Monday, May 31, 2010
Ngupdate Blog daripada Nggak Diupdate Sama Sekali
Cerita singkat tentang apa yang terjadi pada saya dua minggu belakangan ini. Astaga, benar cuma dua minggu! (tapi rasanya seperti lama sekali). Itu sangat sebentar, kalo hidup seumpama cuman 'numpang minum' maka 14 hari itu bahkan lebih nggak berarti daripada 'numpang kentut'.
Kata temen sekost saya, meskipun cuman beberapa hari menyepi dari rutinitas (artinya: enggak facebook-an atau twitter-an), ketika kembali bisa jadi harus menyesuaikan diri lagi. Ya jelas, apalagi kalau masuk-masuk langsung ujian DELF, kejar setoran buat pekerjaan yang mau tutup buku, jadwal ngajar yang ditambah dan deadline yang semakin deket. Males njelasin tentang kerjaan saya di sini (nanti Kristina bisa muntah jengkol), tapi intinya kerjaan saya itu kayaknya nggak ada bedanya kalau dikerjain tiap hari, tapi begitu ditinggal liburan langsung numpuk. Pokoknya sama seperti rutinitas lainnya, kalau dijalanin rasanya tiap hari sama saja tapi begitu kita nengok ke belakang semuanya sudah berubah. Hidup. Begitulah. Intinya mo ngomong apa sih saya? Oya, dua minggu ini saya merambahi Jawa Timur pake kereta api, bus omprengan, mikrolet dan angkot sama temen saya dari tanah sebrang.
Seperti sudah saya ceritakan sebelum-sebelumnya, saya mengidap penyakit kaki gatel-gatel. Hidup menetap bagi saya lebih berat daripada harus pura-pura gak liat waktu Jake Gyllenhaal lewat depan alfamart *ngayal*. Jadi pas sohib saya dari London bilang mau liburan di Indonesia saya dengan semangat Gus Dur dan Bung Tomo sekaligus langsung tanpa malu-malu kerbau menandai peta dan mengepak tas ransel. Sebetulnya, saya pingin banget kopi darat dengan teman blogger saya Jessie Monika. Namun akibat perencanaan yang payah, spontanitas yang kelewat tinggi, waktu yang terbatas dan jam terbang yang lebih singkat daripada main gaple, saya pun cuman numpang pipis di terminal Surabaya (tidak yakin ini sudah masuk kawasan kota Surabaya). Jadilah, Ria tak mampir di Surabaya *halah, sok dramatis*.
Singkatnya, perjalanan saya dan sohib dimulai dari Semarang ke Jombang naik kereta, lalu dilanjutkan naik bis omprengan Puspa Indah ke Malang lewat Batu. Perjalanan dari Jombang ke Malang ini bagus banget, apalagi kalo naiknya bis pagi-pagi (soalnya keretanya malem). Pemandangan di sekitar bus sangat hijau, banyak sungai dan bukit-bukit, terutama di daerah Batu. Kita berhenti di jalan menuju puncak Panderman (bener gak sih namanya) pokoknya puncak tertinggi yang bisa ngeliat Malang dari atas. Kami cuman sampai separuh jalan trus duduk-duduk sambil ngupil. Mau nyampe atas takut keujanan (krupuk banget nggak sih) dan pas turun bareng sama mahasiswa pencinta alam yang udah naik malam sebelumnya untuk lihat matahari terbit pagi harinya dari puncak Panderman. Kita jadi malu-malu onta. Kita ngerasa jadi 'pendaki gunung jadi-jadian' alias nggak bener-bener naik gunung cuman makan es krim di pinggir jalan sambil nepukin nyamuk. Tapi kita kan selalu bisa bilang bahwa kita mendaki puncak Panderman!
Mahasiswa pencinta alam ini akhirnya kenalan sama kami dan bahkan mbantuin kami cari penginapan murah di Malang yang audubilah penuh banget hari itu gara-gara ada festival Malang tempo dulu. Festival ini lumayan menarik karena banyak makanan enak. Sayangnya kami kecapean gara-gara semalaman tidur di kereta dan seharian jalan ke puncak Panderman. Alhasil kami batal dateng ke festival malam harinya sama anak-anak pecinta alam. Sebagai gantinya kami tidur jam 8 teng-teng kayak anak SD kelas tiga.
Pagi harinya kami siap-siap cabut dari Malang untuk ke Probolinggo. Berkat pengalaman nggak dapet penginapan di Malang, temen saya yang separo Jerman jadi kumat jiwa terorganisirnya dan ngotot booking hotel dulu di Bromo (padahal nggak tahu gimana caranya nyampe ke sana!). Kami ke info turis di alun-alun Malang dan nelpon hotel yang dijawab dengan, "Dateng aja Mbak. Kamarnya banyak banget yang kosong. Kalo mau bawa temen seRT pun masih muat kok. Asal jangan lupa lurahnya suruh bayar DP soundsistem *dikira mau hajatan sunat*" Sialnya, bus omprengan berikutnya yang bawa kita ke Probolinggo lebih pelan daripada reaksi pemerintah mengatasi lumpur lapindo. Kita pun tiba di Probolinggo menjelang magrib. Nah mikrolet yang ngangkut kita ke Cemoro Lawang sudah jarang banget, mintanya carteran. Ada 3 pasangan beruntung yang tertahan nggak bisa naik ke Bromo karena dipalak tukang mikrolet. Pertama, pasangan orang Kanada. Kedua, pasangan orang Jepara. Dan ketiga, jreng2345x, saya dan sohib saya. Herannya, dua pasangan ini tidak saling komunikasi meskipun keduanya lagi diporotin abis sama supir mikrolet. Begitu kami datang, pasangan Kanada bicara sama saya dan teman saya Seb, berhubung kami ngobrolnya pake bahasa utara. Dan mereka minta saya bicara sama pasangan dari Jepara ini, yang sudah nunggu setengah jam buat diangkut ke Cemoro Lawang. Dari tadi kek, kenapa nggak saling bicara? Kami cukup beruntung karena biaya tidak terlalu parah sebab dibagi berenam dan bagusnya, kami justru jadi tim yang kompak! Kami sewa jeep sama-sama dan kami jadi teman segrup yang lumayan nyambung pembicaraannya (kalo nggak nyambung yang yang penting mangut-mangut sambil ketawa. Inilah sopan-santun ala Indonesia). Dua teman dari Kanada ini salah satunya adalah researcher dari Harvard dan dia bilang saya boleh menghubungi dia kapan saja kalo butuh informasi tentang penelitian malaria. Yipi! Siapa bilang jalan2 itu nggak ada gunanya? *ngarep banged*
Dari Bromo, kami berencana ke Ijen. Sudah ditawari paket seharga dua ratus ribu rupiah (harga lokal karna saya kan pinter nawar, ihik) tapi kami sebagai backpacker pede memilih jalan sendiri pake bus omprengan dan ternyata bus kali ini lebih pelan lagi dari bus Malang-Probolinggo. Alamak! Waktu tiba di Bondowoso, hari suda malam dan kami lagi-lagi sudah kecapaian. Begitu tanya di resepsionis gimana cara ke Ijen, kami dikasih tahu harga mati: dua ratus ribu PP! Kami langsung manyun. Tahu begini kita sambar saja tawaran dari Bromo waktu itu. Kami sampe sibuk tawar-menawar dengan tukang ojek buat bawa kita ke Ijen, tapi nggak berhasil. Serombongan turis Perancis yang tinggal di hotel yang sama dengan kami bahkan batal ke Ijen dan langsung jalan ke Bali. Tapi kami tidak menyerah. Pagi-pagi kami jalan ke terminal bis buat naik mikrolet ke Ijen. Dipalak 200 ribu untuk dua orang tapi saya pikir kami tidak punya waktu lagi untuk tawar menawar jadi asal si supir mikrolet langsung berangkat, saya setuju bayar 200 ribu. Si supir juga setuju. Tapi apa daya namanya juga supir mikrolet, bukannya langsung cabut malah ke bengkel dulu, isi bensin dulu, ngobyek dulu cari penumpang di pasar, naikin tahu dulu 5 ember, brenti di tukang daging dulu buat ngambil ayam, dsb. Temen saya yang kalo bilang "langsung" artinya adalah "on the dot" sempet setres karena ulah supir mikrolet. Tapi begitu sampai di desa Kalisat-Jampit (jalan arah Banyuwangi) dengan kebun kopinya, jalan yang dingin dan banyak bunga, berkelok-kelok dan berkabut, mood kami berdua membaik. Kami tidak tahu bagaimana nanti turun gunungnya, tapi kami betul-betul menikmati berjalan 3 kilometeran ke kawah Ijen. Selama berjalan kami berpapasan dengan orang yang membawa belerang.
Puncak Ijen sangat indah. Bau belerang yang menyengat pun tidak mengurangi keindahan kawah turkois yang konon besarnya 36 juta meter kubik ini. Teman saya Seb yang hobi mendaki tepian kawah gunung berapi (karena seumur2 dia belum pernah lihat gunung berapi, kacian deh) meminta saya buat ikut mengelilingi seluruh kawah tapi karena kita naik sudah agak sore hari makanya permintaan ini tidak masuk akal lagi-lagi karna kita takut keujanan (krupuk mode on). Jadi kita turun gunung setelah beberapa kali melempar batu dari tepian tebing dan mendengarkan gemanya dipantulkan dari dinding-dinding kawah, tiap batu empat kali gema!
Dalam perjalanan turun, kami beruntung ketemu 3 orang volcanologist dari Belgium. Kami numpang sampai ke hotel Arabica di kawasan perkebunan kopi Kalisat. Tiga orang ini banyak menerangkan pada kami tentang kawah Ijen, di samping banyak bercanda tentang Indonesia. Saya suka sekali selera humor mereka! Esok paginya adalah hari yang paling menyebalkan: hari pulang balik ke Semarang karena hari berikutnya saya sudah booking paket tur ke Karimun Jawa bersama 5 orang teman saya yang lain. Akibat tidak tahu jadwal kereta dan juga perencanaan yang amburadul, kami dengan sukses ketinggalan kereta dan terpaksa naik bus berturut-turut, terakhir bus malam dari Surabaya-Semarang yang sangat menyakitkan karena saya kecapean dan sudah muak sama bis malam. Jadi, waktu saya di Surabaya saya sudah betul-betul teler dan kelelahan, mana calo bis malam itu tidak punya belas kasian dalam memalak. Saya tidak betul2 dipalak, tapi apalah bedanya kalau perjalanan sesudah itu saya sudah setengah sadar karena sakit kepala, mual, dan badan pegel-pegel semua. Untung Seb lumayan baik pas saya sakit. Biasanya dia cerewet tanya jam berapa bis berangkat dan berapa kilo meter jarak Surabaya Semarang. Biasa, cara pikir ala Barat yang selalu menjabarkan keadaan dengan nama dan angka. Kalo saya bilang, "Saya nggak pernah mikir berapa kilo jarak antar kota di Indonesia," Seb malah bilang, "Apa kamu berpikir dalam mile?" Gubrak.
Tiga hari sesudahnya adalah perjalanan ke Karimun Jawa. Bagus banget kan? Setelah teler dari Jawa Timur saya langsung on board 6 jam di feri dan snorkeling di Tanjung Gelam. Heran kenapa saya masih hidup sekarang bahkan ujian kemarin Senin. Intinya, saya kerja dengan kesadaran somnolen (agak tidak berorientasi baik) dan sempat pulang awal beberapa hari di depan. Tapi saya bahagia bisa bepergian. Seperti yang saya bilang sebelumnya, hidup menetap sebagai pegawai kantoran bagi saya lebih susah daripada nahan kentut di saat lagi diare.
Sekarang saya berpikir untuk balas dendam mengunjungi Seb di Vietnam (jangan kuatir, akan saya tanya jarak semua kota dari Hanoi sampai Saigon, dalam kilometer dan mile sekaligus!)
Wednesday, May 19, 2010
Buat Kristina
Balada Pegawai Kantoran
Balada pegawai kantoran
Yang idupnya sungguh pas-pasan
Kalo sudah akhir bulan
Utangnya mulai bertebaran
Dari burjo, warung tegal, penyet, pecel, sate sampai soto Lamongan
Semua tak luput jadi sasaran
Tiap hari tempat makannya ganti-gantian
Biar bokeknya nggak keliatan
Kalo ada teman sekantor yang ultahnya ketauan
Wah kebetulan!
Kesempatan buat minta traktiran
Kalo si ultah ke kantor bawa makanan
Doski tak segan maju duluan
Kalo perlu bungkus bawa pulang sekalian
Walo si ultah gak ikhlas dan berdoa moga doski keselek biji durian
Itu pun bukan halangan
Apapun ditempuh asal makan gratisan
Balada pegawai kantoran
Yang gajinya sungguh pas-pasan
Bekerja demi sesuap nasi dan segenggam berlian
Tiap hari pergi ke kantor jarang sisiran
Karna bangunnya kesiangan
Soalnya tiap malem dibela-belain kerja sambilan
Bukan, bukannya jadi banci di pengkolan!
Biarpun selalu kere kronis dengan siklus bulanan,
Doski cuma mau kerjaan yang halalan tayiban
Jadi nyambi kerja di percetakan koran
Biar pagi-pagi korannya langsung bisa dibaca Oom bisnisman sambil sarapan
Sementara doski sendiri kelabakan
Udah tidurnya mepet masih harus naik omprengan
Disambung lagi di busway ngantre dan gelantungan
Sambil ditingkahi aroma ketek yang beterbangan
Biar situasi nggak kondusip gitu kok ya masih bisa ketiduran di jalan!
Demi menabung untuk masa depan
Doski ati-ati banget dalam memilih makanan
Kolesterol, jeroan, gorengan, bakaran, jemuran bukanlah pantangan
Yang penting harga masih dalam jangkaoan
Doski tidak malu dibilang penggemar kuliner murahan
Oh balada pegawai kantoran
Pesen indomi rebus gak pake mendoan
Minumnya apaan? tanya penjual berusaha sopan
Ng...udah ada kuahnya kan? tolak Doski dengan senyuman
Doski bisa menghemat paling nggak lima puluh ribu rupiah per bulan
Hanya dengan menolak godaan pesen air es tiap kali makan
Sungguh sikap ngirit bin ekonomis yang bisa jadi suri tauladan
Tapi bagi yang kencing batu sungguh tidak disarankan
Oh Balada pegawai kantoran
Yang hiburannya cuma nonton DVD serial korea bajakan
Tempat tinggalnya kontrakan ato kost-kostan di gang pinggiran
Yang penting masa depan penuh harapan
Kalo doski nanti sudah sekaya Maikel Jordan (mau nulis Oprah Winfrey ato Bill Gates ato Suharto tapi kok gak berima ya?)
Doski bakal jalan-jalan ke negri jiran ato ke Skotland
Melihat kambing gunung yang sudah lama jadi impian
Moga-moga kesampaian sebelum doski ubanan
Kalo pingin beliin temen buku tapi belom ada anggaran
Doski ikut lomba puisi guyonan
Kesannya keren bukan kepalang, tapi sebenernya emang ngebet beneran
Lagian apa yang lebih indah daripada kado kemenangan?
Apalagi ini juga termasuk pengiritan
Nggak pake prangko tinggal posting di blog sudah ikutan
Sekarang tinggal Mbak Fanny dan Mbak Fanda yang menentukan
Apakah kita boleh nyabet buku 5 cm yang diidam-idamkan
Kalo nggak dapet ya 10 cm atau 50 km juga lumayan
Kata Kristina tambah panjang biasanya tambah mengagumkan
Apalagi gratisan Kristina gak bakalan sungkan-sungkan
Bukan cuman nama-alamat, minta nomer HP tante kostan aja pasti diberikan
Bonus lagi nomer NPWP kalo diperlukan
Namanya juga usaha memang perlu habis-habisan
Cukup sekian
Semoga pembaca nggak ketiduran
Apalagi sampe ilernya belepotan
Karna besok masih harus kerja kantoran *jangan lupa bedakan*
Oh balada pegawai kantoran....
Friday, May 14, 2010
Susahnya Nulis Rekomendasi untuk Diri Sendiri
Mungkin semua juga sudah tahu kalau kita butuh rekomendasi dari atasan/dosen/mantan bos kita yang biasanya profesor atau dokter spesialis konsultan yang sibuk banget itu artinya kita harus nulis sendiri dan mereka tinggal tanda tangan. Apalagi kalo harus ditulis bukan dalam bahasa Indonesia. Cuman segelintir yang mau repot-repot memberikan referensi menurut pendapat mereka sendiri, itu pun harus menunggu lama karna tidak enak mau nyepet-nyepet. Saya lebih suka rekomendasi saya tergantung pada diri saya sendiri, dengan begitu saya tinggal berburu tanda tangan kalo pingin cepet-cepet rampung. Masalahnya, apa yang saya tulis di situ?
Saya suka menulis. OK, saya jarang mengupdate blog tapi saya tetep sukak nulis (maksa). Karena kesukaan saya itu, saya tidak mau bikin rekomendasi yang sama persis (alias copas) meskipun mungkin rekomendasi yang saya bikin itu sebenernya buat orang lain dan apa salahnya hemat tenaga ganti nama saya sendiri? Toh doski (mengacu pada Ibu-ibu dan Bapak-bapak Pi Ej Di dan eS Pe Ka) -PhD dan Spesialis Konsultan- juga nggak akan terlalu rewel mengedit. Bukan masalah bahasanya. Tapi isinya. Misal : kok dia dibilang very brilliant, intelligent and hardworking? Wong nilainya biasa-biasa aja, tidak cumlaude bedinde onde-onde. Rekomendasi memang harus nulis yang positip, tapi bukan ngecap. Kalo terlalu jujur juga nanti dikira rapot, bukan rekomendasi. Masa iya saya nulis: "anak ini suka nulis/baca blog di tengah kesibukannya, pertanda bahwa dia jago multitasking"?
Nah inilah susahnya: kalau yang nulis saya sendiri, seberapa bagus saya ingin kedengarannya tanpa kelihatan jualan obat kuat? Biasanya saya cukup lancar waktu memulai dengan, "Saya memberikan rekomendasi kepada..." atau "Saya mendukung..." tapi setelah itu otak saya kosong melompong. Susah rasanya untuk bicara yang positip tentang diri saya sendiri menurut pendapat orang lain. Kalaupun saya tahu bos saya puas pada pekerjaan saya, saya nggak sampai hati menuliskan kalimat-kalimat yang persis sama seperti yang saya pikirkan tentang bos saya. Rasanya tabu. Kesannya dangdut gitu (iya, kerjaan juga bisa dangdut, bukan cuma surat cinta). Tapi saya juga sadar ini karna mental saya yang njawani. Dari kecil saya dididik untuk tidak memuji diri sendiri. Rasa bangga pada diri sendiri harus ditutupi. Seperti lagu Dhandang Gulo "Dedalane, guno lawan sekti, kudu andhap asor,"
Andhap asor artinya merendahkan diri. Bukan untuk dipandang rendah, tapi untuk lawan sekti, yaitu melawan orang yang pongah. Intinya sih orang yang rendah hati itu lebih dihargai. Jadi kalau saya mulai memuji diri sendiri, ibu saya selalu bilang, "Bebeke nyilem, deweke dialem," (bebeknya menyelam, diri sendiri kok dipuji). Ini kalo nggak salah sejenis pantun, jadi jangan tanya kenapa bebek, bukan onta. Ibu saya tidak pernah memuji saya, terutama kalau dihadapan orang lain. Jadi kalo ada anak tetangga yang dapat nilai bagus, pasti ibu saya bilang, "Pinter sekali anaknya!" dan tidak pernah bilang, "Itu anak saya juga nilainya bagus lho," . Malahan kalau ditanya selalu njawabnya, "Kalo anak saya biasa saja kok," dan saya yang waktu itu masih polos kaya cah kangkung tidak mengerti kenapa ibu saya susah dibikin senang. Tapi sekarang saya tahu kalo ibu saya cuman berusaha andhap asor. Setelah saya dewasa, baru saya mengerti kalo omongan ibu saya itu bukan patokan, lebih baik liat cuping hidungnya. Kalau bangga, cuping hidung ibu tetap kembang-kempis walopun dia berkata hakul yakin, "Ah, dia biasa saja..." =)
Tapi tetap tak bisa dipungkiri bahwa saya masih punya sedikit rasa jengah untuk menulis yang bagus-bagus tentang diri saya sendiri. Pernah waktu disuruh menulis sisi positif diri saya, saya menulis "Tidak sombong," lalu dibaris berikutnya, "Karena tidak sombong saya tidak menulis yang lain,". Tapi betulkah menulis yang baik-baik tentang diri sendiri itu sombong? Kayaknya sih tidak. Justru perlu bagi kita untuk "suka" pada diri sendiri. Kalau kita jarang merasa bagus tentang diri sendiri, kita jadi butuh pujian orang lain setiap saat untuk mengkatrol ego kita. Karena pada dasarnya semua orang punya harga diri. Jadi, bicara bagus tentang diri sendiri itu penting, bukan untuk klihatan keren tapi untuk merasa nyaman dengan diri sendiri. Artinya, kita merasa diri kita ini berharga, indah, baik dan berarti. Kalau kita sendiri merasa "penuh", kita tidak butuh setiap saat dipuji orang, kita tidak mudah tersinggung kalau dikritik, kita tidak butuh penggemar, kita tidak butuh digodain supaya terkesan menarik, kita tidak butuh disanjung supaya bisa kerja dengan baik. Kita merasa memang sudah selayaknya kita ini baik dan bernilai, sehingga kita juga menghargai orang lain sama derajatnya.
Akhirnya, apa yang saya tulis tentang saya? Saya tulis, "Punya semangat belajar yang tinggi," dalam arti saya sadar kalo masih bego. "Menerima kesalahan dan berani memperbaikinya," dalam arti saya juga bikin kesalahan. "Punya selera humor," dalam arti saya nggak segan menertawakan diri saya sendiri. Buat ibu saya, saya rasa andhap asor adalah sikap yang sangat baik (asal ibu jangan lupa kembang-kempiskan hidung kalau sedang bicara yang seolah-olah menjelek-jelekkan anak sendiri), tapi gambaran yang baik harus tetap ada tentang diri sendiri (baik tidak sama dengan keren).
Sunday, May 9, 2010
Traveling yang pertama dan semoga bukan yang terakhir
merlion ungu yang aneh
daripada terkatong2 mendingan meramal tangan di katong
timer yang ga sukses
Hari2 sebelum berangkat sempat membuat saya stres karena saya takut cuti saya tidak disetujui. Secara saya punya posisi yang sangat penting di kantor ( i wish), saya susah sekali ambil cuti apalagi di tengah2 minggu dan akhir bulan pula. Biasanya saya akhir bulan harus lembur2 untuk closing. Selain itu saya juga harus siap sedia jika sewaktu2 ada pekerjaan yang urgent. Sambil berdoa saya bilang ke bos saya kalau saya ada perlu dan sudah beli tiket. Apapun yang terjadi, saya harus berangkat kecuali uang tiket diganti 2x lipat termasuk tiket Ria dari Semarang ke Jakarta.
Setelah berdoa dan berpuasa akhirnya datanglah hari yang dinanti2 dan kami dengan lancar bisa berangkat ke bandara. Namun cobaan ternyata belum berakhir. Waktu kami ke counter Air Asia untuk check in, tiba2 petugasnya bilang "Mbak, ini ga bisa lho?" sambil menunjukkan paspor Ria. Kami pun kaget dan kompak bertanya, "Kenapa mas?". Kata mas2 nya, "Ini paspornya kurang dari 6 bulan lagi expired." Kami baru tahu kalau paspor harus diperpanjang 6 bulan sebelum expired supaya kami masih bisa melanglang buana. Trus saya tanya, "Masa mas? Coba dihitung lagi." Paspor Ria expired bulan Oktober 2010. Setelah mas nya menghitung dengan jari, dia bilang, "Oh iya..pas 6 bulan. Kali ini boleh tapi harus segera diperpanjang ya paspornya." Untung banget....coba kami pesan tiketnya bulan Mei, pasti tidak bisa berangkat.
Perjalanan kami termasuk lancar2 saja walaupun kami kelaparan dan kehausan secara tiket murah ga dapet makan. Sampai di Bandara Changi kami rada kebingungan mau naik apa dan kemana karena belum ada kabar dari orang tempat kami nebeng. Jadi kami memutuskan naik bis ke Orchard. Bis di Spore ternyata beda jauh dari Jakarta. Bisnya bersih, sopirnya ga bau dan pake baju rapi. Bisnya juga ga bau dan asapnya ga item. Saya yang baru pertama kali ke Spore jadi ternganga2.
Restoran Togi sangat menyenangkan karena porsi makanannya besar dan gratisannya banyak. Saya pesan jajangmyeon dan Ria pesan ramen yang disajikan di dalam panci persis seperti di film2 drama Korea. Saya juga pesan rice cake pedas alis tokboki (ga tau ejaan tepatnya bagaimana) karena di film drama Korea yang terakhir saya tonton, tokoh utama wanitanya membeli tokboki untuk dimakan bersama teman2nya namun tokboki itu jatuh sebelum berkembang gara2 tokoh utama wanitanya diputusin teman prianya. Jadi tokboki itu terlunta2 setelah terjatuh di jalan.
Liburan yang menyenangkan karena bersama orang yang menyenangkan. Impian kami suatu saat bisa menulis buku (walaupun ga diterbitkan) traveling bersama ke tempat yang aneh misalnya Rumania atau Botswana.
Wednesday, May 5, 2010
Nama Keluarga ala Barat yang bikin Ruwet
Bagi kita semua yang tidak menganut sistem "nama keluarga-nama pemberian", penamaan yang pukul rata model barat ini memang gak masup akal. Masak iya, saya dipanggil pake nama Mbah saya? Lebih repotnya lagi, Mbah yang mana nih? Bagaimana kalau nama kita semua beda-beda; tergantung hari apa kita lahir, pasaran apa, weton apa, apa yang dicita-citakan orang tua, apa yang kepikiran ama orang tua, bintang film India apa yang lagi naik daun, atau siapa pemain sepak bola favorit Bokapnya, atau parahnya, siapa nama dukun bayi yang available pas kita lahir. Dan boro-boro pakai nama keluarga. Sudah bagus kalo pegawai catatan sipilnya nggak salah ketik. Saya punya teman yang namanya Canti, padahal harusnya Santi. Atau Robeth, padahal harusnya Robert. Joni padahal maksudnya Jono. Nama saya sendiri, harusnya Riati jadi Riyati (meskipun dua-duanya sama-sama ndeso tapi bagi saya tetep kedengaran oke sih, untungnya. Biar sombong asal belagu, hehe). Jadi kemungkinannya ditambah satu lagi: apa yang diketik ama pegawai catatan sipil. Mungkin kesalahan ini tidak diperbaiki karena males repot ngurus-ngurus lagi *yang penting kan udah ada aktenya*. Atau, sangat mungkin, karena males ngasih tip tukang ketiknya lagi.
Masalah mulai timbul saat ketika dewasa, si anak harus memakai namanya untuk sesuatu yang penting: membooking tiket pesawat lewat internet =). Di situ ada kolom "Identitas Penumpang" yang pertanyaannya berbunyi: Nama keluarga? Nama Pemberian?
Saya cukup beruntung karena saya punya nama yang agak mirip nama keluarga. Nama belakang saya menyerupai (bukan sama) dengan nama Bapak saya *ya, thanks to petugas catatan sipil, nama Bokap saya Sugiharto dan nama saya Sugiarto, karna bagi tukang ketiknya apalah arti sebuah nama*. Tapi, entah apa yang ada di pikiran ortu saya, adik-adik saya tak satupun diberi nama keluarga. Nama yang Jawa rakyat sekale. Oya, sebagai catatan: orang Jawa kalau rakyat jelata namanya ya cuma satu. Wagimin. Tukinah. Kalau kerabat kesultanan/keraton barulah namanya panjang. Misalnya Tumenggung Raden Ngabehi Daryono Sestrokusumo, Raden Ayu Dyah Sekarmutumanikanwati. Rakyat jelata? Ya cukup Poniyem saja kalau lahir di pasaran Pon.
Kedua adik laki-laki saya masing-masing bernama Sarwono dan Nugroho. Sudah. Tanpa ada nama belakangnya.*Nama sebenarnya. Suer. Sesuai akte kelahiran. KTP. SIM. Kartu anggota fitness. Dan member card game fantasia*. Rakyat jelata. Suatu hari saya diminta mengisi kolom identitas untuk adik saya. Saya mengosongi kolom nama keluarga, karena memang tidak ada. Tapi keluarlah peringatan, "Kolom wajib diisi. Nama harus sesuai dengan kartu identitas/paspor." Sungguh buah simalaketek. Akhirnya saya tulis nama mereka lagi sebagai nama keluarga, sehingga masuklah nama lengkap adik saya yang enggak banget: Sarwono sarwono. Sesuai kartu identitas? Ya anggap saja begitulah, kalau yang baca KTPnya sakit mata astigmat.
Lebih parahnya lagi di dunia penulisan artikel ilmiah. Biasanya, nama depan cuman jadi inisial, nama keluargalah yang dipajang. Misalnya JD Sallinger, JK Rowling, SR Sugiarto. Atau nama keluarga disebut lebih dulu: Duraisingh MT, Curtis J, Warhurst DC. Tidak masalah bagi orang Batak yang juga punya marga patriarkal di belakang nama pemberian. Bagi orang Jawa yang pada umumnya tidak punya nama keluarga meskipun namanya sepanjang jalan kenangan, hal ini jadi masalah. Contohnya Joko Tetuko Notoboto Limo Mangku Rondo Wudo Adus Ning Segoro. Masak di artikel dia ditulis JT Segoro. Itu kan bukan namanya. Namanya justru Joko, bukan Segoro. Kasus nyata, senior saya tidak menyadari namanya dipanggil sebagai pembicara karena yang dipakai nama penanya: W Samekto. Samekto itu hanya nama belakang, bukan nama suami, bukan nama keluarga. Istilahnya, cuman untuk nambah-nambahi. Kenapa? Ini dugaan saya: karna kalo cuma satu nama orang Jawa itu artinya kaum proletar. Jadilah namanya dibikin dua atau tiga, tapi semuanya nama sendiri, dan yang dipakai cuma nama paling depan biasanya. Jadi nama yang biasa dipakai hanya 'dokter Wid'. Akibatnya doski (euh, beliaw sudah profesor mak) tidak menggubris dan malah sibuk ngemil kacang sambil ngobrol sama sesama profesor. Lalu, di jurnal yang beliaw tulis, urutan namanya setelah Sachi, bukannya setelah Weber. Artinya, nama beliaw sudah diganti 'Samekto' tanpa selamatan bubur merah-putih-ijo. Taruhan deh, nama keluarganya bu Sri Mulyani bukan Indrawati. Tapi seandainya beliaw nulis jurnal, pasti yang muncul SM Indrawati. Sialnya, nama pena inilah yang dipakai untuk mengacu pada seorang ilmuwan di dunia artikel ilmiah. Salah satu profesor saya 'terpaksa' ganti nama jadi nama belakangnya setelah beliaw tidak sengaja jadi beken lewat tulisannya yang dikutip banyak orang.
Bagaimana dengan etnis Cina? Nama keluarga etnis Cina dan Korea juga sebenarnya, tidak seperti Jepang, ada di depan. Kwik Kian Gie, Soe Hok Gie, Oey Sin Giat. Jadi nama keluarga mereka adalah Kwik, Soe dan Oey. Namun, terimakasih pada sistem penamaan Barat yang pukul rata, nama keluarga mereka jadi Gie, Gie, Giat. Akibatnya teman saya yang asli Cina terpaksa mengubah-ubah namanya tergantung di KTP atau di forum internasional. Nama aslinya Tan Hoen Han. Di forum internasional (baca:dunia barat *keluh*), dia bilang namanya Han Tan. Karena kalo tidak, orang akan memanggilnya Tan, yang tak lain tak bukan adalah nama embah buyutnya (yang udah jadi humus).
Di Indonesia, sejak pemerintahan Suharto etnis Cina mengubah nama Cina mereka dengan nama yang mirip nama Jawa. Istilahnya pengindonesiasian nama. Hal ini justru bikin nama lebih mudah diadaptasi ke bentuk Barat. Liem Soe Liong, diubah jadi Sudono Salim. Jadi benar, nama keluarganya adalah Salim, yang berima dengan Liem. Salahnya, nama ini cuma berlaku dari generasi 70an. Bapak saya punya marga Sugiharto, tapi kakek saya masih bermarga Kwee (sama dengan Kwik). Akibatnya pencatatan nama menggunakan surname, given name mandeg cuma sampek dua generasi. Generasi di atasnya hilang tak tahu rimbanya. Di sinilah, nama Cina lebih berperan (meskipun cuma di kalangan sendiri) karena marga tak pernah berubah, terutama tulisan karakternya. Sehingga dari nama marga saya bisa dilacak siapa nenek moyang saya (orang pelaut atau bukan). Untuk info lengkap tentang pengindonesiasian nama, silakan klik disini.
Setahu saya, kebanyakan orang Asia mengalami kesulitan dengan adaptasi sistem nama Barat. Di Arab, nama adalah suatu susunan doa/kalimat yang tidak bisa dipisahkan satu per satu dan biasanya menerangkan dari nama asli (yang berupa harapan/doa) sampai nama ayah dan ibunya dan/atau nama asalnya secara berurutan. Contohnya Abu Kareem Muhammad al-Jameel ibn Nidh'aal ibn Abdulaziz aal-Filisteeni. Artinya "ayah Kareem, Muhammad, yang terindah, anak Nidal, anak Abdul Aziz, orang Palestina." Kareem artinya dermawan, Muhammad artinya terpuji, Jamil artinya rupawan, Aziz artinya maha besar (salah satu dari 99 sebutan Tuhan dalam bahasa Arab). Jadi, siapa nama keluarga ala Baratnya? *Cuma bisa berdoa semoga tukang ketik di imigrasi nggak separah tukang ketik di catatan sipil*
Info nama arab dapat dicari selengkapnya disini.
Jam
Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...
Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)
About Us
- Sri Riyati Sugiarto & Kristina Melani Budiman
- pindah2..tergantung mood, Indonesia
- Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p