Tuesday, May 26, 2015

kenapa saya belum bisa langsing

saya cuma punya waktu 5 menit untuk nulis artikel ini sebelum berangkat kerja. jadi ceritanya pagi ini suami saya mengetag saya di fb tentang artikel dari mario teguh tentang bu lina. bu lina istri mario teguh ini setelah punya anak badannya jadi gendut dan dalam sebulan dia bisa menguruskan badan. sampai sekarang masih langsing, lebih langsing daripada saya padahal anaknya sudah dua.
dari dulu suami saya kepengen berat badan saya 45 kg, ini susah banget lho karena saya ini gen nya bukan gen yang makan banyak tetep langsing, saya terlangsing itu habis sakit DB itupun cuma 48 kg.
jadi ini target yang mustahil bin mustahal ya buat punya berat badan 45 kg.

cara buat langsing adalah olah raga atau mengurangi makan. Mari ditelaah dulu mana yang cocok buat saya. 
Olah raga itu bagus banget kali saya bisa melakukannya. Masalahnya adalah kapan saya bisa berolah raga. Saya kerja 5 hari seminggi kadang 6 hari seminggu. Senin sampai kamis saya kerja jam 2-8 mlm. Biasa pagi2 deo bangun sekitar jam 7.30. Trus deo ga mau dicuekin karena udah sering ditinggal kerja. Jadi nyiapin sarapan deo dan main2 sama deo sampai jam 9.15 waktunya nganter deo ke childcare. Harusnya saya punya waktu ya dari nganter deo sampai jam 1.15 krn saya biasa berangkat kerja jam segitu. Perjalanannya kalau ga ngebut sekitar 30 menit. Nah masalahnya karena saya ibu rumah tangga merangkap wanita pekerja juga dan ga punya pembantu, saya habis anter deo ke childcare biasanya ada jadwalnya yaitu belanja trus masak. Kalau pas ga belanja dan ga masak, harus beraih2 rumah dan nyuci baju. Dan kerjaan wajib setiap hari adalah bikin jus buat saya, deo dan suami. Jusnya harua ngupas dan motong buah dan ngeblender. Biasanya minimal 20 menit. Jadi waktu 4 jam di pagi hari itu ga kerasa buay ngerjain kerjaan rumah dll dll eh tiba2 udah harus siap2 berangkat kerja. Ke toilet, mandi dan dandan biar ga keliatan kucel itu makan waktu lho minimal setengah jam. Belanja biasanya minimal setengah jam jg. Belum nyuci baju dan ngelipet baju. Masak itu jg paling menyita waktu deh ditambah nyuci piring. Saya rencana mau yoga nonton dari youtube aja belum sempet2. Waktunya kayanya mepet bgt. Suami saya mungkin mikirnya saya enak ada me time. Sementara dia pulang kerja harus jemput deo dan nyuapin deo, main sama deo. Saya sebagai ibu ga cuma kerja dan ngurusin deo. Tp harus ngurusin rumah dan ngurus suami dan ngurus diri sendiri jg. Ya suami saya jg termasuknya suami teladan. Kerjaan dia jg berat dan untung dia masih mau ngurusin anak dan bantu2 kerjaan rumah   
Intinya saya benar2 tak ada waktu buat olah raga. Gimana dunk?

Nah pilihan kedua adalah mengurangi makan or makannya pilih2 yang ga berlemak dan makan yang sehat2 saja. Masalahnya saya kurang suka makanan yang sehat. Hobinya makan goreng3 an dan kalau mengurangi makan jadi tak bertenaga sementara kerjaan saya di dapur panti jompo menuntut fisik yang kuat. Kan harus nyuci piring, dorong troli keliling panti jompo buat nganterin makanan, buang sampah seabrek, ngepel dan bersih2. Jadi kalau kelaparan takut pingsan or kalo kerjanya lemot ntar dipecat kan berabe. Ditambah lagi, saya masih menyusui deo yang umurnya sudah 2 tahun 8 bulan dan belum ada tanda2 bosen. Katanya ibu menyusui kan gampang lapar ya. Lagian katanya kalau ibu menyusui bisa bikin langsing tapi kok saya tidak langsing2 padahal menyusui sudah lebih dari 2 tahun tp berat badan masih kelebihan 20 kg dari target 45 kg. 

Kesimpulannya mungkin sekarang belum waktunya saya menjadi langsing. Tunggu nanti ya minimal kaya bu lina yang anaknya udah 13 tahun dan 18 thn kalo ga salah. Jadi udah ga nempel terus kaya perangko, malah sukur2 bisa disuruh ngelipet baju, masak dan bersih2 rumah sementara maminya ngegym demi mencapai berat badan ideal yang diimpi2 kan suaminya. 

Wednesday, December 10, 2014

Tentang Makassar

Makassar cukup bersejarah buat saya, karena ini kota yang pertama kali saya datangi naik kapal Pelni Tilongkabila dari Labuan Bajo (kapal yang asyik, kita bisa nonton pilm layar tancep sambil makan pop mie). Tahun 2008 saya mengunjungi Makassar dalam perjalanan ke Tana Toraja, jadi nggak banyak yang saya inget dari kota ini kecuali coto-nya. Klise memang, tapi untuk benar-benar merasa di Makassar kita harus tahu bedanya soto dengan coto (kalo ada yang bilang soto pake daging sapi dan coto pake daging capi, mohon maap jawaban anda SALAH ya). Intinya sih, kalo di Makassar pesan saja coto, soalnya kalau pesannya soto, bikin kita pingin naik pesawat PP ke Semarang, beli soto semangkok dan dibawa untuk ditunjukin ke penjualnya gimana yang namanya soto itu seharusnya dibikin. Soto di Makassar adalah semacam coto tapi kayaknya dibikin waktu mati lampu.
 
 
Kedua kali ke Makassar adalah untuk datang ke nikahan sohib saya waktu coass dulu. Di sini cerita saya panjang karena melibatkan perjalanan ke pulau Lae-lae, yang bukan pulau liburan romantis babar blas tapi kampung halaman buat sekumpulan orang yang meninggali rumah tanpa sertifikat. Kenapa saya bisa terdampar di sini? Karena saya terlalu pelit buat bayar carter perahu ke Samalona, dan lebih suka ikut perahu anak sekolah ke desa nelayan yang nggak ada turisnya sama sekali. Semula perjalanan saya berlangsung lancar sampai saya memutuskan buat pergi cari kerang sama anak-anak nelayan. Perahu yang kami tumpangi itu kecil dan berlengan satu (semacam katinting, lihat gambar, dengan lengan kayu untuk keseimbangan). Di tengah laut anak-anak ini main-main dengan pura-pura ninggalin temennya yang lagi nyelam cari kerang. Akibatnya anak-anak ini sempat bergelantungan di sisi perahu karena temannya mendayung terlalu cepat. Saat itulah, tiba-tiba ada ombak yang lumayan besar. Perahu kami terbalik dengan sukses. Enggak ada yang pake jaket pengaman. Sepersekian detik dan tiba-tiba jatuh ke laut bikin kita mikir tentang perasaan korban tsunami. Oke, ini cuman air tapi di tengah laut. Untungnya semua orang pada dasarnya bisa berenang, cuman karena tidak siap nyebur kulit kami tergores-gores entah apa waktu berusaha naik lagi ke perahu. Plus buat saya, waktu jatuh ke air perahunya persis ada di atas jadi harus berenang memutar biar bisa naik. Perahu ini akhirnya berhasil dinaiki dalam posisi terbalik, persis wadah klepon yang jatuh dari meja, perahu ini timbul tenggelam di laut. Anak-anak laki-laki berhasil membawa perahu menepi, di pantai yang karangnya licin dan nggak ada pasir, yang jelas nggak pernah dikunjungi orang karena kami susah mencari sampah seperti bekas botol air mineral, bungkus indomie, softex, pampers etc. Bukannya kami bermaksud cari sampah juga sih, tapi setelah perahu berhasil dibalik ke posisi semula kami harus mengosongkan bagian dalam yang penuh berisi air. Jadi di sini, botol aqua sangat membantu. Sayangnya kami cuman nemu tempurung kelapa. Jadi inilah alat buat ngosongin air di dalam perahu.
 

 

Sejak peristiwa itu tiap kali saya naik perahu kecil yang diombang-ambingkan ombak, saya enggak cengengesan kayak anjing rabies lagi, tapi berdoa litani sampai katam 10x.
 
Ke Makassar yang ketiga (mohon maaf kalo postingan ini akhirnya jadi novel ya) adalah untuk acara Open Science Meeting (yang artinya ketemuan sambil makan2). Yang asik dari perjalanan kali ini adalah pesawat saya didelay selama 4 jam (haduuuh). Usut punya usut, ini bukanlah sembarang delay tapi sebenernya ini adalah pembatalan penerbangan karena kurang penumpang. Jadi karena penerbangan pukul 4 cuman dibooking setengah maka penerbangannya digabung sama yang pukul 8 yang juga dibooking setengah. Iya, saya juga mikir: ini pesawat apa angkot nomer 44 jurusan Senen-Kampung Melayu yak. Akibatnya, saya nyampe di bandara Sultan Hassanuddin jam 12 malam wita. Kejadian ini tepatnya di awal tahun 2014 dan waktu itu belum ada aturan untuk penertiban calo taksi. Jadilah saya menjadi mangsa empuk para calo taksi yang melihat seorang cewek jalan sendirian ibarat lalat liat manga busuk jatuh di jalan. No offence pada mangga busuk, tapi para calo taxi ini memang rada2 mirip lalat karena meskipun sudah dibilang "maaf, saya sudah dijemput," dan bergaya se-cool es gosrok tetap saja saya dikerubuti dan dibuntuti abang-abang calo taksi. Saya enggak takut tapi ya gerah lah ya, apalagi kemana pun saya pergi ada aja yang komentar dari mau dianter kemana sampai embaknya udah dari tadi mana jemputannya. Masalahnya, saya emang enggak ada yang jemput, tapi saya jelas enggak percaya sama calo taxi yang langsung nodong dan enggak ada nama perusahaaannya. Saya berdiri beberapa saat di area penjemputan karena menurut pengalaman saya, selalu ada mobil jemputan yang sisa tempat duduknya sehingga saya bisa nebeng sampai di luar area bandara dan kemudian naik taxi biasa ke hotel. Tapi kali ini mas2 calo taxi betul2 beringas dan gigih sehingga orang yang saya dekati malah takut dan menghindar sebelum saya bahkan menyelesaikan pertanyaan basa-basi seperti, "ibu mau jemput siapa?". Si ibu buru2 kabur gara2 saya digelayuti 10 orang calo kelaparan. Saya mulai geram. Saya berusaha masuk kembali ke ruang kedatangan pesawat tapi satpam tidak membolehkan saya masuk tanpa ada tiket pesawat. Saya disuruh duduk di depan. Lalu  segerombolan lalat2 haus darah pun ikut duduk dan berdiri di kanan-kiri-depan-belakang (kalo bisa juga atas-bawah andaikan mungkin kali ya). Ada ibuk2 yang bukan calo juga duduk tapi dia tidak membantu. Si satpam juga enggak, mungkin dia adik misan sepupu paman satu kali dari seorang bos calo taxi. Entahlah. Akhirnya, karena saya betul2 terganggu, saya pun masuk ke café deket pintu keluar. Mungkin café ini enggak sodaraan ama bos calo taxi jadi para calo ini enggak berani masuk. Kopinya jelas2 kemahalan karena itu warung kopi bandara tapi saya beruntung karena setidaknya terbebas dari lalat untuk sementara. Jadi saya ada waktu untuk basa-basi dengan 3 orang yang juga sedang minum kopi di sana dan, seperti yang sudah sering terjadi, saya pun dapat tebengan ke kota.


Sebagai informasi saja, sekarang bandara Makassar sudah jauh lebih baik karena sudah ada aturan bagi taxi untuk menunggu penumpang menghampiri booth mereka dan memesan sendiri, tidak boleh ada calo yang nyerobot apalagi sambil langsung bawain tas kayak di terminal bis Bungurasih Surabaya. Taxi yang saya rekomendasikan adalah Bosowa, Putra atau Lima Muda. Tapi jika bepergian sendiri dan dalam rentang waktu antara jam 7 pagi sampai jam 8 malam, naiklah DAMRI. Harganya Rp. 29ribu sudah sampai tengah kota (depan RRI, jalan Ribura'ne) dengan aman dan nyaman. (Hidup DAMRI!!!)


 
Saat ini, setelah bermangkok-mangkok coto, konro, sop saudara (yang enggak gratis meskipun sodara), pisang epe, pisang ijo, barongko dan pallubutung,  saya resmi tinggal di Makassar. Saya suka Makassar karena kalau kita ke warteg (atau warmak, tepatnya) selalu dikasih nasi yang banyak dan lauk yang sedikit. Jadi persis banget sama komposisi nasi megono di rumah, kecuali kalau di rumah nasinya juga lebih sedikit, hihi. Mereka juga selalu menyediakan sambel dan jeruk nipis, apapun makanannya. Sambel favorit saya yang selalu oke dimakan pake ikan jenis apapun (di Makassar umumnya orang 'makang ikang' setiap hari) adalah sambel dabu-dabu, yang adalah sambel dicapur irisan tomat yang besar2. Makassar cukup strategis sebagai kota karena enggak jauh dari pulau-pulau berpasir putih dan tempat-tempat menyelam. Kota yang enggak pernah sepi (kata orang, 'Jakarta'nya Indonesia timur) ini juga penuh dengan pusat kebudayaan asing, seperti komunitas Perancis, Cina, Belanda dsb, selain sebagai pusat ekonomi di Sulawesi. Yang saya nikmati setiap hari di Makassar adalah menyebrangi kota Makassar setiap pagi: melihat toko-toko mulai buka, orang-orang menggelar lapak di pasar, nelayan baru pulang dari melaut, orang-orang berseragam sibuk pergi ke kantor. Saya akan duduk dan menikmati hari yang baru mulai di Makassar di dalam pete-pete yang entah kenapa selalu menyetel lagu Malaysia jaman dulu, Isabella. Tiap sore saya akan menyambangi warung makan baru, barangkali sambelnya beda. Dan kalau akhir pekan tiba, saatnya mengenakan masker dan melihat ikan di laut. Saya belum tahu kapan kita boleh pakai kata 'mi', 'ki', 'maki' tapi saya sudah bisa bilang 'tabek' dan 'cotonya nambah semangkok pake buras' he-he.

Kalau ada sumur di ladang, boleh mi kita datang berkunjung! :-)
 

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p