Monday, August 31, 2009

Seni berjoging

Olah raga apa yang murah meriah dan bisa dilakukan dimanapun termasuk di desa Limpung? (yang sarana olah raganya paling banter lapangan sepakbola?). Jawabnya lari pagi/sore (Bukan berenang. Kalinya pada surut kemarau panjang begini. Buat ngairi sawah saja susah, kalau cuma mau main air pun sudah harus bersaing sama bebek).

Maka, sebagai seorang yang sehat, atletis, puitis dan dinamis tapi nggak punya alokasi dana untuk bayar sanggar senam atau fitness centre (kalaupun ada, tapi sekali lagi, di Limpung cuma ada lapangan gundu), sayapun berlarilah.

Seni berlari-lari di Limpung sangatlah sederhana.

Pertama, pakailah kaos yang luar biasa komprang dan celama pendek yang susah dibedakan dengan celana panjang. Supaya tidak mengumbar syahwat? Bukan. Supaya nggak dihampiri tukang ojek dikira orang kesasar. Ini kata adek saya adalah pengamalan dari peribahasa 'dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung'. Jarang ada orang yang lari pagi dengan baju jogging model terbaru dan sambil mendengarkan iPod touch (lari apa mejeng sih). Kalau ingin lari dengan tenang, berbusanalah seperti orang yang mau ke pasar. Jadi kalo lari-lari paling cuma dikira ngejar bis omprengan.

Kedua, jangan asal lari. Lihat kiri kanan. Atas bawah. Kiri kanan kalau ada kendaraan lewat, soalnya nggak ada jalur pejalan kaki apalagi jogging track. Atas? Kalau ada blekok yang tiba-tiba buang air. Bawah? Banyak parit yang sudah ditumbuhi rumput. Tingkat kejeblos di kampung saya tinggi. Parit ini dibiarkan saja karena masih dibutuhkan buat cari kecebong kalo pas musim kering begini.

Ketiga, larilah bersama teman. Selain buat keamanan, teman adalah pengobar semangat persaingan. Meskipun dalam hati saya berpikir, "Aduh, saya capek banget. Rasanya sudah mau mati. Saya mau berhenti," tapi melihat teman saya masih tetap lari saya tengsin dan berusaha tetap lari. Padahal usut punya usut si teman yang udah ngos-ngosan itu juga berpikir, "Aduh napas saya udah Senin-Kamis, mau putus. Saya ingin berhenti," tapi karena saya masih berlari, semangat kompetisi pun muncul dan si teman ikutan berlari. Jadi kami pun berlari melampai kemampuan kami masing-masing kalau kalau saja lari sendiri-sendiri (berhenti tiap 30 detik sekali jadi 3 menit sekali, hehe). Coba kalau satu RT disuruh lari sama-sama, pasti dengan rasa kompetisi kami bakalan bisa jadi desa finalis PON 2009.

Keempat, jangan bawa duit sepeserpun. Ide ini selain didukung sepenuh hati dan jiwa oleh Papa saya yang penuh perhitungan, juga oleh jamu singset nyonya meneer yang berdiri sejak 1819. Apa pasal? Di Limpung kita bisa menemukan es dawet, es cendol, bubur kacang ijo kuningan, wedang ronde, es kelapa muda, dsb tiap jarak 5 meter. Kalau bawa duit yang ada bukannya berlari tapi wisata "kembung" kuliner . Karena es yang segar-segar ini bakal merayu kita lebih dahsyat daripada iklan sirup Marjan Boudoin.

Kelima, jangan pakai sandal jepit. Lho, katanya tadi harus berbusana seperti ke pasar? Iya, kecuali alas kakinya. Tetap pakailah sepatu seperti orang waras yang berolah raga. Soalnya sandal jepit gampang putus kalo kejeblos parit. Emangnya mau pulang telanjang kaki sambil nenteng sandal swallow yang kiri saja? (based on true story, berdasar pengalaman saya sendiri, sudah dibuktikan dan ternyata nggak elit sama sekali)

Friday, August 28, 2009

Gengsi itu letaknya di pantat

Jujur. Saya ingin curhat pada pembaca tercinta. Saya tidak bisa mengabaikan orang yang berkomentar kepada saya, " Jadi dokter kok mau-maunya kerja begituan," (padahal seingat saya belakangan ini saya nggak nyopet atau nyuri ayam). Saya tahu orang ini tandanya masih perlu banyak belajar.Tapi daripada saya simpan sendiri di dalam hati, lebih baik saya berbagi lewat tulisan. Mari kita ngobrol sedikit saja, kenapa sih orang begitu menganggap penting gengsi? Kenapa kalau ada dokter yang bawaannya motor keluaran tahun dua ribu dianggap 'tidak berkembang'? Kenapa kalau dokter yang mau praktek di desa kecil malah diangap bego? Kenapa dokter selalu diukur dari rumahnya, mobilnya, dan tetek-bengek aksesoris lainnya? Kenapa kalau dokter yang tidak berminat menapaki tangga karir, tapi cuma bekerja sosial, suka berkebun atau memasak malah selalu 'dirasani'?

Saya tahu ada profesi tertentu di dunia ini yang dalam job description tidak tertulisnya
adalah jaga image. Misalnya pemimpin agama, tokoh masyarakat, calon kades, bintang iklan, dan... dokter (duh!). Tapi saya masih ingin membela diri, menurut definisi saya orang kaya adalah orang yang punya pilihan. Nah, kalau orang menganggap jadi dokter artinya kurang lebih mampu secara finansial, tentu artinya dia bisa memilih mau pakai motor saja daripada ngutang buat kredit mobil, tinggal di desa supaya biaya hidup murah dan boleh dong kalau sekali-kali pergi ke kali pakai sandal jepit buat mancing atau numpang mandi di sumur umum? Tentu saja tidak ada yang bakal memarahi atau menilang saya karena saya toh tidak melanggar rambu-rambu lalu lintas apalagi ikut gerakan teroris. Tapi pandangan mata dan komentar itu membuat kenyamanan dan kenikmatan saya terganggu. Apalagi ada mulut yang luar biasa usil datang bertamu ke rumah, "Kok dokter nyuci piring dan masak sendiri? Nggak ada pembantu ya?" Saya cuma bengong kehabisan kata-kata (ada saran jawaban? nanti saya email ke si empunya mulut usil).

Sejak lulus kuliah dulu, saya sibuk bepergian sekaligus kerja. Pekerjaan saya beraneka ragam. Dari yang dokter ngamen sampai nyuci piring, ngepel dan mengurus anak cacat. Saya tahu kadang pilihan saya tidak biasa. Tapi saya merasa puas dan 'kaya' secara mental. Saya juga tahu apapun pendapat orang lain, tidak terlalu penting asal saya yakin pada apa yang saya kerjakan. Tapi terkadang, masalah gengsi-gengsian ini bikin kuping (dan pantat) saya panas. Kalau tuntutan gaya hidup dokter itu tinggi, kenapa pasien mengeluh kalau dicharge mahal? Gaya hidup itu ada harganya Bung! Kalau ada yang tidak mau repot-repot memenuhi standar malah dikomentari seolah-olah pertandingan sepak bola. Dulu, waktu saya masih imut dan lucu2nya, saya pikir waktu sumpah dokter itu janji kita adalah, "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan
," ternyata pada prakteknya saya malah disuruh bilang, "Saya akan membaktikan hidup saya guna kelihatan pantas sebagai dokter dan nggak mati gaya. Image dan gengsi saya akan saya utamakan,"

Saya (berusaha) tidak terlalu mikir apa pendapat orang terhadap saya. Saya juga tidak ingin dilabeli "best seller" atau disanjung.Saya cuma berpikir kalo jatah saya adalah jadi orang yang tidak segan-segan lepas sepatu dan mencelupkan kaki di lumpur. Saya bukan tipe karpet merah. Yang bikin saya nulis tentang ini adalah karena komentator saya bukan cuma ibu2 RT atau tetangga saya yang hobinya manggungin perkutut, tapi senior saya yang dokter spesialis dan kolega saya yang sudah "makan sekolahan". Jadi prihatin, kata embah saya sih, padi itu semakin berisi harus semakin menunduk. Saya ingin selalu menaruh gengsi saya di pantat, yang saya duduki. Kenapa? sebab kalau tidak, dia yang akan nangkring di kepala kita, memaksa kita buat berkokok keras-keras tiap pagi.

Sebetulnya alasan saya tidak menjaga gengsi bukan karena saya ini punya lingkaran cahaya di kepala. Alasan saya sepele: kalau kita merasa lebih tinggi dari orang lain, ketika ada yang lebih tinggi, kita akan merasa rendah. Kalau kita merasa sama tinggi terhadap semua orang, kita tidak perlu merunduk-runduk pada atasan. Hormat kepada semua orang tapi tidak ngesot di tanah dan bersikap 'sendhiko dhawuh' (siap bos). Jadi saya tidak merasa lebih baik daripada tukang cuci pakaian di kampung karena saya juga tidak merasa lebih rendah dari direktur rumah sakit atau Bapak rektor. Saya menghargai mereka semua sama derajatnya. Supaya, entah dimana pun dan kepada siapa pun, saya bisa berdiri tegak layaknya
Pithecanthropus erectus.

Thursday, August 27, 2009

(Lagi lagi) Tentang Bahasa

Alkisah, manusia hendak membangun menara yang tinggi sampai ke langit. Melihat kesombongan mereka, Tuhan memecah belah bahasa manusia. Ketika seorang meminta kayu, diambilkan palu. Ketika seorang meminta paku, diambilkan batu. Menara itu akhirnya tidak pernah selesai. Dan manusia di bumi pun berbicara dengan bahasa-bahasa yang berbeda.

Indonesia sendiri mempunyai ratusan bahasa daerah. Bahasa Yali di Papua adalah salah satunya. Bahasa ini hanya digunakan oleh suku Yali yang jumlahnya cuma beberapa ratus orang saja (katanya sih, Papua sendiri memiliki 400-an bahasa daerah!) sehingga tentu saja termasuk salah satu bahasa yang paling tidak berguna untuk dipelajari. Tapi ada pengecualian. Misalnya jika wawancara dengan pasien atau keluarganya menentukan 70% tegaknya jenis/penyebab penyakit. Sebagian besar orang Yali tidak bisa berbahasa Indonesia. Padahal saya jelas tidak bisa berbahasa Yali. Jadilah saya memakai penerjemah. Sang penerjemah biasanya menanyakan sesuatu, si pasien menjawab sesuatu disertai dengan menunjuk-nunjuk hampir seluruh bagian tubuhnya. Sang penerjemah bertanya lagi, kali ini dengan agak mengerenyitkan dahi, si pasien menanggapi dengan menggerak-gerakkan tanggannya lebih heboh lagi. Setelah beberapa menit berlalu, seperti seekor makhluk Uranus yang melihat acara debat dalam bahasa Star Trek, saya pun bertanya kepada sang penerjemah, apa yang dikeluhkan si pasien.

"Batuk," jawabnya singkat.

Saya sungguh mengagumi seni Bahasa Yali. Jadi apa saja yang perlu dibahas untuk menerangkan batuk dalam lima menit wawancara yang intens? Tukang jual obat kuat di pasar perlu belajar banyak. Singkat kata singkat cerita, saya mulai belajar Bahasa Yali. Nising'a artinya ibu, Nagni artinya bapak. Munggul artinya beringus, Holdung artinya batuk. Hol artinya menggigil, Ahanhan artinya demam, siak artinya sakit. An=saya, Hat=kamu, Hisanggo telinga, Hunggul kepala, huanggo artinya cacing, meb artinya darah. Hubet pagi, nukoho siang, hubmu malam. Ketia' artinya sekarang, mesia' artinya satu. Jadi kalau saya mau bilang, minum obat tiga kali sehari satu per satu: "Hubet nukoho hubmu mesia' mesia'," sambil memberikan obatnya. Oya, karena saya cuma mengerti sedikit kata-kata, tapi tidak tahu bagaimana cara membuat kalimat, saya menggunakan banyak bahasa isyarat yang mendukung apa yang saya mau. Jadi sebuah pertanyaan biasanya begini:

"Hat (tunjuk orangnya) Munggul? Holdung? Ahanhan?(bahasa isyarat pegang jidat) Hol? (bahasa tubuh goyang2) hisanggo siak? (bahasa Tarzan pegang kuping)? Hunggul siak? (pukul2 dada sambil garuk2 ketek, hehe)".

Meskipun sulit, ada bagian Bahasa Yali yang mudah. Untuk ucapan salam, selamat ataupun terima kasih, baik itu kepada laki2 atau perempuan, diri sendiri atau orang lain, pagi siang atau sore, katanya sama: Halabok. Setiap bertemu di jalan: Halabok! Mereka juga menggunakan kata ini untuk mengakhiri tiap kalimat, contoh: blablablayadayadayada, Halabok. Capcipcup, dagdigdug, blekuthukblekuthuk, Halabok. Duridamdamdududomdimdum, Halabok! Apapun yang mereka ucapkan, Halabok tidak terlupa, konon sebagai tanda hormat.

Terkadang dalam berbicara, orang terlalu sadar bahasa sehingga tidak terlalu perhatian pada isi pesan yang ingin di sampaikan. Hal ini terutama terjadi kalau orang sudah memakai bahasa bukan lagi untuk alat komunikasi tapi alat untuk unjuk diri. Memang, kadang saya juga suka menggunakan kata tertentu untuk menimbulkan efek tertentu, misalnya melebih-lebihkan atau mendramatisir suasana. Kata 'melolong' tentu terkesan lebih yahud menggambarkan seorang yang berteriak daripada cuma dengan kata 'menjerit'. Tapi kalau kita menggunakan kata muluk-muluk tidak perlu, tentu pesannya tidak tersampaikan ke orang lain, apalagi efeknya. Efek tidak mudeng bukanlah efek yang saya inginkan. Saya pernah membaca artikel di Kompas yang ditulis seorang Prof dengan 2 gelar di depan namanya dan 3 gelar lain di belakangnya. Artikel itu berbahasa Indonesia, tapi penuh dengan kata serapan dan anak kalimat yang panjang-panjang sehingga dari awal paragraf sampai titik terakhir saya sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan. Kalau menurut saya sih, tulisan di surat kabar seharusnya disesuaikan dengan bahasa awam sehingga bisa dimengeri orang banyak. Kalau hanya dimengerti oleh penulis sendiri, lebih baik nulis buku harian.

Terakhir, bila ada seorang teman yang tidak mengerti bahasa kita, pakailah bahasa yang dimengerti oleh semua orang. Saya pernah merasa 'teralienasi' karena teman-teman kerja saya di Papua suka berbicara bahasa Toraja satu sama lain. Kata sohib-sohib Toraja saya, tidak afdol kalau mereka tidak bercanda dalam bahasa daerah mereka sendiri. Saya cukup mengerti perasaan ini, karena keluarga saya sendiri tidak berbahasa Indonesia satu sama lain (tidak ada yang berbahasa Indonesia di Limpung, kecuali di dalam kelas. Pas pelajaran bahasa Indonesia). Kami selalu berbahasa Jawa dengan aksen Limpung. Tapi begitu ada pacar adek saya yang orang Bandung datang berkunjung, kita berusaha berbicara satu sama lain dalam bahasa Indonesia, karena kita tidak ingin membuat orang lain merasa tidak nyaman. Meskipun ini mungkin membuat kami merasa seperti dalam sandiwara radio:

"Mama, apakah engkau sudah merebus air untuk menjerang teh?"
"Sudah, anakku. Tapi hendaklah engkau berhati-hati saat menyeduh. Apabila ceroboh, kulitmu bisa melepuh,"
"Jangan berburuk sangka, mamaku. Aku selalu faham dan waspada. Aku hanya akan menyesap teh dari cangkir apabila airnya sudah mendingin. Dimanakah nasi yang kau buat, mama?"
"Oh, di dalam belanga anakku. Hati-hati sebab ia hitam berjelaga. Ambillah periuk dan tuangkanlah lauk. Makan siang telah tersedia,"

OK. Saya agak berlebihan. Intinya, saya cuma ingin bilang, hormatilah orang yang tidak mengerti bahasa kita. Dan kalau saya boleh sarankan, meskipun bahasa bisa menggambarkan tingkat pendidikan, tingkat sosial, ataupun tingkat prestise yang lain, fungsi utama bahasa adalah alat komunikasi. Janganlah dibikin sulit. Jangan suka mencampur-adukkan dengan bahasanya James Bond. Yang penting isi pesan tersampaikan, si penerima pesan paham. Setuju? Halabok!

Wednesday, August 26, 2009

Bau bau bau....Lu Bau XXX

Aku punya hidung yang sangat sensitif terhadap bau baik itu bau makanan, bau wangi maupun bau busuk. Tapi dalam kehidupan sehari2 aku lebih sering menjumpai bau2 yang tidak enak dan langsung membuat badan lemas, keringat dingin, jantung berdebar, mual dan gejala2 penyakit "bau phobia" lainnya. Mungkin Ria phobia teknologi, tapi aku phobia terhadap bau2 an yang busuk yang terpaksa harus tercium dalam jangka waktu lama. Aku membuat daftar bau2 an dari tingkat yang paling tinggi menurut sepanjang sejarah diriku mencium bau2 an ini:



  1. Yang nomer satu adalah.....jreng 10000x bau busway yang penuh orangpada waktu jam pulang kerja yang padat merayap. Bayangkan bagaimana suasana busway yang seharusnya kapasitas 85 orang tetapi diisi oleh ribuan orang. Dan di sore hari sepulang kerja, pastinya belum mandi dan belum ganti baju, semua berdesak2an di dalam busway. Ada yang pakai minyak wangi, ada yang nggak, kalaupun ada...para pemakai minyak wangi itu adalah surga dunia apalagi kalau sebelah kananku ada bau keringat yang prengus dan di sebelah kiriku ada yang rapi dan berbau wangi, itulah malaikat penyelamatku. Namun seringnya aku mendapatkan tempat yang berbau....misal aku sedang duduk dan di depanku ada bapak2 dengan kaos dekil yang keteknya bolong. Dia bercucuran keringat dan ga bawa tisu...keringatnya bukan cuma yang bercucuran namun juga keringat di baju yang sudah mengering...OMG...bayangkan baunya...pingsan deh.


  2. Bau halte busway Dukuh Atas atau Harmoni pada waktu jam pulang kerja dan penuh sesak orang2 yang sedang ngantri busway yang datangnya 1 jam sekali. Suasananya seperti di dalam kaleng sarden. Halte busway tidak berAC dan karena suhu Jakarta tidak pernah kurang dari 25 derajat Celcius, sudah layak dan sepantasnya orang2 yang antri busway itu bercucuran "lagi2" keringat. Aku pernah mengalami kejadian yang bikin aku trauma ngantri di halte Harmoni. Jadi waktu itu aku pulang kerja waktu jam sibuk pulang kerja. Sampai di halte Harmoni, aku harus ngantri lagi busway ke Kalideres. Penumpangnya sangat banyak dan aku terjepit di tengah2...seperti buah simalakama,mau ngantri terus suasana panas, bau keringat tapi mau mundur ga bisa lagi. Akhirnya aku pasrah saja sambil menghitung domba...sampai kapan penderitaan ini berakhir. 1 jam kemudian baru aku bisa dapat giliran naik busway.


  3. Bau Umbel. Bagi yang tidak tau umbel=ingus. Kalau seseorang panas dalam atau belum gosok gigi atau sakit pilek, bila kita berada dalam jarak tembak dia buang napas pasti akan tercium suatu bau yang menyengat dan aku sebut bau umbel. Walaupun aku sendiri juga pernah bau umbel tapi aku paling tidak tahan sama orang yang bau umbel. Pengalaman paling menderita itu waktu aku sedang mengikuti ujian di SMP. Waktu itu aku duduk di samping kakak kelas yang kayanya bau umbel plus bau rokok. Matilah diriku...ga bisa konsentrasi...karena konsentrasi bau umbel itu mengalahkan konsentrasi kewarasan berpikirku.


  4. Bau asap bajaj yang oranye atau bau asap bis umum yang emisinya ga pernah dirawat berabad-abad. Di Jakarta yang tidak tercinta ini banyak sekali sumber polusi di jalan raya. Dan yang paling keterlaluan itu adalah bau asap yang hitamnya mengalahkan air kali loji. Aku takut banget kalau mencium asap itu mempengaruhi kecerdasan otak karena kata seseorang teman, kalau kebanyakan mencium bau busuk akan mempengaruhi kinerja otak....atut....tolong dong mentri perhubungan harus bertindak tegas membasmi sumber2 asap hitam perusak kecerdasan bangsa.


  5. Bau rambut yang belum keramas seminggu. Rambut yang lepek berminyak dan bekas memakai minyak rambut engkong2 dan belum keramas seminggu akan menghasilkan bau yang sungguh luar biasa...cobalah!


  6. Bau toilet yang ga disiram. Ini sering aku jumpai di kantor...dimana ada toilet yang tutupnya diturunkan, 90% ada ranjau di toilet itu. Jangan coba2 anda membuka karena akan menyebabkan kemualan dan hilang napsu makan.


  7. Bau terasi. Bau terasi ada dua macam yaitu bau terasi yang terbuat dari udang atau bau terasi yang muncul dari kaki manusia. Kakiku sendiri juga kadang2 bau jadi aku tidak menyalahkan atau mendiskriminasikan orang2 yang bau kaki, namun tetap saja jika anda di kantor sedang berkonsentrasi kerja tiba2 ada orang di sebelah anda yang bau kaki pasti langsung buyar.


  8. Bau tanah...ini adalah bau yang paling menyeramkan...karena jika anda sudah mencium bau tanah berarti sebentar lagi maut menjemput. Jadi waspadalah jika ada orang mengatakan anda bau tanah itu berarti orang tersebut punya maksud jahat terhadap anda. (joko sembung bawa tanah)

Monday, August 24, 2009

Fobia Teknologi?

Saya harus mengakui bahwa saya menderita gaptek kronis. Bukan cuma tidak sanggup mengutak-atik komputer atau tidak jago menjelajah dunia maya, saya bahkan tidak bisa mengoperasikan mesin cuci, tidak bisa mengganti kantong penyedot debu dan memecahkan rekor terlama dalam mengetik SMS! (yang bisa ngalahin saya mungkin cuma embah Dikir, kenalan satu RT yang baru punya HP tapi tangannya sudah buyutan). Alhasil saya terpaksa ngucek dengan tangan, mengusir debu dengan kemoceng dan sekarang latihan mengetik satu jari (pake jempol).

Waktu saya masih SD dulu, saya pernah mimpi buruk yang membuat saya bangun dengan napas ngos-ngosan
dan lari ke kamar ortu (akui saja, ini yang dilakukan kalau membalik bantal juga percuma kan?). Meskipun bete karena dibangunkan, orang tua saya sempat bertanya saya mimpi apa. Monster? Setan? Penjahat? Kuntilanak? Pocongan? Guru SD? Bukan, jawab saya, saya mimpi ada mesin yang besar, bunyinya memekakkan telinga dan lampunya berkedip-kedip. Saya menekan tombol off tapi mesin itu tidak mau mati. Saya menekan semua lampu hijaunya tapi mesin itu tetap hidup. Saya mencabut kabelnya tapi dia tetap menyala (waktu itu tidak ada HP ataupun laptop, setahu saya semua mesin akan mati kalau kabelnya dicabut). Saya merasa tidak bisa mengendalikan mesin itu. Suaranya makin keras, lampunya menyala makin terang. Saya ketakutan setengah mati. Jadi menurut saya sendiri, saya sudah takut sama yang namanya teknologi sejak masa kanak-kanak (kata Sigmund Freud sih, semua mimpi punya nilai psikologis).

Entah benar entah tidak, yang jelas saya paling tidak berjodoh dengan yang namanya HaPe. Pertama kali saya punya HP adalah 10 tahun yang lalu, ketika saya baru masuk universitas. Sejak it
u saya sudah kehilangan, merusakkan, ketinggalan atau kelupaan HP tak terhitung kali. Sampai teman saya bilang, "Apa sih yang tidak mungkin terjadi sama Ria?" gara-gara kisah hidup HP-HP saya yang tragis:
  • HP pertama saya rusak karena kelindes mobil. Bagaimana bisa? Anu, saat itu saya lagi parkir motor dan tas saya yang dijepit jatuh ke lapangan parkir. Pas waktu itu ada mobil juga lagi parkir dan terlindaslah tas saya. Isi yang lain tidak masalah, tapi HP saya tutup umur saat itu juga.
  • HP kedua saya kerendam air laut. Waktu itu saya pergi ke pantai dan main air. HP saya taruh jauh-jauh di dekat pohon kelapa. Tapi saya keasyikan sampai lupa waktu airnya pasang...
  • HP ketiga saya tiba-tiba hilang tak tahu rimbanya. Saya suka ketinggalan barang-barang. Ibu saya bilang, kalau hidung saya tidak nempel mungkin saya bisa lupa taruh. Nah HP ini hanyalah salah satu contoh barang yang semula ada, tiba-tiba tidak ada. Mungkin ini termasuk pengalaman saya yang 'supranatural'.
  • HP keempat saya kecuci di mesin dan waktu dipakai lagi layarnya rusak. Masih terbaca tapi tulisannya putus-putus seolah gambar hologram. Jadi waktu mau nelpon teman ujian malah nyambungnya ke tukang fotokopi deket kampus, pas mau ngucapin met ultah sama orang tua malah nyambungnya ke dosen pembimbing karya ilmiah. Akhirnya HP ini saya PHK dengan tidak hormat.
  • HP kelima, keenam, dan ke selanjutnya sih biasanya tertinggal di salah satu sudut bumi waktu saya traveling. Biasanya ini akibat saya men-charge HP di resepsionis atau tidak mengepak HP bersama barang lain karena dipakai sebagai weker! Saat-saat ini HP saya selalu seken dan berlayar monokrom (serius! HP bagi saya alat komunikasi, bukan gaya hidup, andai kentongan dan merpati pos sefleksibel HP pasti saya sudah pilih salah satunya).
Kalau saya begitu tidak berjodoh dengan HP, kenapa masih saja punya HP? Alasannya sederhana, orang tua saya selalu ingin bisa menghubungi saya dengan mudah. Kalaupun HP saya hilang/rusak/tertinggal untuk kesekian kalinya, orang tua saya akan memberi HP butut untuk saya pakai dengan setengah memaksa. Teman-teman saya mengeluh betapa susahnya menghubungi saya karena tidak ada HP yang pasti. Saya akui, kadang saya butuh HP kalau saya ingin janji bertemu dengan seseorang tapi waktunya belum jelas. Pernah suatu kali saya pulang kemalaman dan teman saya cemas bukan kepalang. Padahal saya cuma sedang dalam perjalanan. Dia sampai menitip pesan pada petugas kereta (Pak tolong kalau ada orang celingak-celinguk kebingungan baru turun dari kereta), lalu menulis papan petunjuk jalan tiap radius 10 meter bunyinya, "Ria, alamat saya 14 Warham Rd," lalu papan lain, "jalan terus, nomernya 14," lalu beberapa langkah kemudian, "lewat sini," dan "Ini rumah saya," Faktanya, saya ini buta arah dan tidak bisa baca peta. Saya hobi kelayapan sendirian. Dan saya nekat tidak punya HP.

Tapi ada untungnya juga jadi orang yang tidak kecanduan HP. Ini memungkinkan saya tinggal di daerah terpencil di daerah pegunungan Yahukimo, Papua. Di tempat ini, satu-satunya alat komunikasi adalah radio transistor yang hanya dibuka dua kali sehari selama satu jam, dan masih harus bergantian dengan penduduk dan pengurus gereja. Jadi kalaupun berinteraksi dengan dunia luar saya cuma bicara tentang minta obat, jadwal penerbangan (satu-satunya alat transportasi adalah pesawat baling-baling twin otter), dan kalau merujuk. Memang, saya agak kesepian. Tapi saya bisa bilang bahwa saya bisa hidup tanpa HP.

Ralat. Saya bukannya bisa hidup tanpa HP. Saya
menikmati hidup tanpa HP. Saya merasa memegang kontrol, kapan saya ingin dihubungi/berbicara dengan orang lain dan kapan saya ingin tinggal tenang sendiri. Orang bilang saya eksentrik. Alasannya, saya pilih yang susah meskipun ada teknologi yang mudah (saya suka menulis surat dan mengirimkannya lewat kantor pos). Benarkah teknologi itu mudah? Pernah suatu kali saya harus menulis surat resmi. Pertama harus diketik dengan komputer. Kedua diprint. Kedengarannya sederhana. Tapi, apa yang terjadi kalo printer kita ngadat? (konon head-nya rusak). Saya pergi ke persewaan komputer terdekat. Print tiap halaman seribu rupiah, berwarna tiga ribu. Okelah. Tapi begitu data saya dipindah, format dokumennya berubah. Saya harus edit lagi. Begitu di print, warna gambarnya tidak sesuai aslinya, karena salah satu warna tintanya menipis. Saya pindah ke tempat pengetikan yang lain dan malah format gambarnya yang berubah! Belum lagi kalau waktu dipindah malah data kita yang kena virus. Oke, memang saya gaptek. Tapi kalu saya dizinkan menulis dengan tangan, mencetak fotonya di percetakan foto biasa dan menempelnya di surat manual jadul saya, mungkin prosesnya sudah selesai sejak dulu. Dan saya tidak capek hati.

Bagaimana dengan blog ini sendiri? Ide menulisnya memang dari kami berdua, tapi perancang dan pembuat blognya adalah seorang manusia hi-tech bernama Kristina Melani Budiman (KMB). Saya cuma posting saja. Itupun, waktu dia kasih lagu tema yang bisa diganti-ganti, saya terkaget-kaget
setiap kali buka blog, karena ada lagu yang tiba-tiba keluar entah dari mana (tiap online saya buka beberapa file, antara lain: email, facebook, picasa dan sebagainya). KMB (28) adalah orang yang berkebalikan dari saya dalam hal teknologi. Dia sangat cepat mempelajari sesuatu yang baru, cepat terbiasa dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya bisa mengoperasikannya secara maksimal. Ini tanda bahwa dia quick-witted (alis lancip) dan tidak fobia teknologi.

Saya suka baca buku. Tapi saya benci baca buku yang satu ini: buku manual. Teknologi memang memudahkan, tapi kadang juga menyulitkan. Terutama buat yang gagap plus keteteran seperti saya.

Sunday, August 23, 2009

Unemployed, Penniless and Proud (for Juan)

I arrived at Jakarta Sukarno Hatta, Indonesia, one day before our independence day. I supposed to feel a hint of excitement, good spirit. Alas, a crowd kept bumping against me as if I was invisible. In England people automatically apologise whenever they rub elbow against each other. As a result of a year of practising, I kept saying sorry no matter how hard they ran over me. I suspected this was the reason why I got off from the airport with mild-severe bruises all over. But it was all made up by the scent of food. Real food! Hot, spicy, greasy, strong flavoured, Indonesian heavenly food pampered my taste buds and all injuries were forgiven. This is my country anyway and it just took me a few seconds to get used to the noises, the humidity and the street hawkers who shouted to my ears as though they were sure I had hearing impairment since born (let alone personal space, space only means something extra terresterial here).

In two following days was the beginning of Ramadhan, the month of feasting. It's the month before Idul Fitri (Eid ul-Fitr), the biggest muslim holiday, also the biggest holiday of my beloved country. I didn't realise this until I wrote letter to my teacher at university. "We will discuss about your job after Idul Fitri," he replied. After Idul Fitri! After about two months! Everything is at a pause at the moment. What shall I eat in two months? I was quite confident about my job that I spent my last few pounds of pocket money to buy Chinese food take away in every mealtime for my last six days in Wakefield!


Have no money to my name, now I'm living with my parents. I was trying to get money from them, by helping them run our home industry. But since I was always away for going to university, doing the government employment scheme, volunteering in England, etc. I've never been involved in their business. I am totally clueless to help them with their job. Soon I was subtly made redundant in order to prevent further calamity. Nevertheless I want to keep myself busy. I checked my email every 5 minutes. Then every 2 minutes. When I found no new message anymore, I became a bit lonely. So I checked my sent items, counting how many wrong spellings I made in each letter. It was surprisingly a lot. I must bear in mind to use spelling check everytime I write an email, otherwise it will be quite embarassing (or I just phonecall them to avoid misspelling). But then I got pretty bored to read mails that the message I've already known. So then I checked my spam box. It was more interesting. From Martin Money tips I knew that there is 2for1 offer for NatWest Pro40 cricket tickets,
valid for 16 different matches across England, taking place between 4 Aug and 13 Sept. The tickets cost £12-£15 so it was quite a bargain! If only I knew what cricket is! (and if only I was in England). Then there were also an offer from telemarketing ("Work from home recruitment: You are hired!") and matchmakers website ("Daters wanted: Flirt with sexy singles"). How do they know my email address? I believe they sent these mails randomly because I don't want to take this personally.

Facebook is currently a huge popular phenomenon in Indonesia, because we can check it every single second from our mobile phone like nervous ticks. So, to be online on Facebook has become a very moment habit. I got into this social network to catch up with friends, besides I have the whole time in the world to socialise at the moment. I wrote on several walls, made comments on almost every status and pictures, sent messages to close friends and searched for friends from elementary school (found it hard to remember exacly their full name, turned out that mostly people sign up with different name). At first it was entertaining. I got responses. I got a lot of responses. But then I was confused to whom I chatted about what, which subject I discussed with who, whose weird picture I made funny comments on, which news I've already passed on whom, who I tagged and who tagged me? I suddenly realise that some questions were similar and I was tired to type the same answer. I decided to copy and paste the answer. I was loosing my interest sooner than later, I moved on more conventional but also more personal and direct device to socialise with friend: telephone.

Yet the conversation sadly went like this:
Me : Hello friend, how are you?

My friend : Hey Ria, what have you been doing lately?

Me : Nothing, I'm just messing about in my parents' house.

My friend : But you're back at home now, right,...no, not that one, the other one, ask him to wait...yes...errr....Ria, hang on a minute, I've got to go. Could you call me again later? I have a impatient patient at the moment.

Me : That's fine. Talk to you later.

My friend : Bye. See you in a bit.

And that's how my friend saved the world. I hung up and went to see what food my parents have in their fridge.

People say that idleness is the root of evil. That's why I made every effort not to waste my time doing useless things, e.g. picking my nose or teaching my dog to pick his nose. I made use of my time efficiently. Early in the morning, after running to the nearest street market (no, it's not jogging. The most fresh fish only available in the early morning. I always wake up late so I must run before I run out of fish) I will have a cup of jasmine tea and vigourosly do the washing up. Later on, I mop the kitchen floor (I always make a mess although I only fry an omellete) and straightly clean the sink drain (I always forget to put the leftover into the bin before putting dishes in the sink). I will have a long shower and then read my books (pretend to my parents that I am studying). I'll cook the fish for lunch and happily have lunch just after midday. When the clock hit 2 pm I will be a bit tired and full, the sun will be fiercely hot and my room is brisk with the blowing wind. Time for siesta! I will sleep for adequately two or three hours before I go for a walk in the evening, when street-food vendors are alive with various kind of evening meals. I will have dinner with my family in one of this place, prior to watching television. I will read a few more paragraphs before going to bed at about midnight. I have to say that this is a wonderful world. I might not be filthy rich at the moment, but I guess this is what middle-classes like me do on holiday (in their parents' house). Now I can make my own statement: half-idleness is a bliss.

Saturday, August 22, 2009

Percaya atau tidak percaya?

Di film Ice Age 3: The Dawn of The Dinosaurs ada adegan ketika seekor Tyranosaurus Rex datang mencari anak-anaknya yang "dicuri" Sid. Waktu debum kaki si T-rex semakin dekat dan raungannya menggetarkan bumi, Manny berteriak, "Semuanya jangan menggerakkan satu ototpun!" dan semua binatang kontan diam membeku, kecuali Sid. Saya tidak mau bercerita tentang film ini sampai akhir (syukurlah). Yang saya ingin bahas adalah rasa percaya. Ketika bahaya datang mendekat dan seseorang justru bilang, "Jangan bergerak, jangan melarikan diri!" berapa besar kepercayaan kita untuk menuruti nasehat semacam itu? 'It's difficult to muster sufficient faith in this piece of advice,' kata Bluebear dalam buku the 13 1/2 lives of Captain Bluebear.

Faith (noun): Confident belief in the truth, value, or trustworthiness of a person, idea, or thing.-The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition.

Saya sendiri belum pernah dikejar T-Rex. Tapi pernah suatu saat saya digonggongi anjing. Anjingnya besar, giginya runcing-runcing dan liurnya menetes-netes. Waktu itu saya tidak bisa membedakan antara anjing gila dan anjing yang terlatih mengintimidasi orang tidak dikenal (sekarang juga tidak bisa, toh hasilnya tetep sama:nggonggongin juga). Ketika yang punya anjing bilang, "Jangan lari, diam saja!" Nasehat ini mungkin 100 % benar tapi insting saya seperti naluri hewani lainnya adalah fight or flight. Fight sama si buldog jelas tidak mungkin, jadi pilihan kedua adalah lari tunggang langgang sambil mangap-mangap dan tangan yang melambai-lambai mencari berangus. Tapi pada akhirnya karena si pemilik mendekat dan gonggongan si buldog mereda, saya berhasil mengendalikan diri untuk tidak memanjat pagar rumah tetangga. Si empunya bilang lagi, "Dia kan cuma belum kenal. Kalau lari malah dikira pencuri nanti dikejar," Wah, kalau mau kenalan bukannya harusnya ramah sedikit, kalau tidak kafilah saja akan berlalu. Singkatnya, nasehat ini menyelamatkan saya dari mempermalukan diri sendiri karena dikejar-kejar anjing. Tapi seberapa besar kemampuan saya untuk berdiri tenang kalau saja anjing itu tetap di sana dan saya sendirian?

Hal ini sama seperti ketika segalanya terasa tidak sesuai dengan keinginan, seberapa besar saya percaya dan terus mencoba? Sebetulnya kalau saya melihat ke belakang, banyak hal yang dulu sulit terbayangkan tapi sudah terjadi sekarang. Hanya karena saya melalui setiap prosesnya, bukannya instan bim salabim, saya merasa setiap hal yang saya capai adalah 'sudah seharusnya'. Baru-baru ini saya mempunyai rekan kerja yang selalu membuat hidup saya di tempat kerja nelangsa. Dari tidak menghargai, bicara kasar sampai membuat pekerjaan saya harus diulangi dari awal, semua pernah dia lakukan. Waktu itu semua terasa sangat berat apalagi mau tidak mau kami harus bekerja bersama. Rasanya kalau saja pembunuhan itu legal....

Tapi hati kecil saya bilang untuk memaafkan, bahkan seharusnya saya kasihan pada orang ini. Orang ini pasti penuh dengan sakit hati dan ketidakpuasan sehingga tidak bisa melihat kebaikan orang lain. Memang benar, atasan dia langsung adalah orang paling tidak peduli jadi saya paham bahwa pekerjan dia pastilah lebih berat. Karena sikapnya yang tidak rendah hati, dia juga tidak punya banyak teman. Tidak seorangpun akan mengunjunginya sekedar menanyakan apa kabarnya. Seorang teman saya yang saya curhati bilang, dia jelas-jelas iri hati. Karena apa? Saya tidak menemukan alasan apapun untuk orang waras merasa iri hati pada saya, yang waktu itu sedang krisis finansial, krisis percaya diri, krisis hubungan romantis, dan krisis semangat kerja (berkat dia juga). Bisakah kita tetap mengerjakan tugas kita tanpa berusaha bersaing dan menjatuhkan, ketika keadaannya sangat tidak menguntungkan?

Inilah ketika kita butuh percaya saja. Tetap melakukan yang terbaik tapi hasilnya tidak perlu dikhawatirkan. Entah dia yang dipuji atau orang bisa melihat saya telah mengalahkan rasa marah dan ego saya sendiri, itu bukan urusan saya. Pada akhirnya saya merasa bahagia setelah melewatinya tanpa marah-marah atau berbuat sesuatu yang tidak bermartabat. Saya lebih baik dari itu. Saya tidak mau terlibat dalam permainan bodoh karena saya punya cara sendiri dan saya melakukan apa yang saya percaya baik. Orang Jawa bilang, 'Dedalane, guno lawan sekti, kudu andhap asor. Wani ngalah luhur wekasane. Tumungkulo yen dipun dukani. Bapak den simpangi, ono catur mungkur,' Itu tembang mocopat dan saya tidak benar-benar tahu arti tiap katanya, tapi intinya adalah untuk melawan keangkuhan, jadilah rendah hati. Orang yang mengalah tinggi budi pekertinya. Tunduklah bila ditegur dan merendahlah bila dipuji.

Dalam budaya tempat kerja saya, mengalah berkonotasi negatif, seperti lemah atau kalah. Tapi saya rasa tidak selalu begitu. Kalau orang mencari gara-gara dengan bertingkah, menghindar dan melakukan yang lain bukan berarti membiarkan orang lain menang melainkan memutuskan pengaruh orang lain kepada kita, demikian mereka tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya orang ini tidak pernah menang, karena kami tidak bertanding. Sayalah yang menentukan, kemenangan macam apa yang ingin saya peroleh. Bukan, bukannya orang ini diusir dari tempat kerja dan saya naik pangkat (emangnya sinetron). Saya menyadari kemudian bahwa saya beroleh banyak teman yang sepaham dan peduli pada saya, karakter yang lebih matang dan pekerjaan yang lebih baik. Karena saya memutuskan untuk tidak lari dikejar anjing.

Percaya itu sulit di kala keadaan tidak tampak menjanjikan. Dalam situasi yang sepertinya tidak mungkin, yang kita perlukan adalah tetap melakukan yang perlu kita lakukan secara benar, tidak peduli hasilnya. Teman saya yang ingin bekerja di Skotlandia bersama kambing gunung belum bisa mewujudkannya sekarang, tapi dia tetap percaya suatu saat akan tercapai. Waktunya bukan tanggung jawab kita. Percaya karena kecuali kita paranormal, kita tidak tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang. Waktu kita menengok kembali, kita mungkin paham bahwa semuanya merupakan fase-fase yang memberi warna dalam hidup. Jangan sampai kita menyesal terhadap pilihan yang kita buat.

Friday, August 21, 2009

Bibit bobot bebet, suku agama ras dan antar golongan

Seorang teman saya pernah bilang bahwa kita selalu menilai orang lain. Ada ukuran yang dipakai untuk menentukan 'harga' setiap orang. Bukannya semua orang itu sama harkat, martabat dan derajatnya? Seharusnya begitu, tapi kenyataannya men are equal but some are more equal than others. Mungkin kita tidak ambil pusing apakah kita ini golongan menengah ke atas atau meminggir ke samping. Tapi kadang menyedihkan ketika kita dipaksa untuk menerima sistem kasta modern yang disamarkan menjadi derajat sosial mau atau tidak mau. Saya bicara tentang gosip ibu-ibu RT: masalah mencari jodoh.

Seolah-olah menjalin hubungan itu tidak cukup sulit, kita masih juga dibebani dengan pertanyaan: Apakah orang ini 'seimbang' dengan saya? (atau lebih tepatnya seimbang menurut penilaian masyarakat). Apa tingkat pendidikannya, siapa orang tuanya, apa pekerjaannya, berapa penghasilannya per bulan, apakah dia sudah mapan, apa agamanya, apa sukunya, apa rasnya, siapa yang dia dicoblos waktu pemilu? Ini adalah pertanyaan yang wajar entah dibelahan dunia manapun. Adalah dorongan naluriah untuk memilih pasangan berdasarkan kekuatan dan kekuasaannya. Saya yakin manusia gua jaman dulu akan memilih pejantan yang bisa melempar lembing paling jauh karena diyakini ia akan memenuhi kebutuhan makanan dan daging buruan selama mereka hidup. Sekarang, beribu tahun kemudian, dorongan ini tetap sama, ini menjelaskan kenapa Sultan Brunei bisa gonta-ganti istri dan si gaek Nicolas Sarkozy bisa beristri Carla Bruni. Saya lumayan yakin tidak seorangpun kebal terhadap pengaruh nilai-nilai masyarakat dalam memilih pasangan. Siapa tidak ingin punya cewek langsing, tinggi, sexy, cakep, pinter, kaya? Siapa tidak ngiler dengan cowok ganteng, baik, manis, pengertian, berotak encer, berkarir sukses dan berpenghasilan mantab? (pake b, supaya lebih jelas, bukan kesalahan ejaan). Barangkali kita bisa bilang, tidak selalu minta yang begitu kok. Tentu saja, ini hukum tawar-menawar. Apa yang kita punya, apa yang kita harapkan. Kalau misalnya seseorang termasuk kasta sudra, tentu tidak mengharapkan pasangan kasta ksatria. Bedanya tipis, sekarang ida ayu dan ida bagus digantikan oleh omset dan balance tabungan, profesi dan mobil tunggangan. Kita beralih ke pilihan kedua ketika kita sadar tidak sangggup membeli pilihan pertama. Tapi memang benar, kita tidak melulu menilai dari sudut ekonomi. Ada yang lebih lumrah dari itu: suku dan agama dan ras dan antar golongan. Saya mengerti kalau pertimbangan agama mungkin masuk akal, karena kepercayaan itu mempengaruhi cara pikir. Tapi biarlah kedua orang yang menjalin hubungan memutuskan sendiri apakah mereka bisa menerima perbedaan kepercayaan daripada orang lain yang menentang. Toh apapun yang terjadi dalam rumah tangga itu tanggung jawab orang yang berumah tangga, bukannya tanggung jawab tetangga. Bagaimana dengan suku, ras dan golongan? Teman saya berkilah bahwa latar belakang keluarga mempengaruhi tabiat seseorang. Ras tertentu memiliki budaya yang berbeda yang susah diterima ras lain. Bahkan partai politik yang dia pilih mewakili cara pandang dia terhadap kehidupan (ini lebih ke partai politik di negara maju, misal: konvensional atau buruh). Ini tentu saja benar. Tapi saya kira ini termasuk perbuatan pukul rata (generalisasi) dan mengurangi penilaian terhadap pribadi seseorang. Kita memang punya bagian yang mewakili suku, agama ras dan golongan kita, tapi juga kita adalah minoritas dari satu. Unik. Kalau kita menggunakan pengelompokan ini sebagai salah satu alat ukur dalam memilih pasangan, tentu kesempatan kita untuk mendapatkan pribadi terbaik akan lebih sempit.

Tidak bisa dipungkiri, apa yang kita hargai dan apa yang kita kagumi memberi andil cukup besar terhadap pilihan yang kita buat. Misalnya orang yang menghargai pengetahuan, akan mudah tertarik pada seseorang yang pintar. Orang yang menghargai kepercayaan diri, akan tertarik pada pribadi yang kuat. Orang yang spiritual menghargai pasangan yang berpikir mendalam. Ini menjelaskan kenapa orang tertarik pada orang yang kurang lebih setipe. Menurut saya ini sepenuhnya wajar. Yang menyedihkan adalah ketika suatu hubungan harus didikte oleh nilai-nilai yang ditentukan masyarakat, orang tua atau sanak saudara. Saya berpikir kalau kita mencintai keluarga kita, berarti kita menghargai pilihan mereka, bukannya memberi tahu apa yang membuat mereka bahagia. Setahu saya, menjalin hubungan itu sudah cukup sulit dengan konflik antara dua pribadi tanpa harus dicampuri ayah, ibu, teteh, A'a, opung, opa, nenek, Oom, tante dan pak RT. Jadi orang-orang tua seharusnya membiarkan anak-anak ini belajar sendiri, jatuh bangun sendiri dalam menjalin hubungan sampai mereka belajar untuk tahu apakah hubungan yang benar itu. Memang mungkin menyakitkan melihat proses putus sambung, tapi seperti kata Rinso, kalau tidak ada noda yang nggak belajar. Biasanya, yang menjadi pilihan hidup tidak ada hubungannya dengan kriteria ukuran diatas, namun kematangan dan kesiapan pribadi lepas pribadi.

Kapankah orang bisa jatuh cinta dengan spontan dan jujur seperti anak-anak yang tidak memperhitungkan bibit bobot bebet, suku agama ras dan antar golongan?

Grown-ups never understand anything by themselves, and it is tiresome for children to be always and forever explaining things to them. Antoine de Saint Exupéry

Thursday, August 20, 2009

Alasan untuk tidak kaya

The chief value of money lies in the fact that one lives in a world in which it is overestimated.
H. L. Mencken
US editor (1880 - 1956)
Sesaat sebelum saya pulang kampung, saya menyempatkan diri mengecek tabungan. Saya sungguh terkagum-kagum pada kemampuan saya untuk menghabiskan uang tanpa disadari (ini seperti berjalan sambil tidur). Saldonya nyaris nihil dan tidak satu pence pun bisa saya tarik dari ATM karena di luar batas minimum. Rasa-rasanya saya tidak belanja apapun belakangan ini. Kemudian saya ingat bahwa saya lumayan banyak bepergian. Tiket kereta, bis, biaya makan, jajan dan telepon semuanya berperan serta melangsingkan saldo tabungan saya. Pupuslah sudah harapan saya untuk menjadi TKW yang mabrur.

Belakangan ini saya berpikir bahwa saya bisa hidup layak tanpa ambisi jadi miliuner. Maksud saya, kebutuhan pribadi saya bisa tercukupi dengan kerja yang tidak terlalu memakan waktu (seperti jaga 24 jam), ataupun pekerjaan yang bergengsi (jadi dokter bedah saraf atau model internasional), ataupun menjadi wirausaha sukses yang omsetnya puluhan juta per hari (pemilik saham indofood atau galery lafayette, mungkin). Ini saya sadari ketika saya menerapkan hidup berburu dan meramu secara nomaden. Tiap kali saya pindah, saya hanya membawa sebagian dari harta benda saya yang saya anggap penting dan memulai hidup di tempat lain. Apakah saya membawa semua koleksi buku, baju, sepatu, topi dan tas saya? Inginnya sih begitu (sebagai kaum hawa sejati yang instingnya bersarang). Tapi pada kenyataannya saya tidak sanggup membawa semuanya. Bukan hanya alasan ekonomis atau praktis, tapi juga hal ini tidak realistis. Kecuali saya mau memulai kehidupan dari nol di hutan belantara (yang mana saya perlu alat pemotong kayu, pematik api, tenda, alat-alat untuk memelihara ternak serta alat-alat bertani) saya cuma perlu membawa kebutuhan primer saja. Dan anehnya yang saya bawa pada akhirnya hanya surat-surat, barang-barang kenangan dan buku harian, disamping beberapa gelintir baju yang cukup untuk berganti sesudah mandi.

Saya bukannya anti belanja. Saya percaya membeli barang baru itu memberi kebahagiaan tersendiri, teman saya bilang ini "shopping therapy". Yang saya sesali adalah fakta bahwa sekitar 80% barang yang saya beli adalah barang yang tidak pernah saya pakai atau cuma penghias rak dan lemari (ini tidak berlaku untuk barang yang benar-benar hiasan, seperti patung tembikar atau bebek porselen). Saya punya sekitar dua puluhan pasang lebih sepatu (memang bukan apa-apa kalau dibanding Imelda Marcos) tapi ada berapa sih kaki saya? Apa perlu saya memakai sepatu yang beda-beda tiap hari yang tidak pernah berulang tiap bulannya? Dan tas tangan. Sebetulnya sangat berisiko untuk memiliki beberapa tas tangan. Barang-barang penting seperti dompet atau kartu identitas bisa terselip di satu tas sementara kita sedang menggunakan tas lain. Belum lagi bicara baju yang trennya berganti tiap beberapa bulan. Banyak pembelian yang saya lakukan adalah pembelanjaan yang sia-sia. Saya punya setumpuk DVD yang tidak pernah saya tonton. Beberapa buku yang belum terbaca. Baju yang bagus tapi tidak bisa dipakai kecuali dalam acara tertentu. Dan sepatu keren yang tidak nyaman dipakai berjalan. Seorang kenalan saya punya home theatre dan berlangganan TV kabel, tapi tidak pernah ada waktu untuk menikmatinya karena sibuk kerja.

Berburu barang murah atau diskon atau sale atau apapun namanya memang menyenangkan. Tapi seberapapun murahnya, tiap pembelian adalah pengeluaran juga. Jadi pertimbangan sebelum membeli barang adalah kebutuhan, bukan 'mumpung diskon'. Sebenarnya kita dibombardir dengan bujukan, rayuan dan ide-ide bahwa kalau kita tidak membeli deodoran merk tertentu, adalah mustahil untuk menerima ketek kita apa adanya. Iklan telah membentuk kita sedemikian rupa sehingga kita nyaris yakin bahwa kita tidak bisa hidup tanpa HaPe, tanpa ringtone, tanpa Mc Donald, tanpa indomie ataupun kacang dua kelinci. Bahwa menemukan pasangan ada hubungannya dengan menemukan krim pemutih kulit yang sejati. Sungguh, marketing itu luar biasa sehingga kita hampir berpikir bahwa menikmati hidup cuma mungkin kalau kita punya lebih banyak uang (untuk menghidupi iklan-iklan) daripada yang kita butuhkan.

Saya punya pengalaman dari yang boros setengah mati sampai mengirit yang berlebihan. Keduanya ternyata berada pada kutub yang sama, yaitu menilai uang lebih dari yang sebenarnya. Ketika saya boros, apa yang saya inginkan terasa seperti kebutuhan. Padahal jelas itu cuma nafsu sesaat. Ketika saya super ngirit, sebetulnya saya mengabaikan kebutuhan, sehingga saya membutuhkan repatriasi yang biayanya lebih tinggi. Contohnya, saya pernah jaga klinik 24 jam selama seminggu hampir nonstop karena berusaha mengumpulkan uang. Alhasil pada minggu berikutnya uang itu habis karena saya merasa berhak bersenang-senang setelah bersusah payah. Kalaupun saya tidak habiskan uang itu, saya akan menilai uang itu lebih berharga dari seharusnya, karena saya mengorbankan terlalu banyak waktu saya. Kalau saya pikir lagi, lebih baik saya tidak jaga sebanyak itu asal ada masih ada masukan, lalu tetap menikmati waktu luang saya dan menyisihkan sebagian untuk disimpan minggu depan. Hidup yang nikmat adalah hidup yang cukup, seperti kata pepatah, 'yang terbaik itu datang secara gratis, tapi kedua terbaik itu selalu mahal sekali,'

Seingat saya, yang paling saya sukai biasanya sederhana dan tidak melibatkan banyak biaya, misalnya sarapan nasi megono hangat di pinggir sawah jam 6 pagi. Saya tidak bilang bahwa kita tidak boleh kaya, tapi bahwa kaya itu bukan masalah hidup atau mati. Kalau terlalu bernafsu malah bisa kelewatan dari tujuan kita untuk kaya itu sendiri : menikmati hidup setiap hari.

Monday, August 10, 2009

My Welsh Holiday


I'm notorious for being disorganized in almost everything, but one thing I always good at : planning holiday ahead. (FYI: I am a wanderlust slave). Just like a weather forecaster, I know where to go on Christmas holiday by August; I can assure you that I've booked each leg of my journey, I've arranged meticulously when, what and where I will be doing during the holiday. I understand exactly that advance booking saves a lot of money. It cuts the cost by tenth, if not more. But this time was an exception. I had no plan at all and I was about to go nowhere this summer! (which isn't too bad if I'm not Indonesian and don't need visa to go to toilet in Dublin).

But one day I saw a holiday brochure which had fabulous price for 3 days holiday in Wales. Full board. It was cheaper than megabus and couchsurfing altogether (if megabus goes from Wakefield to Wales, which it doesn't). Seriously. It was discounted by £22 for last minute booking via internet. Perfect.

What I didn't really think about is when at the form I filled in there was a question if I'm an OAP. There was no explanation what OAP is (or perhaps everybody in England knows what it is except me). I looked up my very useful dictionary and found out that OAP is abbreviation for old age pensioner (and I discreetly chose yes, in case I got further discount). I booked my holiday 2 days before the date of excursion.

When I arrived at the pick up point, I was amazed that my traveling group are all old couples, ancient women and people in wheelchair. Fantastic. In no time I found myself chat incessantly to an old lady about music that we like (me: Shaggy, her: Elvis) and our hobby (me: diving, her: gardening) and pension scheme (I have no pension scheme, unfortunately). They are surprisingly knowledgeable and amusing. It was like going somewhere with your grandma anyway.

I was waiting for people putting their luggage to the trunk. I wondered why they had so many stuffs to carry for 3 days. We were not going to camp in the wild, were we? Or did they bring kettle? (like Lynda, she can't live without a cup of tea). But it still doesn't make sense because we weren't going to Italy (Lynda said there is no kettle in Italy!). I was quite sure that Welsh drink tea like English so they must have kettle and tea pot and tea cozy and tea saucer, etc. I carried 1 (one) rucksack (thanks to easyjet and ryanair that always made me traveling light) so I walked directly to the seat. My seat reservation turned out to be...er...no reservation. But I sat comfortably at the rear row, right behind an old man who suffered from incontinence. It was actually good because if you farted, nobody would accuse you for that. I sat next to the window on my own. The view from Yorkshire to Wales was very idyllic and picturesque, or at least that what an old couple told me, because I was fast asleep (I was drinking with my best friend the night before).

The whole journey was fairly OK, apart from me always being the last person to get on the couch. You see, they are all old people and one using wheelchair, but they are very punctual and not direction-dyslexic like me. I can be lost in my own hometown. And also, they were usually just sitting around in the pub or tea room or restaurant, when I wandered around the river and a bit outside the city. So, it's understandable (at least for me) if I boarded into the couch in the last minute (but not late, they were early, really). The couch driver just needed to wait for me before counting our heads like sheep.

At the last night I had a 'party' with those ladies. We danced the 60's, 70, or 80's songs. When I tried to request "hot and cold" by Katy Perry, suddenly everybody sat and enjoyed their drinks solemnly. So I changed my mind (like a girl changes her clothes) and asked for Abba and danced painfully to Mamma Mia and Dancing Queen (not again!). One of the lady, called Margaret, bought me few glasses of Baileys. I was tipsy but still didn't find the party very enjoyable. I think it was lack of youth spirit, so to speak.

I was the most popular member of the group, I guess. It was because I did kind of dirty dancing when other ladies danced gracefully in a circle (hip and back problems are common in women over 50s). I am not good at dancing but surrounded by women in their 50s sort of giving me mental support. It boosts my confidence, to some extent. I went to bed tired at 1 o'clock, after the DJ bid me goodbye by saying, "Goodnight, young lady," I was quite flattered, honestly (although I might prefer: "Nobody put Baby at the corner,"^_^).

That's all my holiday in Wales. I won't give any detail about tracks or history because I remember nothing about them (that's why travel guide and camera are useful).

Jam

Sejujurnya, inilah Ria dan Kristina...

Ria dan Kristina, sama-sama punya ide-ide yang nggak masuk akal saking nggak bangetnya pikiran kami berdua. Obrolan kami ini, berkat kemajuan jaman dan menjamurnya aplikasi internet (hiduplah Indonesia Raya!), kami sekarang bisa tuangkan di blog. Dulu kami suka ngetik-ngetik pake mesin ketik manual di belakang kertas HVS A4 bekas fotokopian. Tapi tetep aja kami tidak berhenti menulis. Kata pepatah: setipis-tipisnya tinta masih lebih tajam dari ingatan manusia. Kata Pramoedya: menulis berarti memetakan sejarah. Halah, kalo tulisan kita mah sebenernya gak ada hubungannya ama sejarah. Cuma mengukirkan betapa masa muda kami ini sangat indah. Dan jelas nggak mutu isinya. Jadi, mending kalo sisa-sisa waktu dan pengen baca yang tidak terlalu berguna sajalah baru buka blog kami... Tapi apapun komentar, masukan dan pendapat teman-teman, semuanya adalah cendera mata yang indah buat kami...

Ria dan Kristina (hualah, koyok undangan penganten. Amit2 deh. Lesbong juga pilih-pilih ah...)

About Us

My photo
pindah2..tergantung mood, Indonesia
Sri Riyati Sugiarto (aka Ria) adalah cewek kelahiran limpung..(pinggiran kota Pekalongan)..habis sekolah di SMU St. Bernardus Pekalongan trus kuliah kedokteran di Undip Semarang..sementara Kristina Melani Budiman (aka Kristina) juga lahir di Pekalongan trus satu SMU ama Ria dan kuliah di Atma Jaya Jogjakarta. kami kenal di kelas 3 SMU tapi mo duduk bareng selalu ga bisa gara2 terlalu cerewet dan kalo duduk sebangku selalu bikin keributan karena hobinya menggosip jadi terpaksa sampai sekarang tidak pernah duduk bareng..untungnya kita ga satu kampus :p