Bagi kita semua yang tidak menganut sistem "nama keluarga-nama pemberian", penamaan yang pukul rata model barat ini memang gak masup akal. Masak iya, saya dipanggil pake nama Mbah saya? Lebih repotnya lagi, Mbah yang mana nih? Bagaimana kalau nama kita semua beda-beda; tergantung hari apa kita lahir, pasaran apa, weton apa, apa yang dicita-citakan orang tua, apa yang kepikiran ama orang tua, bintang film India apa yang lagi naik daun, atau siapa pemain sepak bola favorit Bokapnya, atau parahnya, siapa nama dukun bayi yang available pas kita lahir. Dan boro-boro pakai nama keluarga. Sudah bagus kalo pegawai catatan sipilnya nggak salah ketik. Saya punya teman yang namanya Canti, padahal harusnya Santi. Atau Robeth, padahal harusnya Robert. Joni padahal maksudnya Jono. Nama saya sendiri, harusnya Riati jadi Riyati (meskipun dua-duanya sama-sama ndeso tapi bagi saya tetep kedengaran oke sih, untungnya. Biar sombong asal belagu, hehe). Jadi kemungkinannya ditambah satu lagi: apa yang diketik ama pegawai catatan sipil. Mungkin kesalahan ini tidak diperbaiki karena males repot ngurus-ngurus lagi *yang penting kan udah ada aktenya*. Atau, sangat mungkin, karena males ngasih tip tukang ketiknya lagi.
Masalah mulai timbul saat ketika dewasa, si anak harus memakai namanya untuk sesuatu yang penting: membooking tiket pesawat lewat internet =). Di situ ada kolom "Identitas Penumpang" yang pertanyaannya berbunyi: Nama keluarga? Nama Pemberian?
Saya cukup beruntung karena saya punya nama yang agak mirip nama keluarga. Nama belakang saya menyerupai (bukan sama) dengan nama Bapak saya *ya, thanks to petugas catatan sipil, nama Bokap saya Sugiharto dan nama saya Sugiarto, karna bagi tukang ketiknya apalah arti sebuah nama*. Tapi, entah apa yang ada di pikiran ortu saya, adik-adik saya tak satupun diberi nama keluarga. Nama yang Jawa rakyat sekale. Oya, sebagai catatan: orang Jawa kalau rakyat jelata namanya ya cuma satu. Wagimin. Tukinah. Kalau kerabat kesultanan/keraton barulah namanya panjang. Misalnya Tumenggung Raden Ngabehi Daryono Sestrokusumo, Raden Ayu Dyah Sekarmutumanikanwati. Rakyat jelata? Ya cukup Poniyem saja kalau lahir di pasaran Pon.
Kedua adik laki-laki saya masing-masing bernama Sarwono dan Nugroho. Sudah. Tanpa ada nama belakangnya.*Nama sebenarnya. Suer. Sesuai akte kelahiran. KTP. SIM. Kartu anggota fitness. Dan member card game fantasia*. Rakyat jelata. Suatu hari saya diminta mengisi kolom identitas untuk adik saya. Saya mengosongi kolom nama keluarga, karena memang tidak ada. Tapi keluarlah peringatan, "Kolom wajib diisi. Nama harus sesuai dengan kartu identitas/paspor." Sungguh buah simalaketek. Akhirnya saya tulis nama mereka lagi sebagai nama keluarga, sehingga masuklah nama lengkap adik saya yang enggak banget: Sarwono sarwono. Sesuai kartu identitas? Ya anggap saja begitulah, kalau yang baca KTPnya sakit mata astigmat.
Lebih parahnya lagi di dunia penulisan artikel ilmiah. Biasanya, nama depan cuman jadi inisial, nama keluargalah yang dipajang. Misalnya JD Sallinger, JK Rowling, SR Sugiarto. Atau nama keluarga disebut lebih dulu: Duraisingh MT, Curtis J, Warhurst DC. Tidak masalah bagi orang Batak yang juga punya marga patriarkal di belakang nama pemberian. Bagi orang Jawa yang pada umumnya tidak punya nama keluarga meskipun namanya sepanjang jalan kenangan, hal ini jadi masalah. Contohnya Joko Tetuko Notoboto Limo Mangku Rondo Wudo Adus Ning Segoro. Masak di artikel dia ditulis JT Segoro. Itu kan bukan namanya. Namanya justru Joko, bukan Segoro. Kasus nyata, senior saya tidak menyadari namanya dipanggil sebagai pembicara karena yang dipakai nama penanya: W Samekto. Samekto itu hanya nama belakang, bukan nama suami, bukan nama keluarga. Istilahnya, cuman untuk nambah-nambahi. Kenapa? Ini dugaan saya: karna kalo cuma satu nama orang Jawa itu artinya kaum proletar. Jadilah namanya dibikin dua atau tiga, tapi semuanya nama sendiri, dan yang dipakai cuma nama paling depan biasanya. Jadi nama yang biasa dipakai hanya 'dokter Wid'. Akibatnya doski (euh, beliaw sudah profesor mak) tidak menggubris dan malah sibuk ngemil kacang sambil ngobrol sama sesama profesor. Lalu, di jurnal yang beliaw tulis, urutan namanya setelah Sachi, bukannya setelah Weber. Artinya, nama beliaw sudah diganti 'Samekto' tanpa selamatan bubur merah-putih-ijo. Taruhan deh, nama keluarganya bu Sri Mulyani bukan Indrawati. Tapi seandainya beliaw nulis jurnal, pasti yang muncul SM Indrawati. Sialnya, nama pena inilah yang dipakai untuk mengacu pada seorang ilmuwan di dunia artikel ilmiah. Salah satu profesor saya 'terpaksa' ganti nama jadi nama belakangnya setelah beliaw tidak sengaja jadi beken lewat tulisannya yang dikutip banyak orang.
Bagaimana dengan etnis Cina? Nama keluarga etnis Cina dan Korea juga sebenarnya, tidak seperti Jepang, ada di depan. Kwik Kian Gie, Soe Hok Gie, Oey Sin Giat. Jadi nama keluarga mereka adalah Kwik, Soe dan Oey. Namun, terimakasih pada sistem penamaan Barat yang pukul rata, nama keluarga mereka jadi Gie, Gie, Giat. Akibatnya teman saya yang asli Cina terpaksa mengubah-ubah namanya tergantung di KTP atau di forum internasional. Nama aslinya Tan Hoen Han. Di forum internasional (baca:dunia barat *keluh*), dia bilang namanya Han Tan. Karena kalo tidak, orang akan memanggilnya Tan, yang tak lain tak bukan adalah nama embah buyutnya (yang udah jadi humus).
Di Indonesia, sejak pemerintahan Suharto etnis Cina mengubah nama Cina mereka dengan nama yang mirip nama Jawa. Istilahnya pengindonesiasian nama. Hal ini justru bikin nama lebih mudah diadaptasi ke bentuk Barat. Liem Soe Liong, diubah jadi Sudono Salim. Jadi benar, nama keluarganya adalah Salim, yang berima dengan Liem. Salahnya, nama ini cuma berlaku dari generasi 70an. Bapak saya punya marga Sugiharto, tapi kakek saya masih bermarga Kwee (sama dengan Kwik). Akibatnya pencatatan nama menggunakan surname, given name mandeg cuma sampek dua generasi. Generasi di atasnya hilang tak tahu rimbanya. Di sinilah, nama Cina lebih berperan (meskipun cuma di kalangan sendiri) karena marga tak pernah berubah, terutama tulisan karakternya. Sehingga dari nama marga saya bisa dilacak siapa nenek moyang saya (orang pelaut atau bukan). Untuk info lengkap tentang pengindonesiasian nama, silakan klik disini.
Setahu saya, kebanyakan orang Asia mengalami kesulitan dengan adaptasi sistem nama Barat. Di Arab, nama adalah suatu susunan doa/kalimat yang tidak bisa dipisahkan satu per satu dan biasanya menerangkan dari nama asli (yang berupa harapan/doa) sampai nama ayah dan ibunya dan/atau nama asalnya secara berurutan. Contohnya Abu Kareem Muhammad al-Jameel ibn Nidh'aal ibn Abdulaziz aal-Filisteeni. Artinya "ayah Kareem, Muhammad, yang terindah, anak Nidal, anak Abdul Aziz, orang Palestina." Kareem artinya dermawan, Muhammad artinya terpuji, Jamil artinya rupawan, Aziz artinya maha besar (salah satu dari 99 sebutan Tuhan dalam bahasa Arab). Jadi, siapa nama keluarga ala Baratnya? *Cuma bisa berdoa semoga tukang ketik di imigrasi nggak separah tukang ketik di catatan sipil*
Info nama arab dapat dicari selengkapnya disini.
7 comments:
Rumit! Aku heran kenapa bapakku nggak kasih nama belakangnya di belakang namaku. Apakah bapakku takut nanti aku akan melakukan sesuatu yang bisa memalukan bapakku?
*Itu sudah terjadi, hahaa..*
papiku ga konsisten kasih nama anak2nya...lebih parah lagi dunk...nama belakangku budiman...masih nyambung ama nama papiku. tapi anak kedua nama belakangnya wijaya (mungkin wijaya ini nama dokter yang bantuin adekku lahir(, anak ke-3 nama belakangnya trisasongko (siapa lagi ini..jangan2 tukang becak yang ngangkut barang2 mamiku waktu mo melahirkan), anak ke -4 nama belakangnya wijayanti (versi cewek dari wijaya), anak terakhir nama belakangnya mandasari (pelesetan dari nogosari...)..jadi kayanya orang2 indo harus ditraining waktu kasih nama anaknya..biar ntar anaknya ga bingung waktu udah besar disuruh ngisi2 data diri.
Vicky: Haha. Enggaklah Vic. Tapi bnran deh, nanti kalo kamu bikin jurnal ilmiah, namamu bakal ditulis siapa? V. Laurentina? Dikiranya anak bakul celana dalem (Ralp Laurent) ato cenayang (mama Laurent). Sumprit nih tanggapan yang nggak nyambung. Kristina: ngguling2 aku moco komenmu. Tukang becak? Nogosari? Iya, nanti kamu tak training bikin nama ang bagus dan dengan nama yang gak rumit barangkali anakmu nanti jadi profesor. Jangan kasih nama Krispiwati nogosari jajangmeong Sanjaya. Halah!
ulasan yang menarik, aq cuman mau nambahin sedikit: bagi temen2 Nasranim didepan namanya ada nama santo/santa pelindungnya, tapi gak semua mau nyantumin sih atau dia di babtis setelah akte jadi jd gak dimasukin akte/KTP. contohnya Bonifacius arbanto (dari pada ngeja nama orang salah entar dibilang kelakuannya sama kayak tukang ketik kelurahan mending nyontohin nama sendiri sesuai dgn KTP), jadi inget waktu latihan ujian DELF A1 nom : Arbanto dan prénom : Bonifacius, termasuk nulis journal ilmiah (lagi nunggu diterima atau tidak) : Arbanto, B dan form2 lain format model nama barat. walaupun Arbanto bukan nama ortu/keluarga (kalau gak salah sih itu nama dokter = ortu pingin anaknya jadi dokter, tapi kayaknya gak mungkin terwujud soalnya anaknya sekarang lg belajar jadi master kelautan em...em.... jd supaya gak ngecewain ortu entar cari istri dokter aja he..3x) tetep aja aq bersyukur sama ortu sudah nyantumin nama babtis di akte jadi gak bingung waktu ngisi-ngisi form. Tapi sialnya berhubung dikasih nama babtis yang ditelinga juru ketik kedengarannya aneh, jadi berkali-kali sertifikat/piagam penghargaan harus dikomplain karena namanya salah ketik. Jadi kesimpulannya nama babtis (bg tmn2 nasrani) bisa jadi penyelamat buat ngisi form2 pakai model nama barat.
Sori Bon. Baru liat komenmu. Ya betul juga. Tmnku ada yang 'beruntung' punya 2 nama karena dia punya nama babtis. Namanya Fransisca Widyastuti. Tapi usut punya usut, nama sebenernya kan Widyastuti, dan itu bukan nama kluarganya. Jadi dia sih selalu nulis namanya lengkap di prenom. Nggak pake nom. Nah, kalo namamu, knp bukan Arbanto?
Hahah aku gampang bgt, udah dpt nama keluarga.
*ugh, beban menjaga nama baik keluarga besar*
WAAAH ulasan bagus nih bang,,
saya jadi tertarik, bagaimana dengan First Name, Middle Name , and last Name...??
Kalo menurut saya sih gak usah pusing dengan dunia barat,,kita hidup dari apa yang ada di sekitar kita,(JAWA y di JAWA,,ARAb y di ARAB,,CHINA y di CHINA)jadi istillah nya kayak punya ACCENT sendiri..
di keluarga saya(JAWA)...di akte saya, anak pertama tertulis (Raden Gilang Aji Pratomo)..
yaa kata bokap(Raden Heru Sri Purnomo), #dulu Ayah dari eyang masih darah biru katanya, gtw deh ngikut aja saya mah.
anak kedua (Raden Tiantono Sri Pamuji), anak ketiga (Raden Rangga Sri Rahardyan),,anak ke empat karena cew jadi putus dan ilang nama darah biru nya (Nawang Sri Renawati )
ane heran kenapa cm ane yg gak pake nama tengah,
katanya SRI emang dipakai di keluarga bokap yang berarti Ratu/Raja agung..seperti di pewayangan Sri RAMA , Sri KRESNA.
saya kalo disuruh ngisi data2 yaa tinggal isi aja apa adanya nama ahahah
Post a Comment