Makassar cukup bersejarah buat saya, karena ini kota yang pertama kali saya datangi naik kapal Pelni Tilongkabila dari Labuan Bajo (kapal yang asyik, kita bisa nonton pilm layar tancep sambil makan pop mie). Tahun 2008 saya mengunjungi Makassar dalam perjalanan ke Tana Toraja, jadi nggak banyak yang saya inget dari kota ini kecuali coto-nya. Klise memang, tapi untuk benar-benar merasa di Makassar kita harus tahu bedanya soto dengan coto (kalo ada yang bilang soto pake daging sapi dan coto pake daging capi, mohon maap jawaban anda SALAH ya). Intinya sih, kalo di Makassar pesan saja coto, soalnya kalau pesannya soto, bikin kita pingin naik pesawat PP ke Semarang, beli soto semangkok dan dibawa untuk ditunjukin ke penjualnya gimana yang namanya soto itu seharusnya dibikin. Soto di Makassar adalah semacam coto tapi kayaknya dibikin waktu mati lampu.
Kedua kali ke Makassar adalah untuk datang ke nikahan sohib saya waktu coass dulu. Di sini cerita saya panjang karena melibatkan perjalanan ke pulau Lae-lae, yang bukan pulau liburan romantis babar blas tapi kampung halaman buat sekumpulan orang yang meninggali rumah tanpa sertifikat. Kenapa saya bisa terdampar di sini? Karena saya terlalu pelit buat bayar carter perahu ke Samalona, dan lebih suka ikut perahu anak sekolah ke desa nelayan yang nggak ada turisnya sama sekali. Semula perjalanan saya berlangsung lancar sampai saya memutuskan buat pergi cari kerang sama anak-anak nelayan. Perahu yang kami tumpangi itu kecil dan berlengan satu (semacam katinting, lihat gambar, dengan lengan kayu untuk keseimbangan). Di tengah laut anak-anak ini main-main dengan pura-pura ninggalin temennya yang lagi nyelam cari kerang. Akibatnya anak-anak ini sempat bergelantungan di sisi perahu karena temannya mendayung terlalu cepat. Saat itulah, tiba-tiba ada ombak yang lumayan besar. Perahu kami terbalik dengan sukses. Enggak ada yang pake jaket pengaman. Sepersekian detik dan tiba-tiba jatuh ke laut bikin kita mikir tentang perasaan korban tsunami. Oke, ini cuman air tapi di tengah laut. Untungnya semua orang pada dasarnya bisa berenang, cuman karena tidak siap nyebur kulit kami tergores-gores entah apa waktu berusaha naik lagi ke perahu. Plus buat saya, waktu jatuh ke air perahunya persis ada di atas jadi harus berenang memutar biar bisa naik. Perahu ini akhirnya berhasil dinaiki dalam posisi terbalik, persis wadah klepon yang jatuh dari meja, perahu ini timbul tenggelam di laut. Anak-anak laki-laki berhasil membawa perahu menepi, di pantai yang karangnya licin dan nggak ada pasir, yang jelas nggak pernah dikunjungi orang karena kami susah mencari sampah seperti bekas botol air mineral, bungkus indomie, softex, pampers etc. Bukannya kami bermaksud cari sampah juga sih, tapi setelah perahu berhasil dibalik ke posisi semula kami harus mengosongkan bagian dalam yang penuh berisi air. Jadi di sini, botol aqua sangat membantu. Sayangnya kami cuman nemu tempurung kelapa. Jadi inilah alat buat ngosongin air di dalam perahu.
Sejak peristiwa itu tiap kali saya naik perahu kecil yang diombang-ambingkan ombak, saya enggak cengengesan kayak anjing rabies lagi, tapi berdoa litani sampai katam 10x.
Ke Makassar yang ketiga (mohon maaf kalo postingan ini akhirnya jadi novel ya) adalah untuk acara Open Science Meeting (yang artinya ketemuan sambil makan2). Yang asik dari perjalanan kali ini adalah pesawat saya didelay selama 4 jam (haduuuh). Usut punya usut, ini bukanlah sembarang delay tapi sebenernya ini adalah pembatalan penerbangan karena kurang penumpang. Jadi karena penerbangan pukul 4 cuman dibooking setengah maka penerbangannya digabung sama yang pukul 8 yang juga dibooking setengah. Iya, saya juga mikir: ini pesawat apa angkot nomer 44 jurusan Senen-Kampung Melayu yak. Akibatnya, saya nyampe di bandara Sultan Hassanuddin jam 12 malam wita. Kejadian ini tepatnya di awal tahun 2014 dan waktu itu belum ada aturan untuk penertiban calo taksi. Jadilah saya menjadi mangsa empuk para calo taksi yang melihat seorang cewek jalan sendirian ibarat lalat liat manga busuk jatuh di jalan. No offence pada mangga busuk, tapi para calo taxi ini memang rada2 mirip lalat karena meskipun sudah dibilang "maaf, saya sudah dijemput," dan bergaya se-cool es gosrok tetap saja saya dikerubuti dan dibuntuti abang-abang calo taksi. Saya enggak takut tapi ya gerah lah ya, apalagi kemana pun saya pergi ada aja yang komentar dari mau dianter kemana sampai embaknya udah dari tadi mana jemputannya. Masalahnya, saya emang enggak ada yang jemput, tapi saya jelas enggak percaya sama calo taxi yang langsung nodong dan enggak ada nama perusahaaannya. Saya berdiri beberapa saat di area penjemputan karena menurut pengalaman saya, selalu ada mobil jemputan yang sisa tempat duduknya sehingga saya bisa nebeng sampai di luar area bandara dan kemudian naik taxi biasa ke hotel. Tapi kali ini mas2 calo taxi betul2 beringas dan gigih sehingga orang yang saya dekati malah takut dan menghindar sebelum saya bahkan menyelesaikan pertanyaan basa-basi seperti, "ibu mau jemput siapa?". Si ibu buru2 kabur gara2 saya digelayuti 10 orang calo kelaparan. Saya mulai geram. Saya berusaha masuk kembali ke ruang kedatangan pesawat tapi satpam tidak membolehkan saya masuk tanpa ada tiket pesawat. Saya disuruh duduk di depan. Lalu segerombolan lalat2 haus darah pun ikut duduk dan berdiri di kanan-kiri-depan-belakang (kalo bisa juga atas-bawah andaikan mungkin kali ya). Ada ibuk2 yang bukan calo juga duduk tapi dia tidak membantu. Si satpam juga enggak, mungkin dia adik misan sepupu paman satu kali dari seorang bos calo taxi. Entahlah. Akhirnya, karena saya betul2 terganggu, saya pun masuk ke café deket pintu keluar. Mungkin café ini enggak sodaraan ama bos calo taxi jadi para calo ini enggak berani masuk. Kopinya jelas2 kemahalan karena itu warung kopi bandara tapi saya beruntung karena setidaknya terbebas dari lalat untuk sementara. Jadi saya ada waktu untuk basa-basi dengan 3 orang yang juga sedang minum kopi di sana dan, seperti yang sudah sering terjadi, saya pun dapat tebengan ke kota.
Sebagai informasi saja, sekarang bandara Makassar sudah jauh lebih baik karena sudah ada aturan bagi taxi untuk menunggu penumpang menghampiri booth mereka dan memesan sendiri, tidak boleh ada calo yang nyerobot apalagi sambil langsung bawain tas kayak di terminal bis Bungurasih Surabaya. Taxi yang saya rekomendasikan adalah Bosowa, Putra atau Lima Muda. Tapi jika bepergian sendiri dan dalam rentang waktu antara jam 7 pagi sampai jam 8 malam, naiklah DAMRI. Harganya Rp. 29ribu sudah sampai tengah kota (depan RRI, jalan Ribura'ne) dengan aman dan nyaman. (Hidup DAMRI!!!)
Saat ini, setelah bermangkok-mangkok coto, konro, sop saudara (yang enggak gratis meskipun sodara), pisang epe, pisang ijo, barongko dan pallubutung, saya resmi tinggal di Makassar. Saya suka Makassar karena kalau kita ke warteg (atau warmak, tepatnya) selalu dikasih nasi yang banyak dan lauk yang sedikit. Jadi persis banget sama komposisi nasi megono di rumah, kecuali kalau di rumah nasinya juga lebih sedikit, hihi. Mereka juga selalu menyediakan sambel dan jeruk nipis, apapun makanannya. Sambel favorit saya yang selalu oke dimakan pake ikan jenis apapun (di Makassar umumnya orang 'makang ikang' setiap hari) adalah sambel dabu-dabu, yang adalah sambel dicapur irisan tomat yang besar2. Makassar cukup strategis sebagai kota karena enggak jauh dari pulau-pulau berpasir putih dan tempat-tempat menyelam. Kota yang enggak pernah sepi (kata orang, 'Jakarta'nya Indonesia timur) ini juga penuh dengan pusat kebudayaan asing, seperti komunitas Perancis, Cina, Belanda dsb, selain sebagai pusat ekonomi di Sulawesi. Yang saya nikmati setiap hari di Makassar adalah menyebrangi kota Makassar setiap pagi: melihat toko-toko mulai buka, orang-orang menggelar lapak di pasar, nelayan baru pulang dari melaut, orang-orang berseragam sibuk pergi ke kantor. Saya akan duduk dan menikmati hari yang baru mulai di Makassar di dalam pete-pete yang entah kenapa selalu menyetel lagu Malaysia jaman dulu, Isabella. Tiap sore saya akan menyambangi warung makan baru, barangkali sambelnya beda. Dan kalau akhir pekan tiba, saatnya mengenakan masker dan melihat ikan di laut. Saya belum tahu kapan kita boleh pakai kata 'mi', 'ki', 'maki' tapi saya sudah bisa bilang 'tabek' dan 'cotonya nambah semangkok pake buras' he-he.
Kalau ada sumur di ladang, boleh mi kita datang berkunjung! :-)