Tulisan ini dibuat berdasar pengalaman yang ingin saya bagikan, bukan dari pengetahuan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, juga bukan dari buku, seminar psikologi populer, film drama romantis apalagi dari wikipedia. Tujuan saya mengumbar pendapat pribadi adalah untuk memuaskan kebutuhan saya yang gagal jadi provokator.
Teman saya selalu bilang, "Hari gene???" kalau saya mulai ceramah tentang pikiran-pikiran saya yang tergolong 'extra terrestrial'. Saya kemudian berkilah bahwa setiap orang itu punya waktu perkembangan sendiri-sendiri, dan beberapa diantaranya agak terbelakang^_^.
Berawal dari pertanyaan klise: apakah jatuh cinta itu? Saya percaya anak ABeGe dengan semangat akan berpendapat macam-macam tentang 'perasaan kejatuhan duren' ini. Saya bukan orang yang skeptis. Sebaliknya (saya pikir) saya justru setengah mati melankolis romantis. Tapi ini bukan masalah naksir-naksiran atau drama percintaan yang mengharu biru. Ini pertanyaan mendasar: apakah perasaan menghanyutkan yang disebut jatuh cinta ini nyata dan bisa dipertanggung jawabkan seperti UUD 45? Belakangan ini saya punya pendapat yang berbeda tentang perasaan. Menurut saya perasaan itu nyata, benar berdasarkan apa yang kita percaya tapi tidak selalu bisa dipertanggung jawabkan. Ini karena sebagai manusia kita tidak bisa bersikap selalu obyektif, faktual dan tanpa prasangka seperti koran Kompas. Perasaan kita terhadap orang lain selalu dipengaruhi oleh apa yang kita anggap berharga, apa yang kita butuhkan, apa yang kita percaya, dan (sedihnya) apa yang diiklankan media massa.
Contohnya: waktu tahun kedua di universitas, saya paling takut dengan mata kuliah anatomi. Selain dosennya menyeramkan, banyak yang harus dihafalkan, banyaknya ujian yang diadakan juga tekanan dari sesama mahasiswa yang sama-sama ketakutan, tidak heran saya jadi naksir berat dengan kakak kelas yang jadi asisten dosen. Kenapa? Karena saya yang waktu itu belum lulus ujian anatomi menganggap bahwa kesuksesan dalam ujian itu berharga, saya butuh orang yang bisa mengajari saya anatomi, saya percaya bahwa ganteng dan jago anatomi adalah kombinasi sempurna, seperti gado-gado dan emping, dan berhubung dia populer di kalangan mahasiswi saya jadi tersanjung kalau dia menaruh perhatian pada saya. Semuanya masuk akal, semuanya benar, tapi tidak berarti secara obyektif saya benar-benar tertarik padanya. Kalau saya bukan mahasiswa tahun kedua yang bergulat dengan anatomi, mungkin saya tidak akan menaruh perhatian pada asisten dosen ini. Keadaan dan situasi saya mendorong saya untuk naksir tanpa melihat secara lebih baik karakter dan sifat orang yang saya taksir. OK, mungkin saya terlalu serius melihat masalah ini. Sebetulnya ini cuma contoh, karena ternyata tanpa saya sadari setelah bertahun-tahun lewat sejak saya ABeGe saya masih belum bisa membedakan antara 'naksir' dan benar-benar menjalin hubungan dengan orang lain. Saya selalu melihat perasaan jatuh cinta seperti virus rabies yang tidak bisa dikendalikan, yang jika menginfeksi akan membuat penderitanya mirip anjing gila (mungkin dengan gejala mulai suka pipis sembarangan). Bahkan media massa mendukung ide ini. Jatuh cinta dianggap seperti keadaan yang tidak terelakkan, seperti penyakit mental, karena itulah digunakan kata "jatuh" dan "tergila-gila". Dan keadaan ini didukung dengan lagu-lagu romantis dan drama cium-ciuman (dengan ibu tiri di latar belakang). Setelah saya pikir kembali, ini semua adalah alasan untuk membenarkan apa yang saya rasakan, tanpa menimbang apakah yang saya lakukan benar dan layak untuk jangka panjang. Banyak orang menjalin hubungan gelap dengan suami orang, berkencan dengan pacar orang, atau sekedar hubungan tidak sehat berdasarkan perasaan sesaat. Jadi, kalau dulu saya berpikir bahwa perasaan suka itu tidak bisa disalahkan, sekarang saya percaya bahwa jatuh cinta itu sangat relatif dan subyektif, sama seperti emosi yang lain: perasaan sedih, marah, senang, atau terkejut. Nyata, tapi tidak selalu benar. Kalau saya turuti saja perasaan ini, mula-mula saya merasa terpuaskan, tapi tidak selalu mengarah ke tempat yang benar. Apakah salah untuk jatuh cinta dan berkencan dengan orang yang kita taksir? Tentu tidak, asal jangan keterusan. Maksud saya, nikmati perasaan suka karena ini anugerah, tapi tetap berusaha mengenal orang ini lebih baik sebelum memutuskan bahwa dia adalah 'bapaknya anak-anak' ^_^. Sekali lagi, ini bukan dari teori benar atau salah, dondong opo salak. Ini cuma pendapat saya sendiri. Kenapa tiba-tiba saya bicara ngalor ngidul tentang hal ini? Karena saya mengalami sendiri; tergila-gila pada seseorang hanya karena saya bosan, kesepian, mencari dorongan semangat atau sekedar bahan obrolan di kala ngopi dengan teman perempuan.
Beberapa bulan lalu saya naksir dengan pengurus kandang kuda. Lalu patah hati. Sekarang ada teman baru cowok Jerman yang jago melukis, 184 cm, pinter bikin kue dan selalu bau peppermint (ini bukannya dangkal dan menilai penampilan orang, hanya sebagai gambaran saja). Dia menggambar sketsa wajah saya, menemani saya jogging dan duduk di samping saya tiap kali makan siang. Sebagai cewek jomblo yang lagi frustrasi, saya seperti 'melihat cahaya di ujung lorong yang gelap' alias menemukan kilauan dalam kemonotonan (tidak lebih jelas deh kayaknya, hehe). Saya sungguh merasa tertarik dan percayalah, jatuh cinta itu lebih enak daripada patah hati (tidak perlu dijelaskan kayaknya). Tapi saya merasa kembali ke bangku SMU. Orang bilang: turuti saja, perasaan suka itu siapa yang bisa tahu. Saya cuma merasa, dari masa ABG sampai sekarang, saya tidak betul-betul punya pendirian tentang menjalin hubungan. Hanya berdasarkan ketertarikan dan perasaan yang menghanyutkan tidak akan mengarah pada hubungan yang sehat dan dewasa. Saya butuh itu sebagai pondasi hidup saya kelak. Saya bukannya berfokus pada pernikahan dan keluarga, tapi pada hubungan yang benar, yang bisa saya pertanggung jawabkan. Sudah waktunya saya menjadi dewasa dan berhenti main pacar-pacaran (hari gene gitu loh). Tapi ini bukan sekedar mencari kemapanan atau pasangan hidup, saya percaya ada yang lebih dari sekedar romantika hubungan lawan jenis. Pernikahan dan keluarga itu bagian penting dari hidup, tidak bisa untuk main-main. Saya kira saya tidak bisa main kencan dengan orang yang saya anggap menarik, tidak juga memutuskan untuk serius dengan seseorang hanya karena saya bertujuan cari suami. Jadi? Saya ingin berfokus pada pembentukan karakter saya lebih dahulu. Untuk suami dan keluarga di masa depan? Bukan. Untuk kematangan saya sendiri. Karena keluarga bukannya tujuan akhir. Semua ini proses, baik ketika kita jomblo, pacaran, tunangan ataupun sudah menikah, itu semua perjalanan yang berkelanjutan. Siapa saya dan apa keputusan saya akan berpengaruh pada orang lain. Karena itulah saya harus mengambil keputusan yang bisa saya pertanggung jawabkan.
Teman-teman saya bilang saya terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang tidak penting. Tidak praktis. Saya berkilah bahwa pikiran saya mungkin sama dengan orang lain, cuma saya punya kemampuan untuk membicarakannya dengan cara yang ruwet. Jadi kelihatan rumit ^_^. Pada dasarnya saya cuma ingin bilang: saya percaya bahwa ada hubungan yang benar. Bukan sekedar tentang kisah cinta yang romantis dan pasangan sempurna. Bukan sekedar bibit bobot bebet atau persamaan agama, tingkat pendidikan, ras, atau kemampuan ekonomi. Hubungan ini tidak dibangun dalam semalam seperti candi prambanan (saya juga tidak percaya candi prambanan dibangun dalam semalam seperti legendanya, kecuali yang membangun itu alien), tapi saya kira hal ini layak dicari. Dan ini bukannya membuat saya jadi biarawati, saya cuma jadi bebas menikmati setiap waktu saya, tidak takut kehilangan apapun, tidak cemas berharap apapun dan tidak dikejar apapun, karena saya menikmati setiap prosesnya. Lagipula, bukannya kebahagiaan itu ketika kita menikmati apa yang ada dan bersyukur karenanya?
Teman saya selalu bilang, "Hari gene???" kalau saya mulai ceramah tentang pikiran-pikiran saya yang tergolong 'extra terrestrial'. Saya kemudian berkilah bahwa setiap orang itu punya waktu perkembangan sendiri-sendiri, dan beberapa diantaranya agak terbelakang^_^.
Berawal dari pertanyaan klise: apakah jatuh cinta itu? Saya percaya anak ABeGe dengan semangat akan berpendapat macam-macam tentang 'perasaan kejatuhan duren' ini. Saya bukan orang yang skeptis. Sebaliknya (saya pikir) saya justru setengah mati melankolis romantis. Tapi ini bukan masalah naksir-naksiran atau drama percintaan yang mengharu biru. Ini pertanyaan mendasar: apakah perasaan menghanyutkan yang disebut jatuh cinta ini nyata dan bisa dipertanggung jawabkan seperti UUD 45? Belakangan ini saya punya pendapat yang berbeda tentang perasaan. Menurut saya perasaan itu nyata, benar berdasarkan apa yang kita percaya tapi tidak selalu bisa dipertanggung jawabkan. Ini karena sebagai manusia kita tidak bisa bersikap selalu obyektif, faktual dan tanpa prasangka seperti koran Kompas. Perasaan kita terhadap orang lain selalu dipengaruhi oleh apa yang kita anggap berharga, apa yang kita butuhkan, apa yang kita percaya, dan (sedihnya) apa yang diiklankan media massa.
Contohnya: waktu tahun kedua di universitas, saya paling takut dengan mata kuliah anatomi. Selain dosennya menyeramkan, banyak yang harus dihafalkan, banyaknya ujian yang diadakan juga tekanan dari sesama mahasiswa yang sama-sama ketakutan, tidak heran saya jadi naksir berat dengan kakak kelas yang jadi asisten dosen. Kenapa? Karena saya yang waktu itu belum lulus ujian anatomi menganggap bahwa kesuksesan dalam ujian itu berharga, saya butuh orang yang bisa mengajari saya anatomi, saya percaya bahwa ganteng dan jago anatomi adalah kombinasi sempurna, seperti gado-gado dan emping, dan berhubung dia populer di kalangan mahasiswi saya jadi tersanjung kalau dia menaruh perhatian pada saya. Semuanya masuk akal, semuanya benar, tapi tidak berarti secara obyektif saya benar-benar tertarik padanya. Kalau saya bukan mahasiswa tahun kedua yang bergulat dengan anatomi, mungkin saya tidak akan menaruh perhatian pada asisten dosen ini. Keadaan dan situasi saya mendorong saya untuk naksir tanpa melihat secara lebih baik karakter dan sifat orang yang saya taksir. OK, mungkin saya terlalu serius melihat masalah ini. Sebetulnya ini cuma contoh, karena ternyata tanpa saya sadari setelah bertahun-tahun lewat sejak saya ABeGe saya masih belum bisa membedakan antara 'naksir' dan benar-benar menjalin hubungan dengan orang lain. Saya selalu melihat perasaan jatuh cinta seperti virus rabies yang tidak bisa dikendalikan, yang jika menginfeksi akan membuat penderitanya mirip anjing gila (mungkin dengan gejala mulai suka pipis sembarangan). Bahkan media massa mendukung ide ini. Jatuh cinta dianggap seperti keadaan yang tidak terelakkan, seperti penyakit mental, karena itulah digunakan kata "jatuh" dan "tergila-gila". Dan keadaan ini didukung dengan lagu-lagu romantis dan drama cium-ciuman (dengan ibu tiri di latar belakang). Setelah saya pikir kembali, ini semua adalah alasan untuk membenarkan apa yang saya rasakan, tanpa menimbang apakah yang saya lakukan benar dan layak untuk jangka panjang. Banyak orang menjalin hubungan gelap dengan suami orang, berkencan dengan pacar orang, atau sekedar hubungan tidak sehat berdasarkan perasaan sesaat. Jadi, kalau dulu saya berpikir bahwa perasaan suka itu tidak bisa disalahkan, sekarang saya percaya bahwa jatuh cinta itu sangat relatif dan subyektif, sama seperti emosi yang lain: perasaan sedih, marah, senang, atau terkejut. Nyata, tapi tidak selalu benar. Kalau saya turuti saja perasaan ini, mula-mula saya merasa terpuaskan, tapi tidak selalu mengarah ke tempat yang benar. Apakah salah untuk jatuh cinta dan berkencan dengan orang yang kita taksir? Tentu tidak, asal jangan keterusan. Maksud saya, nikmati perasaan suka karena ini anugerah, tapi tetap berusaha mengenal orang ini lebih baik sebelum memutuskan bahwa dia adalah 'bapaknya anak-anak' ^_^. Sekali lagi, ini bukan dari teori benar atau salah, dondong opo salak. Ini cuma pendapat saya sendiri. Kenapa tiba-tiba saya bicara ngalor ngidul tentang hal ini? Karena saya mengalami sendiri; tergila-gila pada seseorang hanya karena saya bosan, kesepian, mencari dorongan semangat atau sekedar bahan obrolan di kala ngopi dengan teman perempuan.
Beberapa bulan lalu saya naksir dengan pengurus kandang kuda. Lalu patah hati. Sekarang ada teman baru cowok Jerman yang jago melukis, 184 cm, pinter bikin kue dan selalu bau peppermint (ini bukannya dangkal dan menilai penampilan orang, hanya sebagai gambaran saja). Dia menggambar sketsa wajah saya, menemani saya jogging dan duduk di samping saya tiap kali makan siang. Sebagai cewek jomblo yang lagi frustrasi, saya seperti 'melihat cahaya di ujung lorong yang gelap' alias menemukan kilauan dalam kemonotonan (tidak lebih jelas deh kayaknya, hehe). Saya sungguh merasa tertarik dan percayalah, jatuh cinta itu lebih enak daripada patah hati (tidak perlu dijelaskan kayaknya). Tapi saya merasa kembali ke bangku SMU. Orang bilang: turuti saja, perasaan suka itu siapa yang bisa tahu. Saya cuma merasa, dari masa ABG sampai sekarang, saya tidak betul-betul punya pendirian tentang menjalin hubungan. Hanya berdasarkan ketertarikan dan perasaan yang menghanyutkan tidak akan mengarah pada hubungan yang sehat dan dewasa. Saya butuh itu sebagai pondasi hidup saya kelak. Saya bukannya berfokus pada pernikahan dan keluarga, tapi pada hubungan yang benar, yang bisa saya pertanggung jawabkan. Sudah waktunya saya menjadi dewasa dan berhenti main pacar-pacaran (hari gene gitu loh). Tapi ini bukan sekedar mencari kemapanan atau pasangan hidup, saya percaya ada yang lebih dari sekedar romantika hubungan lawan jenis. Pernikahan dan keluarga itu bagian penting dari hidup, tidak bisa untuk main-main. Saya kira saya tidak bisa main kencan dengan orang yang saya anggap menarik, tidak juga memutuskan untuk serius dengan seseorang hanya karena saya bertujuan cari suami. Jadi? Saya ingin berfokus pada pembentukan karakter saya lebih dahulu. Untuk suami dan keluarga di masa depan? Bukan. Untuk kematangan saya sendiri. Karena keluarga bukannya tujuan akhir. Semua ini proses, baik ketika kita jomblo, pacaran, tunangan ataupun sudah menikah, itu semua perjalanan yang berkelanjutan. Siapa saya dan apa keputusan saya akan berpengaruh pada orang lain. Karena itulah saya harus mengambil keputusan yang bisa saya pertanggung jawabkan.
Teman-teman saya bilang saya terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang tidak penting. Tidak praktis. Saya berkilah bahwa pikiran saya mungkin sama dengan orang lain, cuma saya punya kemampuan untuk membicarakannya dengan cara yang ruwet. Jadi kelihatan rumit ^_^. Pada dasarnya saya cuma ingin bilang: saya percaya bahwa ada hubungan yang benar. Bukan sekedar tentang kisah cinta yang romantis dan pasangan sempurna. Bukan sekedar bibit bobot bebet atau persamaan agama, tingkat pendidikan, ras, atau kemampuan ekonomi. Hubungan ini tidak dibangun dalam semalam seperti candi prambanan (saya juga tidak percaya candi prambanan dibangun dalam semalam seperti legendanya, kecuali yang membangun itu alien), tapi saya kira hal ini layak dicari. Dan ini bukannya membuat saya jadi biarawati, saya cuma jadi bebas menikmati setiap waktu saya, tidak takut kehilangan apapun, tidak cemas berharap apapun dan tidak dikejar apapun, karena saya menikmati setiap prosesnya. Lagipula, bukannya kebahagiaan itu ketika kita menikmati apa yang ada dan bersyukur karenanya?