
Gambar dari web.
Sebetulnya ingin nulis tentang perjalanan saya dan Kristina tapi apa lacur yang kepikiran justru topik ini.
Pernahkah disapa orang tak dikenal dan diajak bicara di jalan? Bukan, saya tidak sedang membahas soal copet atau orang yang dihipnotis terus dicuri blekberinya berikut kartu ATM dan PIN. Ini cuma pembicaraan remeh-temeh dengan orang di ruang tunggu, di stasiun, di bis, di kereta api atau angkot. Mulanya saya selalu menanggapi pembicaraan ini, terutama kalau yang dibicarakan adalah: jam berapa kereta/bis bakal nyampe di tujuan, kalo mau ke tempat anu brentinya dimana, jam berapa, tanggal berapa, hari apa (kok kaya pertanyaan orang yang baru kebangun dari koma), atau dimana letak jalur ke anu atau gate tertentu atau dimana mesin ATM atau toilet. Sungguh, saya dengan senang hati memberi tahu, bahkan sambil tersenyum meskipun saya bukan costumer service atau pegawai pizza hut ataupun mbak-mbaknya yang jaga Giordano. Tapi ada kalanya, orang bertanya dan ngajak bicara untuk hal-hal yang sama sekali nggak penting dan justru malah mengganggu orang lain. Kalo menurut istilahnya Kristina sih overfamiliar dan nosy. Kalo menurut bahasa gaul istilahnya eSKaeSDe (sok kenal, sok dekat-sok akrab, sotoy dan mau tau aja urusan orang). Kok jadi panjang ya istilahnya. Tapi tahu persis maksud saya kan?
Contohnya pas saya dan Kristina ada di ruang tunggu bandara. Saya lagi mengomel-ngomel sendiri karena sabun cair dan shampo saya harus dilempar ke tong sampah berkat kemasannya yang lebih dari 100 ml. Apa sih bahayanya sabun aroma jeruk satsuma dan Rejoice rich sebanyak 250 ml? Kalo saya bisa bikin peledak pake sabun dan shampo saya sudah kerja di pentagon sekarang, bukannya jadi kuli di kariadi. Tiba-tiba ada bapak-bapak di samping saya yang menimpali, "Saya juga kok Mbak. Alat buat menggunting bulu idung saya disita padahal itu sudah saya pakai bertaun-taun dan saya cinta banget sama barang itu. Mana mungkin gunting sekecil itu dianggap senjata berbahaya?" Bapaknya bicara dengan penuh simpati, sambil memperlihatkan keprihatinannya akan bulu idung yang bakal tak terawat lagi sejak insiden di bandara itu. Saya pun merasa mendapat teman senasib sepenanggungan meskipun saya tidak terlalu kuatir terhadap bulu hidung saya. Jadilah kami mengobrol sedikit, dan tahu-tahu ada mas-mas garing (MMG) yang duduk persis di samping Bapak tadi ikut menimbrung tapi pembicaraannya enggak banget. Coba saja lihat pembicaraan kami:
Bapak-bapak bulu idung (B3I) : Kayanya bandara di sini lebih ketat daripada Indonesia...
Kristina(K) : Iya, kalau di Indonesia gunting bulu idung nggak mungkin disita karena nggak bisa dipakai lagi sama petugasnya. Kalo sampo sama sabun masih mungkin sih. Atau gunting yang besar juga mungkin. Misalnya gunting tanaman atau gunting pita buat peresmian...(si Kristina terkenal jago ngomong yang nggak ada hubungannya tapi terkesan logis. Bakat bawaaan orok)

K : Kita baru ikutan lomba Miss India...(sok happening gitu deh)
B3I : Masa sih? Beneran ya lagi ada lomba begituan? (naif)
Saya (R) : Nggak kok. Ya cuman pengen aja sih Pak, biar wagu gitu...*merasa kita terlalu keren kalo nggak norak, khekhe. Narsis dot ko dot aidi*
MMG : Kok sarinya merah sih? Bagusan putih semua...Trus kenapa pakai sari? Suka ya ama baju India? Merahnya terang banget jadi silau gitu....dan nggak kompak, kalo mau kembaran...
*Saya mulai males nanggepin. Pertama, ini bukan urusan dia sama sekali. Kalaupun merasa penampilan kami nyeleneh atau aneh (baca:unik. Harus dibaca unik!) cukup bilang aja, "baju kalian beda ya?" atau muji sekalian "bajunya bagus,". Kalau MMG punya IQ yang sedikit lebih tinggi dari pohon ketela rambat, dia bakal tahu kalo bicara dengan pujian adalah cara terbaik untuk memulai pembicaraan dengan wanita, bukannya jadi kritikus busana tapi dengan komentar ala komentator Persipura. Kedua, dia membuat saran dan menilai habis-habisan, padahal nggak ada yang minta pendapat. Kami bahkan tidak saling kenal!*
K : Ya memang sengaja merah-putih, biar terkesan Indonesia gitu...
B3I : (mangut2 meskipun nggak mudeng)
MMG : Harganya berapa? (ke saya, Kristina lagi cari toilet soalnya)
*Saya nyaris nggak percaya sama apa yang saya dengar. Kalau dia tidak tertarik sama sari, kenapa pakai nanya harganya? Saya mulai pura-pura nggak dengar. Cukup sudah pembicaraan yang sangat SKSD ini, saya pura-pura sibuk mbetulin tali sepatu yang gak ada talinya*
MMG celingukan karena tidak mendapat respon. Tiba-tiba dia lihat barang belanjaan saya yang saya beli dari off duty. Cuman satu saja lho padahal barangnya.
MMG : Itu merk apa ya? Harganya berapa?
Saya masih pura-pura sibuk. Tapi demi dewa monyet Sun Go Kong, MMG tanpa basi-basi mencolek lengan saya. Lebih dari sekali karena saya masih berusaha mengabaikan dia.
MMG : Mbak mbak, itu beli harganya berapa?
Saya pun, berkat didikan harus sopan pada orang lain meskipun orang lain tidak sopan, menjawab dengan nggak rela dan kesal, tapi untunglah, pesawat kita boarding.
Ini bukan kejadian pertama kali. Seringkali saya diajak ngobrol di kereta/bis/pesawat, pertanyaannya kadang menjurus ke enggak banget. Biasanya ditanya, "Sendirian aja Mbak?" lalu disambung, "Sudah menikah?" atau "Kerja dimana?/kerja apa?". Yang menyedihkan, sambungannya selalu saran yang tidak diminta, kritik yang tidak diharapkan atau yang paling parah flirting yang nyaris seperti pelecehan. Kadang saya bohong habis-habisan untuk melindungi diri sendiri atau untuk menghindari orang yang kegatelan, tapi kebohongan saya selalu diperparah dngan pertanyaan yang lebih kacau lagi. Misalnya pembicaraan itu disambung dengan:
"Suami/pacarnya kemana?"
"Suaminya orang mana? Anaknya berapa?"
"Aslinya orang mana? Kerja dimana? Mau kemana? Ngapain di sana? Gaji per bulan kalau di situ berapa? Ada lowongan gak?" (Saya nggak mengada-ada. Saya betul2 pernah ditanya ini semua sama orang asing di transportasi umum)
"Oh, kalo gatel-gatel panuan obatnya apa? Encok? Kadas? Kurap? Mata ikan? Cantengan?"
"Lho kenapa nggak praktek?"
"Nomer HaPe Mbaknya berapa?"
"Tinggal di daerah mana? Alamatnya apa?"
"Bapak ibu kerja apa?"
"Umurnya berapa?" (Kenapa gak skalian nanya," Sudah punya NPWP belom? Nomernya berapa?")
"Sudah pernah ke sini belum? Nanti tinggal dimana? Berapa hari? Ada yang jemput?"
Mungkin saya yang paranoid, tapi menurut saya orang-orang ini bukan lagi ramah melainkan mengganggu urusan orang lain. Pertanyaan yang ramah intinya adalah untuk membantu, baik orang yang bertanya maupun yang ditanyai, bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu belaka, apalagi untuk mengukur orang lain: apakah orang ini kaya/tidak, potensial/tidak, orang yang punya kedudukan/tidak. Sebenarnya saya juga bingung apa fungsinya bertanya yang mendetil tentang orang asing yang baru saja kita kenal. Cari koneksi? Iseng? Memuaskan hasrat menggodai perempuan yang pergi sendirian?
Saya sebetulnya suka berkenalan. Percaya atau tidak saya sudah berkali-kali diselamatkan orang di bandara/stasiun/terminal. Saya punya teman seperjalanan selama seminggu cuma hasil mengobrol beberapa menit di antrean pintu toilet wanita. Saya punya tempat nebeng di antah berantah cuma karena saya mengomentari cuaca dengan orang yang duduk di samping kursi pesawat saya. Saya diajak makan dan diantar ke terminal bis karena saya membantu angkatin barang ibuk-ibuk di stasiun kereta. Mungkin memang benar, di dunia ini selalu ada yin dan yang. Ada orang yang baik, ada orang yang SKSD doang. Tapi demi keamanan, saya sekarang jarang sekali berbasa-basi kecuali saya tahu orang tersebut butuh bantuan. Sisanya? Duduk terpisah, pasang iPod dan baca buku yang selebar wajah atau isi Sudoku. Mungkin, kalau peristiwa beginian masih berlanjut, saya akan pertimbangkan ulang keputusan saya yang anti HaPe-HaPean selama 24 jam. Mungkin pura-pura sibuk menelpon adalah cara terbaik menghindari orang usil di jalanan!