewot dan mau tahu urusan pribadi kita?... karena peduli tidak sama dengan mau tahu..


panjang yak. hehehe
salam kenal!

Unknown said...

aku coba membayangkan klo aku jd org2 (aka tetangga, ibu rt, etc) yg suka nanya2 pertanyaan yg kasih tekanan mental dan tuntutan sosial itu, kok jadi kepikir wajar ya krn mgkn cm hal2 itu (ic. merit, sekolah, kerja) yg mrk tahu (yg org lain biarkan mereka tau). Klo kita kembali jd pihak yg "complain" krn pertanyaan2 itu, jd mikir pernah gak kita kasih info ke tetangga or ibu rt sesuatu yg nantinya kita pgn ditny ttg nya, misal mslh finansial, masalah religi, dll jd nantinya mrk bisa tny "gmn masalah kredit kmrn? udah ketemu sama pihak X gak?", jd pertanyaan yg terlintas ya cm itu "kpn merit?", "si A sekolah di mana"(klo tau anaknya siapa ato "anaknya berapa?" klo gak tau, yg mana harus dikasih makan sendiri klo kata papi sy (kami)=). Jd pendapat pribadi sy, kemampuan survive di lingkungan sosial bukan kemampuan utk mencegah mereka menynkan pertny2 tekanan dan memberi tuntutan sosial, tp kemampuan utk memilah2 mana yg hrs didengerin mana yg nggak dan tak lupa pinter2 kasih jawaban yg singkat, padat dan gak jelas plus senyum semanis gula jawa.

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p