Ringkasan cerita sebelumnya : Arum mendapatkan mimpi buruk. Setelah mimpi itu, kejadian-kejadian aneh mulai mengikutinya.
=====================================================================================
Kali ini, saya mulai curiga bahwa ada sesuatu yang salah. Layaknya tokoh utama cerita seram, saya tidak lari tunggang langgang sambil teriak "Aaaaa.......uouo" melainkan saya tetap berada di sana sambil kebingungan, tujuannya sih untuk membuat pembaca jadi ikut merasa tegang (apanya coba?). Pokoknya saya penasaran, saya ingin tahu. Namun perasaan saya kacau. Pikiran saya kalut. Saya lari ke kamar. Duduk di pinggir dipan, saya merenung dan berpikir: apa yang terjadi? Saya menekuri lantai. Mata saya terpaku menangkap sesuatu di atasnya. Gundukan debu hitam itu bergerak pelan seperti tertiup angin ke segala arah. Abu. Abu dimana-mana. Saya terperanjat dan langsung bangkit berdiri. Saya harus pergi. Perasaan saya mengisyaratkan bahaya. Ada yang tidak beres. Ada yang sangat tidak benar!
Secepat kilat saya berbenah dan siap pergi. Tiba-tiba seseorang berdiri di pintu. Bidan Danuri!
"Mau kemana?" tanyanya heran melihat saya sudah siap jalan. Muka saya pucat pasi seperti anak anjing yang ekornya kejepit pintu (ada perumpamaan lebih bagus nggak sih?)

"Jangan pergi terlalu cepat. Mari bergabung bersama keluarga kami, sarapan pagi sedang disiapkan," sambil membuka pintu lebar-lebar, Bidan Danuri menyilahkan saya ke ruang makan. Saya melihat tangannya. Kemarin masih mulus, kini tampak luka bakar yang sudah menjadi parut.

Pintu terbuka sedikit. Saya mengintip. Kosong. Sarungnya terlipat rapi di ujung dipan. Saya sudah hendak beranjak keluar ketika saya melihat buku sampul kulit cokelatnya di meja. Dengan agak tertegun, saya memberanikan diri masuk dan meraihnya. Rasa ingin tahu menguasai begitu cepat hingga tanpa sadar saya sudah membolak balik halamannya. Tulisannya rapi dan skematis. Mirip alur tulisan buku teks dengan diagram dan gambar, layaknya ilmuwan di buku Da Vinci Code. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak mengaguminya. Tertulis di sana sejarah desa Kerompeng sejak jaman perang dunia kedua.
"Pada waktu itu, industri gula sangat berjaya. Gula dijual oleh Belanda untuk menutup biaya perang dunia ke satu. Pejabat gula sangat kaya raya. Namun selesai agresi militer Belanda ke dua, perusahaan tebu jatuh ke tangan pejabat pribumi. Kerompeng adalah desa petani tebu; desa ini dulunya ada, hidup dan berkembang karena perkebunan tebu. Sedikit demi sedikit, di kalangan pejabat sendiri timbul perebutan kekuasaan untuk mengusai produksi gula. Fitnah, pemalsuan dan pertengkaran timbul di antara pejabat, sehingga mereka melakukan apa saja untuk menjegal lawan politik mereka, termasuk pembunuhan," Lalu saya melihat beberapa guntingan koran yang ditempel. Halamannya sudah menguning karena usia. Beberapa ditulis dalam bahasa Belanda. Beberapa terbaca, namun sulit karena ejaan lama dan tintanya luntur. Saya melewati beberapa coretan dan gambar yang kurang jelas. Lalu melanjutkan halaman selanjutnya.
"Banyak korban yang jatuh dari pihak penguasa dan terutama, rakyat. Kerompeng mulai ricuh, tapi karena mereka rakyat jelata yang miskin, tak ada yang bisa mereka lakukan. Puncaknya tahun 1966. Isu partai komunis indonesia berhembus dimana-mana,"
Guntingan koran lagi. Foto-foto lama. Surat yang tak terbaca. Gambar-gambar tak jelas dengan tinta merah yang sudah melebar ke kanan kiri. Saya terus membaca.
"Kerompeng menjadi kambing hitam karena perselisihan penggusaha gula. Hari itu, bulan September yang kering dan ketika tebu masih muda daunnya, desa Kerompeng terbakar. Para penyidik yakin ada dalang di balik kejadian ini. Namun tidak pernah ketahuan. Pejabat saling menutupi, polisi menghilangkan jejak. Desa Kerompeng terbakar dalam sunyi, tak ada yang menggugat keadilan. Tak ada yang tersisa. Rumah, anak, ternak, wanita, ladang terbakar. Tinggal abu," Lalu ada foto-foto lagi yang tak saya kenali. Banyak jumlahnya, dan tiba-tiba saya mendengar sesuatu di belakang. Saya tersentak. Sontak semua foto itu terjatuh di lantai. Saya tergeragap memungutnya. Tunggu, saya melihat wajah yang saya kenal. Bidan Danuri! Pak TMK! Anak perempuan itu! Dan Arya!
Saya melihat catatan kecil ditulis dengan sangat kasar, seolah-olah menyuarakan kemarahan penulisnya, "Tiap dua belas purnama, seseorang akan masuk ke dusun ini dan merasakan penderitaannya. Tiap dua belas purnama, pintu antara dusun ini dan dunia luar akan terbuka. Tak akan tertutup sampai seseorang menutupnya,"
"Kenapa kamu melihat buku pribadi orang lain?" hardik seseorang di punggung saya. Arya. Tinggi dan tegap menjulang di belakang, saya merasa kedua matanya menyiratkan sesuatu yang mengerikan. Tapi menarik saya ke dalam. Persis mata dalam mimpi. Tiba-tiba dia memalingkan mukanya dan berbalik keluar. Saya mengikutinya untuk meminta maaf, tapi ia tak ada di sana. Lenyap. Kenapa ia jalan cepat sekali? Saya mencari Arya kemana-mana. Saya butuh segala penjelasannya. Saya lari ke kebun belakang, ke kandang ayam, ke kali kecil belakang rumah. Ia tak ada. Tiba-tiba seluruh tubuh saya terasa panas. Seperti ada api menjalar dari telapak kaki ke kepala.

"Kalau panas terbakar, mari ikut berendam..."
BERSAMBUNG...
4 comments:
hoho... agak berasa ni seremnya.... ditunggu lanjutannya^^
Akhirnya! ada yang baca juga tho (dan nggak ngeledek) hehe. Salam kenal! xxx
wah, udah mulai merinding baca bagian yang ini, maju terus Ria...!!! ^^
sebenernya mulai serem seandainya dirimu membuat perumpamaan yang tepat jangan kaya ekor anjing terjepit pintu...mungkin lebih tepat kalo ekor anjing yang dipotong pake golok hihihihi
Post a Comment